Senin, 07 April 2014

Sejarah Berdiri NU dan Kebangkitannya

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran cukup klusial penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu :
  1.  Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang),
  2.  Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan
  3.  Kiai Cholil (Bangkalan).

Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini sedikit mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.

Keresahan Kiai Hasyim

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya di pulau jawa dan sekitarnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

“Tongkat Musa” Kyai Cholil

“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”

Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.


Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.

Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.

Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

Bapak Spiritual

Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).

Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat -santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).

Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.

Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.

Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.

Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”

Lebih tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”

Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.

Peran dalam NU kemerdekaan RI

Nadhlatul Ulama (NU) yang berdiri 31 Januari 1926 berdasarkan semangat kebangkitan nasional, memegang peranan penting dalam kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Warga NU baik dari kalangan Kiai maupun santrinya tercatat pernah ikut memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini.Perjuangan mereka dilakukan sesaat setelah peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, karena sebulan setelah Indonesia merdeka (pertengahan September 1945) Inggris kembali datang ke Indonesia untuk menjajah kembali. Berangkat dari peristiwa tersebut, warga NU tergerak hatinya ikut dalam gerakan melawan para penjajah, terutama saat Inggris ingin mengusai Jawa Timur setelah sebelumnya menguasai berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Oktober pasukan Inggris yang tergabung dalam NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menguasai Medan, Padang, Palembang, Bandung dan semarang,sedangkan kota-kota besar di Indonesia Timur diduduki oleh Australia.Pembesar NU dan anggotanya melakukan perlawanan kepada pasukan Inggris. Saat itu, pasukan Inggris berjumlah sekitar 6.000 orang yang terdiri dari jajahan India. NU juga mendeklarasikan perang suci, berjihad melawan penjajah bersama masyarakat lainnya. ''Ribuan kiai dan santri NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945, dipimpin oleh Rois Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Mereka mendeklarasikan resolusi dengan sebutan 'resolusi jihad' yang isinya antara lain mempertahankan Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945,'' tulis MC Ricklefs (1991).Menurut Rickleft, resolusi jihad itu merupakan fatwa tentang kewajiban perang melawan para kaum imprealis. Berdasarkan fatwa tersebut, seluruh masyarakat Islam membentuk laskar perang. Para sejarahwan mengakui bahwa pengaruh resolusi jihad berhasil memprovokasi masyarakat dan rakyat untuk terus berjuang melawan penjajah dengan nama Jihad dan imbalan masuk surga.

Hampir seluruh masyarakat dan warga negara Indonesia yang pernah belajar sejarah kemerdekaan Indonesia bisa dipastikan mengenal dan mengetahui peristiwa heroik 10 Nopember 1945 atau minimal mengetahui kalau tanggal tersebut merupakan hari bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia sehingga ditetapkannya 10 Nopember sebagai hari Pahlawan Nasional. Namun berapa banyak orang yang tau bahwa dibalik peristiwa bersejarah yang menelan korban ribuan warga negara Indonesia itu ada peran dan andil besar Hadrotussyeikh KH Hasyim As'ari yang mengeluarkan fatwa Resolusi Jihadnya?. Diakui oleh banyak pihak dan kalangan, bahwa peristiwa bersejarah 10 Nopember 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur, merupakan dampak dikeluarkannya keputusan "resolusi jihad" atau seruan perang yang dicetuskan ulama-ulama Nahdlatul Ulama (NU).

Keputusan tersebut ditempuh setelah ulama-ulama dan konsul NU berkumpul di Surabaya untuk menyikapi situasi politik terkait dengan masuknya kembali penjajah ke Indonesia yang baru merdeka. Pertemuan yang berlangsung dari 21 Oktober tersebut memutuskan dua hal penting. Pertama bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 atas dasar Pancasila dan UUD 1945 adalah sah menurut `fikih` alias hukum Islam. Kedua, karena itu, umat Islam diwajibkan mengangkat senjata (jihad) untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. "Resolusi jihad yang dikeluarkan NU telah menginspirasi segenap anak bangsa untuk berjuang mengangkat senjata guna mengusir penjajah yang hendak masuk kembali ke Indonesia," tutur dia. Kontribusi NU terhadap peristiwa tersebut bukan hanya sebatas mengeluarkan resolusi jihad yang terbukti berhasil melecut semangat juang bangsa Indonesia, namun para ulama NU terjun secara langsung ke medan perang dengan memimpin perlawanan mengusir penjajah.

