Riwayat Sejarah Kisah Nabi Muhammad SAW
Kisah Nabi Muhammad SAW,
Seperti yang sudah kami terbitkan sebelumnya, kali ini Kisah Nabi Akhirudz zaman pembawa penerangan bagi umat di dunia illa yaumil qiyamah ini lebih rinci tapi kami mohon maaf, kami tidak bisa menuliskan arabnya dan hanya artinya saja, semoga bermanfaat dan tentunya kami mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan.
Ketika
 cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja
 menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid 
kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai 
ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia 
untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri
 penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam, 
datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti 
terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti 
kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah
 SWT menyampaikan salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan 
keberkahan. Para malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai 
bentuk pujian dan permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin 
bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
 Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang 
yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam 
penghormatan kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya
 Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman 
mereka saja, namun Allah SWT mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi 
alam semesta. Beliau saw datang dengan membawa rahmat yang mutlak untuk 
kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku 
tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta."
Hakikat
 dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan Islam, begitu juga 
ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah Islam. Beliau saw 
adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak seorang wanita 
Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as. Beliau saw 
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah SWT yang 
dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau
 saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap, tiba-tiba Abdul 
Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu ia bangun dan 
ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan yang luar 
biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu 
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di 
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum 
lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali 
bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini, 
Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya untuk melaksanakan 
perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul 
Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya 
perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam. 
Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga
 ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul 
Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun 
yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan 
cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti zamzam adalah sebuah sumur, 
tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang dalam tidur itu agar 
ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu jawaban dari 
pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan berkeliling di 
sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu 
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh 
orang-orang yang berhaji.
Abdul
 Muthalib duduk di tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia 
memikirkan bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang 
mengatakan tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari 
pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan 
bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari
 terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul Muthalib keluar menemui 
orang-orang, dan menceritakan kepada mereka bahwa ia akan menggali 
sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke tempat yang di situ 
ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya. Orang-orang Quraisy 
menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh Abdul Muthalib 
terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa disembah 
oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf dan
 NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan 
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui 
bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. 
Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang dapat menolong dan 
memperkuatnya serta melaksanakan keinginan-keinginannya.
Pada
 saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang 
terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang kuat dan usaha untuk 
melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya Abdul Muthalib pergi 
dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan Ka'bah dan mengungkapkan
 suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika aku mendapat sepuluh 
anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga mereka mampu 
melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan menyembelih 
salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk korban."
Pintu
 langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun, 
istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan 
anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul 
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
 anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul
 Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian 
Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang diisyaratkan dalam 
mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan salah satu 
anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka dilakukanlah 
undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling 
kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka 
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka 
mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah
 saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia 
telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah 
menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya 
lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman 
yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian 
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah 
gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang 
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy 
berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus 
disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami 
tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya 
kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan 
kami bertanya kepada dukun."
Abdul
 Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu ia 
mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian mereka 
mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah taruhan yang 
kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata:
 "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan 
atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh 
ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut, demikian hingga 
tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian
 dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang 
besar. Undian itu pun mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul 
Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar
 nama Abdullah sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi 
sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, 
datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian 
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
 melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus 
ekor unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga 
korban itu tidak disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh 
binatang-binatang buas.
Abdul
 Muthalib sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia 
menetapkan untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, 
kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab,
 dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah 
binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda 
yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah
 api-api di gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu 
mengetahui tempat diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan 
antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan 
manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas 
dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di
 rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan 
berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan 
perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah 
kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah 
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal 
kepada Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi 
bersama kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa 
itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. 
Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, 
dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah
 bin Abdul Muthalib kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh 
lima tahun. Kabar kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan 
hati orang-orang yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke 
istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan
 pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, 
mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia 
menetapkan kematian baginya.
Tidak
 lama kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang 
sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah 
menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali 
ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat
 dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang 
dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia 
dilahirkan.
Anak
 yatim ini harus menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir 
serta orang-orang yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang 
terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang 
dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat 
kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak 
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah 
hari demi hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun 
telah mengering, namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang 
turnbuh bersama kehausan.
Kemudian
 kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu 
mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya 
tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin 
yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah, 
dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada 
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini. 
Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin 
dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati 
Mekah.
Abrahahh
 adalah seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada 
Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu 
gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya
 dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah.
 Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan
 ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik 
seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia 
berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak
 menuju ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia 
menyiapkan pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, 
kemudian pasukan itu menuju Ka'bah.
Pasukan
 Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
 menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita 
gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut. 
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala, 
meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan 
terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak 
Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan
 pasukan tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk
 Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan 
orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang 
yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi 
pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan 
kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan 
Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail 
bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan 
berhasil menawan Nufail.
Kemudian
 ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa 
orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata 
kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di 
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan 
maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka 
membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka 
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. 
Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang 
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia 
merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
 yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim.
 Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan 
pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan
 utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan gejolak pada 
kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu juga kaum 
Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak memiliki 
kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu 
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat 
yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu,
 Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka, 
namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak 
menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu 
menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang keinginan Abrahahh. 
Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin memeranginya karena kami tidak
 memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah Allah SWT yang mulia dan suci, 
dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya, maka itu adalah 
rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya, maka demi 
Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya." 
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul
 Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia 
memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh 
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh 
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia 
duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari 
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul 
Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan 
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah 
agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku" 
Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu 
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa 
kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat 
berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus 
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang 
merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk 
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul 
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu
 adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan 
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja 
nanti!"
Selesailah
 dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan 
unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang 
Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan 
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di 
gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti 
Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat 
turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul
 Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan 
sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa kepada Allah SWT dan 
meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan gajah-gajah 
tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di tempatnya dan
 menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima 
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya, 
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi 
gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun.
 Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan
 kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat 
cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya 
terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari
 saat itu bersinar dan ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari 
bersembunyi di balik segerombolan burung. Abrahah mengangkat 
pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat 
sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan 
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi
 cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung 
yang banyak.
Gajah-gajah
 semakin berteriak dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut 
itu kini menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di 
tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa. 
Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan 
burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu 
yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu 
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika
 Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan mengetahui bagaimana 
peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan membayangkan bahwa 
Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang menghancurkan yang tidak 
diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian darinya setelah empat
 belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu mengatakan bahwa 
pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para
 tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di mana daging-daging dari
 tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun mendapatkan luka dan 
mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya terpisah satu 
persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad para 
pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
 oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di
 Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah
 kamu tidak memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap 
tentara gajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk 
menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka 
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu 
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti 
daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan
 gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka 
dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya.
 Perlindungan tersebut bukan sebagai penghormatan bagi orang yang 
tinggal di rumah itu dan bukan sebagai bentuk pengkabulan doa kaum yang 
menyembah berhala yang memenuhi tempat itu. Allah SWT sebagai Pelindung 
Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang tinggi; Allah SWT 
menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin melindunginya agar 
tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya tempat itu 
menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang aman, 
yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak 
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang 
demikian itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah 
yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti 
Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu 
belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan ia belum memikul 
Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi alam semesta. 
Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua ini tanpa ia 
mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi
 yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia berusaha menentang kehendak
 Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu menghancurkannya dengan mukjizat yang
 mengagumkan. Datanglah banyak burung dengan membawa batu-batuan yang 
tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung melemparkan batu-batu 
itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana 
Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang 
mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
 tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di 
muka bumi.
Di
 tengah-tengah kegembiraan Mekah karena keselamatan penghuninya dan 
selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia
 menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah
 keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur dan barat 
dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya 
namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah
 hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin 
hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal, Aminah melahirkan seorang anak 
kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, 
seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum
 ia dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia 
sangat besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu 
600 tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi 
ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap 
kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah 
ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat 
Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan 
setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang 
khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi 
oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka 
menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika
 jantung dunia telah terkena kekeringan, maka memancarlah dari timur 
suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi puas dengannya separo 
dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air ini mengeluarkan air 
yang jernih dari jantung gurun yang paling besar ketandusannya di dunia,
 yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran masa tersebut, 
dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah melihat penduduk 
bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun 
orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di
 tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung
 jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta, 
keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah 
dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul 
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi 
Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan 
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang 
dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat 
dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat 
itu mengalami titik terendah.
Sementara
 itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh 
orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana karena melarikan diri dari
 penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal di situ bagaikan 
srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka melakukan 
monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan 
memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka 
sendiri.
Para
 cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas 
sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas darinya dan 
menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk 
memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi menyembah emas dan 
sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang Arab justru menyembah
 batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam membuat syair
 lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang Arab 
hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah 
pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan 
mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal 
muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta 
kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga 
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi, 
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam 
ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan
 di tempat yang jauh dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang 
lemah, namun belum sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi 
sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri
 Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di 
tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana 
terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara
 itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas singgasananya dan memberikan
 keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra selalu didengar dan 
dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya dan 
menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi dan Yunani, 
sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi. Meskipun 
mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api 
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan 
mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka 
terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin 
meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan 
yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan menyingkirkan 
seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah kebatilan.
Di
 tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di 
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah
 oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia,
 bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa 
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua 
sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka 
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama 
manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak 
hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti 
hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan 
kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran
 Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi yang paling meyakinkan 
dan yang paling penting yang pernah dikenal di dunia; ajaran yang 
bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan materi. Tentara 
Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani untuk 
menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah 
Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah 
sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah 
kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat 
beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu 
kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
 untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh 
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus 
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya,
 mukjizatnya yang pertama adalah mukjizat yang terdapat pada 
kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi 
mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani 
yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT.
 Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam 
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
 sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat 
Nabi setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai 
mukjizat selain usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar 
biasa selain membebaskan pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan
 Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan 
kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad
 saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta 
kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan 
setelah kehidupannya.
Ketika
 Nabi Isa mampu menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan 
mereka dari kuburan, Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang 
hidup dari kematian mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu adalah 
bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari
 kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik 
dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman
 sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi 
padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan 
singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap 
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru 
mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana. 
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di 
jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan 
hilang.
Di
 saat terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat 
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat. 
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau 
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud. 
Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para 
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat 
dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan
 apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu 
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan 
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian 
apabila mereka sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah 
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah 
datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu 
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
 menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap 
senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan 
sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah
 masalah itu dan tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan 
menolongnya. Ini adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para 
nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam 
menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang 
besar.
Pada
 masa para nabi sebelum Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan 
mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum 
tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad 
bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan 
ketulusannya.
Allah
 SWT telah memutuskan untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk 
mengangkat gunung di atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat, 
atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui
 hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi 
mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas
 kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan 
Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah 
beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan 
matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau 
tidak membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung 
Islam dan mengancamnya.
Dakwah
 para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa 
kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera 
menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan
 masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah 
hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak 
terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu 
menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam 
adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam 
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah 
memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya 
menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
 adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung 
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang 
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah
 tidak mengurangi kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana
 mereka tidak diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang 
menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di 
tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum 
datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah 
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai 
lipat godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami 
oleh semua para nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi 
mencintai-Nya. Allah SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di
 saat salat pada saat beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun 
demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari menemui 
sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan 
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan 
dan wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku
 atas Yunus bin Mata."
Melalui
 pernyataan itu, beliau berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang
 harus dilalui oleh kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki 
derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal
 atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal 
itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim 
hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya mereka 
berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama Allah 
SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan 
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama 
Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga 
bershalawat kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk 
shalawat itu sendiri.
Sementara
 itu, bayi yang mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun 
gajah. Kemudian berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga 
kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke
 tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di
 Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau 
dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung 
menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya 
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam
 telah menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama 
yang dulu pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk 
menggali zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan 
kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad 
atau Ahmad.
Orang-orang
 Quraisy bertanya kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan 
kepada cucumu?" Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara 
yang didengarnya saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak 
umum di kalangan orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul
 Muthalib tidak memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang 
biasa dipakai di kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin 
Allah SWT memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami
 tidak mengetahui dorongan apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk 
menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu bersumber dari realitas 
kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal dari realitas 
kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas kegembiraan
 yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari
 suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa
 menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan 
layak menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh 
Allah SWT di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin 
Abdillah.
Nabi
 Muhammad saw muncul ke alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau 
ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin di dalam perut ibunya.
 Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah
 SWT melindunginya. Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab 
kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia 
mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah yang 
tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah 
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya 
sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan 
mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya 
dengan kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, 
saat beliau masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, 
dan dengan terjaga di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi 
penderitaan. Allah SWT telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul
 beban risalah terakhir.
Selanjutnya,
 ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa 
banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk 
mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di 
mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar
 anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh 
mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak 
lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika 
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa 
menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah
 kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya 
bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan 
kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan suamiku mengalami 
kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan keluar ke Mekah dan 
menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak 
yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk 
memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang
 yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat kurus yang itu semua 
disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia 
berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak tidur semalaman 
karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia menangis karena 
tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis karena 
kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air 
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan 
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku 
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang 
demikian.
Akhirnya,
 kami sampai di Mekah. Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari 
anak-anak yang dapat mereka susui telah mendahului kami. Mereka 
mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali satu anak, yaitu 
Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari keluarga 
yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara 
tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk 
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena 
aku tidak peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu 
untuk kembali dan tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di
 samping itu, aku malu jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. 
Lalu aku merasakan adanya kasih sayang yang memenuhi hatiku terhadap 
anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah
 tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil mendapatkan 
wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah sedang tidur 
dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui oleh siapa 
pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih menyusui 
itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan 
agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang
 lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah
 mengatakan bahwa ia meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan 
yang kuat untuk mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya 
menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya yang samar 
agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia 
tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
 kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa 
pada hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk 
menyusuinya kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan 
wanita-wanita lain agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka 
Muhammad bin Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan 
mulia—-justru ditolak oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia 
sendiri tidak pernah menolak seseorang pun.
Halimah
 kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi 
Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di 
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara 
kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa 
kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar 
dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah 
SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah 
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
 sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk 
zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang 
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah
 kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum
 lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus sehingga tiba-tiba kebaikan 
dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi dipenuhi dengan 
kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon berbuah dan 
buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu, bahkan susu-susu
 binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya 
kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah 
datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya 
kepada anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan 
cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada
 suatu hari ia berkata kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai
 Halimah bahwa engkau telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah 
berkata: "Anak kecil itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali 
ketika ia telanjang." Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan 
tidak tidur, maka Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti 
bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira 
ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh 
pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika
 anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga 
ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan 
perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang 
ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama 
anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup 
udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad
 sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa 
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi 
telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad 
bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci 
hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan
 bagian dunia darinya.
Seperti
 biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara 
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
 Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan 
menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad 
diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua
 orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar
 hal itu, Halimah sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil 
berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti 
petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan 
Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan 
kedua matanya menyala.
Halimah
 dan suaminya mencium dengan lembut dan mulai menampakkan kasih 
sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad 
menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku 
dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. 
Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun 
ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang 
memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada 
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain 
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka 
mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka 
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya 
jauh-jauh. Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis
 tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan 
Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang simbolisme yang dalam ini. 
Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa tersebut. Pakar-pakar 
klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu diisyaratkan 
oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?. " 
(QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan
 tokoh-tokoh hadis, seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa 
seperti Muhammad saw tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan 
tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia 
biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi 
cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan 
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan 
Allah SWT tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan 
tersebut.
Dengan
 demikian, usaha para nabi terfokus pada peningkatan kemajuan atau 
ketinggian, bukan memerangi kerendahan. Diriwayatkan oleh Abdillah bin 
Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seseorang di antara 
kalian kecuali ia diawasi oleh temannya dari kalangan jin dan temannya 
dan dari kalangan malaikat." Para sahabat berkata: "Apakah hal itu juga 
berlaku kepadamu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah 
SWT membantuku, sehingga ia berserah diri dan tidak memerintahkan 
kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah
 sikap orang-orang yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan 
peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa 
tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan 
Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam
 angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui 
alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat 
Janatul Ma'wah.
Pandangan
 tersebut kembali kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa 
pembelahan dada berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia 
lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya 
pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
 meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan
 kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika 
aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan 
antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah 
antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau 
melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas 
yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian 
diulanginya."
Kami
 kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan 
kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' 
dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan 
mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan 
tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada,
 berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya 
digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak 
keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah
 hari demi hari, tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama
 Halimah di dusun Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat 
terkesan dengan keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah 
mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau
 menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau 
berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan 
diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka 
lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian
 Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau 
hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si ibu merasakan kesedihan 
yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji untuk mengingat ayahnya 
yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi kuburannya di 
Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus kilo meter
 di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu 
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, 
Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di 
Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya 
meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan 
yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya
 terfokus pada keadaan yatim sambil ia mulai memperhatikan linangan air 
mata ibunya yang diam.
Selesailah
 masa satu bulan keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya 
menemaninya untuk kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di 
pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia 
kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang 
yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan 
kekasihnya, Allah SWT.
Sang
 ibu meninggal dan meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang 
pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil 
yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan ibunya saat 
berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia 
dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati 
kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah
 saw pernah ditanya setelah masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" 
Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku.
 Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan 
adalah temanku."
Allah
 SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai kesedihan sehingga beliau
 dapat memberikan kepada manusia buah dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak
 kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan ia tampak terpaku. 
Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang luar biasa dan 
penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad bin Abdillah 
berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng yang terbaik
 yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian anak kecil itu
 kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar seperti 
layaknya orang dewasa.
Kita
 tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa hikmah Allah SWT 
mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah,
 kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang kakek? Apakah Allah SWT
 ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih sayang dan cinta yang 
semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT ingin mendidiknya 
dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh dengan 
penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
 kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu
 Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana
 Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan kedatangan seorang Nabi
 setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa meminta kepada Tuhannya 
agar memberinya dan memberi umatnya puncak keutamaan, lalu Allah SWT 
menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini kepada Nabi yang 
terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah
 SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak 
mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang seorang ibu dan mendidiknya 
di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia berkehendak untuk menjadikan 
Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih sayang seorang 
manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya 
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah
 Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia 
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
 kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku 
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah 
kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu 
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna
 ayat tersebut secara harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim 
lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah 
SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT 
memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya, 
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak
 pernah dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah
 kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT 
telah meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya 
mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta 
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang 
biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun 
yang duduk selainnya.
Muhammad
 bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
 kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang 
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman 
keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh 
kabilah.
Muhammad
 bin Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin 
dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali 
jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan 
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau 
sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya 
terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya 
bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya; 
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak 
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat 
melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang 
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di
 dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar terhadap sembahan-sembahan
 dari batu ini, suatu penghinaan yang menjadikannya tidak mau mendekat 
selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun hatinya yang besar 
dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan kakeknya 
Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas, 
kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang 
dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan 
masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak pertentangan dan 
perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan oleh 
masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin bertambah
 dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah manusia
 mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan 
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka 
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika
 usianya semakin bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, 
dan sepak terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak
 sama dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami 
kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau
 tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau 
belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar 
bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin 
segera menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan 
jawaban atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang
 dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam 
menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan 
kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan 
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya 
selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak
 kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang 
berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan cinta kekuasaan dan 
kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat kepada hakikatnya yang
 suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya yang bersih dan 
rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan kepada 
binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati 
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk
 burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada 
makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan 
memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang 
fakir. Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar 
karena ia memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad
 saw adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka 
beliau bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa,
 dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau 
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam 
saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan 
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa 
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka 
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan 
pikirannya semakin dalam.
Pada
 saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu peristiwa terhadap 
anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah kebingungannya. 
Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela rumah yang 
menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan suatu
 awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru. 
Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat 
mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini 
tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai burung yang 
putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara. Buhaira 
memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung
 Buhaira berdebar dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku 
peninggalan kaum Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke 
dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam 
buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera 
memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus 
seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk 
jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada 
Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai 
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal 
kami telah melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada 
peristiwa apa gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira
 menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang 
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya
 dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini.
 Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka 
adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam 
kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia 
tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum 
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?" 
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. 
Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh 
aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami 
dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy 
berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk 
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang 
kami diundang di dalamnya.
Pamannya
 meminta maaf karena Muhammad masih kecil, kemudian sebagian mereka 
berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira memandangi kejernihan 
dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa ia telah mendekati 
tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin Abdillah 
sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad
 bin Abdillah duduk sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: 
"Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau
 memberitahu aku terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin
 mengetahui sikap anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu 
menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi 
Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya." 
Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak 
kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira
 bertanya kepada anak kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di 
tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog 
tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena mereka tidak akan diam 
ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala mereka. 
Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, 
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang 
Nabi yang kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana 
disampaikan oleh nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah
 itu, ia bangkit meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia
 bertanya tentang kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib 
menjawab: "Ia adalah anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya 
masih hidup." Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan
 ibunya telah meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah 
kamu ke negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya
 tentang rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu 
mulai mengetahui bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. 
Lalu ia berkata: "Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak 
menjelaskan lebih dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang 
dimaksud.
Lalu
 berlalulah peristiwa tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau
 tanpa menggugah kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak 
membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah 
menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan 
memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata 
basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu 
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang 
mengundang akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa 
tersebut tidak membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi 
sahabat-sahabat yang ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak 
mengetahui rahasia perkataan pendeta dan mereka tidak menyebarkan 
pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa itu tersembunyi 
meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa
 gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga 
pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman mereka? Apa kedudukan 
yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh pendeta itu? Dan apa 
hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang dalam serta 
kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit 
berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali
 ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan 
keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; 
ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia 
dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari
 demi hari berlalu. Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih 
sayang, dan amanah serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya,
 sehingga kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan 
kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari 
penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan 
beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang 
berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena 
sihir atau kesadarannya telah hilang.
Pada
 tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua kabilah sepakat 
untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara para kabilah dan 
mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang sulit ini beliau 
menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau mewasiatkan kepada 
Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal di rumahnya agar 
ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua musuhnya dan 
para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan amanat 
tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
 para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh 
Muhammad saw.
Hari
 demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat. Sementara itu, 
kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat. Dan di tengah 
lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah 
menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat 
azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin 
Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur 
dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad
 dijauhkan dari suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan 
oleh para pemuda seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga 
dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait
 syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah 
telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang 
besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua 
tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan
 keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta 
kebesaran-Nya.
Pada
 tahun yang kedua puluh lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya 
yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat
 puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup 
harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang 
mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah 
mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju 
Syam, lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan 
kejujuran dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, 
Khadijah mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya. 
Muhammad saw pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau 
berusia dua puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana 
beliau kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang 
diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta 
Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya 
memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan 
getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan 
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman
 Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat 
perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan 
seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik 
dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta
 adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah
 menikah, Muhammad saw justru mendapatkan kesempatan yang lebih besar 
untuk merenung dan menyendiri serta beribadah. Kemudian kehidupan yang 
dijalaninya justru meningkatkan kemuliaannya, sehingga keutamaannya 
tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah terlibat dalam pergulatan 
yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia. Beliau selalu 
menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan mereka dan 
kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu. Kemudian 
usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah
 merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih 
untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah 
SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat 
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai 
mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu 
semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan
 semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan 
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu
 yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam 
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang 
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di
 atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak 
ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita
 tidak mengetahui pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia 
termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira 
beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau 
risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang 
lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya? 
Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya
 yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud 
saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami
 tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam 
dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang 
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada 
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau 
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia. 
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan 
uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan
 kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah 
tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf 
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, 
tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang
 bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela 
manusia dan kehormatannya.
Pada
 suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan 
dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu gua. Malaikat 
tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk membaca sambil
 berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku tidak mampu 
membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak mengenal bacaan dan
 tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat kembali 
memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia 
meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk 
membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat 
yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. 
Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku 
baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada 
beliau:
"Bacalah
 dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan 
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah.
 Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan 
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah
 peristiwa itu, Jibril menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul
 secara tiba-tiba. Rasulullah saw merasakan dalam dirinya kejadian yang 
luar biasa yang pernah dirasakan oleh Nabi Musa saat beliau mendengar 
panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari 
ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera menuju ke rumahnya 
dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke rumahnya dan 
kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan 
beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah
 beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah 
beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat 
wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan
 dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki 
rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada isterinya: 
"Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera 
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
 keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang 
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah
 bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw 
menceritakan secara detail apa yang dialaminya. Kemudian ia berkata: 
"Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia 
sekarang berhadapan dengan masalah yang serius, suatu berita gembira 
yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita gembira yang 
seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan dan 
kegelisahan.
Khadijah
 berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi 
Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau
 adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang 
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun
 kalimat-kalimat tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi 
kegelisahan Rasul saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama
 beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. 
Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa 
Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana 
matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah
 berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak 
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau 
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
 Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
 adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai 
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di 
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan 
Injil.
Setelah
 keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika 
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa
 aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada 
seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan 
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu 
niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah,
 akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan 
Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim
 yang pertama. Barangkali pembaca akan bertanya: Apa hakikat dari Islam?
 Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir yang diutus oleh Allah 
SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para nabi semuanya sebagai 
Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului mereka dalam 
keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam
 yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan 
Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang 
lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap 
seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi 
Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi 
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan 
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam 
tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua 
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk 
kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan
 tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau 
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia 
di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas
 ajaran Islam tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di 
mana setiap risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman 
tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang 
bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu. 
Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal 
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa 
mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan 
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"' 
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan 
nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal 
darah. Coba Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. 
Di sini tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari 
mukjizat yang hakiki.
Bacalah,
 dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan 
rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan 
manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam,
 yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
 ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut
 kepada Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil 
kebodohan dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena 
itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan 
kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa 
kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka 
memahami Islam secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari 
mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan 
lebih buruk daripada masa jahiliah.
Jadi,
 ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan
 alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh 
Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon 
tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam
 dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami 
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari 
makna-makna yang lebih penting.
Dialog
 internal yang dialami oleh para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi
 Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah di dalamnya serta 
pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama semuanya dan 
bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada para malaikat, 
serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha Nabi 
Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta 
pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam dan para 
keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari 
penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum. 
Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu
 bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama
 dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para 
pengikutnya dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya 
dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk 
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek 
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji, 
zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk
 menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka, 
meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli 
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
 tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan 
apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan; 
mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan 
pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu
 Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). 
Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara praktek-praktek 
ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah
 yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama
 meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT 
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang 
pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia 
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain 
memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret 
manusia kepada kesesatan.
Kemudian
 jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat 
memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan kehinaan. Allah SWT 
berfirman:
"Allah
 menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan 
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan 
yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi 
Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah 
Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah
 kesaksian kepada Allah swt dan kesaksian kepada malaikat, maka 
disebutlah secara langsung kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. 
Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih besar daripada 
penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban 
Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap 
tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana berdasarkan 
metode ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan berbagai 
produksi, pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah 
metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian 
terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap 
eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat 
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni 
yang membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk 
menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah
 alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan 
oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat
 berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang
 guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan 
tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun 
mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada 
guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan 
Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka peroleh 
dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger
 Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak
 malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab
 adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah
 pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa 
dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar 
mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang 
sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia 
kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada 
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode 
Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta 
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut 
dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode 
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam 
dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup 
pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat 
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada
 setelah alam kecuali kematian dan kematian adalah rahasia yang 
misterius dan melawannya adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui
 apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun 
tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada 
jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari 
aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah 
pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana 
untuk mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah 
dalam Islam menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata 
surya di bawah kendali Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. 
Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu
 justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa takut kepada Allah SWT 
sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam
 datang dan mengajak manusia untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada
 Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap 
pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua adalah kebebasan. 
Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain 
Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan
 ini mengisyaratkan keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, 
baik tuhan yang berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, 
penguasa, pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek 
dan nenek, berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun 
berbagai macam tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang 
membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar 
hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu yang ada di 
sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang 
dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar 
bersama kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang 
berakhir pada penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah pada 
kehidupan yang lebih berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan 
mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali jika terpenuhi suatu 
kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan kebebasan yang
 berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta 
kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. 
Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata 
untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
 Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas 
kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah 
terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya yangjauh.
Jika
 tauhid dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari 
penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut 
dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari 
sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad
 bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut 
disembah dan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan 
membebaskan manusia dari menyembah sesama mereka, maka kebcbasan yang 
hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu bahwa kematian adalah 
perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan akhiran yang 
misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya 
sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari
 kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan 
memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian 
merupakan unsur dari unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan 
bagian dari bagian-bagian sel yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril
 mewahyukan kepada Rasul saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi 
ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan. Jika demikian halnya, maka 
tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap rasa lapar dan 
gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam ruang lingkup 
mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk 
mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya 
terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi 
orang Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah
 SWT telah menjamin rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk 
berusaha mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang
 sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan usaha yang 
terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara 
benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT
 memerin-tahkan manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah 
rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil 
melampaui dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar 
adalah jihad melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan 
musuh di medan perang.
Dengan
 terbebasnya seorang Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan 
rasa takut, maka Islam memberi seorang Muslim senjatanya dan 
alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai memerangi 
kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang 
umat Islam:
"Kamu
 adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
 yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah."
 (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah,
 bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum 
keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah 
akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar 
tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya 
kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa
 usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu
 lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang 
bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak 
diperhatikan.
Ayat
 tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan 
berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka 
bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut 
ini:"
"Hai
 orang-orang yang beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu
 akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," 
(QS. al-Maidah: 105)
Dan
 aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat 
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah 
SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran
 Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa 
pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan dengan adanyajihad di jalan 
Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai usaha untuk menghentikan 
orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang Muslim dapat mengatakan: 
"Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan berdampak kepadaku orang 
yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah
 pemahaman orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman 
tersebut dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan 
keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. 
Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada 
memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad
 bin Abdillah datang dengan membawa risalah Islam yang di dalamnya 
terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi orang-orang yang lalim dan 
mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas di muka bumi. Allah
 SWT berfirman:
"Karena
 itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan 
kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang 
di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan 
Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa kamu tidak mau 
berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik 
laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya 
Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
 berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari 
sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan yang besar:
"Sesungguhnya
 Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka 
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, 
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
 dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang 
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka bergembiralah 
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
 besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah
 ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. 
Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin dan harta mereka, 
padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada hakikatnya adalah 
milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah SWT di mana Dia 
membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana Allah SWT
 menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu 
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang 
tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah 
memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa 
diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran 
atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan 
membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada Nabi Musa, 
"pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami hanya di 
sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar mereka 
mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat dari 
perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur yang 
mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan 
Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan 
tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai 
pengikut Nabi Musa.
Demikianlah
 esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin 
Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan menggali ilmu serta mendapatkan
 kebebasan dan yang terpenting adalah usaha melawan kekuatan-kekuatan 
lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak dikhususkan untuk kalangan
 tertentu atau untuk waraa kulit tertentu atau untuk kaum tertentu atau 
untuk tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang 
universal yang ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan
 yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan 
menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan 
manusia semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah
 salah jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan 
aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah 
lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
 dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia 
layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan 
kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari tanah 
neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah
 saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan 
kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT dalam
 surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia
 adalah rumah pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan 
kematian agar manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai 
amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. 
Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan 
manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting 
adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat 
manusia akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal 
balasan yang akan diterimanya secara sempurna.
Dan
 barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari akhir ini mengharuskan
 kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian dan kebersihan, yaitu 
diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang di dalamnya manusia layak
 untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Inilah 
asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat yang tidak 
diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul 
sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan
 mempertahankan kebenaran  serta keimanan terhadap hari akhir dan 
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru 
dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta 
warna keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan 
bahwa karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu 
diperhatikan.
Meskipun
 agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut 
turunnya lebih dari agama dan lebih dari satu nabi. Kehendak tersebut 
menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter yang khusus yang 
menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan utama 
yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu. 
Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana 
penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno.  Yahudisme 
diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu, 
karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak 
terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena 
pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah 
agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan 
pembebasan.
Namun
 Bani  Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras 
pada saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman
 orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi  justru lebih lalim dan 
lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi 
bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara 
yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara tersebut adalah 
menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang 
Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara 
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan 
cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan 
cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan 
melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme 
Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun
 Islam datang sebagai agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak 
untuk diterapkan di muka bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan 
apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak 
mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus mempunyai 
karakter khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan
 hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan 
tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak 
dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan dengan 
tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan 
sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki 
perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan 
tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter
 Islam yang berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan 
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang 
menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan barangkali kebesaran keadilan 
dan pengaruhnya dalam pengaturan alam bersandarkan kepada firman Allah 
SWT:
"Allah
 menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan 
keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan 
yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila
 Allah SWT dalam Islam merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan 
yang disaksikan oleh Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi 
karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya 
keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi
 ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam 
Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan metode utama dalam 
Islam.
Ketika
 Anda memalingkan pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan 
keadilan menghiasi seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara
 agama-agama yang dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, 
keadilan antara dunia dan agama, keadilan antara pria dan wanita, 
keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya, 
keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu 
sendiri bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya 
sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah Yunus:
"Jika
 kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun 
darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh 
supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri 
(kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya
 Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah 
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami
 berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada 
kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami, dan terimalah tobat 
kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha 
Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi
 Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat kepada keturunannya dan di antara 
mereka adalah Yakub agar mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT 
berfirman:
"Dan
 Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula 
Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah 
memilih agama ini bagimu, maka janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk
 agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa
 yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah 
Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) 
Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadanya.'" (QS. 
al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai
 kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya 
saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara
 itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat 
yang menceritakan tentang kisahnya bersama Ratu Saba' ketika Ratu 
tersebut berkata:
"Ya
 Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku 
berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. 
an-Naml: 44)
Demikian
 juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya 
agar mematikannya sebagai orang Muslim dan memasukannya dalam kelompok 
orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan bercerita tentang Yusuf 
dalam surah Yusuf:
"Ya
 Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagaian 
kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya 
Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di 
akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan
 orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara
 itu dalam surah al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin 
agar mereka beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami
 telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami 
adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi,
 Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi 
Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai 
dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang 
Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir 
dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah:
 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk 
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah 
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama 
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka,
 bagaimana beliau menjadi orang Muslim yang pertama, padahal penamaan 
umat beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya 
sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan 
kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan 
al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi 
Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan
 Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu 
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
 sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak
 ada pertentangan dalam pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin
 daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang 
pertama. Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami dari 
sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang 
Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang yang paling sempurna di 
antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya tentang 
akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya yang 
singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita
 mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia 
meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan 
keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak
 seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki 
akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam 
kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang 
berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin 
(orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah
 saw tidak hanya memiliki semua karakter tersebut dan atribut tersebut, 
bahkan kedudukan beliau lebih dari itu semua. Beliau berada di puncak 
dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga beliau berhak untuk 
mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para
 Mufasir berbeda pendapat tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi 
pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud 
adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada 
juga yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali 
keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam
 Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang 
tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah:
 'Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk 
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah 
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama 
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau
 adalah orang yang paling utama di antara manusia semuanya; beliau 
memiliki keutamaan yang melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat 
dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun 
beliau datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena posisi 
beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang 
terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata 
yang terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan 
ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau
 bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan 
hanya menjadi rahmat bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi 
rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi 
jazirah Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; 
beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari 
diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT 
mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang 
yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah 
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak 
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang 
memulai dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab:
 pertama, pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau 
kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua 
pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia 
merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab alam dibaca dengan ribuan 
cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami
 akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di 
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi 
mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau
 siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang 
telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan 
gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara
 dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan 
(sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika
 di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat 
Allah SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca
 kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata 
hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak
 dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum
 turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan kekurangan, baik secara 
materi, ruhani, undang-undang maupun dari dimensi kehidupan yang biasa 
melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum diutusnya Rasul saw yang 
beliau adalah manusia yang sempurna dan paling utama, alam belum 
mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak dari 
keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami 
kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab 
yang mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan 
agama bagi manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka, 
sebagaimana firman-Nya:
"Pada
 hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
 kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " 
(QS. al-Maidah: 3)
Namun
 semua itu tidak terwujud begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang 
secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang 
paling layak untuk mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk 
langit. Dan Rasulullah saw telah melakukan semua itu. Kita tidak 
mengenal seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki lebih dari
 apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang 
nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang 
mengagumkan di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi 
kita.
Kemudian,
 seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta 
tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran kecuali jika manusia 
tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan membangkang. Beliau 
berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah; beliau siap memikul
 tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan cobaannya; beliau 
menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau datang kepada
 Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan dengan
 suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada 
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
 menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah
 turunnya wahyu kepada Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan 
mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara 
rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula
 Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu 
beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana beriman kepadanya anak 
pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih kecil dan hidup di 
bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid bin Tsabit, 
seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah, sehingga ia
 memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan, Thalha
 bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi, 
yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah 
kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya 
di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam, 
lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin 
'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian
 berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar
 Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli. Barangkali mereka 
membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang dilakukannya
 di gua Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan sebagaimana 
pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah
 dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat 
melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang 
dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam 
hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan 
telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah 
menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu 
hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah,
 datanglah perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara 
terang-terangan. Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok tentara
 yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar beliau menyampaikan dakwah
 secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya. Ketika Nabi 
melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan 
tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap
 para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan 
oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang
 Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan 
hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi beliau mengajak rnanusia untuk
 mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba untuk menyingkirkan 
berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan mereka yang 
mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial mereka 
dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa 
tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain 
hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama 
tersebut menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan orang-orang 
yang memegang kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah
 pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah 
gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara 
para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang 
pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu
 Lahab.
Bukhari
 meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai 
memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua
 berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika 
aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?" 
Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau 
berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap 
kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat jika kalian menentang."
 Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau, apakah karena ini engkau 
mengumpulkan kami."
Dengan
 penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum 
Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT 
membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek 
yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah
 kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah 
bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang dia usahahan. Kelak dia
 akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) isterinya, 
pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. " (QS. 
Allahab: 1-5)
Dengan
 ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu Lahab memasuki kancah 
sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran tentang kejahatan Abu
 Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang yang menentang 
dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya dan kekayaannya,
 padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki arti 
sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan 
di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa 
kayu bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya 
terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia 
binatang yang tidak berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang 
dakwah adalah orang-orang yang berhubungan dengan dunia binatang yang 
tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau
 apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau 
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, 
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS. 
al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan
 mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan 
(rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah
 seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan 
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
 hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba
 perhatikan bagaimana kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahwa
 pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran 
ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru 
merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan
 apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu
 sebagai ejekan (dengan mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah 
sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari 
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " 
(QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah
 betapa nekatnya kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek 
Rasulullah saw, padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka 
untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan coba perhatikan 
bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka 
membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar 
dalam membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek 
kebenaran dan kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran 
terhadap kepandaiannya yang dapat menyelamatkannya dari meninggalkan 
tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu dan kayu, bahkan terkadang mereka 
membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka menyembahnya kemudian 
memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami 
dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar 
mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun
 demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka
 orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai seorang dukun; mereka 
menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan mereka menuduhnya sebagai 
seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau berbohong atas nama 
kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka mengatakan ini 
adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka
 meminta kepada beliau untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk 
tertentu; mereka memberitahu bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya, 
sehingga terdapat suatu mata air yang memancar dari bumi atau terwujud 
di depan mereka suatu taman dari pohon kurma dan anggur yang memancar di
 tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh sebagaimana yang 
beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau datang 
dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran 
dakwah yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau 
beliau mampu mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap 
pendakian itu meskipun ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali 
dengan selamat, kecuali jika ia menghadirkan kitab kepada mereka yang 
dapat mereka baca dari langit.
Nabi
 tidak peduli dengan usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi 
tetap memberitahu mereka dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang 
mereka minta itu tidak sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru 
akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada 
mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau
 datang kepada mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di mana 
seorang tua tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di 
dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya 
dari siksaan. Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh 
mereka adalah para tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan
 bermanfaat bagi mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka 
terima tidak dapat mereka hindari dan mereka pun tidak dapat 
meringankannya.
Demikianlah
 Islam—sebagaimana agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya
 orang-orang yang berakal dan orang-orang yang fakir serta orang-orang 
yang menderita di muka bumi. Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di 
mana mereka menjadi kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan di 
Mekah. Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam
 bukan hanya memberikan solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau 
masyarakat, tetapi Islam memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan 
manusia secara umum; Islam meyakini bahwa manusia bukan hanya sekadar 
perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual yang harus dipuaskan, 
manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari sisi ini, namun Islam 
justru meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki, tanpa 
membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia 
terdiri dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan
 terdiri dari celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam
 tidak mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga 
sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam 
kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa. 
Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan 
membawa manusia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang
 untuk membawa suatu solusi yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam 
dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan 
ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an
 menjadi cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada 
Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian 
Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan 
mengancam singgasana kebencian yang menguasai Mekah, sehingga 
orang-orang musyrik justni meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan 
terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT
 menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau bahwa mereka tidak 
mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri mereka sendiri. 
Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah
 salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya
 Kami mengetahui bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan 
hatimu, (janganlah hamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan 
mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang lalim itu mengingkari 
ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am: 33)
Kemudian
 kaum musyrik meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para 
pengikutnya. Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai 
peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan 
membunuhnya. Pada saat itu, musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan 
cara menindas kaum Muslim dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti 
dan kaum Muslin akan enggan untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa 
kaum Muslim justru memilih untuk menyelamatkan diri mereka. Namun para 
tokoh-tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat
 penekanan yang mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum 
Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih 
yang telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka 
tetap bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, 
yaitu suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan 
(kesempurnaan) yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah 
disia-siakan serta kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang 
telah hilang.
Kaum
 Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil
 di Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak, 
yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka 
akan membangun suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia 
seutuhnya; mereka akan menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan 
dalam gambar yang baru yang merupakan cermin dari gambar kebesaran sang 
Pencipta.
Sebelum
 kedatangan Islam, orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan 
peradaban yang dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki 
apa-apa. Mereka tidak memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk 
ilmu, seni, atau peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai 
kebanggaan. Namun ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi 
cermin kejayaan manusia di mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata 
pada umat manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada 
mereka dalam kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika 
mereka berpaling dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran 
cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah 
orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim karena mereka justru 
mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru mencapai 
kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika kaum
 Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan 
ajaran-ajarannya niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada
 awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim menyadari bahwa mereka 
menghadapi peperangan yang tidak akan berhenti. Selama kehidupan ada, 
maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena itu, ketika mereka 
mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka justru 
semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum 
Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran. 
Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan. 
Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi 
yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem 
perbudakan. Seorang yang beriman tersebut disiksa di Mekah di mana ia 
tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk 
Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya. 
Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi 
musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan dengan tegas 
menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan 
belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam 
mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah, 
ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak
 kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang persetujuan Islam 
terhadap sistem perbudakan, atau Islam mendiamkan sistem perbudakan. 
Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan suatu prinsip yang ingin 
membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam ingin mengeluarkan
 manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju kepemilikan kepada Allah
 SWT.
Jika
 Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci yang mengharamkan 
sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan prinsip-prinsip 
utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun ucapan—sumber-sumber 
sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui bahwa sistem 
perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah dengan
 perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun pada waktu yang terdapat 
perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap
 zaman, maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari
 bentuk-bentuk eksploitasi menuju unsur yang pertama atau dasar pertama 
yang menimbulkan bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam 
mengharamkannya. Dengan cara demikian, Islam mengharamkan sistem 
perbudakan secara bertahap, seperti proses pengharaman khamer. Jadi, 
keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha menghapus dan mengharamkan 
perbudakan.
Jika
 dikatakan kepada kita bahwa Islam membolehkan para tentaranya untuk 
memperbudak para tawanan perang, maka kita akan mengatakan bahwa Islam 
menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan terhadap perlakuan yang 
sama di mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslim sebagai 
budak-budak mereka ketika mereka menawannya. Oleh karena itu, secara 
alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai budak-budak. Jika 
Islam tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi Islam akan 
dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik untuk 
memperdaya Islam.
Demikianlah
 bahwa dakwah Islam mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan. 
Dan ketika orang-orang yang tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas 
penindasan yang mereka terima, maka Rasulullah saw memberitahu mereka 
dengan pembicaraan yang jelas bahwa para dai di jalan Allah SWT harus 
mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan darah mereka 
sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan 
bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan kepada 
kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh 
masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika
 ini dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat 
tertentu, maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan 
manusia secara keseluruhan.
Seorang
 Muslim hendaklah sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia 
pasti akan menerima pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan 
pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas yang harus dibayar ketika 
berdakwah di jalan Allah SWT; inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang 
kaum yang batil pun membayamya dengan senang hati, maka bagaimana 
mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada
 hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara naluri manusia 
merasa takut pada azab dan kematian. Dan barangkali yang membedakan 
orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya adalah bahwa mereka 
terbebas dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini adalah tolok ukur 
yang pasti untuk membedakan antara seorang Muslim yang hakiki dan 
seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan atau hanya klaim 
semata.
