| 
 
 
Pengaruh mereka tidak hanya dalam 
bangunan yang berisikan para pemuda yang berpeci dan berkopiah, 
melainkan juga di gedung wakil rakyat, bahkan juga istana negara. 
 
 
Peran NU dari sejak berdirinya, 1926, 
sampai hari ini cukup signifikan. Tidak hanya dalam hal keagamaan, 
melainkan juga dalam bidang-bidang lain, termasuk politik. 
Kini, ketika NU memasuki usia 84 tahun, alKisah menyuguhkan penggalan-penggalan kisah sepuluh tokoh berpengaruh dalam kehidupan ormas keagamaan terbesar di Indonesia itu.
 Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari
 
K.H. Hasyim Asy’ari lahir pada 24 
Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M di Desa Nggedang, Jombang, 
Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara pasangan Kiai Asy`ari bin 
Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman. 
Ia lahir dari kalangan elite santri. 
Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari pihak ayah, Kiai Usman, 
pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah, Kiai Sihah, pendiri 
Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantern itu berada di Jombang. 
Sampai umur 13 tahun, Hasyim belajar 
kepada orangtuanya sendiri sampai pada taraf menjadi badal atau guru 
pengganti di Pesantren Keras. Muridnya tak jarang lebih tua dibandingkan
 dirinya. 
Pada umur 15 tahun, ia memulai 
pengembaraan ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura: Probolinggo 
(Pesantren Wonokoyo), Tuban (Pesantren Langitan), Bangkalan, Madura 
(Pesantren Trenggilis dan Pesantren Kademangan), dan Sidoarjo (Pesantren
 Siwalan Panji). 
Pada pengembaraannya yang terakhir 
itulah, ia, setelah belajar lima tahun dan umurnya telah genap 21 tahun,
 tepatnya tahun 1891, diambil menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin 
Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan dengan Khadijah. 
Namun, dua tahun kemudian, 1893, saat 
pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah meninggal di sana ketika 
melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun menyusul ibunya. 
Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz. 
Tahun itu juga, Hasyim pulang ke tanah 
air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke Makkah bersama adiknya, 
Anis, untuk dan belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana. Namun hal 
itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar. 
Tahun 1900, ia pulang kampung dan 
mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun  kemudian, 1903, ia mengajar 
di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di tempat mertuanya, Kiai 
Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya, Nafisah. 
Selama di Makkah ia belajar kepada 
Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama Indonesia pertama pakar ilmu
 hadits yang mengajar kitab hadits Shahih Al-Bukhari di Makkah. Ilmu 
hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, 
yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah Suci. 
Selama hidupnya, K.H. Hasyim menikah 
tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah, antara lain ia juga 
menikahi Nafiqah, dari Siwalan Panji, Masrurah, dari Pesantren Kapurejo,
 Kediri. 
Tahun 1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia 
mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim 
melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional, 
yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia juga 
memperkenalkana pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti 
Bahasa Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah 
dengan Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia. 
Kiai Cholil Bangkalan, gurunya, yang 
juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai Jawa, pun sangat 
menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H. Hasyim-lah yang
 dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.  
 
Menghadapi penjajah Belanda, K.H. Hasyim
 menjalankan politik non-kooperatif. Banyak fatwanya yang menolak 
kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling spektakuler adalah 
fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang 
melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 
10 November di Surabaya. 
Dalam paham keagamaan, pikiran yang 
paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan
 sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai upaya untuk memahami 
ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini erat kaitannya 
dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut 
Ahlussunnah wal Jama’ah. 
Menurut Hasyim, umat Islam boleh 
mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun persoalannya, madzhab
 yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga mata rantai 
pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud yang 
dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama 
besar yang disebut imam madzhab. 
NU didirikan antara lain untuk 
mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu mendapat serangan 
gencar dari kalangan yang anti-madzhab. 
Kiai Hasyim wafat pada 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947 pada usia 76 tahun. 
Abdul Wahab Chasbullah Ia
 lahir pada bulan Maret 1888 di Tambakberas, Jombang. Nasabnya tidak 
jauh dari Hasyim Asy`ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan 
dari Kiai Abdus Salam (Siapa dia?).
 
Ayahnya, Chasbullah, adalah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas. Ibunya, Nyai Lathifah, juga putri kiai kondang (Siapa?). 
Pendidikannya dihabiskan di pesantren, 
mulai dari Pesantren Langitan (Tuban), Mojosari, Nganjuk, di bawah 
bimbingan Kiai Sholeh, Pesantren Cepoko, Tawangsari (Surabaya), hingga 
Pesantren Kademangan, Bangkalan (Madura), langsung berguru kepada Mbah 
Cholil. Kiai Cholil kemudian menganjurkannya belajar ke Pesantren 
Tebuireng (Jombang). 
Pada umur 27, ia pergi ke Makkah dan 
berguru kepada ulama-ulama besar Indonesia yang bermukim di sana, 
seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Khatib
 Minangkabaw, Kiai Bakir Yogya, Kiai Asy`ari Bawean. Ia juga belajar 
kepada tokoh-tokoh besar lain di sana yang bukan orang Indonesia, 
seperti Syaikh Sa`id Al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. 
Tahun 1921, sewaktu menunaikan ibadah 
haji bersama istri, sang istri meninggal di Makkah. Kemudian ia menikah 
dengan Alawiyah binti Alwi. Setelah melahirkan seorang anak, istri kedua
 ini juga meninggal. Setelah itu ia menikah berturut-turut dengan tiga 
wanita yang semuanya tidak memberikan keturunan. Empat anak diperolehnya
 dari istri berikutnya, Asnah binti Kiai Said. 
Setelah Asnah meninggal, ia menikah lagi
 dengan Fatimah binti H. Burhan, seorang janda yang punya anak bernama 
Syaichu, yang kelak menjadi ketua DPR pada masa Orde Baru. Sesudah itu 
ia menikah lagi dengan Masnah, dikaruniai seorang anak, lalu dengan 
Ashikhah binti Kiai Abdul Majid (Bangil), meninggal di Makkah setelah 
memberinya empat anak, dan yang terakhir dengan Sa`diyah, kakak sang 
istri, yang mendampinginya sampai akhir hayatnya dan memberinya 
keturunan lima anak. 
Sedikit mundur ke belakang, tahun 1914, 
ketika berumur 26 tahun, ia mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar 
(Pergolakan Pemikiran) bersama K.H. Mas Mansur. 
Pada tahun 1916, ia mendirikan Madrasah 
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) di Surabaya. Pengajarnya terdiri 
dari banyak ulama tradisional muda, seperti K.H. Bisri Syansuri 
(1886-1980) dan K.H. Abdullah Ubaid (1899-1938), yang di kemudian hari 
memainkan peranan penting di NU. 
Masih pada tahun yang sama, bersama Kiai
 Hasyim Asy’ari (1871-1947), ia mendirikan koperasi dagang Nahdlatut 
Tujjar (Kebangkitan Pedagang) untuk kalangan tradisionalis di kisaran 
Surabaya-Jombang.Pada tahun 1920, ia juga aktif dalam Islam Studie 
Club, jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan tokoh-tokoh nasionalis
 modernis, seperti dr. Soetomo.
 