PERAN NU DALAM MENGAWAL PERJALANAN BANGSA

Dalam sejarah NU, organisasi yang pertama kali didirikan para ulama-pesantren (sebelum kelahiran NU pada tahun 1926) bukanlah Nahdlatul Muslimin, melainkan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan Bangsa, 1916). Karena berada dalam konteks kolonialisme, maka ulama-ulama pesantren tidak lagi mengedepankan kekelompokan Islam yang bersifat terbatas, melainkan suatu kebangkitan bangsa demi perjuangan mengusir penjajahan. Nahdlatul Wathon sebagai pusat pergerakan kemerdekaan ini kemudian diperkuat dengan pendirian Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang) yang merupakan upaya para ulama untuk membangun kemandirian ekonomi masyarakat, vis a vis kolonialisme. Nahdlatut Tujjar kemudian menjadi perjuangan praksis pada level ekonomi, di samping perjuangan pada level kebangsaan melalui Nahdlatul Wathon.

Segenap pola perjuangan ini kemudian disempurnakan melalui pembentukan Tashwirul Afkar (1918), sebuah forum diskusi para ulama, untuk mengembangkan wawasan keislaman yang kontekstual dengan kebutuhan bangsa. Berpijak dengan pembentukan ketiga organisasi inilah, NU sebagai naungan organisasional bagi perjuangan ulama-ulama pesantren, didirikan pada 31 Januari 1926.
Kesadaran kebangsaan ini bisa terbentuk, karena kami memahami Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Artinya, karena rahmat Islam tidak hanya untuk umat muslim, maka perjuangan Islam bisa diperluas ke dalam konteks kebangsaan yang tentunya melampaui sekat-sekat keagamaan. Kami, Nahdlatul Ulama (NU), secara prinsipil memang memahami Islam terutama sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Artinya, Islam ketika dilaksanakan secara benar, akan mendatangkan rahmat, baik untuk orang Islam maupun bagi seluruh alam. Islam sebagai agama penyempurna tidak hanya membatasi kebaikannya, murni untuk umat Islam semata, melainkan untuk semesta alam, baik seluruh manusia, makhluk dan kehidupan itu sendiri. Kesempurnaan Islam terletak di dalam kesemestaan ini, yang akhirnya tidak membatasi dirinya dalam klaim kelompok, klaim golongan, apalagi klaim pribadi. Kebaikan, kebenaran dan keadilan Islam bersifat menyeluruh, karena Kemahakuasaan Alloh SWT meliputi segala sesuatu.Dalam QS. Al-Baqarah: 163 Alloh berfirman:   ‎و‎َ‎إ‎ِ‎ل‎َ‎ه‎ُ‎ك‎ُ‎م‎ْ ‎إ‎ِ‎ل‎َ‎ه‎ٌ ‎و‎َ‎ا‎ح‎ِ‎د‎ٌ ‎ل‎َ‎ا ‎إ‎ِ‎ل‎َ‎ه‎َ ‎إ‎ِ‎ل‎ّ‎َ‎ا ‎ه‎ُ‎و‎َ ‎ا‎ل‎ر‎ّ‎َ‎ح‎ْ‎م‎َ‎ن‎ُ ‎ا‎ل‎ر‎ّ‎َ‎ح‎ِ‎ي‎ْ‎م‎ُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha pemurah lagi Maha Penyayang. Hal serupa ditegaskan di QS. Al-Anbiya’: 107:‎و‎َ‎م‎َ‎ا ‎أ‎َ‎ر‎ْ‎س‎َ‎ل‎ْ‎ن‎َ‎ا‎ك‎َ ‎إ‎ِ‎ل‎ّ‎َ‎ا ‎ر‎َ‎ح‎ْ‎م‎َ‎ة‎ً ‎ل‎ِ‎ل‎ْ‎ع‎َ‎ا‎ل‎َ‎م‎ِ‎ي‎ْ‎ن‎َ  Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Sifat Rahman dan Rahim Alloh, serta derajat Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi semesta alam, telah menunjukkan ketinggian nilai Islam, yang sempurna, justru karena ia meliputi segala sesuatu. Rahmat yang berakar pada asma terpuji Alloh, al-Rahman, adalah Kasih Sayang Alloh yang tentu mencakup seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Islam tidak bisa membatasi rahmat-Nya, hanya untuk umat Islam, karena ciptaan Alloh melampaui sekat keagamaan, organisasi, negara, dan bahkan batasan manusiawi. Hadirin yang kami hormati,   Pemahaman Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin mengandaikan sebuah pengertian, bahwa Islam telah mengatur tata hubungan, menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan kemanusiaan. Karena dasar dari pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Kasih Sayang Allah, maka nilai kerahmatan ini menjadi dasar bagi seluruh tata hubungan tersebut. Dalam kaitan ini, sebagai organisasi yang menjalankan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, NU memiliki nilai-nilai operasional yang mengejawantahkan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin tersebut. Pertama, tawasuth. Yakni sikap mengambil jalan tengah ketika berada di dua titik ekstrim, dengan menampilkan keberislaman yang moderat dan kontekstual. Pilihan atas sikap tawasuth ini didasari oleh kemampuan NU untuk menemukan nilai-nilai substantif dari Islam, dengan pengamalan ajaran Islam yang kontekstual dengan kebutuhan umat.