Seorang
 Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki 
adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya. 
Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk menyebarkan 
dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah
 SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas yang 
diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya 
dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam 
membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji 
orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat 
mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab
 bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau 
dari penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau 
menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya 
Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat 
orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan 
dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di mana tubuh mereka 
dipisah menjadi dua, namun mereka tetap mempertahankan agamanya. Demi 
Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian terlalu
 tergesa-gesa."
Dengan
 kalimat-kalimat yang penuh kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw
 ingin memahamkan kepada orang tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan
 iman adalah membayar harga kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak 
memberikan keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang
 pertama tidak bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari 
agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar untuk 
Islam?" Jawabannya adalah: "Segala sesuatu dimulai dari suapan-suapan 
roti sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang pertama telah 
membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar biasa 
untuk mempertahankan agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan 
yang tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang kepada mereka; 
mereka justru memberitahu orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat 
mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka 
lakukan, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum 
musyrik justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan 
menertawakan mereka.
Ketika
 Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang yang bersamanya melihat 
sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan mengatakan: "Telah datang
 kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok akan mengalahkan 
raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan bertepuk 
tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut. 
Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim.
 Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk 
menyatukan pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik
 menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang 
lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang 
lain lagi mereka menuduhnya bahwa beliau adalah penyair, bahkan pada 
kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah seorang yang gila. 
Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh bahwa beliau adalah seorang 
penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw
 sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara
 seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok 
yang mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah 
seorang penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia 
tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang 
diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan 
oleh manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika 
mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah
 jumlah kaum Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka 
mulai melihat bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu 
berhasil. Kemudian mereka memilih untuk menggunakan cara baru, yaitu 
bagaimana seandainya mereka menggunakan perdamaian dan perundingan. 
Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang lelaki yang 
terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah
 berkata kepada Rasul saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui 
kedudukanmu di sisi kami dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu 
dengan suatu hal yang besar di mana engkau memisahkan kelompok-kelompok 
mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin berbicara tentang 
beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima sebagiannya." Rasul saw 
berkata: "Silakan berbicara wahai 'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau 
menginginkan harta niscaya kami akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga
 engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami, dan jika 
engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan memberi kehormatan itu 
bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami akan 
menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang 
engkau tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan 
tabib bagimu dan kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau 
sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan
 nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan
 dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab yang 
dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
 mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, 
tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya);, maka mereka tidak (mau) 
mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang 
menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada 
sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; 
Sesungguhnya kami bekerja (pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah
 seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan 
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus 
menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadanya. Dan kecelakaan besarlah 
bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang 
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat.
 Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh 
mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 
'Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua
 masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian 
itulah Tuhan semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung
 yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya 
kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu 
sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju 
kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia 
berkata kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut 
perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami 
datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua 
masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi 
langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami 
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha 
Perhasa lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 
'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa 
kaum 'Ad dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah
 saw telah menjawab tawaran 'Utbah di mana beliau memilih untuk 
menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut dengan membaca sebagian dari
 surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah Al-Qur'an yang 
diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah bangkit dari 
tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika
 mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu 
dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " 
(QS. Fushilat: 13)
'Utbah
 berdiri dalam keadaan takut dan segera menuju kaum Quraisy. 
Bayang-bayang azab dunia terngiang di telinganya. Dan ketika ia sampai 
ke orang Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy membiarkan apa
 saja yang dilakukan Muhammad. Gagallah perundingan dengan seorang 
Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut
 sebagai bentuk pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan 
penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik 
semakin meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw 
sangat menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum
 Muslim membayar harga yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah
 yang mereka anut dan mereka dengan sabar memikul penderitaan di jalan 
Allah SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. 
Beliau memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian
 Dimulailah gelombang hijrah. Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya 
wahyu setelah dua tahun diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke 
Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan 
mereka menuju ke laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang yang tinggal
 di gurun sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka takut dari laut 
dan mereka yakin bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat 
di atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya,
 gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan 
puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan. Kemudian 
orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap 
berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka 
mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat 
mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang berhijrah. Mereka 
menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan 
mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen. Kemudian 
orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai 
bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal lalu ia 
mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka 
tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin 
menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi
 bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT 
dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada 
Maryam, wanita yang perawan yang suci." Kemudian Najasyi mengambil satu 
kayu kecil dari bumi dan mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang kalian
 katakan tidak lebih dari kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian 
akan aman." Najasyi mengembalikan hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: 
"Allah tidak mengambil suap dariku sehingga aku tidak mungkin 
mengambilnya dari kalian."
Demikianlah
 kaum muhajirin tinggal di negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang
 dipimpin oleh seorang laki-laki yang diberi kematangan berpikir di mana
 ia cenderung mengimani karakter al-Masih sebagai seorang manusia. Dan 
salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang 
berhijrah tersebut tidak mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun 
mereka justru merasakan kekuatan.
Allah
 SWT memperkuat dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam 
Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu 
mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari 
mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT berkehendak untuk 
memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah
 meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam 
karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang 
tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah
 seorang perempuan berkata kepada Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa
 yang diperoleh oleh anak dari saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin 
Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal telah mencelanya dan menyakitinya,
 sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan apa-apa." 
Mendengar pengaduan itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat Hamzah.
 Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia 
melihatnya sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya. Hamzah 
mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil 
berteriak: "Apakah engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di 
atas agamanya."
Demikianlah
 permulaan keislaman Hamzah. Hamzah adalah seorang yang mulia di mana 
perasaannya berkobar ketika ia melihat anak saudaranya disiksa dan 
dianiaya dan dia tidak mendapati seorang pun yang membelanya. Beginilah 
sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam
 dan yang paling menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah 
dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu 
rahmat yang mendorongnya untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti 
lelaki yang berdakwah di jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang 
lemah dan tidak mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan
 Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan sikap dan kekerasan 
perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan darinya ketika ia 
masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang mendapatkan siksaan 
ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir beserta istcrinya 
menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab menemuinya lalu 
ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan suaminya. Umar melihat 
wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat 
itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan 
pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel, wanita itu berkata: 
"Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah Allah SWT. Engkau 
telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah. Kami akan 
pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada kami." Umar 
berkata: "Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita
 itu melihat tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan 
ketika suaminya kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat 
berharap kepada keislaman Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak 
mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk Islam." Ia mengatkan 
demikian karena ia melihat betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun 
perasaan lembut wanita itu lebih kuat daripada pandangan pikiran lelaki 
itu dan keputusannya yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum
 lama mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam. Orang-orang muhajirin 
mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya. Dan barangkali Umar 
merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh Rasul saw. Dengan 
menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw. Kemudian ia bertemu 
dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu 
mereka bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab: 
"Aku hendak ke Muhammad aku akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab 
merasa tenteram." Dengan nada mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah 
engkau memulai dari keluargamu sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan
 nada jengkel, Umar berkata: "Apa yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki 
itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam, 
sedangkan engkau tidak mengetahuinya." Umar segera mencari saudara 
perempuannya dan suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca 
Al-Qur'an.
Ketika
 melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya: 
"Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari luar." Tetapi saudara 
perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut campur dan Umar
 pun tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit untuk membela suaminya 
lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur darinya. Darah itu 
justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar. Akhirnya, Umar 
mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. 
Umar pun membacanya. Belum lama Umar membacanya sehingga ia pergi 
menemui Rasul saw.
Tanpa
 ragu, Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang yang dibawanya itu 
menjadi pedang yang paling kuat yang dengannya ia mempertahankan agama 
Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu untuk menemui Rasul saw di mana
 saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari celah-celah pintu, sahabat 
Nabi melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan pedang. Kemudian 
sahabat itu kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang sangat 
mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah
 saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar. 
Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab 
dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia 
datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
 Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang
 Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka temui setelah keislaman Umar 
dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan orang-orang yang dihormati telah 
masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah 
secara rahasia dan dengan malu-malu, namun ketika Umar masuk Islam ia 
menampakkan keislamannya dan ia menantang orang yang mencegahnya untuk 
bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf.
 Mekah mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat 
mengubah jazirah Arab.
Rasa
 ketakutan mulai menghantui para pemuka Quraisy dan mereka menetapkan 
metode baru untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya 
menggunakan metode penghinaan dan pengejekan kini mulai mencoba untuk 
memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik 
mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka
 mengadakan pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya. 
Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya 
dengan berbagai macam patung yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan
 mereka kepada Allah. Pasal kesepakatan itu menetapkan, hendaklah 
penduduk Mekah tidak menjual barang apapun kepada kaum Muslim dan 
hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum Muslim. Dengan ketetapan yang
 kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh 
perekonomian mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman 
kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi 
oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun 
orang-orang beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia 
bersama orang-orang Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian
 Dimulailah blokade ekonomi terhadap kaum Muslim di mana tidak ada 
makanan dan minuman yang datang kepada mereka, sehingga penderitaan yang
 sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi. Ketika kafllah 
perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi menemui 
mereka di pasar untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab 
berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para pedagang, 
mahalkanlah dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga 
mereka tidak mampu membelinya dan aku menjamin kerugian yang kalian 
alami, bahkan aku akan membeli apa saja yang ingin mereka beli dari 
kalian.
Mendengar
 hal tersebut, para pedagang pun menjual barang dagangannya dengan harga
 yang tidak wajar, sehingga seorang Muslim kembali ke rumah keluarganya 
tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian padagang itu pergi ke Abu 
Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli barang yang ingin dibeli orang
 Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi sehingga kaum 
Muslim merasakan penderitaan yang sangat luar biasa di mana mereka dalam
 keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan ekonomi
 ini terjadi selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat 
sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk 
memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air 
kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia 
mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya 
dengan air sampai bersih lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama
 tiga tahun tersebut wahyu tetap turun kepada Rasul saw dan seakan-akan 
ia melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT ingin mendidik para 
pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala penderitaan.
Meskipun
 kaum Muslim mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun tersebut, 
tetapi aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam dan tidak pernah surut.
 Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu 
mereka berbicara kepada orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah 
SWT dan mereka meminta kepada para pengujung itu untuk mencari rahmat 
Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka 
telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan 
orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan
 kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai 
menyerang hati.
Kemudian
 Selesailah peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik
 melihat itu tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun 
kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap 
bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada 
Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada 
Nabi. Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar 
setelah tiga tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan 
barunya dan dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri
 tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita 
Abu Thalib.
Abu
 Thalib adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di 
tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti 
Nabi menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan "tembok 
perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah 
merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati 
yang sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah. 
Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, 
bagi Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik 
suami, sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah
 saw sangat sedih ketika kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh 
dalam kehidupannya itu, bahkan para sejarawan menamakan tahun tersebut 
dengan tahun kesedihan. Sebaliknya, orangorang musyrik justru bergembira
 dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka menganggap bahwa Rasul saw tidak
 lagi memiliki seorang tua yang mampu melindunginya dan tidak lagi 
memiliki seorang isteri yang dapat meringankan beban penderitaannya.
Setelah
 kematian dua orang tcrscbut, penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy 
kepada Nabi semakin meningkat dan orang-orang musyrik memilih waktu yang
 tepat untuk menyembelih binatang di Mekah lalu mereka membawa usus-usus
 atau jeroan dari unta dan mereka melemparkannya dan meletakkannya di 
atas punggung Nabi saat beliau sujud. Kemudian berita memilukan itu 
sampai kepada putri tercintanya, Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera 
datang dan berusaha membela ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di
 pundak ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah az-Zahra yang 
senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa
 sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai 
pada batas di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya. Namun 
beliau tetap bersabar dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu 
hari beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh 
kaum Tha'if. Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di sini aku 
mendapati hati-hati yang telah membeku dan telah berhubungan mesra 
dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali 
Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di sana masih 
terdapat hati yang akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat
 itu kaum musyrik memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin 
oleh Rasulullah saw sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat 
sampai pada batas di mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu 
langkah pun. Keadaan demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau 
ingin untuk melepaskan belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan
 untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh 
puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi 
dan pulang.
Kita
 tidak mengetahui pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak 
Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada 
Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana 
dengan membawa rahmat dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru membalas 
sikap baik Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka bersikap
 buruk kepada beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana 
selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang 
lain dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang
 lain. Tak seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak 
seorang pun yang mau mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang 
mau beriman kepada ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin 
menjadijadi dalam menyerang Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada
 hari yang terakhir yang mana beliau telah menetapkan untuk kembali ke 
Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan mengharap kepada masyarakat 
di sana agar merahasiakan kunjungannya kepada mereka sehingga pencelaan 
yang beliau terima di Mekah terhadap agama yang dibawanya tidak semakin 
menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if menolak permohonan yang terakhir 
ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu tetapi mereka melakukan 
perbuatan terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. 
Mereka menahan keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa 
untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan mereka untuk melempari 
Rasulullah saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan 
beliau mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan 
beliau merasakan kepedihan saat kakinya terkena lemparan batu itu 
sehingga darah suci mengucur dari kaki beliau.
Kemudian
 Rasulullah saw diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang 
dimiliki oleh dua orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau 
duduk di bawah naungan pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa 
kasihan melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu. Mereka 
membawa kepadanya setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu 
mereka adalah seorang Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan 
setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya 
kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah 
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, 
perkataan ini tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi 
berkata: "Anda dari daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang 
Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki 
saleh Yunus bin Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung 
lelaki itu. Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi 
aku pun seorang Nabi."
Mendengar
 jawaban Rasul saw, Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki 
Rasul saw lalu ia menciuminya sambil menangis. Akhirnya, pembantu 
Nasrani itu masuk Islam sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia 
adalah seorang yang menjadi Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke 
Tha'if. Inilah harga yang harus dibayar Rasulullah saw sclania dua 
minggu saat beliau berada di Tha'if, dan kemudian bcliau terkena cobaan 
dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat lemparan batu penghuni 
Tha'if.
Kemudian
 Rasulullah saw kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak 
oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan itu di 
Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan kesedihan yang mendalam 
melihat sikap kaumnya. Namun ketika kebencian semakin deras mengalir 
kepada beliau, hati beliau justru semakin bersemangat dan semakin 
dipenuhi dengan rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana 
tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang 
diri, tanpa penolong.
Pada
 saat demikian ini ketika manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu
 langit turut campur dan terjadilah peristiwa besar dan mukjizat 
terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang
 tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat
 dakwah ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata untuk 
memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya. 
Seakan-akan Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi
 tidak memujimu, maka penduduk langit mengenal kedudukanmu dan 
memberikan pujian yang layak kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu 
dan menolak keberadaanmu, maka sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan 
memuliakanmu.
Untuk
 melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj 
dalam sejarah para nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada 
tandingannya dibandingkan dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui 
bahwa di deretan para nabi ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT 
sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi 
Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di antara para nabi ada seseorang yang 
diajak bicara oleh Allah SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa. Kita 
juga melihat di antara para nabi ada yang didukung oleh Allah SWT dengan
 ruhul kudus, seperti Nabi Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita berada
 di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk 
menuju ke sisi-Nya.
Beliau
 naik bersama Jibril dengan jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril 
berdiri di suatu tempat dan Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari
 tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan
 sejarawan tidak dapat menulis apa yang terjadi saat itu. Kita telah 
melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya 
agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang 
yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan 
hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan 
hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun
 Allah SWT menjawab kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT 
atas manusia. Nabi Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan mampu 
menahan beban penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun
 Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada Tuhannya dan meminta 
kepadanya untuk diberi mukjizat atau kejadian yang luar biasa; ia tidak 
meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya dan ia tidak berusaha
 mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada Allah SWT termasuk 
bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami kedalamannya oleh 
para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk bentuk yang 
menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat 
permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala 
sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah
 saw berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka 
akibat perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka 
aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah
 tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan 
beliau merasa rendah diri sehingga beliau berkata, "jika Engkau tidak 
murka kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak menginginkan selain ridha 
Allah SWT dan yang beliau khawatirkan adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh
 adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang 
paling layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau 
sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah
 mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati 
kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang membangkitkan peranan akal dan
 hati secara bersama. Para nabi tanpa terkecuali didukung oleh bcrbagai 
macam mukjizat yang terjadi di muka bumi bahkan para nabi yang diangkat 
ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka pengangkatan mereka 
sebagai bentuk menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan atau 
penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk
 akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini
 adalah kali pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat 
utamanya di langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi 
yang diangkat ke langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih 
hidup. Di sana Allah SWT memperlihatkan kepadanya tanda-tanda 
kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke bumi di mana beliau akan 
mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh
 penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang pertama 
melewati planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan 
bintang-bintang. Kita menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau 
astronot pertama yang mampu menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu 
baru dapat ditembus oleh manusia setelah empat belas abad dari turunnya 
risalah Muhammad saw, namun sejak empat belas abad yang lalu Nabi Islam 
telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul 
Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau
 sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau 
menembus alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai 
di surga. Allah SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai 
pada batas terputusnya ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat 
ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat 
Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam. Peristiwa Isra' dan
 Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim. 
Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha
 Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari 
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya 
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) 
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS.
 al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan
 sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang 
asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada
 surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
 diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
 berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya. 
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya
 yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada
 malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan
 berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan pucat wajahnya dan kedua 
air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama seseorang pun; 
beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang musyrik 
memandang beliau dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan 
berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT 
menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul Amin yaitu malaikat Jibril agar 
menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha Kemudian 
membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat tanda-tanda kebesaran 
Tuhannya.
Di
 suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di 
Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam. 
Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di 
sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta. 
Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka 
kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril
 berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah 
SWT ingin agar engkau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya di 
alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar dari 
rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung 
dan mempunyai sayap seperti burung garuda; makhluk yang terbuat dari 
kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq. Kilat adalah listrik dan 
listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk yang tercepat yang kita 
kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja mencapai 186 ribu 
mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan luar 
angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita tidak akan bertanya 
bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa tanpa ada latihan 
sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan untuk pulang pergi;
 kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak heran
 dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya 
tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban dari semuanya: 
Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu Allah SWT 
mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para
 ulama beselisih pendapat tentang apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan
 ruh saja atau dengan ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat 
mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan 
itu berakibat pada perselisihan akal dan terjerumus dalam perangkap 
kaifa (bagaimana) dan bertanya tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha 
untuk menundukkan masalah ini terhadap sebab-sebab yang biasa atau 
hukum-hukum kita yang alami atau logika kemanusiaan. Allah Maha Suci dan
 Maha Tinggi dari semua itu. Apakah seseorang akan bertanya, bagaimana 
Rasulullah saw naik berserta ruh dan fisiknya ke puncak segala puncak di
 langit kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat
 apa yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat berubahnya air mani 
menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air 
yang menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau
 mukjizat cinta yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara
 itu, Buraq menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw 
menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari 
cahaya di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril 
mengisyaratkan agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. 
Jibril berkata di tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan 
Musa as. Kemudian Buraq kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun 
dari pesawat ini yang berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali 
lebih cepat darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi
 berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki 
masjid dan beliau mendapati semua nabi sedang menunggunya di sana. Allah
 SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari kematian dan mengumpulkan 
mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat memberinya suatu bejana yang di 
dalamnya terdapat susu dan bejana yang lain yang di dalamnya terdapat 
khamer. Lalu beliau memilih susu dan meminumnya. Dikatakan pada beliau, 
sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para
 nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu salat. Para nabi bertanya 
di antara sesama mereka, siapa di antara mereka yang menjadi imam salat,
 apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau Isa? Jibril berkata kepada 
Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk salat bersama
 para nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para nabi. Mereka 
semua adalah orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang Muslim 
yang pertama. Secara logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para 
nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab yang terbaik daripada 
kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau membacakan Al-Qur'an kepada 
mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan beliau saat 
membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para nabi sujud di
 belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun turut 
bersujud.
Selesailah
 waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke 
langit yang mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama 
Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya. 
Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau 
menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah
 hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh." Kemudian hamba Allah SWT 
Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit demi 
langit. Beliau melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat 
ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau
 semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan 
yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau
 melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama dan melampaui kedudukan
 Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan 
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Kemudian hamba Allah 
SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. 
Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat, kelima, keenam, dan 
ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan melampaui alam 
ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau sampai di 
tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul 
Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau 
menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan 
membayangkannya:
"(Muhammad
 melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang 
meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang 
dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh
 terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran
 yang misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal 
penting di sana meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita. 
Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh 
Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya; itu adalah tingkat 
cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya yang tidak 
mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian
 Tuhan pemilik surga dan neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih 
tinggi lagi." Hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat 
yang tinggi. Kali ini beliau melihat Jibril yang berada di belakangnya 
lalu beliau mendapatinya dalam keadaan bertasbih kepada Allah SWT. 
Jibril tidak berada dalam wujud manusia seperti yang Nabi saksikan 
ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke dalam wujud malaikatnya. 
Nabi melihat Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT yang 
Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan
 itu terjadi dengan hati dan mata serta panca indera yang dikenal dan 
yang tidak dikenal. Pemandangan itu benar-benar jelas. Di sana bukan 
mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran. Rasul saw melihat semua itu 
dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian
 Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. 
Beliau semakin naik ke tingkat yang makin tinggi sampai beliau berdiri 
di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi dan Penebar kasih sayang di 
dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling sempurna itu bersujud di 
hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil berkata: "Sungguh penghormatan dan 
keberkatan serta shalawat yang baik tertuju hanya kepada Allah SWT." 
Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah SWT 
serta berkat-Nya juga tercurah kepadamu." Para malaikat pun ketika 
mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada kita dan 
kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan
 tersebut merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan 
orang-orang Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari. 
Salat telah diwajibkan atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini. 
Hal populer di kalangan umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT 
mewajibkan atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi 
turun dari langit lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa 
bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada
 umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh 
kali salat. Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk 
melakukan salat itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah 
kepadanya agar Dia meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada 
Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. 
Setelah itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa 
memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga 
sampai diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. 
Namun salat yang lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima 
puluh kali.
Menurut
 hemat kami, kisah tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab 
ulama yang benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan 
rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka 
memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka 
menisbatkannya kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan 
Musa sebagai seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta
 keringanan atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang 
yang lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. 
Kami sendiri cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan 
bahwa pertemuan Nabi dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan 
kewibawaan yang luar biasa sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat
 berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi
 menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan 
dan tidak mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang
 tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja 
tidak mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan 
rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang 
diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi 
Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa 
beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami
 tidak mengetahui apa yang dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami 
bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya 
dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan hatinya telah hilang 
selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah penghormatan yang 
besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama Jibril untuk 
kembali ke bumi. Beliau kembali dan mendapati tempat tidurnya masih 
dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali sementara tempat tidumya 
belum dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya saat melakukan 
perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui. Yang kita 
ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah 
Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya 
dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta 
kepada Allah SWT.
Kemudian
 datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan perjalanan dan pengalaman 
tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan orang-orang Musyrik sehingga 
berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan mendustakan kepadanya 
orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau tidak peduli dengan semua 
itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh kesabaran.
Akhirnya,
 datanglah suatu masa di mana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di 
Mekah telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat 
tidak mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah saw bergerak dengan 
dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia berhijrah. 
Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas 
tahun beliau di Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin 
menghilangkan pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula-mula 
terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah
 saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada 
kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim. 
Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan
 jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa 
kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal dari kelompok Khazraj." Beliau 
berkata. "apakah kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka menjawab,
 "benar." Beliau berkata, "maukah kalian duduk bersama aku karena aku 
ingin sedikit berbicara dengan kalian." Mereka menjawab: "Boleh." 
Kemudian mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk 
mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah
 saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. 
Enam orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah 
beliau selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman 
kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka 
meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan 
kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan
 Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan 
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan 
akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam
 lelaki itu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah
 Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah 
SWT berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali
 ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak 
orang yang masuk Islam.
Kemudian
 datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki 
dari orang-orang yang beriman yang di antara mereka terdapat enam orang 
yang Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu 
dan Nabi saw menemui mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat 
pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah 
kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum
 lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya 
dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan 
Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia tentang agama mereka 
dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada 
manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai 
bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas?
 Mengapa Rasul saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi 
beliau justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan 
membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah,
 pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk 
Madinah Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan 
berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya dalam 
hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan 
Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang dialami kaum Muslim 
mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan
 tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang 
baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela beliau 
menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka 
datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan 
segala sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai 
pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab
 hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah 
al-Kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib
 datang bersama Nabi dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya. 
Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan 
berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang mengisyaratkan bahwa 
Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di 
negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung bersama kalian 
wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya,
 maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan
 mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata
 Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah 
keluarga namun penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas
 itu karena ia bukan termasuk dari agama mereka dan ia tidak mengetahui 
tingkat cinta kepada Rasul saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul 
Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu mereka berkata 
kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang engkau katakan, maka 
berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja 
yang engkau sukai."
Kita
 ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mukmin dari penduduk 
Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang dicari oleh 
Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah 
setelah Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak keluar 
pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya 
menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan
 Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa tidak memiliki 
apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca
 Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara 
tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga 
mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah 
al-Kubra.
Orang-orang
 yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka 
akan diajak untuk mengangkat senjata: mereka diajak untuk mendapatkan 
kematian di bawah naungan pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw 
bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam 
peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah
 seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. 
Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan 
Yahudi terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan 
memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka 
lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT 
menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada 
mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah
 bahwa pertanyaan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan 
keinginan agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan 
bulan. Masalah yang dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas 
adalah masalah perlindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut 
tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari penduduk 
Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah masalah perlindungan 
Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi
 tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justru menekankan 
bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan darah. Beliau berkata: 
"Tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari 
kalian dan kalian dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian 
perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai 
dengan mereka."
Akhirnya,
 penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita 
tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh 
musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan
 kaum Muslim.
Para
 preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan akan 
mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang
 dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu dengan besi lalu dibuang
 di penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan 
agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar 
mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga Quraisy 
seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi pedang yang
 terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika
 mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab 
terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan 
memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai 
tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan 
mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim 
menyingkap persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam 
firman-Nya:
"Dan
 (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu 
untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. 
Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu 
daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah
 SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai 
menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan 
tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya. 
Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang 
mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang 
mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi
 memita bantuan kepada orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian
 datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan
 Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidumya di malam tersebut. 
Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya.
 Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi 
menggenggam tanah lalu beliau melemparkannya ke arah kaum sehingga 
mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan 
mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan
 langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. 
Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi 
menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan 
tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama 
kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah 
Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah
 tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di
 Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke 
Madinah ia mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa 
tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang 
mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai 
membawa senjata dan mulai menyalakan obor peperangan. Islam mulai 
membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati.
 Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya 
untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin 
mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah 
dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai keadilan, 
kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum Allah 
SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah
 kedalaman hijrah yang mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah 
sebelumnya membangun individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw 
membangun masyarakat Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun 
suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami
 kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya pembangunan masjid 
ditingkatkan sementara Islam masih mengalami penindasan di muka bumi. 
Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang tidak mengetahui 
bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di Madinah bukan tempat 
peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari 
kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia
 mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah itu mereka mandi di 
kancah peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya adalah, siapakah di
 antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT sebelum saudaranya?
 Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di antara mereka. Dengan
 cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara
 itu, Nabi berlindung di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau 
masuk ke gua itu bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik 
pergi menyusul beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai 
ke gunung itu. Abu Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan 
gelisah, "seandainya salah seorang mereka melihat di bawah kakinya 
niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan
 tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: 
"Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat 
yang sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum 
Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai 
dari menenun rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan 
bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di 
gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki
 gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu 
terdapat tenunan laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya seseorang 
masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di atas 
pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah
 keimanan tenunan laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman 
pedang kaum musyrik sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, 
kedua orang itu menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika
 Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat 
tidak mengenal siapa di antara mereka yang menjadi Rasul karena saking 
baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota 
Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya serta 
memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan
 dan Baitul Haram disucikan.
Beliau
 menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang tidak akan pernah 
padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang dilewatinya di Madinah
 di mana beliau tidak menggunakannya untuk berleha-leha. Demikian juga 
selama masa tiga belas tahun yang beliau lalui di Mekah, beliau pun 
tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua kehidupan beliau hanya 
untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam. Beban berat yang dipikul oleh 
punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban yang dipikul oleh 
gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu memikul amanat
 yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung 
namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa 
mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun
 mampu memikul amanat itu dan melaksanakannya secara sempurna. Yaitu 
amanat untuk menyampaikan agama Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal 
manusia dari polusi khayalisme dan khurafatisme: amanat yang mewarnai 
kehidupan dengan hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian
 mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup: 
bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal 
beberapa memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya 
dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan 
bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa 
pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau. 
Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di
 hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta badai kesengsaraan. 
"Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang 
beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak sederhana namun ia mampu 
membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu banyak 
yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan kegelapan 
dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para 
penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik 
dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang 
Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi 
mengingat kembali Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa 
yang terjadi dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia 
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan mengusirnya?
Hari-hari
 hijrah sangat panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala 
dan rasa panas sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun 
semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau 
disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau datang 
sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut 
lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu 
mereka memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu 
mereka memberikan perlindungan.
Bangunan
 Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya 
setelah beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang 
pertama kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau 
baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem 
yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari 
sekadar tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok 
ukur final dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam 
telah berhasil menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang 
belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. 
Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang 
yang mengagumkan. Hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah 
membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti. 
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan 
batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma. Barangkali ketika 
turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena mendapat siraman 
air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia akan 
mencabut sebagian dari atapnya.
Di
 bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik generasi Islam 
yang tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang lalim dan para 
penguasa yang bejat dan mereka mampu mengembalikan kebenaran ke 
singgasananya yang terusir dan terampas. Mereka mampu menyebarkan Islam 
di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan sederhana sekali tetapi ia 
dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak menunjukkan kemewahan sama 
sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya 
menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah harian untuk 
menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an
 dibaca di masjid bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan 
merasa terpengaruh dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan 
masjid di dalam Islam bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut
 kaum Muslim semua burni adalah masjid namun masjid adalah simbol 
peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia 
menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua
 Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan 
ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan
 itu secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat saat itu 
mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan 
Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang kaya dari Madinah
 dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah 
dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa 
bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang banyak daripada kamu. 
Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan sebagiannya aku 
peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka lihatlah 
siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku menceraikannya 
lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf menjawab: 
"Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu. Di 
manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul
 Rahman bin 'Auf keluar menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan 
membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap 
baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah 
SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu
 hari demi hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk 
membekali dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah
 masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan identitasnya berdasarkan 
cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan 
suatu penderitaan untuk mendapatkan roti atau potongan daging 
sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi pekerjaan dalam 
Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang lebih 
tinggi:
"Dan
 katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta 
orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran
 bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan 
perkerjaan itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang 
melampaui nikmatnya memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah 
cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati 
dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan 
langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia 
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang
 Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta dan mencintai 
Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang yang berdamai 
dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka berbeda dengannya. 
Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara keseluruhan: ia mencintai
 anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan benda-benda mati pun 
mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar 
seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud terhadap 
alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang tinggi.
 Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang 
diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya 
di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa 
tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah
 cinta yang tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun 
tertuju kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak 
akan terwujud dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu 
undang-undang, tetapi cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan 
akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung 
kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud dengan 
kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah 
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang
 yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit 
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun 
beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang 
paling sederhana. Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya 
tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya memasak berbagai macam 
hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan yang sangat sederhana. 
Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur dengan minyak. 
Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum
 Muslim menyadari bahwa kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali 
ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta 
diri sendiri, cinta kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan, 
kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak ada hubungannya dengan 
Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat mencintai 
pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping 
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang 
berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan
 dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam 
tetapi ia merupakan tenunan dari sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah
 membebaskan kaum Muslim dari penyembahan selain dari-Nya. Dengan 
demikian, runtuhlah semua belenggu yang hinggap di atas akal, hati, dan 
masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam Islam—suatu kebebasan yang 
diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan akalnya dan mendebat 
segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa puas dengan 
sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam bukan 
kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi 
kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam
 ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat dalam Al-Qur'an atau 
sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang Muslim selain kebebasan untuk
 berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka pahami. Selain itu, 
seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad tetap terbuka 
sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan menutup 
pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian 
baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau 
menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari 
sisi akal dan hati.
"Adalah
 untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan 
senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang 
benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir." (QS. 
al-Anfal: 7)
Orang-orang
 Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan mereka serta situasi 
ekonomi yang memburuk, mereka ingin bertemu dengan pasukan yang tidak 
bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang kaya, bukan pasukan
 yang bersenjata; mereka membutuhkan harta untuk menyebarkan dakwah. 
Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan seperti itu agar 
mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu memutus 
tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah
 orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa 
mereka akan mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan banyak 
mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan 
yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir 
Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat menahan penderitaan 
dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam tidak 
membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi 
kepadanya.
Nabi
 mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya 
bahwa mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah 
sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan 
sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar
 bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus 
melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus
 dilakukan.
Kemudian
 Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian."
 Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw 
khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka 
yang berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang di 
Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu. 
Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak 
akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai di negeri kami. 
Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung jawab 
untuk melindungimu."
Mayoritas
 pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin 
mengetahui keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan. 
Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum 
Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata: "Demi Allah, 
seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah." Nabi menjawab, 
"benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar
 pernyataan kaum Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, 
bahkan beliau bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah
 mendidik mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal 
perjanjian namun ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya 
yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman 
kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang beliau 
katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad
 bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan 
dan kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, 
seandainya engkau membelah lautan lalu engkau menyelam di dalamnya 
niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada seseorang pun di 
antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan kaum 
Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting dan paling
 berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan
 kaum Anshar dan Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan
 perasaan Nabi Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau
 wahai Musa bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini 
hanya duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya 
Rasul saw memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan kaki
 di atas ombaknya niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun 
berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak seorang 
pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya,
 kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka 
membuat kemah-kemah yang di situ ditentukan tempat peristirahatan dan 
pergerakan tentara Islam. Tempat itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah 
SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan dalam memilih tempat 
sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim dalam kaidah 
umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan untuk 
mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman. 
Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya 
kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan 
tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita 
tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni kita tidak dapat 
memberikan pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik 
yakni itu terserah pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat perang 
dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah
 saw berkata: "Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu 
daya." Habab berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak 
tepat." Sahabat yang sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan
 Madinah dapat minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat 
mengambil darinya. Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat 
yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah
 pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati seribu tentara dan mereka
 akan berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan 
Quraisy berada di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan
 kafir terdiri dalam perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan 
pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan Muslim terdiri dari 
keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari pasukan kafir. 
Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan ayahnya, 
saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan 
peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka 
ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan 
kaidah utama adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika 
pasukan Muslim berpegang teguh di atas dasar Islam, maka pasukan kafir 
mulai terpecah belah namun keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu
 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah pasukan Mekah dan 
mengajak mereka untuk menarik kembali dari peperangan. 'Utbah memberikan
 pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat, "wahai orang-orang 
Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi Muhammad, maka kalian 
akan menyesal karena kita berhadapan dengan saudara-saudara kita 
sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita, atau salah 
seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat
 yang rasional tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian 
tentara merasa puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat 
bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru 
memadamkan kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang 
mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal 
lebih memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin
 pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah 
berbohong. Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif 
menyendiri dalam perang Badar bersama Abu Jahal sebelum terjadinya 
peperangan tersebut dan bertanya kepadanya, "wahai Abul Hakam, tidakkah 
engkau melihat bahwa Muhammad pernah berbohong? Abul Hakam menjawab: 
"Bagaimana mungkin ia berbohong atas Allah, sedangkan kami telah 
menamainya al-Amin (orang yang dapat dipercaya)." Peperangan tersebut 
bukan sebagai usaha untuk mendustakan Rasul saw tetapi itu hanya 
semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan sesaat dan keadaan 
ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai yang paling 
rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang, 
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di 
bumi dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian
 datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang 
mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik. 
Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan 
tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang
 Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang 
musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat 
serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil, 
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
 dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno 
pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak 
sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih 
melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah, 
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah 
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas
 kaki, maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah 
orang-orang yang tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian
 rasa kantuk menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di
 tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah
 sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh 
tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan 
hati dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
 ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram 
dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu 
dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan
 untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." 
(QS. al-Anfal: 11)
Datanglah
 waktu pagi di Badar lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi 
memerintahkan pasukan Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda: 
"Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan 
janganlah kalian menyerang mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah
 ketetapan militer yang sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim 
membentengi mereka di tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik 
mendapatkan kerugian dari serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui 
dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang menyerang memerlukan tiga 
atau tiga kali lipat dari jumlah yang biasa dilakukan sehingga 
serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa jumlah pasukan 
musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum musyrik
 dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, 
dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. 
Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan
 tiap tiga orang Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan
 saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan 
tampak menyertai bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan 
bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap. 
Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak 
kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang persoalan yang 
dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan: 
kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu 
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang 
tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh 
dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara
 itu debu-debu berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan 
kaum Muslim mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika 
dua pasukan saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu 
Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit
 dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang 
kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada 
Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, 
wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, 
maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, 
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, 
kita dapat memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya 
dimenangkan.
Pemimpin
 pasukan tertinggi Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah
 SWT dan saat ini kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang 
dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran 
Nabi saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada hal yang akan 
datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT di muka
 bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan 
disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi
 tidak terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
 mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau 
khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka 
bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan 
mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal 
itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
 ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu 
diperkenankankan-Nya bagimu: 'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala 
bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.' 
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai 
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan
 itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
 Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah
 itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan 
berita gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu 
bantuan dari Allah SWT."
Turunnya
 para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita 
gembira kepada mereka. Mukjizat itu bukan terletak pada penyertaan para 
malaikat dalam peperangan, namun melalui nas-nas ditegaskan bahwa 
peranan malaikat tidak lebih dari sekadar membawa berita gembira dan 
memberikan dukungan moril serta memenuhi hati dengan ketenangan. Kami 
kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat menyaksikan 
manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah
 Allah SWT mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh 
karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan 
kebenaran akan tertancap pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir 
pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah),
 ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku 
bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah 
beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati 
orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah 
tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
 sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa 
menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras 
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka 
rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada
 (lagi) azab neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu
 orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah peperangan itu, 
terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan dari mereka dan 
sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh kebencian dan 
kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal, pemimpin 
pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah
 saw berdiri di depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: 
"Wahai Utbah bin Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin 
Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang 
dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan 
apa yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang Muslim berkata: "Ya 
Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah mati?" Rasulullah 
berkata: "Kalian tidak mengetahui apa yang aku katakan kepada mereka, 
tetapi mereka tidak mampu menjawab perkataanku." Rasulullah saw tinggal 
tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau 
terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum
 Muslim sangat menanggung beban berat dengan banyaknya tawanan perang. 
Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah dengan sahabat Abu Bakar dan 
Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka adalah keturunan dari 
saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat lebih baik engkau 
mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang engkau ambil 
tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir, dan 
mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka 
menjadi tulang punggung kita."
Kemudian
 Rasulullah saw menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, 
"bagaimana pendapatmu wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi 
Allah, aku tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi 
aku berpendapat, seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang
 kerabatku, maka aku akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu 
bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan memukul lehernya begitu 
Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita 
kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan
 Madinah dan pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat 
hubungan kekerabatan, namun kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya 
peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang tuanya. Umar 
menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut sehingga orang-orang 
musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah
 urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat 
senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di 
dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian 
besar mereka cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti 
pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar 
yang benar.
Ini
 adalah peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum 
Muslim harus meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang
 kafir harus dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam 
telah memilih darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam 
Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya 
menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki 
mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang menyebabkan 
Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian Rasulullah saw 
membaca Al-Qur'an:
"Tidak
 patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan 
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan 
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa 
lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah 
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena 
tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua
 ayat itu mengatakan bahwa ini bukan saatnya melindungi para tawanan dan
 berusaha untuk menebus mereka. Waktu Demikian belum saatnya. Nabi tidak
 berhak memiliki tawanan kecuali jika ia telah melakukan banyak 
peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh dan dakwahnya 
telah mapan.
Kedua
 ayat tersebut menyingkap tujuan di balik penebusan tawanan: "Kamu 
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) 
akhirat (untukmu)."
Demikianlah
 pemikiran yang mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu 
adalah pemikiran yang bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan 
dalam istilah modern dan bukan pemikiran yang bersifat strategis. 
Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan biasa tetapi menurut 
istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, 
nyawa mereka harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap, meskipun 
mereka memiliki kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam 
tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan, 
sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan 
oleh Islam.
Nas
 Al-Qur'an memperingatkan orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka
 bisa berakibat pada datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi 
Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya 
tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu 
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil."
Siksaan
 tersebut memang lebih dekat daripada pohon yang dekat ini, kemudian 
Allah SWT mengampuni mereka dan Allah SWT mengampuni sahabat-sahabat 
yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu maupun dosa mereka yang
 akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum Muslim agar 
mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat berperang. 
Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya ditujukan 
kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari 
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi 
mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat 
pada kekalahan mereka.
Dalam
 peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum 
Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin orang-orang munafik Abdullah 
bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim diletakkan di gunung 
dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk memenangkan 
pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung 
untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi mereka dari 
serangan dari arah belakang. Rasulullah saw memberi pengertian kepada 
pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya baik kaum Muslim menang
 maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh turun dari gunung
 dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata
 kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung kami. Jika kalian melihat
 kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah turun darinya dan tidak 
usah menolong kami, dan jika kalian melihat kami memperoleh kemenangan 
dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut serta bersama kami."
Setelah
 membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw kembali ke pasukan yang 
lain, lalu beliau membikin suatu rencana untuk menyerang. Dan Dimulailah
 peperangan kemudian pasukan Islam mendorong pasukan musyrik laksana 
angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum musyrik. Pada 
tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil 
menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun
 mereka unggul secara bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan 
persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan 
ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur mereka hingga 
mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan peperangan atau
 dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu
 peperangan mulai berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan 
pasukan Mekah. Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah 
saw di suatu tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah. 
Pasukan Mekah telah kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan 
Muslim, maka bagaimana seandainya para pemanah turun dari tempat mereka 
untuk mengumpulkan harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah 
mengingatkan mereka agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang
 terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan menentang 
perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah 
selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan
 pemanah mengira bahwa Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan
 melindungi mereka sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan
 ganimah. Sungguh keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan. 
Belum lama hal tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang 
drastis pada peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam 
peperangan Uhud yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh 
Muslim adalah orang yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu ia 
melihat pasukan pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah 
yang terbuka di tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan
 kudanya dan disertai pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang 
kaum Muslim dari belakang. Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat 
cepat dan sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil kesempatan 
emas. Mereka yang tadinya lari, kini mereka menarik diri dan justru 
menyerang kembali.
Pasukan
 Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang 
dan yang lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari 
pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai
 syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang 
Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau yang
 mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian
 tersebarlah isu bahwa Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar 
itu, kaum Muslim sangat terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim 
pun terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang
 lain ke atas gunung dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia. 
Ketika mendengar kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya: 
"Bangkitlah kalian dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian 
lakukan setelah kalian hidup sesudahnya."
Pasukan
 Muslim tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum 
musyrik semakin berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian 
terjadilah kejadian yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw
 berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha 
membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka 
baginya surga."
Mendengar
 perkataan itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi 
beliau sehingga banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan 
sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya
 dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai 
kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian 
berubahlah keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan 
oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk 
menarik diri. Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit 
penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah
 peperangan yang dahsyat itu, kaum musyrik menarik diri setelah mereka 
berhasil membunuh beberapa orang Muslim, bahkan mereka berhasil melukai 
pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw. Semua itu terjadi karena satu 
kesalahan yaitu kesalahan terletak pada penentangan dan pembangkangan 
para pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan usaha mereka untuk 
meninggalkan tempat mereka.
Ketika
 sebagian kelompok dari sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan 
sikap ikhlas dalam hati mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar 
oleh tentara yang paling berani dan mulia di antara mereka yaitu sang 
Nabi saw. Langit tidak ikut campur untuk menyelamatkan pasukan Islam 
itu. Kesalahan kaum Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di mana 
wajah beliau pun terluka bahkan keluar darah yang cukup deras dari luka 
beliau sehingga setiap kali dituangkan air di atas luka itu, maka darah 
pun semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti kecuali setelah 
dibakarkan potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka
 beliau bukan hanya bersifat materi tetapi luka spiritual beliau dan 
ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini beliau rasakan ketika mendengar
 bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan tidak cukup dengan itu, 
bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya dan mengeluarkan 
jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu semakin 
menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum
 Quraisy menguasi pasukan Muslim dan mereka memberlakukan dan menekan 
kaum Muslim secara aniaya. Seandainya bukan karena rahmat Allah SWT 
niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang telak. Kemudian 
turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim 
agar mereka benar-benar ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan 
mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di antara mereka yang 
menginginkan dunia meskipun di antara mereka ada sebagian yang 
menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk 
memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang diinginkan oleh pasukan 
Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua pasukan tertuju untuk 
mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat. Jika demikian 
halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di
 antaramu ada orang yang menghendahi dunia dan di antara kamu ada 
orangyang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari 
mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. 
Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang 
beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah
 SWT memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban
 mereka dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya 
tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah
 sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka 
beliau berkata dalam keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang akan 
tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian
 Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk 
mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal 
mereka di mana mereka terbunuh. Saat itu keluarga mereka telah 
membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan kedua orang 
laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau 
bertanya siapa di antara keduanya yang paling banyak mengambil manfaat 
dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah satunya, maka beliau akan
 mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah
 saw juga memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan 
beliau pun tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah 
SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat 
lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT
 kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana
 Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya 
seperti minyak misik."
Bukanlah
 penderitaan yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti 
kaum Muslim dari peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan 
mereka dari perintah Rasul saw dan ketidaktaatan mereka kepadanya, 
tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran yang lain yang dapat 
dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran kesetiaan 
adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim 
berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum 
Muslim berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi 
karena satu dan lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan 
meninggalkan beliau. Tidak seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas 
atau central tetapi yang menjadi central dari semuanya adalah pemikiran 
beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah
 bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya
 ketika tersebar isu terbunuhnya Nabi saw. Islam tidak akan mencapai 
puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di sisi Rasulullah saw saat 
beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh atau mati, maka mereka 
murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi diri 
mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang mengikuti 
prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang 
pemimpin manusia dan Imam para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai 
makhluk Allah SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan 
bahwa seorang Muslim diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika 
Rasul saw wahfat atau terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul 
senjatanya dan tidak membuang dari tangannya kecuali dalam dua keadaan: 
pertama ketika ia telah memperoleh kemenangan dan kedua ketika ia telah 
mati.
Nas
 Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang hubungan kaum Muslim dengan 
akidah Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad
 itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
 beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik 
ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia 
tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah 
akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran:
 144)
Demikianlah
 bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap 
kaum Muslim, utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di 
perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling banyak 
imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama; 
mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus 
berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka 
menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan 
sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan 
Allah SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam 
penderitaan, dan ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan 
Islam telah terkepung di mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka 
justru mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang menenggelamkan 
orang-orang kafir dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan 
mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan
 Uhud bukanlah pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan 
bukanlah merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan 
di antara cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk 
menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan membimbing 
hamba-hamba-Nya. Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud 
bukanlah pengorbanan yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang 
terakhir. Rasulullah saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di
 mana beliau telah memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah;
 beliau tidak memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan 
waktunya dengan sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua 
kehidupan beliau diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau 
menjalani berbagai macam peperangan dan beliau memikul berbagai macam 
penderitaan dan belum lama beliau lari dari suatu problem kecuali beliau
 berhadapan dengan problem yang baru dan lain; belum lama beliau 
menyelesaikan suatu krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain. 
Demikianlah kehidupan sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan 
kontribusi dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan
 Anda mengamati kehidupan sang Rasul saw dari sudut manapun yang Anda 
inginkan niscaya Anda tidak akan menemukan sudut dari sudut-suduut 
kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi dengan pergulatan yang 
hebat.
Rasulullah
 saw telah melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran 
yang silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan 
politiknya yang terwujud dalam perundingan-perundingan dan surat-surat 
yang beliau kirimkan kepada penguasa dan para raja di berbagai negara 
agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam 
masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong 
dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam setiap waktu. Kalau 
kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT, 
maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT. 
Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya 
berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap 
kurang ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi 
orang-orang munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai 
menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian
 datanglah utusan dari kabilah Arab kepada Rasul saw dan mereka 
mengatakan kepada beliau bahwa mereka mendengar tentang Islam dan mereka
 ingin memeluknya, maka hendaklah beliau mengutus kepada mereka beberapa
 dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang dasar-dasar agama. Nabi 
saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai yang dipimpin oleh 
'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat atas para 
sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga 
di antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah 
berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy yang telah 
lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh 
tiga tawanan kaum Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar 
dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika
 datang kepada Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim 
utusan dari kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah
 kaum Najd, maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara 
kepentingan menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap kehormatan 
manusia. Lalu beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau 
menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya dalam bahaya; beliau 
memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu keadaan yang 
misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya 
tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu 
meliputi dakwah Islam.
Ketika
 Nabi saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang 
bakal diutusnya di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau 
untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan 
melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh 
orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah 
SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para 
sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu 
orang-orang yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka 
adalah para dai yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari 
mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan
 salat. Ketika datang perintah Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi 
dan berdakwah mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena mereka 
diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan kaki 
dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para penghianat sehingga 
mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka 
mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin 
orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu
 menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau mengharapkan agar
 masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan adanya 
pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia 
tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian
 pemimpin orang-orang kafir itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para
 kabilah untuk memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga 
sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur 
di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi makanan dari burung nasar 
dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu 
hanya seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan
 apa yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati.
 Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan 
sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada 
sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan 
mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami,
 berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja 
yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh
 penderitaan yang dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa
 para sahabat yang gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw 
sangat sedih mendengar sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir 
terhadap Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai
 pada batas ini. Kemudian beliau menetapkan akan kembali mengangkat 
kewibawaan Islam dengan tindak kekerasan.
Dalam
 keadaan seperti ini, bergeraklah orang-orang Yahudi untuk membunuh 
Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi ke Bani Nadhir untuk 
menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka menampakkan 
persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi di 
bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka bersekongkol untuk 
melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu yang berat 
dari atas benteng itu saat beliau duduk dan tidak membayangkan akan 
terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya. Namun Allah SWT 
mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau 
bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu beliau segera pergi 
menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali ke rumahnya dengan 
membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan pengkhianatan tersebut 
tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam menunjukkan taringnya. 
Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara mengangkat senjata.
Rasul
 saw mengutus utusan ke Bani Nadhir dan memerintahkan mereka untuk 
keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw memberi waktu kepada mereka hanya 
sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik yang ada di Madinah bersatu 
bersama orang-orang Yahudi dan mereka sepakat untuk memerangi Islam. 
Namun ketika berhadapan dengan Islam, orang-orang Yahudi menelan 
kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran 
orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah 
kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar bersama sahabatnya 
untuk membalas kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal 
dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam. 
Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu membuat para pengkhianat dari 
orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar mendengar nama pasukan Muslim,
 maka serigala-serigala gurun yang dulu bengis itu pun ketakutan laksana
 tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di bawah lobang-lobang gunung. 
Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan pasukan Islam. Pasukan Quraisy 
menarik diri saat mereka mendekati Dahran, sementara pasukan Muslim 
berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan yang disepakati di Uhud. 
Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari sebagai bentuk 
tantangan dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika mereka 
(kaum kafir) telah pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah 
mereka menerima kepahitan dalam peperangan Uhud.
Kaum
 Muslim menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan
 mereka di selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam
 merampok di tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ, 
bahkan kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk 
menyerbu Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu 
orang Muslim yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di 
waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat 
yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka 
menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan 
kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita
 akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw
 sangat unggul sebagaimana alat pertahanan beliau pun sangat unggul. 
Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan Rasulullah saw menunjukkan
 bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar biasa. Sistem pertahanan 
yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang secara tiba-tiba itu
 menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah,
 terjadilah hari-hari pertempuran militer. Belum lama Nabi saw 
meletakkan baju besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum 
Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali
 berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di sekelilingnya 
melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi kemampuan 
kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk 
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf
 dengan cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan 
Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah 
peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang 
cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di 
antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana salah seorang 
mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak: 
"Wahai kaum Anshar."
Peristiwa
 yang sangat sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu 
Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang Anshar 
untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka 
jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam, 
Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh mereka telah 
menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah 
kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir 
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid
 bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik itu kepada Nabi saw, di mana 
kalimat itu berisi provokasi terhadap orang-orang Anshar untuk menyerang
 kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar mereka berpecah belah dan agar 
kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera datang kepada Rasul saw 
dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim secara lahiriah 
membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh Zaid bin 
Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi 
dari Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu 
beliau mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat 
yang tidak biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat 
di hari itu sampai waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka 
memasuki waktu pagi. Kepergian yang singkat dan tiba-tiba itu mampu 
menepis kebohongan yang dirancang oleh si Munafik, Abdullah bin Ubai. 
Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar persatuan kaum Muslim 
ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah rumah sang Nabi
 saw.
Ketika
 Nabi masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi yang mencoba 
melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai penipuan dan, makar. Dan 
salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah istri beliau, yaitu 
Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk memenuhi hajatnya 
lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi hajatnya, 
anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui. Ketika
 Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia 
kembali mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu 
orang-orang yang membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah 
berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena memang berat 
badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan
 Nabi berjalan dan membawa tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di 
dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati pasukan di mana mereka 
telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan yang begitu 
cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang gurun. 
Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya di mana di situlah 
untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil berkata dalam
 dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena itu 
mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara
 itu, Sofwan bin Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan 
keperluannya. Ia berjalan dari arah yang jauh lalu ia melihat bayangan 
orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia 
mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah 
sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri 
Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah 
SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak 
menjawab.
Sofwan
 mundur dan mendekatkan untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda 
menaikinya." Aisyah pun menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan
 mencari pasukan yang telah meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi
 sedang beristirahat. Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih berada 
dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada 
mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh
 munafik Abdullah bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia 
membuat kisah bohong yang terkesan menuduh istri Nabi melakukan 
pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa sahabat yang 
dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung 
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di 
antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika 
tersebar kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah
 pemimpin munafik itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali 
kebohongannya, di antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita
 yang dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab 
binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan 
kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang
 terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka 
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara 
itu, Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut. Isu 
tersebut bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan 
RasuhiHah saw dan itu termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan 
ajaran yang dibawanya. Begitu juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum 
Muslim tidak konsekuen dengan akidah yang mereka yakini dan secara tidak
 langsung ia juga menyerang kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan
 kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun ia tidak mengetahui 
isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian Rasulullah saw 
mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan ibunya pun 
mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang memberitahu 
Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di 
hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi 
menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah sakit. Ketika 
beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata: 
"Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata 
itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah. 
Pada suatu hari ia berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan 
aku, niscaya aku akan pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu 
tidak ada masalah."
Aisyah
 pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama sekali apa 
yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh 
malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal 
yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah menceritakan 
bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah SWT 
membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami
 adalah kaum Arab di mana kami tidak mengambil di rumah kami tanggung 
jawab ini yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam. Kami membencinya. 
Kami keluar untuk menikmati keluasan kota. Sementara itu para wanita 
keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka. Pada suatu malam, 
aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian keperluanku. 
Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita wahai putri 
Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia memberitahukan 
padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku 
berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini 
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu 
memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis 
sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan 
aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak 
orang berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan sedikit pun 
kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali 
wanita yang baik yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia memiliki
 istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh 
berbagai isu."
Aisyah
 berkata: "Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada 
mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau memuji Allah SWT 
kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum lelaki yang 
menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka mengatakan sesuatu yang 
tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka kecuali dalam 
kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang aku 
tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
 rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian
 Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan 
bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya melontarkan pujian dan 
berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu kecuali dalam 
kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan," sedangkan Ali 
berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat kau 
percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya 
kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil
 berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata: 
"Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah 
mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti 
lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan 
datanglah kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah
 berkata: "Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku 
bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku 
menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu 
memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu telah 
mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka 
bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan keburukan 
seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada Allah 
SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya."
 Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang 
dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali
 tidak seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku
 untuk mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah 
berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak 
layak diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku
 hanya berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan 
kepadaku itu sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah
 berkata: "Ketika aku tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku 
berkata kepada mereka tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan 
Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi Allah kami tidak mengetahui apa 
yang harus kami jawab." Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu.
 Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat dari wajahnya sambil 
berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah
 menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku 
berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian beliau keluar menemui 
para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya
 orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu 
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. 
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang 
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang 
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya azab yang 
besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril
 turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala
 tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dan gagallah peperangan psikologis 
menentang kaum Muslim dan rumah tangga Rasulullah saw, dan 
kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus menggunakan cara 
baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw kembali 
memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq 
termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw. 
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan 
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh 
Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi
 berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan 
berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan hanya layak 
ditujukan kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik 
daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik
 kaum Yahudi berhasil menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan 
mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim. Kemudian mereka akan 
menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu tentara. Akhirnya,
 berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika mendengar 
orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang 
menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi 
saw mengetahui bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang 
Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan hari telah menjauhkan 
antara mereka dan sumber yang jernih yang dipancarkan oleh Musa. 
Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang kulitnya bergambar tauhid 
namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan yang lebih penting dari itu
 adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan kaum musyrik.
Nabi
 saw menyadari bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang
 besar. Pertempuran secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi 
Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara mempertahankan Madinah 
tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya berubah di mana 
sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta menyerang 
kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk 
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti 
perbedaan ancaman itu.
Kemudian
 beliau mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau 
ingin mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan 
Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali suatu 
parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti 
bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu 
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim 
dapat mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu 
terkesan agak mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui 
usulan Salman itu. Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan, 
beliau mengetahui bahwa situasi cukup genting dan karenanya ia menuntut 
usaha keras untuk dapat melaluinya. Nabi saw memerintahkan para sahabat 
untuk menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan 
saat itu musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum 
Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun 
demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw 
terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum
 Muslim dengan semangat yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian 
parit itu meskipun kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan
 karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi. 
Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan
 tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu 
itu, mereka berkata: 'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada 
kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah 
menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan
 Quraisy mulai mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi 
jazirah cinta di tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai 
menghantam jazirah dan berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian 
bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang
 cukup banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di sekeliling parit 
dalam keadaan bingung: apa gerangan yang telah dilakukan pasukan Islam, 
bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda
 musuh berusaha melalui parit itu namun pasukan Muslim segera 
menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus berlangsung. Pada 
hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh mengepung 
Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus 
dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam.
 Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak 
mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki Madinah atau tidak, 
dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah
 SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu)
 ketiha mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha 
tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke 
tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam 
persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan 
hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan
 semakin buruk di mana orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka 
dengan kaum Muslim dan mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah 
Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan mereka lupa terhadap 
pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap mereka. 
Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum
 Muslim benar-benar mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka 
benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim 
bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka katakan?" Rasulullah 
saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka 
dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa
 tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan kewajiban
 mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan. 
Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang 
Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia 
mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan 
orang yang berdoa.
Akhirnya,
 kaum Muslim benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian 
perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami. 
Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya telah kalah di mana 
mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak 
memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun 
tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap 
begini selama tiga tahun.
Kemudian
 datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum pernah melihat malam 
segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan saking kerasnya angin 
sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking gelapnya malam 
itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang mampu melihat 
jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking dinginnya 
cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau tidak
 mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw 
bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah." Nabi 
saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di tempatnya 
karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena saking 
dinginnya dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada 
Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang 
menyerang kita."
Hudaifah
 sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia 
tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat 
berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat pasukan musuh dan 
menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada Nabi saw dengan 
membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya ketika 
Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan 
kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan 
kegelapan malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan 
menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk
 tidak melakukan tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali.
 Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka 
berusaha menyalakan api namun angin segera mematikannya sebelum menyala 
dan di dekat api itu terdapat seorang lelaki yang berdiri sambil 
mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud untuk menghangatkannya. 
Lelaki itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat
 itu, Hudaifah segera memasang anak panah pada busur yang dibawanya dan 
ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil membunuhnya, maka kaum 
Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia ingat pesan Rasulullah 
saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun. Kemudian ia 
kembali meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu
 Sofyan berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak 
menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan 
pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu mendudukinya dan 
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah
 kembali menemui Rasulullah saw dengan membawa berita mundumya pasukan 
Ahzab dan gagalnya serangan mereka. Ketika mendengar peristiwa penarikan
 mundur pasukan musuh, Rasulullah saw berkata: "Sekarang kita akan 
menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita." Belum lama 
pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan tangan hampa sehingga beliau 
keluar dari Madinah bersama pasukannya menuju ke kaum Yahudi Bani 
Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian mereka 
bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena 
itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi
 saw memerintahkan agar para sahabat tidak melaksanakan salat Ashar 
kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami bahwa perintah tersebut 
berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi sebelum matahari 
tenggelam.
Orang-orang
 Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin 
Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus 
dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi Quraizhah di masa 
jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat memanfaatkan hubungan
 yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus membayangkan bahwa tokoh 
mereka akan memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu mereka. Sa'ad 
ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di kemahnya karena terkcna 
panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik 
terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang 
Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka. Kemudian 
Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi 
Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli 
dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh 
dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi 
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: 
"Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah 
SWT dari tujuh langit."
Sa'ad
 mengetahui bahwa perantaraan, permohonan, harapan, dan menjaga berbagai
 pertimbangan lazim selayaknya berada di suatu genggaman, dan masa depan
 Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi Bani Quraizhah adalah 
penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka dan berbagai 
tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan menghancurkannya. 
Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut pohon-pohon 
beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah
 kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan 
pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang 
beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk 
melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama 
seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul 
Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah 
pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia 
tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh 
unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh
 Zat yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang 
Quraisy membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung 
tali silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi
 saw memerintahkan para sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum 
Muslim beristirahat di sana dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah 
di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah 
menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya. 
Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka 
mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka 
bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan 
urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan
 kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan 
perjanjian bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan 
sampai kaum Muslim memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah 
mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah
 juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan 
ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan 
perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui 
semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut
 tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik 
kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah 
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan 
seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal 
ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan 
beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut kepada 
mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa berita persetujuan 
dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun 
membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para
 sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada
 beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? 
Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan 
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab kembali bertanya: 
"Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama kita?" Umar ingin 
mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini, "mengapa kita harus 
mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa kita menerima 
syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik? Apakah 
kita takut terhadap mereka?"
Mendengar
 berbagai protes yang disampaikan para sahabatnya, Rasul saw justru 
menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di mana beliau berkata: "Aku 
adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku tidak mungkin menentang 
perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan aku." Makna dari 
kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku lakukan tanpa perlu 
memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan
 hari menetapkan bahwa perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di 
tengah-tengah sahabat itu justru membawa kemenangan politik paling 
gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam. Kemenangan tersebut 
diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw yang 
mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah 
memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat 
mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi 
saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh 
kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian 
tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah 
berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang 
spektakuler.
Suhail
 bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib 
adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah 
saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih 
lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini. 
Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada 
Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu 
tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok 
antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
 Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi
 saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan antara Muhammad saw 
utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu dengan nada menentang 
Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi bahwa engkau adalah 
utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu, tetapi tulislah namamu 
dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada Ali tulislah: "Inilah kesepakatan 
antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr."
Tampaknya
 itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas 
tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu 
tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil,
 semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa
 Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk 
menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah 
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun 
jika terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam 
lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum 
Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang 
yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi 
orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat
 tersebut sangat menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang 
Quraisy memaksakan kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak
 adil itu. Ali melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari 
Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun depan 
orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk 
melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus 
meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan 
terkesan membingungkan.
Di
 tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah
 penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding 
Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan 
ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera 
bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada 
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan 
kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum 
Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw 
berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam
 menanggung penderitaan karena Allah SWT akan menjadikannya dan 
orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan. Nabi 
memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum
 Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian 
mereka.
Akhirnya,
 anak Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian 
Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak
 kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw 
memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan 
mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke 
Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu
 beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim
 yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
 unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau 
tidak berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa
 Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari 
umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong 
rambut mereka.
Perjalanan
 hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang 
dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan 
kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak 
mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap sebagai 
pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam, maka
 ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka 
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan 
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat
 aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan
 aktivitas di mana mereka berhasil menarik orang-orang yang masih 
memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa 
penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin bertambah 
lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul 
saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus 
Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah 
beliau disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah 
terjadi setelah dua tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah 
kaum Muslim yang luar biasa ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw 
dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar sebagai pemenang dalam 
pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya merugikan kaum 
Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum 
Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, 
maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan 
Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan 
pergi ke kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum 
Quraisy di mana ia tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak 
Islam atau ia dapat lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok 
yang bertikai dan ia dapat hidup laksana duri di tengah-tengah kaum 
Quraisy.
Belum
 lama waktu berjalan sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada 
Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang 
masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju
 kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang 
telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. 
Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah
 Nabi saw terus menjalani mata rantai pergulatan yang tiada 
henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang pribadi sekali pun tidak 
sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan orang istri. 
Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan 
pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab 
dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk
 menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu 
menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya 
puas dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat 
adil.
Kaum
 orentalis dan musuh-musuh Islam mencoba untuk menghina Nabi dan 
memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka manfaatkan adalah 
perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui bahwa 
pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau 
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
 sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah 
saat beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat 
puluh tahun. Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain
 sampai Khadijah mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah 
meninggal, Nabi berusia di atas lima puluh tahun. Beliau menikahi 
Khadijah sebelum beliau diutus untuk menyebarkan Islam. Beliau tetap 
setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan beliau diangkat menjadi 
Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih sayangnya kepada 
manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT semua itu 
memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai 
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu 
masih belia merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah
 dari Aisyah dan perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit 
kurang cantik merupakan usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, 
ayahnya. Beliau juga menikah dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin 
pasukannya yang mati syahid di jalan Allah SWT dan wanita itu merasakan 
penderitaan bersama beliau saat hijrah di Habasyah dan hijrah ke 
Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian menghadapi berbagai 
persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di rumah 
kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan 
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta 
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan 
beliau dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di 
mana perintah pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan 
suatu tradisi yang terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. 
Zainab termasuk kerabat Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani 
Hasyim. Ia merasa bangga dengan nasab yang dimilikinya yang karenanya ia
 menolak ketika ditawari untuk menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang 
budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau 
nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya sehingga ia 
dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya 
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah 
dengan Zaid:
"Dan
 tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan
 yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu 
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.
 Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah
 sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak
 semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir. 
Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu 
menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid
 datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin 
untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar 
membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
 Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara 
kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi 
saw membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi 
istri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru 
merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah 
anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid 
dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan
 apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan 
menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh 
manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang 
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT 
berfirman:
"Dan
 (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah 
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat 
kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang
 kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, 
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu 
takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya 
(menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada 
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
 angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan 
keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti 
terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan
 beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha untuk menyebarkan 
kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai yang tinggi dan 
menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu Habibah binti 
Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam, berhijrah 
bersama suaminya ke Habasyah.
Ia
 berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran dalam membela agama 
Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya sendirian dalam 
menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran Islam 
dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan 
Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada
 suatu hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri 
Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu 
Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat 
sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai 
membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat 
tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau 
tidak boleh menyentuhnya."
Adapun
 Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan 
Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq.
 Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim 
lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi 
tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh 
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim 
memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk 
bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan 
sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan 
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan 
persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan
 namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari 
Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi
 Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang yang kalah itu dengan 
maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada keluarga mereka dan 
mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian beliau 
menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada 
Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang 
diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk 
hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan 
wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam
 memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama Ibrahim, nama dari 
kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup lama. Ia meninggal 
saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi Nabi dan sebagai 
isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria adalah 
para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari 
sulbinya.
Salah
 jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu
 untuk mencari kesenangan meskipun halal. Kesenangan diperbolehkan bagi 
orang lain namun beliau lebih memilih untuk merasakan penderitaan 
berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada orang yang 
membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi 
yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di 
zamannya.
Kehidupan
 beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga 
sebagian istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di antara mereka ada 
yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga Abu Bakar atau 
keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk meminta kepada 
beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi meninggalkan 
istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau telah 
menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat 
yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap menjadi 
istri beliau atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan
 pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di rumah 
kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian. Allah SWT 
berfirman:
"Hai
 Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini 
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu
 mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu 
sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) 
di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang 
berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah
 fitnah. Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya, 
istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat 
daripada kehidupan dunia. Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi 
hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan teladan bagi 
seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga
 beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang 
yang memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah membalas 
pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan 
mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT 
berfirman:
"Nabi
 itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka 
sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan,
 sebagai penegasan terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan 
hijab yang teliti kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak 
diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw 
melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para 
penguasa di mana beliau ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. 
Nabi saw mengajak Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau 
mengirim utusan ke Amir Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan 
beliau mengutus utusan ke Amir Basrah bagian dari wilayah Romawi dan 
mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan beliau juga mengirim surat ke 
penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam, dan beliau juga 
menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk mengikuti 
Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya untuk
 mengikuti Islam.
Lalu
 berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan surat-surat Nabi itu. Di 
antara mereka ada yang berusaha menyampaikan kepada pembawa surat bahwa 
ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan hadiah, dan di antara mereka 
ada yang merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada yang membalas 
surat itu dengan jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang 
menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak
 pernah padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau 
menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk 
dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT 
menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji 
wada' (haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah 
sebagaimana firman-Nya:
"Pada
 hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
 kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " 
(QS. al-Maidah: 3)
Ayat
 tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT 
merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah
 berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah:
 "Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu pun 
terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari 
terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana 
yang biasa beliau lakukan.
Mereka
 memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh menyelimuti Nabi saw yang 
biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman hingga wajahnya laksana 
lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam rumahnya dan hampir 
saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya. Beliau memasuki 
rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu 
Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah 
menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan 
tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena 
saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan kedua matanya 
mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah engkau 
merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu 
beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw berbagai 
gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan membawa wahyu di gua 
Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama dua puluh tiga 
tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh tahun yang
 mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala
 sesuatu menjadi mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil 
melalui berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan beliau tidak
 pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan akidah kepada para 
pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi mulia dan 
benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat 
tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan 
melihat wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing,
 demam, dan sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk 
menenangkan Aisyah dan beliau kembali memejamkan matanya dan tidak 
sadarkan diri. Apa gerangan yang menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah 
Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah 
dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai
 gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau 
mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy ketika membantalkan 
perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah yang saat itu 
bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka membunuh semua sekutu 
kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan bersama pasukan 
yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap, dan 
tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang tidak 
berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak, panah, 
dan pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan 
yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah 
pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw 
menunggangi untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan penuh rendah
 diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir menyentuh 
punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan ini.
Para
 pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat 
Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram 
lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai
 patung yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan 
kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah 
beliau membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya 
sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang 
mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan 
mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu
 salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan 
Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya 
berputar-putar di antara gunung:
"Allah
 Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi 
bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju 
keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya,
 rumah itu dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian 
lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah 
peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya; 
Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang 
bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah 
untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan 
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi 
Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan
 ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang 
marah. Rasul saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka 
protes saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh 
orang Arab namun mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw 
bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu 
wahai Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari 
kaumku." Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk 
masalah yang penting ini dan jika kalian telah berkumpul, maka 
beritahulah aku."
Sa'ad
 mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia
 telah mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka dan 
berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata: 
"Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian
 dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian, 
dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah SWT memampukan 
kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan 
hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa
 kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang 
kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya.
 Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah
 saw berkata: "Demi Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan 
mengatakan dan benar apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada kami 
sebagai seorang yang terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang 
dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu dan engkau datang dalam 
keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau datang dalam 
keadaan teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji 
dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata: 
"Wahai kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta yang telah 
aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap dalam
 hati mereka dan kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT 
berikan kepada kalian dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai 
kaum Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan 
di musim dingin sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi 
Zat yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan 
dan kaum Anshar melalui jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan 
kaum Anshar. Ya Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar 
dan cucu kaum Anshar."
Mendengar
 doa itu, kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi 
dengan air mata dan mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT sebagai 
Tuhan dan sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi 
saw pun meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas. 
Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah 
seorang yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk mengambil. Nabi 
saw terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu 
tubuh beliau meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan 
meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk 
mendinginkan tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw
 sampai demam beliau berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa 
waktu berlalu cukup lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin 
meningkat.
Beliau
 mulai merasa bahwa tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat, 
lalu beliau memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka. Pada 
saat Nabi mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu 
berpikir apa gerangan yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau 
telah menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka segala 
sesuatu serta telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan
 dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul
 saw mulai mengantuk dan berbagai nostalgia terlintas di kepalanya. 
Beliau melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah perjanjian yang 
diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah dilarang untuk memasuki 
Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai pemimpin haji dan 
mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw memperhatikan 
ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram dalam 
keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka 
menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri 
dan berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai merasakan 
bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan berakhir. Beliau 
mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani 
kehidupan. Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah
 di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga tahun 
menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah aku 
telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir saat itu 
menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah. Beliau 
memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah kepada 
manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada 
mereka.
Kemudian
 beliau berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya 
sedangkan Rasulullah saw beijalan di sebelah untanya: "Sesungguhnya 
orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang bertakwa, 
siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi saw adalah rahmat bagi 
semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan
 dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam 
namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat pada 
seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada 
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau
 keluar menemui sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan 
kepada beliau mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada 
mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau keluar untuk menemui 
sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka 
di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah
 dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak mereka 
dan mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang 
dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun
 berada di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang mempunyai
 uzur. Beliau mendahului orang yang ditemuinya dengan salam bahkan 
beliau mendahului berjabat tangan dengan para sahabatnya.
Ketika
 seseorang datang untuk menemuinya saat beliau salat, maka beliau 
mempersingkat salatnya dan menanyakan keperluan orang itu. Setelah 
menyelesaikan keperluan manusia, beliau kembali menyelesaikan shalatnya.
 Beliau selalu menebar senyum kepada kawan dan lawan dan memiliki 
kepribadian yang paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya, beliau 
melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau memperbaiki 
sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu. Beliau 
memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang 
miskin. Bahkan kebaikan beliau dan kasih sayangnya sampai pada tingkat 
di mana beliau membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat beliau sedang
 shalat.
Kasih
 sayang beliau tidak hanya terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju 
pada binatang dan pohon. Beliau memberi makan binatang dengan tangannya 
sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing yang sakit. Beliau 
memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi menegakkan keadilan 
Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua, kaum wanita dan 
hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa
 yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu undang-undang yang mengatur
 hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa oleh
 Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas 
kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau 
datang dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara
 manusia dan alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga 
semua berjalan secara seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah 
SWT. Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk 
mengurusi masa depan dakwah dan beliau sangat cemas terhadap masa depan 
agama dan sangat peduli dengan problema kaum Muslim. Beliau khawatir 
suatu saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap. 
Namun sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada 
beliau sesuatu yang membuat hati beliau menjadi tenang. Dan di hari 
Senin dari bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya 
dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.