Sejak 1924, Wahab Chasbullah telah mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis. 
Pada 31 Januari 1926, atas persetujuan 
Hasyim Asy`ari, ia mengundang para ulama terkemuka dari kalangan 
tradisionalis ke Surabaya untuk mengesahkan terbentuknya Komite Hijaz, 
yang akan mengirim delegasi ke kongres di Makkah untuk mempertahankan 
praktek-praktek keagamaan yang dianut kaum tradisionalis. Pertemuan 15 
kiai terkemuka dari Jawa dan Madura itu dilakukan di rumah Wahab 
Chasbullah di Kertopaten, Surabaya. 
Pertemuan tersebut akhirnya juga 
menghasilkan kesepakatan mendirikan NU, sebagai representasi Islam 
tradisional, untuk mewakili dan memperkukuh Islam tradisional di Hindia 
Belanda. 
Kemudian, MIAI (Majelis Islam A’la 
Indonesia, Dewan Tertinggi Islam di Indonesia), yang terbentuk pada 
September 1937, juga merupakan gagasan Wahab Chasbullah dan Ahmad Dahlan
 Kebondalem (NU), Mas Mansur (Muhammadiyah), dan Wondoamiseno (SI). 
Federasi organisasi Islam ini bertujuan meningkatkan komunikasi dan 
kerja sama di antara umat Islam. 
Namun kemudian MIAI dibubarkan oleh 
Jepang dan dibentuklah Masyumi pada November 1943. Hasyim Asy`ari 
ditunjuk sebagai ketua umum dan Whab Chasbullah sebagai penasihat dewan 
pelaksananya. 
Meski Masyumi adalah organisasi 
non-politik, pada kenyataannya fungsinya setengah politis, dimaksudkan 
untuk memperkuat dukungan umat Islam terhadap pemerintahan Jepang. 
November 1945, Masyumi berubah menjadi 
parpol. Masyumi menjadi satu-satunya kendaraan politik umat Islam. 
Hasyim Asy`ari menjadi ketua umum Majelis Syuro (Dewan Penasihat 
Keagamaan), Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy`ari, menjadi wakilnya, dan 
Wahab Chasbullah menjadi anggota dewan. 
Selanjutnya, setelah NU menyetujui peran
 politik bagi Masyumi lewat muktamar di Purwokerto (1946), orang-orang 
NU tampil di pemerintahan, yakni Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan K.H. 
Fathurahman Kafrawi. Sedang Wahab Chasbullah menjadi anggota DPA. 
Tahun 1947, Wahab Chasbullah menjabat rais am NU. 
Benih-benih krisis NU-Masyumi mulai 
tumbuh pada 1952. Saat itu Wahab Chasbullah menjadi ketua Dewan Syuro. 
Maka ia sangat gencar mengkampanyekan penarikan diri NU dari Masyumi. 
Dan secara resmi NU menarik diri dari Masyumi pada 31 Juli 1952. Pada 
sidang parlemen 17 September 1952, tujuh anggota parlemen dari NU 
menarik diri dari Masyumi. Di antaranya Wahab Chasbullah, Idham Chalid, 
Zainul Arifin. 
Mereka kemudian membentuk partai sendiri, NU. Akibatnya, Masyumi bukan lagi partai terbesar. “Gelar” itu jatuh ke tangan PNI. 
Pada Pemilu 1955, di luar dugaan, NU 
meraih tempat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak itu kesibukan Wahab 
Chasbullah lebih banyak pada bidang politik praktis di Jakarta,  
terutama sebagai anggota parlemen dan rais am NU. 
K.H. Wahab Chasbullah wafat tanggal 29 
Desember 1971, pada usia 83 tahun, di rumahnya di Kompleks Pesantren 
Tambakberas, Jombang. 
 Bisri Syansuri RUU
 Perkawinan, yang menyita banyak perhatian umat Islam pada tahun 1974, 
terselesaikan dan diterima umat Islam salah satunya karena peran besar 
Bisri. Sebagai tokoh utama PPP, ia mengajukan amandemen besar atas RUU 
yang telah diajukan ke DPR RI. Rancangan tandingan yang dibuat bersama 
sejumlah ulama itu, setelah mendapat restu dari Majelis Syuro PPP, 
diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan. 
Begitu pula ketika ada usaha keras untuk
 mengganti tanda gambar PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, ia 
tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP. 
Diakui atau tidak, ia adalah penerus 
Wahab Chasbullah, yang kebetulan sahabat karib dan kakak iparnya, baik 
di NU, PPP, maupun DPR. 
Setelah Wahab wafat pada 1971, ia 
menggantikan posisi kakak iparnya itu di NU sebagai rais am. Tapi memang
 sejak adanya jabatan rais am, yang ditetapkan setelah wafatnya Hasyim 
Asy’ari pada 1947, keduanya menjadi “dwi tunggal” sebagai ketua dan 
wakil. 
Bisri, anak nomor tiga dari lima 
bersaudara pasangan Syansuri dan Maiah, lahir pada 18 September 1886/26 
Dzulhijjah 1304 di Tayu, Jawa Tengah, daerah yang kuat memegang tradisi 
ajaran Islam. 
Umur tujuh tahun, ia belajar agama 
kepada Kiai Sholeh hingga umur sembilan tahun. Setelah itu ia 
mempelajari hadits, tafsir, dan bahasa Arab kepada Kiai Abdul Salam, 
salah seorang familinya yang hafal Al-Quran. Sesudah itu ia ke Jepara 
belajar kepada Kiai Syu`aib Sarang dan Kiai Cholil Kasingan. 
Umur 15 tahun ia menuju Bangkalan, 
Madura, berguru kepada Kiai Cholil. Di sinilah ia berjumpa dan berteman 
akrab dengan Wahab Chasbullah. 
Dari Bangkalan, ia menuju Jombang, berguru kepada K.H. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Setelah
 enam tahun, ia mendapat ijazah untuk mengajarkan kitab hadits Shahih 
Al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab fiqih Matn Az-Zubad.
 
Seusai dari Tebuireng, ia melanjutkan 
pengembaraan ilmunya ke Makkah bersama Wahab (1912). Di sana ia berguru 
kepada sejumlah ulama terkemuka, seperti K.H. Muhammad Bakir, Syaikh 
Muhammad Sa`id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, Syaikh Jamal Maliki. Juga 
kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabaw, Syaikh Syu`aib Dagestani, dan 
Syaikh Mahfudz Termas. 
Tahun 1914 ia mempersunting adik Wahab 
Chasbullah, Nur Chadijah, di Tanah Suci. Setelah itu, tahun itu juga, 
Bisri balik ke tanah air dan menetap di Jombang, membantu mertuanya 
mengurus Pesantren Tambakberas. 
Pada 1917, atas bantuan mertua, ia 
membuka pesantren sendiri di Desa Denanyar, yang populer dengan sebutan 
Pesantren Denanyar. Tahun itu pula, kakak iparnya, Wahab, pulang 
kampung. Bisri ikut terlibat dalam sepak terjang Wahab ketika mendirikan
 Komite Hijaz dan pembentukan NU pada 31 Januari 1926 di Kertopaten, 
Surabaya. 
Dalam proses pendirian NU, Bisri menjadi penghubung antara Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asy`ari. 
Segera setelah NU terbentuk, sebagai 
pembantu dalam susunan pengurus besar, ia menjadi motor penggerak di 
Jombang dan daerah pesirir utara Jawa. Posisi itu membuatnya dikenal 
secara luas. 
Rumah tangga Bisri dikaruniai sepuluh 
anak, tapi ada beberapa yang meninggal waktu kecil. Di antaranya anaknya
 itu, Solichah, dinikahkan dengan Wahid Hasyim, putra sulung Hasyim 
Asy`ari, gurunya. 
Ketika Masyumi terbentuk, ia pun aktif 
di dalamnya. Periode kemerdekaan juga membawanya pada fase perjuangan 
bersenjata.    Di pemerintahan, ia mula-mula duduk di Komite Nasional 
Indonesia Pusat, mewakili Masyumi. Tahun 1855 ia terlibat dalam Dewan 
Konstituante hasil pemilu, mewakili NU. Pada Pemilu 1971 ia terpilih 
masuk DPR. 
K.H. Bisri Syansuri menutup mata 
beberapa bulan setelah terpilih menjadi rais am NU dalam Muktamar 
Semarang Juni 1979, tepatnya pada 25 April 1980, dalam usia 94 tahun. 
 K.H. Ahmad Shiddiq
 
“Ibarat makanan, Pancasila, yang sudah 
kita kunyah selama 36 tahun, kok sekarang dipersoalkan halal dan 
haramnya.” Demikian ungkapan K.H. Ahmad Shiddiq mengenai penerimaan NU 
terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, dalam Munas 
Alim Ulama 1983 di Situbondo. 
NU adalah organisasi Islam pertama yang 
menerima Pancasila sebagai asas tunggal, padahal tidak sedikit umat yang
 menolaknya, apalagi partai Islam. Itulah ketokohan, kemampuan 
intelektual, dan kapasitas keulamaan Ahmad Shiddiq. 
Pujian Presiden Suharto terucap pada 
tahun 1989 ketika membuka Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta. Sejak itu, di
 bawah kepemimpinan Ahmad Shiddiq, sebagai rais am, pamor NU semakin 
terangkat. 
Pada Muktamar NU ke-27/1984 di 
Situbondo, ia berhasil menjadi palang terakhir pemisahan diri yang 
dilakukan K.H. As`ad Syamsul Arifin terhadap kepemimpinan PBNU hasil 
Muktamar ke-28. Ia  merangkul kembali kiai sesepuh NU yang kharismatis 
tersebut. 
Pada Muktamar NU ke-28 itu ia berhasil 
menyelamatkan duet dirinya dengan Gus Dur, yang banyak menerima 
guncangan dari sebagian warga NU sendiri. 
Begitu juga mengenai “kembali ke 
khiththah NU 1926”. Meski bukan satu-satunya perumus, dialah yang 
disepakati sebagai bintangnya kembali ke khiththah. Pada 1979 ia 
menyusun pokok-pokok pikiran tentang khiththah Nahdliyah, sebagai 
sumbangan berharga bagi warga NU. 
Ahmad Shiddiq lahir di Jember tepat 
seminggu sebelum NU diresmikan berdirinya oleh Hasyim Asy’ari, yaitu 24 
Januari 1926. Ayahnya, K.H. M. Siddiq, adalah pendiri Pesantren Ash 
Shiddiqiyah di Jember. Seusai belajar di Ash-Shiddiqiyah, ia belajar di 
Pesantren Tebuireng. 
Ia diangkat menjadi sekretaris pribadi 
menteri agama ketika jabatan itu dipercayakan kepada Wahid Hasyim pada 
1950. Ketika menjadi ketua Tanfidziyah NU, Abdurrahman Wahid, cucu K.H. 
Hasyim Asy`ari, pun berduet dengannya sebagai rais am PBNU. 
Sebelum itu, ia mundur dari DPR hasil 
Pemilu 1955, karena, “Saya selalu bicara keras soal Nasakom.” Ia hadir 
kembali sebagai wakil rakyat setelah pemilu Orde Baru pertama, 1971. 
Tanggal 23 Januari 1991, K.H. Ahmad 
Shiddiq berpulang ke rahmatullah pada usia 65 tahun. Sesuai wasiatnya, 
ia dimakamkan di pemakaman Auliya, Ploso, Kediri, tempat beberapa kiai 
hafal Al-Quran dikuburkan. 
 K.H. Wahid HasyimGus
 Wahid, demikian ia biasa disapa, lahir pada Jum’at 1 Juni 1914, dari 
pasangan K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU, dan Nyai Nafiqah binti Kiai 
Ilyas. Ia anak lelaki pertama pasangan tersebut.
 
Umur lima tahun, Wahid Hasyim mulai belajar mengaji kepada ayahnya, dan umur tujuh tahun sudah khatam Al-Quran. 
Umur l3 tahun, ia masuk pesantren di 
Siwalan Panji, Sidoarjo, Mojosari, Nganjuk, dan Lirboyo. Setelah itu ia 
belajar sendiri berbagai ilmu pengetahuan. 
Tahun 1932, ketika berumur 18 tahun, ia pergi haji dan bermukim di Tanah Suci selama dua tahun. 
Empat tahun sepulang dari Tanah Suci, ia
 bergabung dengan NU. Di NU ia mulai dari bawah, sekretaris tingkat 
ranting di Desa Cukir. Namun lompatan panjang terjadi. Tak lama kemudian
 ia dipercaya menjadi ketua NU cabang Jombang, dan ketika departemen 
maarif (pendidikan) NU dibuka pada tahun 1940 ia ditunjuk sebagai 
ketuanya. Sejak itu ia duduk di barisan pengurus PBNU. 
Pada umur 25 tahun ia menikah dengan 
Solichah binti K.H. Bisri Syansuri. Mereka  pasangan yang serasi, 
termasuk dalam dunia politik. Ketika sang suami menjadi menteri, sang 
istri pun menjadi anggota DPR. Pasangan ini dikaruniai enam anak, empat 
laki-laki dan dua perempuan. 
Bulan Maret 1942, Jepang mendarat. Semua
 ormas dan orpol Islam dilarang, dan dibentuk MIAI. Kiai Wahid terpilih 
menjadi ketuanya. Kedudukan itu, belakangan, mengantar dirinya ke pusat 
perjuangan bangsa Indonesia di zaman Jepang. Ia menjadi anggota Cu Sangi
 In, kemudian Dokuritsu Zombi Cosakai, hingga Panitia Persiapan 
Kemerdekaan Indonesia. 
K.H. Wahid Hasyim adalah salah satu dari
 sembilan orang yang menandatangani Piagam Jakarta. Sikapnya yang tegas 
tapi luwes menjadikannya figur yang dapat diterima oleh berbagai 
kalangan kendati umurnya baru sekitar 30 tahun. 
Suksesnya mengintegrasikan kelasykaran 
golongan Islam ke dalam TRI, dan kemudian TNI, mengantarnya menjadi 
penasihat Panglima Besar Soedirman hingga terjadi Clash I, pemberontakan
 PKI Madiun, dan Clash II. 
Setelah ayahnya wafat pada 25 Juli 1947, ia mengasuh Pesantren Tebuireng. 
Dalam Kabinet Sukiman, ia menjadi 
menteri agama. Lima kali ia menjadi menteri. Yaitu menteri negara dalam 
Kabinet Presidentil I (1945), menteri negara dalam Kabinet Syahrir 
(1946-1947), menteri agama Kabinet RIS (1949- 1950), menteri agama 
Kabinet Natsir (1950- 1951), dan menteri agama Kabinet Sukiman 
(1951-1952). 
Setelah tidak menjadi menteri, ia aktif dalam Partai NU, yang saat itu baru memisahkan diri dari Partai Masyumi. 
Pada 19 April 1953, ia dipanggil ke 
haribaan Allah SWT dalam suatu kecelakaan lalu lintas di Cimindi, 
Cimahi, Jawa Barat, dalam usia 39 tahun. Jenazah dimakamkan di 
Tebuireng, hari itu juga. 
Dengan Keppres No. 206/1964 tertanggal 
24 Agustus 1964, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional disandangkan kepada
 K.H. Wahid Hasyim. 
  K.H. M. Ilyas RuhiatMohamad
 Ilyas lahir pada 31 Januari 1934. Ia putra pasangan Ajengan Ruhiat dan 
Siti Aisyah. Ilyas hanya nyantri di Cipasung. Sejak kecil, ia 
berpembawaan tenang dan sejuk, namun kharisma dan kecerdasannya diakui 
oleh para ulama di kalangan NU dan non-NU. 
 
K.H. Ilyas memulai kariernya di 
organisasi NU sejak 1954, terpilih sebagai ketua NU Cabang Tasikmalaya. 
Saat itu ia merangkap ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Jawa Barat. 
Tahun 1985-1989, ia menjadi wakil rais Syuriah NU Jawa Barat. 
Tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak,
 Ilyas terpilih menjadi salah seorang rais Syuriah PBNU. Puncaknya, 
tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren 
Cipasung, Tasikmalaya, ia terpilih menjadi rais am PBNU, mendampingi 
K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU. 
Pada saat muktamar NU di Krapyak, K.H. 
Ilyas menjadi salah satu anggota rais Syuriah PBNU. Kemudian, sejak 
Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Bandar Lampung tahun 
1992, ia ditunjuk sebagai pelaksana rais am Syuriah NU, menggantikan 
Rais Am K.H. Ahmad Siddiq, yang wafat. Kemudian, ia kembali menjadi rais
 am untuk periode berikutnya, 1994-1999. 
K.H. Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah, dan memiliki tiga anak. 
K.H. Muhammad Ilyas Ruhiat, atau kerap 
disebut “Ajengan Ilyas”, adalah sosok yang sangat santun, lembut, 
mengayomi, dan menebarkan aura kesejukan. Kepribadiannya mencerminkan 
tipikal ulama NU sejati: penuh toleransi, bersahaja, dan gandrung pada 
kedamaian. 
Potret kesejukan Kiai Ilyas Ruhiat semakin mengemuka ketika NU diguncang prahara usai Muktamar Cipasung tahun 1994. 
Ketika itu perhelatan lima tahunan 
tersebut berakhir dengan pecahnya kepengurusan PBNU ke dalam dua kubu, 
pro Gus Dur dan pro Abu Hasan. Bahkan, kelompok kedua itu sempat 
mengadakan muktamar luar biasa di Asrama Haji Pondok Gede. 
Lima tahun kemudian, dengan 
pendekatannya yang menyejukkan, perlahan warga NU kembali bersatu. 
Ketika merasa tugasnya untuk menyatukan jam`iyah sudah selesai, bapak 
tiga anak ini kemudian mengundurkan diri pada Muktamar Lirboyo 1999. 
Ajengan Ilyas lebih memilih kembali mengajar di pesantrennya di lereng 
Gunung Galunggung. 
Ajengan Ilyas wafat pada Selasa 18 
Desember 2007. Pengasuh Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, 
Jawa Barat, ini berpulang ke hadirat Allah SWT dalam usia 73 tahun. 
 K.H. M.A. Sahal MahfudzK.H.
 Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, pengasuh Pesantren Maslakul Huda, Kajen, 
Pati, Jawa Tengah, seluruh kehidupan dan aktivitasnya terkait dengan 
dunia pesantren, ilmu fiqih, dan pengembangan masyarakat.
 
Kiai Sahal memang nahdliyyin tulen. 
Dalam menyikapi berbagai problematik sosial, ia selalu menjunjung tinggi
 sikap tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (egaliter), 
yang menjadi ciri khas ulama NU. 
Namun, kontribusi pemikirannya yang 
paling menonjol adalah perhal fiqih sosial kontekstual, yakni bahwa 
fiqih tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang 
terus berubah.  Penampilan Kiai Sahal Mahfudz bersahaja, tenang, dan 
lugas dalam berbicara tapi tidak terkesan menggurui. Padahal ia adalah 
nakhoda kapal besar bernama Nahdlatul Ulama dan MUI, yang fatwa-fatwanya
 sangat berpengaruh. 
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz lahir di 
Desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937. Ia putra 
K.H. Mahfudz Salam, pendiri Pesantren Maslakul Huda, pada tahun 1910. 
Nasab Mbah Sahal bermuara pada K.H. Ahmad Mutamakin, tokoh legendaris 
yang diyakini hidup pada abad ke-18, salah seorang waliyullah, penulis 
kitab tasawuf Serat Cebolek. 
Sahal Mahfudz kecil mengaji kepada 
orangtuanya, sambil bersekolah di Madrasah Diniyyah tingkat ibtidaiyah 
(1943-1949) dan tingkat tsanawiyah (1950-1953) di lingkungan Perguruan 
Islam Mathaliul Falah, Kajen, Pati. Sambil sekolah di Madrasah Diniyyah,
 ia juga mengikuti kursus ilmu umum di Kajen (1951-1953). 
Tamat MTs, Sahal nyantri di Pesantren 
Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, yang diasuh Kiai Muhajir. Empat tahun 
kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Di 
pesantren yang terkenal dengan pendidikan ilmu fiqih itu ia belajar 
langsung kepada Kiai Zubair. Selain mengaji, ia, yang sudah cukup alim, 
juga diminta membantu mengajar santri-santri yunior. 
Pertengahan tahun 1960, usai menunaikan 
ibadah haji, Sahal Mahfudz bermukim di Makkah dan belajar kepada Syaikh 
Muhammad Yasin Al-Fadani. Tak kurang tiga tahun ia berguru kepada ulama 
besar Al-Haramain asal Padang itu. Tahun 1963, ia pulang ke tanah air. 
Kehadiran ulama muda yang berita 
kealimannya dalam bidang fiqih sudah mulai tersebar itu segera saja 
menarik perhatian beberapa lembaga. Sejak 1966 Kiai Sahal diminta 
mengajar sebagai dosen di beberapa perguruan tinggi. Puncaknya, sejak 
1989, ia dipercaya menjadi rektor di Institut Islam Nahdlatul Ulama, 
Jepara. 
Meski hanya belajar di bangku pesantren,
 sejak muda Kiai Sahal telah menunjukkan bakat menulis. Tradisi yang 
semakin langka di lingkungan ulama NU. Ratusan risalah atau makalah dan 
belasan buku telah ditulisnya. 
Salah satu karya yang merupakan bukti 
keandalannya dalam menulis adalah kitab Thariqat al-Hushul (2000), 
syarah atas kitab Ghayah Al-Wushul, sebuah kitab tentang ushul fiqh 
karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari. Karena kelebihan tersebut, 
Kiai Sahal kemudian banyak didekati kalangan media. 
Kiprah Kiai Sahal di NU diawali dengan 
menjadi kahtib Syuriah Partai NU Cabang Pati 1967-1975. Kedalaman 
ilmunya dan kearifan sikapnya perlahan membawa langkah kaki suami Dra. 
Hj. Nafisah Sahal itu ke jenjang tertinggi di NU, yakni rais am Syuriah 
PBNU, untuk periode 1999-2004, dan terpilih lagi di Muktamar Donohudan, 
Boyolali, Jawa Tengah, untuk periode 2004-2009. 
Kiai Sahal sangat teguh dalam menjaga 
sikap. Saat terpilih menjadi rais am PBNU pada 1999, ia menyampaikan 
pandangan kenegaraannya bahwa, sejak awal berdirinya NU, warga 
nahdliyyin berada pada posisi menjaga jarak dengan negara. Karena itu, 
meski jabatan presiden saat itu diemban oleh K.H. Abdurrahman Wahid, 
yang juga tokoh NU, Kiai Sahal tetap mempertahankan tradisi tersebut 
dengan selalu bersikap independen terhadap pemerintah. 
Selain di NU, kefaqihan Kiai Sahal juga 
membawanya ke MUI. Setelah sepuluh tahun memimpin MUI Jawa Tengah, pada 
tahun 2000 ia terpilih menjadi ketua umum MUI Pusat untuk periode 
2000-2005, dan terpilih lagi untuk periode 2005-2010.  K.H. Idham ChalidMenyebut
 nama Kiai Idham Chalid, ingatan kita tentu akan melayang pada 
gonjang-ganjing NU pada tahun 1982-1984, yang melahirkan sekaligus 
menghadapkan dua kubu tokoh-tokoh nahdliyyin: kubu Cipete dan kubu 
Situbondo. 
 
Konflik internal NU itu juga yang 
kemudian membuat Idham dianggap kontroversial. Bahkan ia dijuluki 
“politikus gabus”, karena dianggap  tidak memiliki pendirian. 
Tak banyak yang mau melihat sisi lain 
kebijakan-kebijakan Kiai Idham, yang sebenarnya sangat NU dan sangat 
Sunni. Sebagai politisi besar NU yang lihai, Idham memang memainkan dua 
lakon berbeda, sebagai politisi dan ulama. Sebagai politisi, ia 
melakukan gerakan strategis, dan bila perlu kompromistis. Sebagai ulama,
 ia bersikap fleksibel, tapi tetap tidak terlepas dari jalur Islam dan 
tradisi yang diembannya. 
Semua itu ia lakukan sebagai bagian dari
 upaya kerasnya menjaga stabilitas kalangan bawah nahdliyyin, yang 
menjadi tanggung jawabnya, agar selamat fisik dan spiritual melewati 
masa-masa gawat transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, yang 
berdarah-darah. 
Strategi politik tersebut dilandaskan 
pada beberapa prinsip. Di antaranya, luwes, memilih jalan tengah 
ketimbang sikap memusuhi dan konfrontasi, yang justru membahayakan 
kepentingan umat. Menggunakan pendekatan partisipatoris terhadap 
pemerintah sehingga mampu memengaruhi kebijakan penguasa, demi 
kemaslahatan umat. 
Menurut Idham, NU harus ikut andil dalam
 kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini dianggap lebih tepat 
dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro umat, 
daripada berada di luar kekuasaan, yang justru membuat sulit bergerak. 
Efek kebijaksanaannya sangat luar biasa.
 Ia menjadi sangat berakar di kalangan bawah kaum nahdliyyin, terutama 
di luar Jawa, dan mampu bertahan di kancah perpolitikan tanah air lebih 
dari tiga dekade. Namun, dalam intrnal nahdliyyin ada anggapan bahwa 
keterlibatan NU di wilayah politik di bawah kepemimpinannya terlalu 
besar. Maka, dengan memanfaatkan isu kembali ke khiththah 1926 yang 
tengah digaungkan kalangan muda NU di Muktamar Situbondo 1984, pihak 
lawan membuat Idham terjatuh dari kursinya. 
Idham Chalid lahir pada tanggal 27 
Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara 
Kalimantan Selatan. Ia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, H. 
Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 
km dari Banjarmasin. 
Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas 
dan pemberani. Saat masuk SR, ia langsung duduk di kelas dua dan bakat 
pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak 
menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik. 
Selepas SR, Idham melanjutkan 
pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah, yang didirikan oleh Tuan Guru 
Abdurrasyid, alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, pada tahun 1922. 
Kebetulan, saat Idham bersekolah di sana, beberapa guru lulusan 
Pesantren Gontor, yang terkenal dengan kelebihannya dalam pendidikan 
bahasa, direkrut untuk membantu mengembangkan pendidikan. Idham, yang 
sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak 
kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu 
pengetahuan umum. 
Di mata para siswa dan wali murid, 
guru-guru alumni Gontor itu sangat hebat. Tak mengherankan, banyak 
siswa, termasuk Idham, bercita-cita melanjutkan pendidikannya ke 
pesantren yang didirikan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Ponorogo, Jawa 
Timur, itu. 
Di Gontor, otak cerdas Idham Chalid 
lagi-lagi membuat namanya bersinar. Kegiatan favoritnya di pesantren 
adalah kepanduan, yang kelak ditularkan kepada murid-muridnya di Amuntai
 dan di Cipete. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham 
untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis. 
Tamat dari Gontor, 1943, Idham 
melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibu kota, kefasihan Idham dalam 
berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang 
juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan 
dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab 
dengan tokoh-tokoh utama NU. 
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu 
masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan.
 Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia 
Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung 
dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke 
Serikat Muslim Indonesia. 
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral 
Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hassan Basry,
 muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat 
menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia
 terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU 
memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan
 Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke
 daerah-daerah. 
Idham memulai kariernya di NU dengan 
aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, 
organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang 
sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun 
kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham 
memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU. 
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga
 duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais 
Am K.H. Abdul Wahab Chasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di 
Nusantara. 
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih 
peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang 
cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun 
berikutnya, Kabinet Ali Sastroamijoyo, NU mendapat jatah lima menteri, 
termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan 
kepada Idham Chalid. 
Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan 
Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU, 
menggantikan K.H. Muhammad Dahlan. 
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan
 setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap 
bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekrit Presiden tahun 
1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, 
dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS. 
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama 
tumbang, dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan 
tidak ikut tumbang. Dalam kabinet Ampera, yang dibentuk Presiden 
Soeharto, ia dipercaya menjabat menteri kesejahteraan rakyat sampai 
tahun 1970 dan menteri sosial sampai 1971. Nahdlatul Ulama di bawah 
kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun 
setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai:
 Golkar, PDI, dan PPP. Dan NU tergabung di dalam PPP.
 
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang
 dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua DPR/MPR RI
 sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah 
ketua Dewan Pertimbangan Agung.
 Ali Ma’shumKiai
 Ali lahir pada 15 Maret 1915 di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ia putra 
Kiai Ma`shum, pemimpin Pesantren Al-Hidayah, Soditan, Lasem Rembang, 
Jawa Tengah.
 
Ketika usianya menginjak 12 tahun, Ali 
dikirim ke Pesantren Termas, Pacitan, Jawa Timur, pesantren terbesar dan
 termasyhur kala itu selain Tebuireng, Jombang, dan Lasem sendiri. Di 
Termas ia berguru kepada Syaikh Dimyathi At-Tarmasi, adik Syaikh Mahfudz
 At-Tarmasi, ulama besar Nusantara yang mengajar di Masjidil Haram. 
Sebagai putra kiai kondang, sejak kecil 
Ali telah digembleng dengan dasar-dasar ilmu agama. Sehingga, ketika 
delapan tahun belajar di Termas, ia sama sekali tak menemukan kesulitan.
 Ia mendapat perhatian istimewa dari Syaikh Dimyathi. Sejak awal mondok,
 Ali diizinkan gurunya mengikuti pengajian bandongan, yang biasanya 
hanya diikuti santri-santri senior. Bahkan ia dibiarkan membaca 
kitab-kitab karya ulama pembaharu, yang tidak lazim dipelajari di 
pesantren salaf. Syaikh Dimyathi menilai, Ali Ma’shum sudah memiliki 
dasar keilmuan yang cukup kuat, sehingga bacaan-bacaan itu tidak akan 
mempengaruhinya, bahkan justru akan memperluas pandangannya. 
Segala kelebihan Ali Ma’shum itu tidak terlepas dari kepandaiannya dalam ilmu bahasa Arab, yang di atas rata-rata. 
Sekembali dari Termas, Ali membantu 
ayahnya mengasuh pesantren mereka di Lasem. Tak lama kemudian ia 
dinikahkan dengan Hasyimah binti Munawir, putri pemimpin Pesantren 
Krapyak, Yogyakarta. Sebulan setelah pernikahan, ia pergi haji. 
Selain berhaji, selama dua tahun 
bermukim di Makkah, Ali juga belajar kepada ulama besar Tanah Suci, 
Sayyid Alwi Al-Maliky dan Syaikh Umar Hamdan. 
Ketika Kiai Ali kembali dari Makkah, 
tahun 1941, kondisi tanah air kacau balau. Penjajah Jepang baru saja 
masuk. Seperti pesantren-pesantren lain, Pesantren Lasem pun sepi, 
ditinggal para santrinya.Dengan usaha Kiai Ali yang gigih, perlahan pesantren yang didirikan ayahandanya itu kembali menggeliat bangkit.
 
Namun baru dua tahun ia memimpin 
Pesantren Lasem, ibu mertuanya datang dan minta dirinya pindah ke 
Krapyak, Yogyakarta, untuk memimpin pesantren yang baru saja ditinggal 
wafat Kiai Munawir. Sentuhan tangan dinginnya berhasil menghidupkan 
kembali Pesantren Krapyak. Bersama ipar-iparnya, ia meneruskan 
kepemimpinan Kiai Munawir hingga Pesantren Krapyak kembali berkembang 
pesat dan dikenal luas.
 
 Arus perubahan melanda NU menjelang dan 
di awal tahun 1980-an. Yakni, adanya keinginan untuk kembali ke 
khiththah 1926, bahwa NU tidak berpolitik. Setelah wafatnya Rais Am K.H.
 M. Bisri Syansuri pada 25 April 1981, untuk menduduki posisi puncak 
dalam kepemimpinan NU, salah seorang yang dianggap paling pas adalah 
Kiai Ali Ma’shum.
 
Benar saja, September 1981, Kiai Ali 
Ma’shum terpilih menjadi rais am PBNU. Ia dipilih dalam Muktamar NU di 
Kaliurang, Yogyakarta. 
Masa 1981 sampai 1984 itu ternyata 
merupakan babak yang sangat menarik bagi NU. Tahun 1982 berlangsung 
pemilihan umum. Menjelang pemilu, beberapa tokoh NU disingkirkan dari 
PPP, sehingga di kalangan NU timbul keinginan untuk meninggalkan partai 
berlambang Ka’bah itu. 
Kiai Ali termasuk orang yang tidak 
setuju dengan langkah tersebut. Bersama dengan Kiai As`ad Syamsul 
Arifin, Kiai Mahrus Ali, dan Kiai Masykur, ia minta agar Ketua PBNU K.H.
 Idham Chalid mundur dari jabatan, karena dianggap gagal memimpin. 
Pada awalnya Idham Chalid setuju mundur.
 Tapi beberapa hari kemudian, karena ada pengkhianatan, ia mencabut 
pernyataan pengunduran dirinya itu. 
Nahdlatul Ulama pecah menjadi dua 
kelompok: kelompok Idham Chalid, atau sayap politik, yang berbasis di 
Cipete, Jakarta Selatan, dan kelompok Kiai As’ad, atau sayap khiththah, 
yang disebut kelompok Situbondo. Walaupun demikian, selalu diupayakan 
agar terjadi ishlah. Namun usaha itu gagal.Setelah upaya ishlah 
mentok, Kiai Ali menganggap kelompok Cipete tidak ada, hingga jabatan 
ketua umum atau ketua tanfidziyah dirangkap oleh rais am.
 
Pada 1983, sayap khiththah mengadakan 
Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo dan menghasilkan konsep 
kembali ke khiththah 1926. Tahun berikutnya, pada Muktamar ke-27, 
ditetapkanlah konsepsi tersebut serta penerimaan asas tunggal Pancasila.
 Dengan keputusan itu, NU menyatakan independen, tidak ada hubungan 
dengan partai politik tertentu. Jabatan ketua tanfidziyyah diserahkan 
kepada K.H. Abdurrahman Wahid dan jabatan rais am diserahkan kepada K.H.
 Achmad Siddiq. Kiai Ali sendiri duduk dalam Dewan Penasihat atau 
Mustasyar. 
Kamis 7 Desember 1989, tepat usai adzan 
maghrib, Kiai Ali Ma’shum berpulang ke rahmatullah dalam usia 74 tahun. 
Keesokan harinya, ribuan umat Islam mengantarkan kepergiannya ke 
peristirahatan terakhir di Pekuburan Dongkelan, Bantul, Yogyakarta. 
 K.H. Abdurrahman Wahid Saat
 Muktamar Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, sempat 
terjadi suasana yang panas. Bukan hanya karena konflik kubu Situbondo 
dan kubu Cipete, melainkan juga karena kubu Situbondo terancam pecah 
akibat K.H. Machrus Ali, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, 
menolak K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi ketua umum 
Tanfidziyah Pengurus Besar NU apabila tidak mau melepaskan jabatannya 
sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta. Alasannya, ketua umum PBNU tidak 
pantas ngurusi “kethoprak”. 
Namun ternyata Gus Dur tidak mau mundur.
 Ia bersikeras lebih baik tidak jadi ketua umum PBNU daripada melepas 
jabatan ketua DKJ. Sikap keras Gus Dur sekilas tampak agak menyimpang 
dari tradisi keulamaan NU, yakni tunduk kepada kiai. Apalagi K.H. 
Machrus saat itu rais Syuriyah Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. 
Masalahnya kemudian terselesaikan saat 
K.H. Achmad Sidiq dari Jember bercerita kepada K.H. Machrus Ali. Ia 
bermimpi melihat K.H. Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, berdiri di atas 
mimbar. Spontan K.H. Machrus berubah, sikap mendukung Gus Dur tanpa 
syarat. Ia menakwilkan mimpi itu, K.H. Wahid Hasyim merestui Gus Dur. 
Sekalipun lebih tua, K.H. Machrus 
tawadhu kepada K.H. Wahid Hasyim, karena K.H. Wahid Hasyim adalah putra 
Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy`ari, pendiri NU dan gurunya. 
Akhirnya Gus Dur terpilih sebagai ketua 
umum PBNU, dan pada dua muktamar berikutnya ia kembali terpilih sebagai 
ketua umum. Maka selama lima belas tahun (1984-1999) NU berada dalam 
kendali Gus Dur. 
Kejadian di tahun 1984 itu menunjukkan 
kuatnya tradisi keulamaan di tubuh NU. Dua pilar dalam tradisi itu 
adalah nasab, yaitu atas dasar hubungan darah, dan hubungan patronase 
kiai-santri atau guru-murid. 
Gus Dur memiliki nasab yang sangat kuat,
 baik dari jalur ayah maupun ibu. Selain cucu K.H. Hasyim Asy-ari dari 
jalur ayah, ia pun cucu K.H. Bisri Syansuri dari jalur ibu. K.H. Bisri 
Syansuri, rais am ketiga NU dan pengasuh Ponpes Denanyar, Jombang, 
adalah ayahanda Hj. Solichah Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur. 
Dalam hubungan patronase kiai-santri, 
Ponpes Tebuireng merupakan ”kiblat”, khususnya semasa K.H. Hasyim 
Asy`ari. Banyak kiai besar yang belajar di Tebuireng. Dalam tradisi 
keulamaan NU, penghormatan seorang santri kepada putra kiainya sama 
dengan kepada kiainya. Bahkan, sampai kepada cucu kiainya. Karena itu, 
putra atau cucu kiai dipanggil “Gus”. 
Wajar jika Gus Dur memiliki superioritas
 tinggi di mata nahdliyin. Apalagi, ia juga memiliki kemampuan keilmuan 
yang dipandang sangat tinggi di antara para tokoh NU. Meskipun tidak 
dikenal sebagai spesialis dalam salah satu atau bebrapa cabang ilmu 
keislaman, ia sangat menguasai kitab kuning, juga kitab-kitab 
kontemporer yang disusun para ulama di masa belakangan. Selain mumpuni 
dalam ilmu-ilmu agama, ia pun menguasai berbagai ilmu lain dengan 
wawasan yang sangat luas. 
Di masa Gus Dur, pamor NU terus menaik. 
Ia berhasil membawa NU menjadi kekuatan yang berskala nasional sebagai 
pengimbang kekuasaan, yang waktu itu tak terimbangi oleh siapa pun. 
Setelah sebelumnya kurang diperhitungkan, kecuali di saat-saat pemilu, 
NU kemudian berubah menjadi betul-betul dikenal dan dihormati banyak 
pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika sebelumnya jarang 
dibicarakan orang, dalam waktu singkat NU berubah menjadi obyek studi 
dari banyak sarjana di mana-mana. Semua itu tak dapat dilepaskan dari 
peran Gus Dur, baik sebagai ketua umum PBNU maupun sebagai pribadi dalam
 berbagai kapasitasnya. 
Ya, Gus Dur memang punya kharisma yang 
besar di mata para kiai, apalagi di depan umatnya. Umat NU ketika itu 
sedang mencari tokoh yang menjadi jendela menuju dunia modern. Ada 
kebanggaan di kalangan NU terhadap Gus Dur, karena ia membawa pesantren 
dan NU ke dunia luar yang luas. Ia membuka masyarakat NU untuk sadar 
bahwa kita hidup dalam dunia global. 
Sejak di bawah kepemimpinan Gus Dur, 
peran NU sebagai jam`iyyah maupun peran tokoh-tokohnya sebagai individu 
dari waktu ke waktu semakin kuat dan terus meluas, termasuk dalam 
politik. Meskipun secara resmi NU telah menyatakan diri kembali ke 
khiththah dan tidak lagi berpolitik praktis, pengaruh politiknya tak 
pernah surut, bahkan semakin menguat. Tokoh-tokoh NU yang terlibat di 
pentas politik, meskipun tidak mengatasnamakan NU, semakin banyak. 
Munculnya PKB dan partai-partai baru lainnya sangat mengandalkan dukungan warga NU. 
Dinamika politik kemudian terus 
bergulir. Hanya berselang setahun tiga bulan setelah pendirian PKB, 
akhirnya pada bulan Oktober 1999 Gus Dur terpilih sebagai presiden RI 
yang keempat melalui pemilihan langsung yang dramatis di MPR. Itulah 
puncak karier NU di pentas politik. Bill/AY |