Kedua, i’tidal. Sikap adil ini menjadi substansi, konsistensi, dan akurasi yang senantiasa dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut, sehingga jika tawasuth berkaitan dengan posisi, maka i’tidal adalah substansi yang dijaga di dalam posisi tawasuth tersebut. Dalam praktiknya, sikap tawasuth dan i’tidal ini kemudian melahirkan sikap-sikap nahdliyyah lainnya, yakni tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan tasyawur (musyawarah).

Oleh karena itu, NU kemudian menjadi garda depan moderatisme Islam di Indonesia, karena ia telah menemukan pemahaman yang seimbang dan adil dari ajaran-ajaran Islam.  Dalam menjalankan tawasuth dan i’tidal ini, NU menggunakan tiga pendekatan. Pertama, fiqh al-ahkam, yakni pendekatan syari’ah untuk masyarakat yang telah siap melaksanakan hukum positif Islam (umat ijabah). Kedua, fiqh al-da’wah, yakni pengembangan agama di kalangan masyarakat melalui pembinaan. Ketiga, fiqh al-siyasah, yang merupakan upaya NU dalam mewarnai politik kebangsaan dan kenegaraan.

Dalam politik kenegaraan inilah, ulama-ulama NU telah menggariskan suatu kebijaksanaan fiqhiyyah sebagai mekanisme logis untuk menghadapi persoalan bangsa. Jadi, sah tidaknya suatu persoalan kenegaraan, sering dilihat dari sah tidaknya persoalan itu menurut cara-pandang fiqh. Salah satu contoh yang populer di kalangan kami adalah penggunaan kaidah fiqh, ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu: apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya. Kaidah ini kemudian menjadi landasan normatif dalam menetapkan sikap NU terhadap corak kenegaraan Indonesia yang memang bukan negara Islam.Hal ini dipraktikkan dalam beberapa fase sejarah. Pertama, pra-kemerdekaan. Dalam Muktamar NU di Banjarmasin (1935), NU dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa hukum pemerintahan yang secara konstitusional berada dalam kekuasaan Hindia-Belanda? Apakah ia berarti negara kafir (dar al-harb), ataukah bisa diupayakan suatu negara Islam (dar al-Islam)?

Dengan berpijak pada tradisi fiqh, maka wilayah Hindia-Belanda ini kemudian ditetapkan sebagai dar al-salam atau dar al-shulh (negeri damai). Argumentasinya jelas: meskipun pemerintahannya tidak Islami, tetapi umat Islam di dalamnya memiliki hak untuk melaksanakan syari’at Islam dengan nyaman dan aman. Hal ini menegaskan sutu prinsip, bahwa ketika prinsip dasar Islam, yakni pelaksanaan syari’at bisa dilaksanakan di sebuah negara yang struktur konstitusionalnya tidak Islami; hukum bagi negara tersebut bukanlah dar al-harb, melainkan dar al-salam, negeri damai.

 Kedua, fase pembentukan negara-bangsa RI. Dalam perumusan konstitusi dan bentuk kenegaraan Indonesia (1945), masyarakat kami dihadapkan pada persoalan krusial dan sensitif: apa corak kenegaraan Indonesia? Apakah ia harus menjadi negara agama, ataukah negara sekular? Umat Islam, sebagai umat mayoritas, tentu memiliki harapan agar kenegaraan RI menjadi negara Islam.

Dalam kaitan ini, NU memiliki pemikiran lain. Karena sejak awal, kebangsaan Indonesia bersifat majemuk, maka corak kenegaraan yang berdasar pada satu konsepsi keagamaan, akan bertabrakan dengan kondisi majemuk tersebut. Hal ini sebenarnya telah diwadahi oleh kebijaksanaan falsafah negara kami, yakni Pancasila.

Di dalam falsafah yang digali dari kebijaksanaan kebudayaan Nusantara ini, terdapat prinsip Bhinneka Tunggal Ika tanhana Dharma Mangrwa: kemajemukan itu hakikatnya satu, karena tidak ada Kebenaran yang mendua. Meskipun bangsa kami memiliki suku, agama, dan budaya yang begitu majemuk, namun ia tetap berada dalam satu kebenaran, karena tidak ada Kebenaran yang mendua

Dengan ajaran bijak dari local wisdom ini, maka ulama NU akhirnya menentukan sikap: negara RI bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Ia adalah negara yang didasari oleh nilai-nilai keagamaan. Hal ini dengan baik dijaga oleh keberadaan sila pertama dari Pancasila itu sendiri, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan menempatkan nilai ketuhanan sebagai prinsip (sila) pertama dalam Pancasila, maka negara RI adalah negara yang mendasarkan diri pada nilai ketuhanan. Hal ini memiliki konsekuensi strategis, yang jika dilihat dari prinsip ke-NU-an, menggambarkan sikap tawasuth dan i’tidal. Yakni, di satu sisi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama.

