Sabtu, 30 Maret 2013

SURAT UNTUK BLOGGER



Dear All Blogger,
Saya adalah pemula di dunia blogger, yang tentunta belum mengerti bahkan tidak mengerti sama sekali tentang blog atau sejenisnya. Dan karena keinginan untuk bisa itulah, saya mencoba untuk membuat blog dan pasti masih banyak kekurangan atau jelek dalam pemostingan artikel atau design blog yang kurang menarik, sehingga tidak enak untuk dikunjungi.atau dibaca artikelnya. ayang kemudian saya membuka banyak sekali blog-blog dengan panduan mbah google tentunya, kemudian saya baca cara2 yang sekiranya bisa membantu saya dalam pembuatan blog.Untuk itu saya juga mengharap masukan dan saran2 dari blogger semua serta untuk perbaikan dan juga revisi jikalau ada pemostingan artikel yang salah dan sebagainya.
      Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua blogger atas informasinya dari halaman blog yang saya baca dan tentunta saya juga mohon maaf apabila saya meng-copy paste artikel dari blog sahabat blogger semuanya.

Ucapan Terima kasih dan Permohanan maaf saya sampaikan kepada  :

  • www.sholat-dhuha.info
  • quran.ittelkom.ac.id
  • fitraalim.blogspot.com
  • ariefbudiyantoo.blogspot.com
  • dapur-tutorial.blogspot.com
  • www.caragampang.com
  • ariflaw.blogspot.com
  • www.eramuslim.com
  • www.islamtimes.org
  • christiantatelu.blogspot.com
  • eflianda.blogspot.com
  • magic4rt.blogspot.com
  • sholat.wordpress.com
  • kaahil.wordpress.com
  • id.wikipedia.org
  • www.kucoba.com
  • gudangmakalahmu.blogspot.com
  • www.anekaremaja.com
  • www.gen22.net
Dan tentunya masih banyak lagi yang belum saya sebutkan, mohon maaf yang sebesar-besarnya.

                                                                                    best regard ;
arekkemalangan.blogspot.com
sbagusari.blogspot.com
edyhari.blogspot.com
rahmamauliddyah10.blogspot.com

Tata Cara Sholat Dhuha

Hati-hati Waktu Haram Sholat Dhuha 

 

Sebelum melaksanakan sholat dhuha, ada baiknya kita mengetahui waktu-waktu yang diharamkan melaksanakan sholat secara umum. Karena walaupun sholat dhuha hukumnya sunnah, tetapi bila dilaksanakan pada waktu yang haram bukanlah pahala yang kita dapat, malah jadi dosa.
Berikut waktu-waktu yang diharamkan untuk melaksanakan sholat berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Abbas berkata: “Datanglah orang-orang yang diridhai dan ia ridha kepada mereka yaitu Umar, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang sholat sesudah Subuh hingga matahari bersinar, dan sesudah Asar hingga matahari
terbenam.” [HR. Bukhari]

Dari Ibnu Umar berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apabila sinar matahari terbit maka akhirkanlah (jangan melakukan) sholat hingga matahari tinggi. Dan apabila sinar matahari terbenam, maka akhirkanlah (jangan melakukan) sholat
hingga matahari terbenam”. [HR. Bukhari]

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dua sholat. Beliau melarang sholat sesudah sholat Subuh sampai matahari terbit dan sesudah sholat Asar sampai matahari terbenam. [HR. Bukhari]

Dari Muawiyah ia berkata (kepada suatu kaum): “Sesungguhnya kamu melakukan sholat (dengan salah). Kami telah menemani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, kami tidak pernah melihat beliau melakukan sholat itu karena beliau telah melarangnya,
yaitu dua rakaat sesudah sholat Asar”. [HR. Bukhari]

Dari Uqbah bin Amir: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang sholat pada tiga saat: (1) ketika terbit matahari sampai tinggi, (2) ketika hampir Zuhur sampai tergelincir matahari, (3) ketika matahari hampir terbenam.” [HR. Bukhari]

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang sholat pada waktu tengah hari tepat (matahari di atas kepala), sampai tergelincir matahari kecuali pada hari Jumat. [HR. Abu Dawud] Menurut jumhur ulama, sholat ini adalah sunat Tahiyatul Masjid, selain sholat ini tetap dilarang melakukan sholat apapun.

Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: “Matahari terbit dengan diikuti setan. Pada waktu mulai terbit, matahari berada dekat dengan setan, dan ketika telah mulai meninggi berpisah darinya. Pada waktu matahari berada tepat di tengahtengah
langit, ia kembali dekat dengan setan, dan ketika telah zawal (condong ke arah barat) ia berpisah darinya. Pada waktu hampir terbenam, ia dekat dengan setan, dan setelah terbenam ia berpisah lagi darinya.” [HR. Nasa’i]

Waktu-waktu itu adalah waktu yang haram untuk shalat. Artinya apabila kita melakukan shalat sunat pada waktu haram, maka bukan pahala yang kita dapatkan, melainkan dosa.

Waktu-waktu haram yang mengapit shalat Dhuha:
1. Waktu haram #1 = sesudah Shalat Subuh hingga matahari bersinar, atau kurang lebih sejak jam 06:00 AM hingga 07:45 AM
2. Waktu haram #2 = ketika hampir masuk waktu Zuhur hingga tergelincir matahari, atau kurang lebih jam 11:30 AM hingga 12:00 PM

Dari Zaid bin Arqam, bahwa ia melihat orang-orang mengerjakan shalat Dhuha [pada waktu yang belum begitu siang], maka ia berkata: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat Dhuha pada selain saat-saat seperti itu adalah lebih utama, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shalatnya orang-orang yang kembali kepada ALLAH adalah pada waktu anak-anak onta sudah bangun dari pembaringannya karena tersengat panasnya matahari”. [HR. Muslim]

SHOLAT DHUHA : Hikmah Sholat Dhuha

Sholat Dhuha Setiap Pagi: Kunci Meraih Rizki Sepanjang Hari



Dalam doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT, kita selalu menyelipkan permohonan doa agar di mudahkan meraih rezeki-Nya dari arah yang tak terduga...min haitsu laa yahtasib. Pertanyaannya, bagaimana agar rezeki kita dimudahkan? Adakah ibadah membantu kita untuk memperlancar datangnya rezeki?

Ternyata Rasulullah telah mencontohkannya untuk kita teladani, yaitu dengan shalat dhuha. Shalat dhuha adalah ibadah shalat yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Shalat sunnat ini yang dilakukan seorang muslim saat waktu dhuha.Waktu dhuha tiba saat matahari mulai naik, kira-kira tujuh hasta sejak terbitnya. Jumlah rakaat shalat dhuha, dari dua hingga duabelas rakaat.Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung manfaat yang sangat besar bagi umat Islam. Salah satunya adalah membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahannya.

Rasulullah bersabda di dalam Hadists Qudsi,“Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat shalat dhuha, karena dengan shalat tersebut, Aku cukupkan kebutuhanmu pada sore harinya.” (HR Hakim dan Thabrani). Dalam hadist yang lain dikatakan,“Barangsiapa yang masih berdiam diri di mesjid atau tempat shalatny setelah shubuh karena melakukan I’tikaf, berzikir, dan melakukan dua rakaat shalat dhuha disertai tidak berkata sesuatu kecuali kebaikan, maka dosa-dosanya akan diampuni meskipun bnyaknya melebihi buih di lautan.” (HR. Abu Daud)

"Dalam tubuh manusia itu ada 360 ruas tulang. Ia harus disedekahkan untuk setiap ruas itu." Para shahabat bertanya, "Siapa yang kuat melaksanakan itu, ya Rasulullah? Beliau menjawab, "Dahak yang di masjid itu lalu ditutupinya dengan tanah, atau menyingkirkan sesuatu gangguan dari tengah jalan itu berarti sedekah. Atau, sekiranya tidak dapat melakukan itu, cukuplah diganti dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha." (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Shalat-shalat sunah sangat dianjurkan. Karena ada faedah yang terkandung di dalamnya. Salah satunya untuk membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahannya. Di antara shalat sunah tersebut adalah shalat dhuha.Hadits Rasulullah SAW terkait shalat dhuha antara lain :"Siapapun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa lautan." (H.R Turmudzi).

Rezeki adalah hak semua orang dan kemiskinan mendekati kekufuran, maka ibadah dan usaha adalah jawabannya.Dengan mengenal keutamaan dan keajaiban shalat dhuha, semoga kita akan lebih tergerak untuk merawat shalat sunah ini......Amin Ya Robbal Allamin.....

RAHASIA SHOLAT DHUHA

Rahasia Sholat Dhuha Yang Harus Kita Ketahui

Allah SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu dhuha. Dalam pembukaan surat Assyams, Allah berfirman, ''Demi matahari dan demi waktu dhuha.'' Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.

Pada pembukaannya, Allah berfirman, ''Demi waktu dhuha.'' Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu dhuha, berarti waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, ''Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.''

Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu subuh dan dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.

Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, ''Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani', ''Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat.'' (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.

Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena--seperti yang banyak dipersepsikan--shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Alquran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha.


SHOLAT DHUHA : Sinyal Pemancar Rezeki

Aktivasi Sholat Dhuha dan Sinyal Pemancar Rezeki

Setiap orang mempunyai nasib yang berbeda, namun nasib seseorang bisa berubah tergantung orang tersebut mau mengubahnya atau tidak. Si A mempunyai nasib yang jelek sedang si B mempunyai nasib yang baik, tetapi apa yang menjadi ukuran bahwa antara A dan B mempunyai nasib yang berbeda? Jawabanya berada pada diri kita masing-masing. Dalam hal ini, saya memakai pemahaman bahwa “rezeki ibarat sinyal pemancar”. Jika kita memberikan argumentasi demikian, maka kita akan mempunyai bukti.
 
Contohnya, kita mempunyai HP  yang dekat dengan transit pemancar maka hasil dari sinyal yang ada di HP semakin baik atau kuat. Namun, jika HP tersebut jauh

dari transit pemancar maka sinyal yang didapat semakin lemah. Semakin jauh lagi dari transit pemancar maka sangat mungkin HP tidak akan mendapat sinyal, walupun HP tersebut haraganya mahal. Naumun, karena HP tersebut dekat dengan transit, walaupun harganya murah maka sinyal yang ada dalam HP akan baik atau kuat.
 
Begitu juga apabila seorang hamba yang selalu dekat dengan Allah, maka Allah akan selalu memberikan kemudahan kepada hambanya. Namun, apabila seorang hamba jauh dengan Allah maka ia akan seperti HP yang jauh dari transit sebagaimana contoh di atas. Segala macam tujuan dan keinginan orang yang dekat dengan-Nya akan mudah pula dikabulkan-Nya. Karena dengan kedekatan seseorang hamba kepada Allah malalui tahap-tahap seperti selalu berusaha dengan maksimal, menjaga shalat lima waktu dan shalat dhuha seperti halnya sebuah pesawat HP yang dekat dengan sebuah pemancar ataupun transit pemancar, maka “sinyal” dengan Allah pun semakin kuat. 

 
Allah SWT berfirman: “Maka orang-orang yang beriman dan beramal shahih, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Dan orang-orang yang berusaha dengan maksud menetang ayat-ayat kami dengan melemahkan (kemauan unutk beriman) mereka adalah penghuni-penghuni neraka.” (QS.Al Hajj 22 : 50-51)

 
Demikian janji Allah kepada hambanya. Karena itu, tiada seorang yang dekat dengan Allah kemudian merasa disusahkan oleh-Nya dan tiada seorang yang jauh dari Allah yang akan merasa senang dan gembira. Terbukti, merka yang jauh dari Allah walaupun mempunyai harta yang melimpah, kehidupan seakan tidak berarti dan tidak mempunyai keseimbangan hidup. Tidak sedikit orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Padahal orang tersebut terbilang mempunyai kehidupan lebih mapan, apabila dibandingkan dengan orang yang miskin, yang hanya makan satu hari satu piring nasi saja. Tetapi, karena dirinya tidak mempunyai keseimbangan hidup, segala macam persoalan dirasakan sebagai bancana hidup yang semakin menjerat.

 
Dengan demikian, betapa pentingnya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah, karena hal ini lebih mengarah pada kekuatan jiwa seseorang. Tetapi, bagi mereka yang selalu menjauh dari kebesaran Tuhan, mereka akan mengalami hal-hal yang paling parah, hingga memutuskan kehidupannya dengan hal-hal yang justru merugikan dir sendiri. Terutama persoalan yang berkaitan dengan materi, banyak mereka yang terjebak dengan penguasaan jiwa yang tidak stabil, sehingga kehidupannya semakin hari kian terpuruk. Untuk itu, dari semua yang terungkap, mendekatkan diri kepada Allah SWT meruakan wujud dari dasar kepercayaan dan keyakinan diri untuk bias membiasakan dalam langkah yang baik dan stabil. Tidak ada orang yang lebih kuat dan sempurna dimuka bumi ini.

 
Namun, setidaknya dengan kekurangan itu kita semakin sadar bahwa kita membutuhkan pertolongan dari sang maha penguasa yakni Allah SWT. Hal mana jika berkaitan dengan rezeki, maka tidak ada yang dapat diminta pertolongan kecuali Allah. Dan, Allah pun maha pemberi karena Allah maha punya  dari segala yang punya. Dari Dia-Lah segalanya ada, dari Dia-Lah kita sangat membutuhkan segalanya. Allah adalah “pemancar” kehidupan para hamba-Nya yang sangat kuat dan tiada yang lebih kuat selain Allah SWT. Dan tiada stasiun pemancar yang lebih sensitive selain rahmat dan hidayah-Nya yang selalu dipancarkan kepada hambanya yang beriman.

 
Allah akan memancarkan sinyal kehidupan bagi hambanya yang mau menengadah. Untuk itu, aktifkan hati dan perasaan anda agar pesawat hati anda mendapat sinyal yang lebih kuat. Dari kekuatan kekuatan sinyal hati maka anda akan lebih mudah dalam menerima keridhaan dari-Nya. Hati anda semakin terbuka dalam menerima segala informasi yang berbentuk firman-firman Allah dalam Al-Qur’an. Karena, informasi yang berada dalam Al-Qur’an lebih berharga dari informasi yang lainnya. Dalam informasi yang berupa firman-firman-Nya akan anda jumpai konsep-konsep dan cara untuk membuka rezeki yang dapat memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah pun tidak memandang hamba yang bewajah tampan atau tidak, cantik atau tidak, semua sama dalam pandangan-Nya. Karena, yang membuat sinyal itu kuat atau tidak tergantung jauh dekatnya seorang hamba kepadanya.
Oleh karena itu, jangan lupa iringilah selalu langkah usaha anda dengan mengistiqomahkan shalat dhuha. Sebab kenyataannya spiritual shalat dhuha dapat memberikan motivasi diri untuk selalu maju dan terus maju, disamping dapat memberikan arah gerak yang positif, terarahnya rencana dan dapat tercapainya tujuan. Sebab banyak orang yang sukses karena mengiringi usahanya dengan shalat dhuha. Demikian pula seorang teman saya, ia berkomentar, “Dengan sholat dhuha, segala rencana bisa berjalan dengan lancar tanpa halangan. Hal ini saya buktikan dengan perspektif ketika saya tidak melakukan shalat dhuha dan ketika saya melakukan sholat dhuha”.

 
Alhasil, dapat disimpulkan bahwa shalat dhuha merupakan shalatnya orang yang mempunyai kestabilan jiwa, bagaimana ia bisa melakukannya apalagi merutinkan jika hatinya saja labil. Benar bahwa jika shalat dhuha merupakan shalatnya orang-orang yang bertaubat. Sebab, kenyataannya untuk merutinkan shalat dhuha sungguh sangat berat bila tidak dipaksakan. Banyak dalih (alasan) yang mengatakan, “Sungguh aku lupa, karena aku selalu asyik dengan pekerjaanku. “ Bahkan, ada juga yang mengatakan, “ Rasanya malas sekali, karena ini waktu yang tanggung.” Ada lagi yang mengatakan, “Ah itu kan waktunya bekerja kok malah disuruh sholat, apakah kita mau makan shalat.” Dan seterusnya. 

 
Jangan ikuti pendapat itu, sebab itu hanya pantas diucapkan oleh orang-orang yang fasik, oleh orang-orang yang lupa dan oleh orang-orang yang tidak mempunyai prinsip hidup dinamis. Karena yang pasti kedinamisan hidup bisa dilihat dari orang hidupnya selalu seimbang. Seimbang keinginan lahir dan seimbang dengan kebutuhan spiritual. Dan kesimbangan ini bisa dibuktikan melalui aktifitas kerja yang diiring dengan melakukan sholat dhuha.


Topik-topik terkait sholat dhuha:

SHOLAT DHUHA : Makna Dhuha dalam AI-Qur'an

Makna Dhuha dalam AI-Qur'an

Makna Dhua Dalam Al Qur'an
Istilah dhuha dapat ditemukan pada beberapa tempat dalam Al-Qur'an. Kita dapat menemukan istilah dhuha kurang lebih pada tujuh tempat. Di satu tempat (QS Thaha [20]:59; AI-'Araf [7]:98; An-Nazi'at [79]:46), kata dhuha diartikan sebagai "pagi hari" atau sebagai "panas sinar matahari" di tempat lainnya (QS Thaha [20:119]). Istilah dhuha juga bisa mencakup kedua makna itu sehingga diartikan "sinar matahari di pagi hari" (QS As-Syams [91]:1).

Pada tempat lain (QS An-Nazi'at [79]:29), kata dhuha diartikan sebagai Siang yang terang. Namun, makna dhuha ini barangkali tidak merujuk pada keadaan terangnya siang di tengah hari yaitu waktu dzuhur.
Barangkali, dalam pengertian inilah kata dhuha diartikan  sebagai saat matahari naik sepenggalan (QS Adh-Dhuha [93]:1). Oleh karena itu, kata dhuha dipahami sebagian ulama, berdasarkan Surat Adh-Dhuha dan As-Syams, sebagai cahaya matahari secara umum, atau khususnya kehangatan cahaya matahari.

Makna kata dhuha ini, dapat kita temukan jugs dalam kamus Bahasa Arab. Dhuha diartikan sebagai forenoon, yakni pagi hari atau sebelum tengah hari, atau diartikan dalam bentuk kata kerjanya sebagai become appear/visible, menjadi tampak atau terlihat.

Jika kita perhatikan pemakaian istilah dhuha dalam Al-Qur'an, kita akan menemukan kata itu diasosiasikan antara lain dengan "saat manusia bermain" (QS Al-'Araf [7]:98). Dalam AI-Qur'an, istilah bermain (yal'ab) mengingatkan kita pada kata "permainan" (bentuk kata Benda dari kata kerja yal'ab) yang secara erat diasosiasikan dengan kehidupan dunia. “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sendau gurau” (QS Al-An'am [6]:32). Pemahaman ini barangkali terlalu sederhana atau menyederhanakan persoalan yang sebenarnya lebih dalam. Namun, hal ini ada benarnya juga. Saat-saat dhuha adalah saat kebanyakan kita pada umumnya tengah sibuk "bermain-main" dengan kehidupan dunia.

Selanjutnya, istilah dhuha dalam Al-Qur'an juga diasosiasikan dengan saat-saat atau keadaan-keadaan di mana manusia dituntut untuk waspada dan hati-hati. Istilah itu, misalnya, dimaknai sebagai "keadaan tertimpa panas matahari" dalam perbandingannya dengan keadaan surga-yang di dalamnya tidak ada pangs matahari semacam itu (QS Thaha [2o]:119)--sekalipun kondisi saat dhuha lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan getirnya hari Kiamat (QS An-Nazi'at [79]:46).

Istilah dhuha juga diasosiasikan Al-Qur'an dengan saat-saat di mana azab Tuhan sangat mungkin terjadi; yakni di saat-saat manusia "bermain" dan merasa aman dari malapetaka (QS Al-'Araf [7]:98). Saat-saat sibuk dengan kehidupan dunia adalah saat manusia sangat rentan untuk tenggelam dalam asyiknya urusan dunia dan lalai akan zikrullah. Nah, dalam kondisi-kondisi seperti inilah manusia dituntut untuk tidak lengah dan tetap waspada.

Selain itu, istilah dhuha juga dikaitkan dengan saat-saat terjadinya pertarungan atau persaingan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat sebagaimana disimbolkan oleh Nabi Musa dan pasukan Fir'aun (QS Thaha [20]:59). Bahkan, istilah dhuha ini digunakan Allah sebagai kata sumpah-Nya tentang sungguh-sungguh terjadinya pertarungan antara kekuatan jahat dan baik itu pada tataran internal (batin) diri manusia. (QS As-Syams [91]:1,10).

Tentu saja, waktu dhuha bukanlah satu-satunya keadaan ketika pertarungan itu terjadi, karena pertarungan serupa bisa terjadi selain pada waktu dhuha. Itulah sebabnya, Allah menggunakan kata-kata sumpah lainnya saat menegaskan waktu-waktu atau keadaan-keadaan saat pertarungan itu terjadi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
  1 
وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا
dan bulan apabila mengiringinya,
  2 
وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا
dan siang apabila menampakkannya,
  3 
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا
dan malam apabila menutupinya,
  4 
وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا
dan langit serta pembinaannya,
  5 
وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا
dan bumi serta penghamparannya,
  6 
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
  7 
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
  8 
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
  9 
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
"Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,
Demi bulan apabila mengiringinya,
Demi siang apabila menampakkannya,
Demi malam apabila menutupinya,
Demi langit serta pembinaannya,
Demi bumi serta penghamparannya,
Demi jiwa Berta penyempurnaannya,
maka Dia mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketakwaannya,
Sungguh beruntung orang yang menyucikannya,
Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya".
(QS As-Syams [91]:1-10)

Dalam konteks waktu atau keadaan, kalimat-kalimat sumpah ini bisa diterjemahkan secara bebas menjadi: "demi ketika matahari memancarkan sinar dhuha", yakni saat pagi hari; "demi ketika bulan mengiringi matahari", yakni saat malam yang terang; "demi ketika siang menampakkan matahari," yakni saat tengah hari; "demi ketika malam menutupi matahari," yakni saat gelap gulita; "demi ketika langit dibangun," yakni saat langit terasa tinggi dan luas dalam cakrawala pemandangan terbuka; "demi ketika bumi dihamparkan," yakni saat bumi dihamparkan dalam bentangan alam terbuka; dan, "demi ketika jiwa dijadikan sempurna," yakni saat peniupan ruh.

Pada saat-saat seperti itulah kecenderungan  (jiwa) pada kejahatan dan kecenderugan (ruh) pada kebaikan bertarung dalam diri manusia. Sungguh, beruntunglah orang-orang yang kecenderungan jahat jiwanya terkalahkah oleh kecenderungan baik ruhnya dan sungguh rugilah orang-orang yang kecenderungan buruk (jiwa)nya mengalahkan kecenderungan baik
(ruh)nya.

Namun demikian, hal yang membuat kita heran adalah mengapa Allah menempatkan kata "dhuha" (sinar matahari) atau "saat matahari bersinar di waktu dhuha"dalam urutan pertama di antara kata-kata sumpah lainnya (QS As-Syams [91]:1-9)?

Urutan penempatan kata-kata sumpah ini, tentunya, bukanlah sekadar kebetulan. Sebab, kata-kata sumpah tersebut tidak mungkin Allah lontarkan begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa saat-saat dhuha merupakan saat-saat kita harus berhati-hati dan waspada agar bisa memenangkan pertarungan dan terselamatkan dari ancaman-ancama kekuatan jahat, baik internal maupun eksternal, dari kelengahan zikrullah dan seterusnya.

Sampai di sini, kita bisa mengetahui makna penting shalat Dhuha. Dalam konteks seperti inilah, pelaksanaan shalat Dhuha bisa dipandang sebagai sarana kehati-hatian, kewaspadaan, keterbimbingan, dan keterlindungan dalam menghadapi rentannya waktu dhuha yang sarat dengan berbagai kemungkinan kejadian yang merugikan manusia. Hanya mereka yang ada dalam bimbingan dan lindungan Allah-lah yang bisa selamat dalam melewati waktu dhuha dengan mendapat keuntungan dan kepuasan. Dalam Al-Qur'an, Nabi Musa (dalam surat Al-‘Araf) dan Muhammad (QSAdh-Dhuha [931:4) merupakan figur-figur yang memperoleh penyelamatan itu.

Uraian tentang kata dhuha di atas hanyalah sekelumit cara kita dalam upaya menyingkapkan sebagian kecil makna yang terkandung dalam kata tersebut. Masih banyak rahasia-rahasia lain dari kata dhuha ini.

Berangkat di pagi hari atau sore hari pada jalan Allah (berjihad) adalah lebih baik dari dunia dan semua isinya. (HR Bukhari).
Sumber: Buku The Power of Shlat Dhuha


SHOLAT DHUHA : Waktu Shalat Dhuha

Kapan Sih Waktu Shalat Dhuha Itu?

Waktu Sholat Dhuha

Ternyata masih banyak sobat-sobat Facebooker yang sering menanyakan tentang waktu dhuha. Kapan sih tepatnya waktu dhuha itu

Berdasarkan simpulan dan petunjuk-petunjuk yang merujuk pada hadits-hadist Rasulullah, waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai merayap naik meninggalkan tempat terbitnya, hingga ia tampak membayang sampai menjelang tengah hari (Quraisy Syihab). Dalam Bahasa Melayu, waktu dhuha dapat juga disebut sebagai waktu "sepenggalahan matahari naik". Inilah pendapat yang dipandang paling tepat dan bisa dijadikan pegangan.

Secara klasik, permulaan masuknya waktu dhuha bisa diketahui dengan mengamati ketinggian matahari pada saat pagi yang cerah. Waktu dhuha dimulai ketika ketinggian matahari di sebelah timur sudah mencapai
kira-kira setinggi satu tumbak, yakni setelah beberapa saat matahari terbit. Pada saat-saat inilah, shalat Dhuha bisa dikerjakan.

Shalat Dhuha tidak bisa dilakukan di saat matahari sedang terbit, karena pada saat itu kaum muslimin dilarang melakukan shalat apa pun. Oleh karena itu,
agar waktu pelaksanaan shalat Dhuha tidak terlalu berdekatan dengan saat-saat dilarangnya pelaksanaan shalat, waktu yang paling utama untuk melakukannya adalah ketika sinar matahari terasa mulai panas atau
ketika matahari sudah cukup tinggi di sebelah timur, menjelang siang. 

Berikut beberapa keterangan dari Rasulullah Saw. yang bisa dijadikan dasar dalam penentuan waktu pelaksanaan shalat Dhuha. Ali bin Abi Thalib ra. berkata, "Rasulullah Saw. shalat Dhuha pada saat (ketinggian) matahari di sebelah timur sama dengan ketinggiannya pada waktu shalat Ashar di
sebelah barat."
(HR Ahmad). 

Keterangan Ali ra. ini bisa menjadi salah satu penjelasan tentang tanda-tanda masuknya waktu dhuha dan kapan shalat Dhuha itu bisa dikerjakan. Dalam hadist itu dikemukakan bahwa shalat Dhuha dapat dilakukan ketika ketinggian matahari yang mulai terbit pada pagi hari di sebelah timur sama dengan ketinggian matahari yang mulai terbenam pada sore hari di sebelah barat
ketika masuk waktu Ashar. Berarti, shalat Dhuha dapat dilakukan ketika matahari sudah ada pada ketinggian satu tumbak (matahari sepenggalahan), yakni sesaat setelah matahari terbit. 

Mengapa ketika melaksanakan shalat Dhuha kita harus menunggu waktu hingga ketinggian matahari seperti itu? Sebagaimana telah disinggung di atas, hal ini karena kita dikhawatirkan melaksanakan shalat pada waktu yang sebenarnya dilarang melakukannya. Kasus seperti ini pernah terjadi pada masa para sahabat Rasulullah Saw. dan langsung mendapat teguran dari beliau. 

Hadits berikut menceritakan kisah tersebut. Sa'id bin Nafi' berkata, "Abu BasyirAl-Anshary, salah satu sahabat Rasulullah Saw., melihatku shalat Dhuha pada saat terbit matahari maka beliau mencelaku dan melarangku. Kemudian, dia berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, `Janganlah kalian shalat pada saat matahari terbit karena sesungguhnya ia terbit di antara kedua tanduk setan'." (HR Ahmad).

Zaid bin Arqam melihat sekelompok orang sedang melaksanakan shalat Dhuha. Kemudian dia berkata, "Sungguh sekiranya mereka mengetahui bahwa shalat
(Dhuha yang dilakukan) bukan pada saat ini (matahari belum tinggi) adalah lebih afdhal (utama)! Sesungguhnya, Rasulullah saw pernah bersabda,`Shalat al-awwabin (Dhuha) itu (dilakukan) pada saat anak unta merasa kepanasan'."

Sampai di sini kita menemukan beberapa tanda masuknya waktu shalat Dhuha, sebagaimana dijelaskan oleh hadits-hadits di atas. Pertama, ketinggian matahari pagi di sebelah timur diperkirakan sama dengan ketinggian matahari sore di sebelah barat saat masuknya waktu Ashar. Kedua, matahari mulai berangsur panas. 

Jika permulaan waktu ashar dalam ukuran waktu modern berkisar di antara jam 15.00 sampai 15.30 WIB. sore hari, ketinggian matahari di sore hari pada jam-jam tersebut kira-kira sama dengan ketinggian matahari di pagi hari pada jam 9.00 WIB. Dengan demikian, kita dapat memperkirakan menurut ukuran waktu modern-waktu pelaksanaan shalat Dhuha Rasulullah Saw. sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits-hadits di atas. 

Menurut kelaziman yang berlaku di Indonesia, waktu pelaksanaan shalat Dhuha diperkiraan mulai dari jam 9 sampai jam 11 pagi menjelang Zhuhur, yakni ketika matahari terasa mulai panas. Tentunya, jam yang menunjukkan waktu dhuha harus disesuaikan dengan standar waktu masing-masing wilayah. Sumber: The Power of Shalat Dhuha. Baca juga: Waktu Haram Sholat Dhuha.

SHOLAT DHUHA : Hukum Shalat Dhuha, Makna Sholat Dhuha,

Benarkah Hukum Shalat Dhuha Hanya Sunnah Biasa?

Dalam agama Islam, sumber rujukan utama penetapan hukum suatu amalan adalah Al-Qur'an. Berkaitan dengan persoalan status hukum shalat Dhuha, Al-Qur'an sendiri sebenarnya tidak mengemukakan secara eksplisit perintah atau anjuran yang tegas atau jelas berkenaan dengan pelaksanaan shalat tersebut. 

Ada beberapa kata dhuha yang bisa kita temukan dalam Al-Qur'an, tetapi kata-kata itu tampaknya tidak berkaitan dengan penetapan hukum shalat Dhuha.


Oleh karena itu, secara eksplisit kita tidak dapat menemukan dasar hukum yang tegas dan jelas dalam Al-Qur'an berkenaan dengan shalat Dhuha tersebut. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi arti penting shalat Dhuha. Karena, penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang anjuran pengamalan shalat ini dapat kita temukan dalam beberapa hadits Rasulullah Saw. Berdasarkan hadits-hadits itulah kita dapat memberi pertimbangan status dasar hukum shalat Dhuha.

Di sinilah tepatnya kita menemukan posisi hadits yang berkaitan dengan Al-Qur'an, seperti terungkap dalam kajian Ulum Al-Qur'an. Hadits-hadits berfungsi sebagai penjelas, penjabar, dan pendamping Al-Qur'an. Secara umum dapat disimpulkan bahwa status hukum shalat Dhuha, berdasarkan banyak hadits yang berkaitan, adalah sunah. Beberapa hadits berikut dapat dijadikan sandaran status hukum shalat Dhuha.

Abu Hurairah ra. Berkata, "Kekasihku (Rasulullah saw) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan sampai aku mati; puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tidur." (HR Bukhari).

Hadits di atas menyebutkan bahwa salah satu di antara tiga amalan sunah yang diwasiatkan Rasulullah Saw. kepada umatnya, melalui tuturan kata-kataAbu Hurairah, adalah amalan shalat Dhuha. Dalam hal ini, seruan Rasulullah kepada sahabatnya untuk melaksanakan shalat Dhuha adalah seruan untuk melakukan sebuah amalan sunah. Sebab, dalam hadits tersebut tidak ditemukan adanya perkataan atau pernyataan yang menekankan atau menyebutkan isyarat wajibnya amalan shalat Dhuha.

Dalam kaidah-kaidah ilmu Ushul Fiqh-yakni aturan-aturan dasar metodologis dalam menetapkan suatu hukum-disebutkan bahwa jika ungkapan perintah atau kalimat berita yang mengandung makna perintah tidak mengandung indikasi wajibnya pelaksanaan perintah tersebut, perintah tersebut hanya berstatus hukum sunah.

Pernyataan Abu Hurairah bahwa ia tidak akan pernah lalai mengerjakan shalat Dhuha di sepanjang hidupnya merupakan petunjuk tentang pentingnya amalan sunah itu, betapa tinggi nilainya dalam pandangan Rasulullah saw, sehingga seorang Abu Hurairah pun merasa tergugah tidak meninggalkannya hingga akhir hayat. 

Tidaklah sulit untuk menengarai bahwa di mata Abu Hurairah dan para sahabat Rasulullah yang lainnya, kedudukan shalat Dhuha seperti ini tampak hampir setara dengan shalat-shalat wajib yang lima waktu. Oleh karena itu, dapat dipahami jika mereka bertekad untuk tidak melalaikan sunah itu sekali waktu pun, seakan-akan mereka hendak melaksanakan shalat-shalat yang status hukum wajibnya telah jelas.

Gambaran tentang kedudukan istimewa shalat Dhuha ini seharusnya sudah cukup membuat kita tersadarkan bahwa informasi hadits yang diberitakan lewat Abu Hurairah itu merupakan panggilan dan anjuran bagi kita untuk mencintai dan mengamalkan shalat Dhuha.Panggilan dan anjuran itu tidak hanya tertuju secara terbatas kepada para sahabat Rasulullah, tetapi juga pada kita yang mengakui kebenaran agama yang dibawa Muhammad Saw, agama Islam. Rasulullah dan para sahabatnya merupakan teladan bagi kita sebagai umat muslim. 

Hadits berikut ini juga bisa menjadi rujukan kita dalam menjelaskan lebih lanjut kedudukan dan status hukum shalat Dhuha: Aisyah Ra berkata, "Jika Rasulullah saw. meninggalkan suatu amalan yang beliau suka mengamalkannya, hal itu karena beliau khawatir orang-orang menganggapnya sesuatu yang diwajibkan. Dan, tidak sekalipun Rasulullah Saw. melaksanakan shalat sunah dhuha, kecuali aku pun melakukannya." (HR Bukhari dan Muslim).
 
Di sini, kita dapat dengan mudah menemukan pernyataan yang agak tegas mengenai status hukum shalat Dhuha. Ketika Rasulullah pada suatu waktu sengaja meninggalkan suatu amalan yang beliau sangat cintai dan selalu dilaksanakannnya karena khawatir amalan itu dipandang umatnya sebagai amalan wajib, jelaslah bahwa amalan itu bukanlah amalan wajib. Penisbatan istilah "sunah" oleh Aisyah pada shalat Dhuha menunjukkan bahwa shalat Dhuha jelas merupakan amalan sunah biasa. 

Namun demikian, keterangan hukum shalat Dhuha seperti ini sama sekali tidak menyiratkan pengertian bahwa shalat itu hanya memiliki nilai yang kurang  penting dalam perbandingannya dengan amalan wajib. Sebaliknya, keterangan itu justru ingin menunjukkan bahwa shalat Dhuha memiliki nilai yang sangat tinggi. Dalam hadist di atas, shalat Dhuha dinyatakan secara tidak langsung sebagai sebuah amalan sunah Rasulullah di antara amalan-amalan sunah lainnya yangtidak pernah beliau lalaikan. 

Di sinilah kita bisa melihat tingginya kedudukan shalat Dhuha, sampai-sampai Rasulullah hampir tidak pernahkan meninggalkannya, sekalipun shalat Dhuha itu hanya berstatus hukum sunah. Kita bisa membayangkan sikap Rasulullah terhadap shalat Dhuha, seandainya Allah SWT mensyariatkannya sebagai amalan wajib.

Lebih jauh, pengakuan Aisyah ra. bahwa ia juga melakukan shalat sunah Dhuha kapan saja Rasulullah melakukannya turut memperkuat kedudukan utama shalat sunah tersebut. Pengakuan Aisyah dalam  hadits itu mengandung pengertian bahwa jika Rasullah tidak pernah melalaikan shalat sunah Dhuha, demikian juga halnya Siti Aisyah. Dengan demikian, keterangan Aisyah tentang shalat Dhuha ini turut memperkuat keterangan hadits Abu Hurairah sebelumnya.

Dalam Hadits lain yang senada juga dikabarkan bagaimana Aisyah Ra. meneladani ketekunan Rasulullah Saw. dalam melakukan shalat Dhuha. Aisyah ra, berkata, "Setiap kali aku melihat Rasulullah Saw. melaksanakan shalat Dhuha, aku pun pasti melaksanakannya." (HR Bukhari).

Hadits-hadits mengenai shalat Dhuha yang dikemukakan di atas tidak sekadar menunjukkan status hukum shalat Dhuha sebagai amalan sunah, melainkan juga mengabarkan bagaimana para sahabat menunjukkan kecintaan mereka terhadap amalan sunah itu. Pengamalan shalat sunah Dhuha tidak hanya menjadi kesenangan Rasulullah Saw, tetapi juga menjadi kesenangan Para sahabat dan orang-orang tercintanya. Status hukum shalat Dhuha memang hanya sebagai amalan sunah. 

Namun demikian, hal itu hendaknya tidak dimengerti bahwa ia hanya amalan sunah yang tidak wajib dilaksanakan melainkan ia adalah amalan shalat sunah yang kedudukannya mendekati kedudukan amalan shalat wajib. Dengan kata lain, shalat dhuha adalah shalat sunah yang istimewa sehingga kita dianjurkan untuk tidak melalaikannya sebagaimana kita diwajibkan untuk tidak melalaikan pelaksanakan shalat-shalat wajib.

Lalu, di mana letak keistimewaan shalat Dhuha sehingga Rasulullah dan para sahabatnya sangat senang mengerjakannya? Setiap ritual amalan dalam Syariat Islam tidak pernah lepas dari hikmah yang terkandung di dalamnya. Namun, tersingkapnya hikmah suatu amalan akan bergantung pada kemampuan manusia itu sendiri. 

Bisa jadi hikmah suatu amalan itu beragam karena kemampuan kita dalam menyingkap hikmah yang terdapat dalam amalan tersebut tidak sama. Ada sebagian hikmah yang barangkali mudah untuk dimengerti bahkan oleh pola pikir masyarakat awam secara umum. Namun, ada juga hikmah rahasia yang hanya dirasakan oleh pribadi secara khusus, yang pengungkapannya berbeda antara satu pribadi dengan pribadi lainnya.  


SHOALT SUNNAH DHUHA (Hubungan Waktu Dhuha dengan Shalat Dhuha )

Hubungan Waktu Dhuha dengan Shalat Dhuha

waktu dhuha yang baik, waktu dhuha pukul berapa, demi waktu dhuha, keutamaan shalat dhuha, sholat dhuha
Waktu Sholat Dhuha dan Sholat Dhuha
Pada posting sebelumnya telah dibahas tentang Makna Dhuha Dalam Al Quran, Waktu Dhuha dan Hukum Shalat Dhuha. Lalu, bagaimana keterkaitan antara anjuran untuk melakukan shalat sunah di waktu dhuha dengan waktu dhuha itu sendiri? Dalam hal ini, kita dapat melakukan beberapa perenungan tentang waktu dhuha. Waktu dhuha berkaitan dengan permulaan hari yang ditandai dengan pancaran sinar matahari pagi. Pancaran sinarnya menerangi dap menghangatkan bumi dari dinginnya kegelapan yang membekukan dan mematikan.



Matahari merupakan salah satu ciptaan agung Tuhan. Tanpa matahari tidak mungkin ada kehidupan. Sinarnya laksana lentera yang mengiringi manusia menemukan petunjuk-petunjuk di sepanjang perjalanan kehidupannya di alam
raya ini.

Sinar matahari di waktu dhuha berbeda dengan sinarnya di waktu tengah hari atau senja hari. Terpaan sinarnya memberikan kehangatan, kebugaran, kenyamanan, dan kesehatan. Matahari mampu mengusir kemalasan dan kelembaman, sekaligus menggeliatkan semangat kehidupan. Ketika sinar matahari berangsur panas di waktu dhuha, pancarannya tidak mengakibatkan terik atau keluhan juga tidak mengakibatkan bencana dan malapetaka bagi kehidupan, bahkan di masa-masa ketika terjadi pemanasan global seperti saat ini. 

Sinar matahari dhuha merupakan pertanda dimulainya denyut aktivitas kehidupan di belahan bumi yang terkena pancarannya. Waktu dhuha adalah waktu ketika kondisi sinar matahari berada pada puncak kondusivitasnya untuk mendukung segala bentuk kegiatan manusia dan cita-cita yang ingin diraihnya. Betapa tidak, pada waktu dhuha kondisi manusia pada umumnya berada dalam puncak vitalitasnya, sehingga memungkinkan mereka untuk mengerjakan banyak hal dengan kualitas kerja yang terbaik. Hal ini tentu saja tidak lepas dari dukungan suasana di waktu dhuha. Betapa eratnya pertautan antara sinar matahari dhuha dengan geliat kehidupan seluruh makhluk. Ia menjadi sumber energi yang menggerakkan kehidupan. Kehidupan menjadi tampak dinamis di waktu dhuha.

Dalam waktu dan kondisi dhuha seperti ini, anjuran untuk melaksanakan shalat sunah Dhuha bisa dipandang sebagai pengiring yang menyertai dan menggan-
deng dinamisme gerak kehidupan di waktu dhuha. Shalat Dhuha seakan-akan mengabsahkan gelora kehidupan di waktu dhuha dengan kekuatan-kekuatan ruhaniah agar ia tetap berada dalam kendali norma-norma clan nilai-nilai luhur Ilahi. Sebab, tanpa kendali kekuatan-kekuatan ruhaniah itu, boleh jadi vitalitas
dan potensi besar manusia di waktu dhuha seperti itu tersalurkan dengan cara-cara yang salah dan untuk tujuan-tujuan yang salah pula.
 
Mahasuci Allah Sang Pengatur waktu!
Dalam ungkapan yang lebih empiric, kita dapat mengatakan bahwa shalat Dhuha merupakan wahana untuk membangun spiritualitas di sela-sela jam-jam sibuk, saat kita bekerja keras mengais rezeki untuk menghidupi keluarga, anak, istri, atau sekadar untuk diri sendiri. Shalat Dhuha bisa berperan menghidupkan suasana jiwa yang kondusif untuk senantiasa mengingat Allah.

Dengan demikian, waktu dhuha secara tidak langsung mengekangnya dari    melakukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan banyak orang dan
mencelakakan diri sendiri. Dengan kata lain, shalat Dhuha bisa menuntun kita untuk senantiasa mencari rezeki yang halal dan dengan Cara yang halal pula;
menuntun kita untuk senantiasa menyandarkan diri kepada Allah, agar kita tidak mudah berputus asa dalam bekerja, dan diberi-Nya keringanan dalam menjauhi
segala godaan dan rayuan yang akan mengotori jerih payah dan ibadah kita dalam mencari rezeki. 

Tentunya dengan shalat Dhuha, kita berharap bahwa setiap rezeki yang kita terima dari-Nya-apa pun bentuk rezeki itu-akan membawa keberkahan kepada kita. Di samping itu semua, pelaksanaan shalat Dhuha merupakan bukti kesadaran kita akan limpahan rahmat-Nya yang tidak terkira. Dengan kata lain, shalat Dhuha merupakan ungkapan syukur setiap hamba terhadap karunia Allah yang tak terhingga ini. 

JUMLAH RAKA'AT SHOLAT DHUHA

Berapakah Jumlah Rakaat Shalat Sunah Dhuha?

Jumlah Rakaat Sholat Dhuha
Tidak seperti shalat-shalat wajib yang telah ditentukan jumlah rakaatnya masing-masing, shalat sunah Dhuha tidak memiliki ketentuan yang tegas mengenai rakaat yang harus dilaksanakan. Selain itu, tidak ada juga keterangan tentang berapa batasan maksimal jumlah rakaat shalat dhuha. Namun demikian, berdasarkan keterangan sejumlah riwayat hadits yang ada, shalat Dhuha dapat dilakukan minimal dua rakaat hingga delapan rakaat atau dua belas rakaat.

Hal ini bisa kita perhatikan dalam riwayat-riwayat berikut ini dan seterusnya: Hadits di bawah ini mengisyaratkan bahwa shalat Dhuha bisa dilakukan sebanyak dua rakaat.


"Dari Abu Hurairah ra. berkata:'Kekasihku (Rasulullah Saw.) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa tiga hari pada setiap bulan (ayyam al-bidh'), dua rakaat shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tfidur'." (HR Bukhari). Demikian juga dengan hadits di bawah ini. Abu Abdullah berkata, "Abu Hurairah berkata,    `Nabi Muhammad Saw. berwasiat kepadaku dengan dua rakaat dhuha." Itban bin Malik berkata, "Pada suatu pagi Rasulullah Saw. berkunjung kepadaku bersama Abu Bakar setelah siang mulai terasa panas. Maka, kami pun membuat shaf di belakang beliau (bermakmum) dan beliau shalat dua rakaat." (HR Bukhari). 

Terkadang, Rasulullah saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Ini terungkap dari jawaban istri beliau, `Aisyah, atas pertanyaan Mu'adzah mengenai jumlah rakaat shalat sunah Dhuha yang dilakukan Nabi Muhammad.
Mu'adzah bertanya kepada Aisyah ra, "Berapa rakaat Rasulullah saw. shalat Dhuha?" Aisyah menjawab, "Empat rakaat dan menambah sekehendak beliau." (HR Muslim).

Hadits yang satu ini juga mengindikasikan bahwa Rasulullah suka melaksanakan shalat Dhuha lebih dari empat rakaat, sekalipun di sini tidak begitu jelas disebutkan berapa pastinya tambahan rakaat shalat Dhuha Nabi ketika beliau melakukan shalat tersebut lebih dari empat rakaat. 

Keterangan hadits seperti ini juga tampaknya menjadi indikasi bahwa tidak ada ketentuan yang tegas mengenai berapa batasan maksimal shalat Dhuha. Sekalipun demikian, kita menemukan adanya riwayat hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Berikut ini hadits-haditsnya:
...Ummu Hani binti Abu Thalib meriwayatkan bahwa ketika tahun penaklukan Makkah dia menjumpai Rasulullah Saw. ketika beliau sedang ada di tempat yang palig tinggi di Makkah. Lalu, beliau mandi dan Fatimah menghampirinya untuk membawakan baju beliau. Kemudian, beliau memakainya dan shalat sunah Dhuha delapan rakaat. Dari Said bin Abi Hindi dengan isnad yang sama berkata, "Kemudian Fatimah menghampiri beliau dan mengambilkan baju beliau. Setelah selesai mandi beliau memakai baju tersebut lalu berdiri dan shalat delapan rakaat. Itu adalah shalat Dhuha." (HR Muslim).  

Abdullah bin Harits berkata, "Aku bertanya pada masa Utsman bin Affan dan orang-orang pada saat itu sering melaksanakan shalat Dhuha, sedangkan aku tidak mendapatkan kabar tentang shalat Dhuha dari seorang pun (para sahabat Rasulullah saw) kecuali Ummu Hani yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. shalat Dhuha delapan rakaat." (HR Ibnu Majah). 

Hadits-hadits ini dapat menjadi keterangan tentang jumlah rakaat shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau melaksanakannya lebih dari empat rakaat. Namun, bagaimanapun juga, keterangan-keterangan hadits seperti ini tampaknya tetap tidak bisa dijadikan landasan tentang ketentuan pasti jumlah maksimal rakaat shalat sunah Dhuha. 

Ada juga riwayat tentang shalat dhuha 12 rakaat. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di surga”. [HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan].

Dari hadits-hadits di atas kita dapat disimpulkan bahwa jumlah rakaat sholat dhuha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat, dilakukan secara munfarid (sendirian). Lalu, berapa rakaat shalat dhuha sebaiknya dikerjakan? 


Menurut saya, yang terbaik adalah yang istiqomah walaupun cuma 2 rakaat. Simak hadits berikut ini: Dari Aisyah r.a. berkata : Nabi pernah ditanya :”Manakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda :”Yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit”. Beliau bersabda lagi :”Dan lakukanlah amal-amal itu, sekedar kalian sanggup melakukannya.” (HR. Bukhari). Semoga kita bisa istiqomah melakukan shalat sunnah dhuha ini. Aamiin...


JUMLAH RAKA'AT SHOLAT SUNNAH DHUHA

Berapakah Jumlah Rakaat Shalat Sunah Dhuha?

Jumlah Rakaat Sholat Dhuha
Tidak seperti shalat-shalat wajib yang telah ditentukan jumlah rakaatnya masing-masing, shalat sunah Dhuha tidak memiliki ketentuan yang tegas mengenai rakaat yang harus dilaksanakan. Selain itu, tidak ada juga keterangan tentang berapa batasan maksimal jumlah rakaat shalat dhuha. Namun demikian, berdasarkan keterangan sejumlah riwayat hadits yang ada, shalat Dhuha dapat dilakukan minimal dua rakaat hingga delapan rakaat atau dua belas rakaat.

Hal ini bisa kita perhatikan dalam riwayat-riwayat berikut ini dan seterusnya: Hadits di bawah ini mengisyaratkan bahwa shalat Dhuha bisa dilakukan sebanyak dua rakaat.


"Dari Abu Hurairah ra. berkata:'Kekasihku (Rasulullah Saw.) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa tiga hari pada setiap bulan (ayyam al-bidh'), dua rakaat shalat Dhuha, dan shalat witir sebelum tfidur'." (HR Bukhari). Demikian juga dengan hadits di bawah ini. Abu Abdullah berkata, "Abu Hurairah berkata,    `Nabi Muhammad Saw. berwasiat kepadaku dengan dua rakaat dhuha." Itban bin Malik berkata, "Pada suatu pagi Rasulullah Saw. berkunjung kepadaku bersama Abu Bakar setelah siang mulai terasa panas. Maka, kami pun membuat shaf di belakang beliau (bermakmum) dan beliau shalat dua rakaat." (HR Bukhari). 

Terkadang, Rasulullah saw. melaksanakan shalat Dhuha sebanyak empat rakaat. Ini terungkap dari jawaban istri beliau, `Aisyah, atas pertanyaan Mu'adzah mengenai jumlah rakaat shalat sunah Dhuha yang dilakukan Nabi Muhammad.
Mu'adzah bertanya kepada Aisyah ra, "Berapa rakaat Rasulullah saw. shalat Dhuha?" Aisyah menjawab, "Empat rakaat dan menambah sekehendak beliau." (HR Muslim).

Hadits yang satu ini juga mengindikasikan bahwa Rasulullah suka melaksanakan shalat Dhuha lebih dari empat rakaat, sekalipun di sini tidak begitu jelas disebutkan berapa pastinya tambahan rakaat shalat Dhuha Nabi ketika beliau melakukan shalat tersebut lebih dari empat rakaat. 

Keterangan hadits seperti ini juga tampaknya menjadi indikasi bahwa tidak ada ketentuan yang tegas mengenai berapa batasan maksimal shalat Dhuha. Sekalipun demikian, kita menemukan adanya riwayat hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat Dhuha sebanyak delapan rakaat. Berikut ini hadits-haditsnya:
...Ummu Hani binti Abu Thalib meriwayatkan bahwa ketika tahun penaklukan Makkah dia menjumpai Rasulullah Saw. ketika beliau sedang ada di tempat yang palig tinggi di Makkah. Lalu, beliau mandi dan Fatimah menghampirinya untuk membawakan baju beliau. Kemudian, beliau memakainya dan shalat sunah Dhuha delapan rakaat. Dari Said bin Abi Hindi dengan isnad yang sama berkata, "Kemudian Fatimah menghampiri beliau dan mengambilkan baju beliau. Setelah selesai mandi beliau memakai baju tersebut lalu berdiri dan shalat delapan rakaat. Itu adalah shalat Dhuha." (HR Muslim).  

Abdullah bin Harits berkata, "Aku bertanya pada masa Utsman bin Affan dan orang-orang pada saat itu sering melaksanakan shalat Dhuha, sedangkan aku tidak mendapatkan kabar tentang shalat Dhuha dari seorang pun (para sahabat Rasulullah saw) kecuali Ummu Hani yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. shalat Dhuha delapan rakaat." (HR Ibnu Majah). 

Hadits-hadits ini dapat menjadi keterangan tentang jumlah rakaat shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau melaksanakannya lebih dari empat rakaat. Namun, bagaimanapun juga, keterangan-keterangan hadits seperti ini tampaknya tetap tidak bisa dijadikan landasan tentang ketentuan pasti jumlah maksimal rakaat shalat sunah Dhuha. 

Ada juga riwayat tentang shalat dhuha 12 rakaat. Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha sebanyak 12 rakaat, maka ALLAH akan membangunkan untuknya istana di surga”. [HR. Turmuzi dan Ibnu Majah, hadis hasan].

Dari hadits-hadits di atas kita dapat disimpulkan bahwa jumlah rakaat sholat dhuha minimal 2 rakaat dan maksimal 12 rakaat, dilakukan secara munfarid (sendirian). Lalu, berapa rakaat shalat dhuha sebaiknya dikerjakan? 


Menurut saya, yang terbaik adalah yang istiqomah walaupun cuma 2 rakaat. Simak hadits berikut ini: Dari Aisyah r.a. berkata : Nabi pernah ditanya :”Manakah amal yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda :”Yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit”. Beliau bersabda lagi :”Dan lakukanlah amal-amal itu, sekedar kalian sanggup melakukannya.” (HR. Bukhari). Semoga kita bisa istiqomah melakukan shalat sunnah dhuha ini. Aamiin...

sbagusari.blogspot.com 


Mendatangkan Rezeki Dengan Tawakkal

Mendatangkan Rezeki Dengan Tawakkal

mendatangkan rezeki dengan tawakkal, kunci rezeki
Termasuk metode mendatangkan rezeki yang berkah dan melimpah adalah "tawakkal" bersama
Allah Swt., Dzat Yang Maha Esa lagi Tempat Meminta (al Ahad ash-Shamad). Tawakkal adalah suatu sikap menyerahkan segala permasalahan kepada Allah Swt. secara total, agar apa yang telah diikhtiarkannya diberikan restu oleh Allah, dan keridhaan-Nya dengan mengabulkan permohonan, memberikan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan ke hadirat-Nya, serta mendatangkan kemanfaatan, kesejahteraan, dan keselamatan.


Dalam tawakkal diperlukan satu keyakinan bahwa pada hakikatnya segala kekuatan, kebutuhan, dan keperluan berasal dari Allah Swt. Semua itu tidak berasal dari selain Allah, tidak berasal dari para penghuni alam semesta ini, dan tidak berasal dari sebab atau sarana. Jika Allah berkehendak, maka Dia akan menghadirkan sebab atau sarana kepada makhluk, dan jika Dia telah berkehendak pula, maka dengan kekuasaan-Nya, Allah dapat mencukupkan rezeki si hamba tanpa disertai sebab atau sarana. Jika kita meyakini kebenaran pernyataan ini, menghindarkan hati dari kesibukan-kesibukan manusia dan sebab (sarana) atau ketergantungan-ketergantungan dari selain Allah, serta mempergunakan potensi-potensi yang ada untuk mengingat Allah, niscaya kita telah bertawakkal dengan benar.

Dalil-dalil Syar'i yang Menunjukkan bahwa Tawakkal itu Merupakan Metode untuk Mendatangkan Rezeki


Pertama, Imam Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu al-Mubarak, Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Qadha'i, dan al-Baghawi, mereka semua telah meriwayatkan dari Umar bin Khathab Ra., dia berkata bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Jika saja kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, pasti karnu diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki, ia pagi-pagi lapar dan sore hari telah kenyang,"


Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw. telah benar-benar menjelaskan bahwa seseorang yang benar-benar bertawakkal kepada Allah diberikan jaminan akan memperoleh rezeki sebagaimana burung yang pergi di pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut yang kenyang. Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad Saw. menegaskan: "Akan masuk surga orang-orang yang hati mereka bagaikan burung." (HR. Muslim dari Abu Hurairah Ra.).


"Hati mereka bagaikan burung" adalah i'tibar (pelajaran) yang menunjukkan hati yang tidak pernah terikat oleh segala sesuatu selain Allah (bebas dari selain Allah). Sehingga, merasa lapang dan luas karena adanya kepasrahan dan penyerahan diri secara total, bahwa is benar-benar meyakini akan jaminan Allah Swt. pada dirinya, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.


Kedua, barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia akan mencukupi kebutuhannya. Allah. Swt. telah berfirman:

 وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
 "...Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya, Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya, Sesungguhnya  Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. ath-Thalaaq [65]: 3).

Allah Swt. telah memberikan jaminan, di mana tidak ada satu makhluk pun yang dapat memberikan jaminan semacam ini. Bagi orang-orang yang telah benar-benar menyerahkan dirinya kepada Allah dan mewakilkan segala macam urusan kepada-Nya, maka Allah tidak akan pernah menyempitkan rezekinya, balk lahir maupun batin.


Sumber: Buku Orang Islam Harus Kaya
sbagusari.blogspot.com 

Tawakal Dalam Mencari Rezeki

Pentingnya Bertawakal dalam Mencari Rezeki

kunci rezeki menurut islam, kunci rezeki yang hilang, download document kunci rezeki, mencari kunci rezeki yang hilang, makalah kunci rezeki, tips untuk memperoleh kunci rezeki, rezeki menurut islam, doa melancarkan rezeki
Ketika lapangan pekerjaan semakin sempit, kesempatan meraih hasil yang lebih banyak semakin kecil, dan ketika persaingan hidup menjadi lebih kompetitif di masa kini dan akan datang, maka waktu semakin lebih berharga, baik di tempat kerja, di rumah, dan di lingkungan sosial. Bahkan, selain itu, kita masih dihadapkan pada semakin tingginya tuntutan akan kebutuhan hidup dan besarnya pengeluaran yang harus kita bayar. Agar kita dapat keluar dari kemelut kehidupan dan mampu menjadikan aktivitas hidup berdimensi ibadah (vertikal dan horizontal), maka kita perlu bertawakkal kepada Allah Swt. atas rezeki dan keinginan untuk meraihnya-karena adanya berbagai macam kebutuhan hidup. 


Pentingnya bertawakkal dalam mencari rezeki didasarkan pada dua alasan, yaitu: Pertama, tawakkal menjadikan seseorang bebas dari beban duniawi, sehingga ia dapat beribadah dengan baik dan tenang. Orang yang tidak bertawakkal mustahil dapat menyibukkan diri dalam beribadah karena terlalu memikirkan kebutuhan hidup yang banyak, keinginan mencari rezeki, dan kemaslahatan, baik lahir maupun batin. Kesibukan-kesibukan lahiriah yang sering kali melupakan (melalaikan) ibadah dapat berupa banyaknya pekerjaan dan usaha dalam mencari rezeki. Hal ini seperti yang terjadi pada orang-orang yang ingin menumpuk kekayaan (ar-raghibin). Adapun kesibukan batiniah berupa pikiran, keinginan, dan kegelisahan hati untuk mencari rezeki.

Dalam pelaksanaan ibadah, dibutuhkan kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh agar segala elemen yang terkait dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang ada. Kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh hanya terjadi bila seseorang mau bertawakkal. Dengan kata lain, hanya orang-orang bertawakkallah yang mampu meraih kelapangan hati dan keleluasaan anggota tubuh.

Adapun orang yang lemah hatinya hampir tidak akan mencapai ketenangan dalam jiwanya, kecuali hanya pada hal-hal yang sudah diketahuinya dan menjadi kebiasaannya. Di samping segala urusan penting, baik yang berkaitan dengan dunia dan akhirat, hampir dipastikan dia tidak pernah mencapai kesempurnaan.

Imam al-Ghazali juga mengatakan, banyak sekali hal-hal yang saya dengar dari guru saya, Abu Muhammad. Bahwasanya beliau mengatakan, "Segala persoalan yang ada di dunia ini berjalan atas dua orang; orang yang bertawakkal (al-mutawakkil) dan orang yang kurang perhitungan (al-mutahawwir)." Pernyataan tersebut memiliki makna yang luas. Orang yang kurang perhitungan akan mendasarkan pekerjaannya pada kekuatan dan keberanian saja, tanpa memikirkan atau menimbang-nimbang dampak positif dan negatif dari tindakan yang diambilnya.

Adapun orang yang berawakkal, maka segala perbuatannya didasarkan pada pemikiran dan perencanaan yang matang, keyakinan yang kuat terhadap janji Allah Swt., dan kebenaran atas apa yang dijanjikan oleh-Nya. Karena itu, ia tidak akan merasa takut dengan ancaman manusia dan gangguan serta bujuk rayu setan. Dalam hatinya, tertancap satu keyakinan bahwa ia akan berhasil mencapai maksudnya dan meraih keinginannya.

Adapun orang yang hatinya lemah, maka ia akan selalu dihantui berbagai macam perasaan antara tawakkal, keraguan, dan keyakinan. Orang seperti ini diibaratkan burung dalam sangkar yang hanya bisa memandang gerak-gerik pemiliknya, sementara ia tidak bisa membuka pintunya walaupun keinginannya untuk keluar dari sangkar itu sangat besar. Kategori orang seperti ini menggantungkan harapan yang besar dan ingin menggapai angkasa, tetapi ia sering gagal dalam merencanakan tujuannya karena kurang wawasan (pengetahuan). Demikian pula ia sering memimpikan kemuliaan, ibarat pungguk merindukan rembulan, namun impiannya tersebut hampir tidak pernah terwujud dalam kenyataan, apalagi sampai pada tingkat kesempurnaan.

Lihat dan perhatikan manusia yang bercita-cita! Mereka tidak akan dapat mencapai derajat yang tinggi dalam kehidupan kecuali jika mereka telah mampu dan sukses merencanakan tujuannya, rela mengorbankan keinginan akan jiwa, kekayaan, dan keluarga mereka semata-mata karena Allah. Orang-orang yang orientasinya adalah Allah dan Hari Akhir, mereka telah mempersiapkan diri dengan modal spiritual yang utama, yaitu tawakkal dan berupaya mencegah hati dan seluruh eksistensi dirinya dari ketergantungan-ketergantungan duniawi. Jika seorang hamba mampu mengaplikasikan konsep ini dengan baik dan benar, maka is akan dapat melaksanakan aktivitas ibadahnya dengan rasa khusyuk dan sikap tawadhu', khudhu', dan thuma'ninah. Maka, tidak ada bedanya bagi mereka ketika berada di dalam kondisi bagaimanapun, dan situasi apa pun juga tidak berengaruh bagi eksistensi diri mereka di hadapan Allah.

Mereka mampu mengondisikan dirinya menjadi sepi di tengah keramaian dan ramai di tengah kesepian. Dengan demikian, orang-orang seperti ini akan menjadi hamba-hamba Allah yang diberi-Nya kekuatan, manusia yang paling terpimpin bersama-Nya, dan penguasa-Nya di bumi (khalifah Allah). Mereka dapat beribadah dan menuntut ilmu sesuai dengan kemauan Allah. Tidak ada yang mampu menghalangi dan merintangi mereka, sebab bagi mereka pada setiap situasi, kondisi, ruang (tempat), dan waktu (zaman) adalah sama dan satu esensinya.

Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah Saw. berikut: "Barang siapa ingin menjadi orang yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah. Barang siapa ingin menjadi orang yang paling mulia, maka bertakwalah kepada-Nya, dan barang siapa yang ingin menjadi orang yang paling kaya, maka hendaklah ia mempercayai (meyakini) kekuasaan Allah daripada kekuasaan dirinya,"

Tawakkal adalah suatu sifat dan sikap yang dapat mengantarkan seseorang untuk dapat melihat dunia dan akhirat sebagai kerajaan yang dimiliki dan dikuasai oleh Allah Swt., dan meyakini sepenuhnya akan pengaturan-Nya terhadap dirinya dengan rezeki-Nya yang tersebar luas di segala penjuru dunia ini.

Kedua, orang yang selalu bertawakkal tidak pernah khawatir, takut, dan ragu akan kekurangan rezeki, sebab ia meyakini bahwa bila ia meninggalkan tawakkal, maka ia akan menemul bencana dan bahaya yang besar. la meyakini bahwa Allah senantiasa mengiringi makhluk-Nya dengan rezeki-Nya masing-masing, tanpa adanya diskriminasi atau pengecualian.

Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ۖ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَٰلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan." (QS. ar-Rum [30]: 40).

Allah Swt. telah menjanjikan dan memberikan jaminan rezeki kepada siapa pun juga, hal ini mengisyaratkan akan sifat Rahman, Rahim, Wahhab, Razzaq, Fattah, Ghaniy, dan Mughniy-Nya, Berta sifat-sifat Kedermawanan-Nya yang tidak dapat dibatasi dan diperumpamakan dengan sesuatu apa pun juga. Hal tersebut dijelaskan dalam beberapa firman-Nya di bawah ini:

 إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
"Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 58). 
 وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
 "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya, semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Hud [11]: 6).
 فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
 "Maka demi Tuhan langit dan bumf, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. adz-Dzaariyaat [51]: 23).

Tawakkal adalah termasuk di antara perintah-perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap hamba yang telah berikrar untuk beriman kepada-Nya. Hal ini dapat menjadi barometer kualitas keimanan seseorang di hadapan Allah Swt., sebagaimana isyarat firman-Nya: 

وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ ۚ وَكَفَىٰ بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا
"Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Maha Hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya." (QS. al-Furgaan [25]: 58).

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
"Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: `Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maa'idah [5]: 23).

Jika manusia tidak mau menerima dan membenaran janji Allah, jaminan, sumpah, dan ancaman-Nya, maka bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Siapa lagi yang memberi rezeki selain Allah? Demi Allah, jika demikian halnya, maka inilah yang disebut dengan bencana besar yang menimpa manusia. Na'udzu billah min dzalik.


Sumber: Buku Orang Islam Harus Kaya

sbagusari.blogspot.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU