Dalam
 agama Islam, sumber rujukan utama penetapan hukum suatu amalan adalah 
Al-Qur'an. Berkaitan dengan persoalan status hukum shalat Dhuha, 
Al-Qur'an sendiri sebenarnya tidak mengemukakan secara eksplisit 
perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan pelaksanaan
 shalat tersebut. 
Oleh karena itu, secara eksplisit kita tidak dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan jelas dalam Al-Qur'an berkenaan dengan shalat Dhuha
 tersebut. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi arti penting shalat 
Dhuha. Karena, penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang anjuran 
pengamalan shalat ini dapat kita temukan dalam beberapa hadits 
Rasulullah Saw. Berdasarkan hadits-hadits itulah kita dapat memberi 
pertimbangan status dasar hukum shalat Dhuha.  
Di sinilah tepatnya kita menemukan posisi hadits yang berkaitan dengan 
Al-Qur'an, seperti terungkap dalam kajian Ulum Al-Qur'an. Hadits-hadits 
berfungsi sebagai penjelas, penjabar, dan pendamping Al-Qur'an. Secara 
umum dapat disimpulkan bahwa status hukum shalat Dhuha, berdasarkan 
banyak hadits yang berkaitan, adalah sunah. Beberapa hadits berikut 
dapat dijadikan sandaran status hukum shalat Dhuha.
Abu Hurairah ra. Berkata, "Kekasihku (Rasulullah saw) berwasiat 
kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku 
mati; puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur." (HR Bukhari). 
Hadits di atas menyebutkan bahwa salah satu di antara tiga amalan sunah 
yang diwasiatkan Rasulullah Saw. kepada umatnya, melalui tuturan 
kata-kataAbu Hurairah, adalah amalan shalat Dhuha. Dalam hal ini, seruan
 Rasulullah kepada sahabatnya untuk melaksanakan shalat Dhuha adalah 
seruan untuk melakukan sebuah amalan sunah. Sebab, dalam hadits tersebut
 tidak ditemukan adanya perkataan atau pernyataan yang menekankan atau 
menyebutkan isyarat wajibnya amalan shalat Dhuha. 
Dalam kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh-yakni aturan-aturan dasar 
metodologis dalam menetapkan suatu hukum-disebutkan bahwa jika ungkapan 
perintah atau kalimat berita yang mengandung makna perintah tidak 
mengandung indikasi wajibnya pelaksanaan perintah tersebut, perintah 
tersebut hanya berstatus hukum sunah. 
Pernyataan Abu Hurairah bahwa ia tidak akan pernah lalai mengerjakan 
shalat Dhuha di sepanjang hidupnya merupakan petunjuk tentang pentingnya
 amalan sunah itu, betapa tinggi nilainya dalam pandangan Rasulullah 
saw, sehingga seorang Abu Hurairah pun merasa tergugah tidak 
meninggalkannya hingga akhir hayat. 
Tidaklah
 sulit untuk menengarai bahwa di mata Abu Hurairah dan para sahabat 
Rasulullah yang lainnya, kedudukan shalat Dhuha seperti ini tampak 
hampir setara dengan shalat-shalat wajib yang lima waktu. Oleh karena 
itu, dapat dipahami jika mereka bertekad untuk tidak melalaikan sunah 
itu sekali waktu pun, seakan-akan mereka hendak melaksanakan 
shalat-shalat yang status hukum wajibnya telah jelas. 
Gambaran tentang kedudukan istimewa shalat Dhuha ini seharusnya sudah 
cukup membuat kita tersadarkan bahwa informasi hadits yang diberitakan 
lewat Abu Hurairah itu merupakan panggilan dan anjuran bagi kita untuk 
mencintai dan mengamalkan shalat Dhuha.Panggilan dan anjuran itu tidak 
hanya tertuju secara terbatas kepada para sahabat Rasulullah, tetapi 
juga pada kita yang mengakui kebenaran agama yang dibawa Muhammad Saw, 
agama Islam. Rasulullah dan para sahabatnya merupakan teladan bagi kita 
sebagai umat muslim. 
Hadits berikut ini juga bisa menjadi rujukan kita dalam menjelaskan lebih lanjut kedudukan dan status hukum shalat Dhuha: Aisyah
 Ra berkata, "Jika Rasulullah saw. meninggalkan suatu amalan yang beliau
 suka mengamalkannya, hal itu karena beliau khawatir orang-orang 
menganggapnya sesuatu yang diwajibkan. Dan, tidak sekalipun Rasulullah 
Saw. melaksanakan shalat sunah dhuha, kecuali aku pun melakukannya." (HR Bukhari dan Muslim). 
 
Di
 sini, kita dapat dengan mudah menemukan pernyataan yang agak tegas 
mengenai status hukum shalat Dhuha. Ketika Rasulullah pada suatu waktu 
sengaja meninggalkan suatu amalan yang beliau sangat cintai dan selalu 
dilaksanakannnya karena khawatir amalan itu dipandang umatnya sebagai 
amalan wajib, jelaslah bahwa amalan itu bukanlah amalan wajib. 
Penisbatan istilah "sunah" oleh Aisyah pada shalat Dhuha menunjukkan 
bahwa shalat Dhuha jelas merupakan amalan sunah biasa. 
Namun
 demikian, keterangan hukum shalat Dhuha seperti ini sama sekali tidak 
menyiratkan pengertian bahwa shalat itu hanya memiliki nilai yang 
kurang  penting dalam perbandingannya dengan amalan wajib. Sebaliknya, 
keterangan itu justru ingin menunjukkan bahwa shalat Dhuha memiliki 
nilai yang sangat tinggi. Dalam hadist di atas, shalat Dhuha dinyatakan 
secara tidak langsung sebagai sebuah amalan sunah Rasulullah di antara 
amalan-amalan sunah lainnya yangtidak pernah beliau lalaikan. 
Di
 sinilah kita bisa melihat tingginya kedudukan shalat Dhuha, 
sampai-sampai Rasulullah hampir tidak pernahkan meninggalkannya, 
sekalipun shalat Dhuha itu hanya berstatus hukum sunah. Kita bisa 
membayangkan sikap Rasulullah terhadap shalat Dhuha, seandainya Allah 
SWT mensyariatkannya sebagai amalan wajib. 
Lebih jauh, pengakuan Aisyah ra. bahwa ia juga melakukan shalat sunah 
Dhuha kapan saja Rasulullah melakukannya turut memperkuat kedudukan 
utama shalat sunah tersebut. Pengakuan Aisyah dalam  hadits itu 
mengandung pengertian bahwa jika Rasullah tidak pernah melalaikan shalat
 sunah Dhuha, demikian juga halnya Siti Aisyah. Dengan demikian, 
keterangan Aisyah tentang shalat Dhuha ini turut memperkuat keterangan 
hadits Abu Hurairah sebelumnya. 
Dalam Hadits lain yang senada juga dikabarkan bagaimana Aisyah Ra. 
meneladani ketekunan Rasulullah Saw. dalam melakukan shalat Dhuha. Aisyah ra, berkata, "Setiap kali aku melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha, aku pun pasti melaksanakannya." (HR Bukhari).
Hadits-hadits
 mengenai shalat Dhuha yang dikemukakan di atas tidak sekadar 
menunjukkan status hukum shalat Dhuha sebagai amalan sunah, melainkan 
juga mengabarkan bagaimana para sahabat menunjukkan kecintaan mereka 
terhadap amalan sunah itu. Pengamalan shalat sunah Dhuha tidak hanya 
menjadi kesenangan Rasulullah Saw, tetapi juga menjadi kesenangan Para 
sahabat dan orang-orang tercintanya. Status hukum shalat Dhuha memang 
hanya sebagai amalan sunah. 
Namun
 demikian, hal itu hendaknya tidak dimengerti bahwa ia hanya amalan 
sunah yang tidak wajib dilaksanakan melainkan ia adalah amalan shalat 
sunah yang kedudukannya mendekati kedudukan amalan shalat wajib. Dengan 
kata lain, shalat dhuha adalah shalat sunah yang istimewa sehingga kita 
dianjurkan untuk tidak melalaikannya sebagaimana kita diwajibkan untuk 
tidak melalaikan pelaksanakan shalat-shalat wajib. 
Lalu, di mana letak keistimewaan shalat Dhuha sehingga Rasulullah dan 
para sahabatnya sangat senang mengerjakannya? Setiap ritual amalan dalam
 Syariat Islam tidak pernah lepas dari hikmah yang terkandung di 
dalamnya. Namun, tersingkapnya hikmah suatu amalan akan bergantung pada 
kemampuan manusia itu sendiri. 
Bisa
 jadi hikmah suatu amalan itu beragam karena kemampuan kita dalam 
menyingkap hikmah yang terdapat dalam amalan tersebut tidak sama. Ada 
sebagian hikmah yang barangkali mudah untuk dimengerti bahkan oleh pola 
pikir masyarakat awam secara umum. Namun, ada juga hikmah rahasia yang 
hanya dirasakan oleh pribadi secara khusus, yang pengungkapannya berbeda
 antara satu pribadi dengan pribadi lainnya.