Sementara di sisi lain, agama memiliki peran signifikan: ia menjadi dasar etis bagi pembentukan suatu masyarakat madani yang dibutuhkan demi terbangunnya kenegaraan yang beradab. Agama akhirnya menjadi “agama publik” (public religion) yang digerakkan oleh para pemuka dan organisasi keagamaan, untuk membentuk etika sosial dan etika kewarganegaraan yang berlandaskan nilai-nilai etis keagamaan.

Pada titik ini, prinsip ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu menemukan ruangnya lagi. Sebab, ketika nilai-nilai substantif Islam, seperti keadilan, kejujuran, saling mengasihi, kemashlatan, dsb bisa diterapkan untuk membentuk etika publik, perjuangan pendirian struktur kenegaraan Islam tidak lagi menjadi persoalan utama. Hal ini terkait dengan prinsip keislaman dalam NU, yang tidak terjebak dalam penerapan aspek formalis atau institusional dari syari’at, melainkan upaya demi terwujudnya tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Tujuan utama syari’at itu terdapat dalam kemashlatan, yang mewujud dalam pembelaan terhadap lima hak dasar manusia, yakni hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak bekerja, dan hak berkeluarga. Fase ketiga, adalah fase azas tunggal Pancasila. Kami pernah mengalami satu masa, di mana negara (era Orde Baru) secara koersif, menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi politik, yang mengeliminir ideologi-ideologi lainnya. Di segenap lini masyarakat, baik partai politik maupun organisasi kemasyarakatan, Pancasila harus menjadi satu-satunya azas yang mengganti azas lainnya, termasuk azas Islam. NU pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984) kemudian mengambil sikap. Pancasila adalah azas kenegaraan, bukan azas agama. Selama tidak hendak menggantikan akidah Islam, maka Pancasila bisa diterima. Penetapan ini bisa kita pahami dengan menyimak ungkapan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dengan simbolis, beliau menjelaskan: “Pancasila adalah rumah kita. Sementara Islam adalah rumah tangganya”.

Artinya, Pancasila adalah bangunan rumah bersama, yang bisa ditempati oleh siapa saja. Sementara itu bagi warga NU, rumah tangga untuk menata rumah itu, tetaplah akidah Islam. Sikap dan ketetapan seperti ini bukan suatu logika taktis atau bahkan oportunisme politik. Melainkan sebuah sikap tawasuth yang lahir dari pemahaman atas substansi ajaran Islam, serta kesadaran atas kebutuhan untuk membangun kenegaraan yang beradab. Dengan menerima azas Pancasila ini, NU ikut membangun pola kenegaraan konstitusional, sebab dasar konstitusional tersebut, yakni Pancasila, adalah nilai-nilai luhur yang selaras dengan syari’at Islam.  Berdasarkan pada pengalaman historis di atas, maka NU secara konsisten mengiringi perjalanan kenegaraan RI. Sebab menurut NU, struktur kenegaraan RI, dengan Pancasila sebagai falsafah, dan konstitusi yang memuat perlindungan dan pemenuhan atas hajat hidup masyarakat, adalah struktur kenegaraan yang secara substantif, sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam. Di dalam kesesuaian dasariah inilah, NU menempatkan peran kenegaraannya. Oleh karenanya, di tengah upaya-upaya ideologis yang digerakkan oleh sayap ekstrim, seperti komunisme dan gerakan fundamentalis Islam, NU tetap berada di titik tawasuth dan i’tidal, sehingga di setiap fase sejarah kenegaraan RI, sikap NU senantiasa sama, yakni mengawal nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip utama dari syari’at Islam.

Demikianlah pandangan dan pengalaman NU dalam mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara substantif bisa diambil kesimpulan bahwa dengan memahami Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, maka pergerakan Islam tidak akan terbatas pada kelompoknya sendiri. Dalam kaitan ini, Islam adalah agama yang sempurna, justru karena ia bisa merangkul segenap persoalan yang berada di luar batas kediriannya. Paradigma perjuangan Islam untuk bangsa, untuk masyarakat, dan untuk kemashlahatan semua golongan akan menunjukkan kebesaran Islam, sebab sebagai agama rahmat, ia memiliki keluasan tak terbatas untuk menyelesaikan segala persoalan. Dengan keluasan Islam inilah, diharapkan berbagai perbedaan di dunia Islam bisa ditemukan kembali pada titik yang sama, yakni kebesaran Islam itu sendiri, sebagai agama yang rahmatnya meliputi semesta alam.

*********

Disari dari beberapa sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU