Minggu, 02 Juni 2013

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-4



Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-4: Memperhatikan Hal-Hal yang Paling Dekat dengan Kehidupan Manusia


Ringkasan 

Nilai-nilai dan keseimbangan:
1. Samawiyah -> sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah takwa
2. Ardhiyah -> Keturunan dan kekuasaan,  Kekuatan dan kewibawaan, Harta dan kekayaan
3. Sikap rasul setelah teguran:
  • Sikap yang baik, menerima dan menjadi arahan
  • Melaksanakan arahan tersebut dalam kehidupan pribadi dan jamaah
  • Memberikan kepada manusia bahwa dirinya telah ditegur dengan keras
  • Memelihara dan memperhatikan Ibnu Ummi Maktum dan berkata: “Selamat datang terhadap orang yang karena Allah menegur saya..”

Penjabaran

Ilustrasi (shintarizal.blog.com)

Ayat-ayat berikutnya beralih kepada sentuhan lain dalam segmen yang baru. Di depan disampaikan sentuhan tentang kejadian manusia, maka mengapa mereka tidak memperhatikan kepada makanannya dan makanan ternaknya dalam perjalanan hidupnya di dunia ini? Padahal, semua ini adalah salah satu dari sekian hal yang dimudahkan untuknya oleh Sang Maha Pencipta.
‘Hendaklah manusia memperhatikan makanannya. (‘Abasa: 24).
Inilah adalah cerita umum, diperinci tahap demi tahap. Semua ini hendaklah diperhatikan oleh ma­nusia. Apakah ada tangan yang mengaturnya di belakangnya? Apakah semua itu terjadi dengan sen­dirinya ataukah ada yang mengaturnya? Sesung­guhnya tangan yang mengeluarkannya ke pentas kehidupan dan membuat cerita yang bagus untuknya, itu pulalah yang telah mengeluarkan makanan­nya dan membuat ceritanya.
”Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-­baiknya. Lalu, Kami tumbuhkan biji-bjian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buah serta rumput­-rumputan, untuk kesenanganmu dan untuk binatang­-binatang ternakmu.” (‘Abasa: 24-32)
Makan adalah sesuatu yang paling lekat dan selalu ada pada, manusia. Hendaklah ia memper­hatikan urusan yang dimudahkan bagi mereka tetapi sangat vital, di depan mata, dan terjadi berulang­-ulang. Supaya mereka memperhatikan ceritanya yang menakjubkan tetapi mudah bila dinisbatkan kepada hal-hal yang menakjubkan itu. Ini merupakan suatu mukjizat (keluarbiasaan) seperti luar biasanya penciptaan dan kejadian mereka. Setiap langkah dari langkah-langkahnya berada di tangan kekuasaan yang menciptakannya,
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit).”(‘Abasa: 25)
Pencurahan air dalam bentuk hujan adalah suatu hakikat (kenyataan) yang dapat diketahui setiap manusia dalam semua lingkungan dan apa pun tingkat pengetahuan mereka. Ini adalah suatu hakikat yang dibicarakan kepada setiap manusia. Sedangkan, apabila manusia itu mengalami kemajuan dalam pengetahuannya, maka dia akan mengetahui bahwa kandungan yang ditunjuki nash ini lebih jauh dan lebih luas lagi daripada hujan yang biasa terjadi setiap waktu dan dilihat setiap orang itu. Perkiraan paling dekat sekarang untuk menafsirkan keberadaan lautan luas yang airnya menguap kemudian turun kembali dalam bentuk hujan. Atau, perkiraan ter­dekat bahwa lautan ini mina-mina terbentuk di langit di atas kita, kemudian dicurahkan dengan sungguh­-sungguh ke bumi.
Mengenai masalah ini, seorang ilmuwan modern mengatakan, “Jika benar bahwa panas bola bumi waktu lepas dari matahari itu mencapai sekitar 12.000 derajat, atau panas permukaan bumi mencapai derajat itu, maka pada waktu itu setiap unsur adalah pangs. Karena itu, tidak mungkin terdapat wujud kimiawi apa pun.
Ketika bola bumi atau bagian-bagiannya meng­alami pendinginan secara bertahap, maka terjadilah bentukan-bentukan dan terjadilah kehampaan alam sebagaimana yang kita ketahui. Tidaklah oksigen dan hidrogen dapat menyatu melainkan setelah suhu mengalami penurunan menjadi 4.000 derajat Fahrenheit. Pada titik ini berjalanlah unsur-unsur itu secara bersama-sama, dan terciptalah air yang kita kenal sekarang bahwa ia adalah hawa bola bumi, dan sudah tentu ia sangat besar pada waktu itu.
Semua lautan pada waktu itu ada di langit, dan semua unsur yang belum menyatu pada waktu itu merupakan gas di udara. Setelah air itu berada di udara luar, maka jatuhlah ia ke bumi, tetapi belum dapat mencapai bumi. Karena suhu di dekat bumi lebih tinggi daripada apa yang ada pada jarak beribu-­ribu mil. Sudah tentu kemudian datang waktu di mana angin menyampaikannya ke bumi untuk terbang kembali dalam bentuk uap. Ketika lautan berada di udara, maka luapan-luapan air yang terjadi bersama dengan meningkatnya pendinginan itu berada di atas perhitungan, dan masih terjadi keributan-keributan (keberantakan).”
Perkiraan ini, seandainya kita tidak menghubung­kannya dengan nash Al-Qur’an, memperluas keter­batasan persepsi kita terhadap nash dan sejarah yang diisyaratkannya. Yaitu, sejarah pencurahan air de­ngan pencurahan yang sebenar-benarnya, dan apa yang dikemukakannya ini adalah benar. Ditemukan juga perkiraan lain mengenai asal-usul air di bumi ini, sedang nash Al-Qur’an tetap up to date untuk membicarakannya kepada semua manusia pada semua lingkungan dan generasi.
Begitulah permulaan cerita makanan, “Sesungguh­nya Kami benar-benar telah mencurahkan air. ” Tidak seorang pun yang mengira bahwa Allah telah men­ciptakan air ini dalam berbagai bentuknya dan dalam berbagai cerita kejadiannya. Mereka tidak mengira bahwa Allah telah mencurahkannya ke bumi dengan sungguh-sungguh, supaya cerita makanan ini ber­jalan sesuai alurnya.
“Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya.” (‘Abasa: 26)
Ini merupakan kelanjutan tahapan pencurahan air. Kisah ini sangat layak dikemukakan kepada manusia yang mula-mula melihat air tercurah dari langit dengan kekuasaan yang bukan kekuasaan dirinya, dan dengan pengaturan yang bukan dia pengaturnya. Kemudian dia melihat bumi merekah dan tanahnya mengembang. Atau, ia melihat tum­buhan membelah bumi (tanah) dengan kekuasaan Yang Maha Pencipta tumbuh menurut cara dan bentuknya, dan berkembang di udara di atas ke­palanya.
Benih tanaman itu kecil dan kurus, sedang bumi (tanah) di atasnya (yang menindihnya) adalah berat dan berat Tetapi, tangan yang mengaturnya mem­belahkan bumi untuknya dan membantunya tumbuh menerobos timbunan tanah itu. Padahal, benih (tanaman yang masih berupa bakal batang, bakal daun dan sebagainya) itu kecil, lemas, dan lembut. Ini adalah suatu keajaiban luar biasa yang dapat dilihat oleh setiap orang yang mau merenungkan terbelahnya tanah diterobos oleh tumbuh-tumbuhan untuk tumbuh. Juga dapat dilihat oleh setiap orang yang merasakan adanya kekuatan yang mutlak di baliknya, kekuatan yang halus dan tersembunyi dalam tumbuhan yang lembek dan lemas itu.
Apabila pengetahuan manusia semakin mening­kat, maka berkembang pulalah jangkauan pemikir­annya terhadap nash ini. Mungkin pembelahan bumi itu agar ia layak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan de­ngan gambaran yang jauh melebihi apa yang kita gambarkan di muka. Mungkin ia mencakup penger­tian perekahan kerak bumi disebabkan pemampatan besar yang diisyaratkan oleh perkiraan ilmiah se­bagaimana disebutkan di muka. Juga disebabkan oleh unsur-unsur udara yang banyak yang oleh para ilmuwan sekarang diprediksi bahwa unsur-unsur ini bekerja sama untuk membelah kerak bumi yang keras di permukaan bumi yang merupakan kulitnya, sehingga diperoleh lapisan tanah yang layak di­tumbuhi tanaman. Ini merupakan bekas atau dam­pak yang ditimbulkan oleh air sebagai kelanjutan sejarah pencurahan air itu, yang sangat serasi de­ngan apa yang diisyaratkan oleh nash-nash tersebut.
Baik yang ini maupun yang itu, atau kejadian lainnya selain kedua hal tersebut, yang merupakan implementasi dari kedua ayat di atas, maka tahapan ketiga dalam cerita ini adalah tumbuh-tumbuhan dengan segala macam dan jenisnya. Yakni, yang di­sebutkan sebagiannya di sini yang lebih dekat ke­beradaannya dengan orang yang diajak bicara (pen­dengar atau pembaca Al-Qur’an), dan lebih umum cakupannya mengenai makanan manusia dan bina­tang ternak.
”Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.” (‘Abasa: 27)
Ini meliputi semua biji-bijian yang dimakan oleh manusia dalam semua wujudnya dan dimakan oleh binatang dalam semua keadaannya.
“Anggur dan sayur-sayuran. “ (‘Abasa: 28)
“Inab ” atau anggur itu sudah populer, dan “gadhb” adalah segala sesuatu yang dimakan dalam keadaan basah dan lembab yang berupa sayuran yang di­potong sekali sesudah kali lain.
“Zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan.” (‘Abasa: 29-31)
Zaitun dan kurma sudah sangat populer di ka­langan orang Arab. ‘Hadaaiq adalah bentuk jamak dari “hadiiqah”, yakni kebun-kebun yang memiliki pohon-pohon buah yang dipagari dengan pagar untuk melindunginya. “Ghulban ” adalah jamak dari ghulba’, artinya besar, luas, dan banyak pepohonan­nya. Buah-buahan dari kebun-kebun dan “al-abb” yang menurut dugaan kuat adalah sesuatu yang di­makan oleh binatang ternak (yakni rerumputan). Inilah yang ditanyakan oleh Umar ibnul-Khaththab tetapi kemudian dia mencela dirinya sendiri sebagai­mana disebutkan dalam membicarakan surah an-­Naazi’aat, dan kami tidak menambah pembicaraan lagi tentang ini.
Inilah kisah makanan. Semuanya diciptakan oleh tangan yang telah menciptakan manusia tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam hal ini, tidak seorang pun yang mengaku bahwa ia yang menciptakannya dalam tahapan mana pun hingga biji-bijian dan benih­-benih yang ditaburkan di bumi. Keluar-biasaan hal ini sudah tampak sejak semula dari belakang pemikiran dan pemahaman manusia.
Tanahnya sama di hadapannya, tetapi benih dan biji-bijiannya bermacam-macam. Masing-masing memiliki rasa yang berbeda beda padahal ia terletak dalam petak-petak tanah yang berdekatan. Semua­nya disiram dengan air yang sama, tetapi tangan Pencipta menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dengan buah-buahan yang beraneka macam. Pada tunas yang kecil dipelihara-Nya ciri-ciri khas induknya yang melahirkannya, dan ciri-ciri itu pun berpindah­-pindah kepada anak-anak tumbuhan yang dilahir­kannya. Semua itu adalah misteri bagi manusia. Ia tidak mengetahui rahasianya, tidak dapat memutus­kan urusannya, dan tidak dapat dimintai pertim­bangan mengenai urusannya. Karena yang menum­buhkan, mengatur, menentukan, dan menetapkan adalah Allah sendiri.
Inilah cerita yang dikeluarkan oleh tangan ke­emasan.
“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.”(‘Abasa: 32)
Sehingga, berakhirlah semua kesenangan ini pada suatu masa, yang telah ditentukan Allah ketika Dia menentukan kehidupan. Setelah itu terjadilah urusan lain sebagai akibatnya Suatu urusan yang sudah selayaknya direnungkan manusia sebelum terjadi.




Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/10/12/15389/tafsir-surat-abasa-bagian-ke-4-memperhatikan-hal-hal-yang-paling-dekat-dengan-kehidupan-manusia/#ixzz2V6aoIbjY

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-5 (Selesai)


Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-5 (Selesai): Keadaan Manusia Setelah Bangkit dari Kubur


فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ ﴿٣٣﴾يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ ﴿٣٤﴾ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ ﴿٣٥﴾ وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ ﴿٣٦﴾ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ ﴿٣٧﴾ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ ﴿٣٨﴾ ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ﴿٣٩﴾ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ ﴿٤٠﴾ تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ﴿٤١﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ﴿٤٢

”Apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dan bapaknya, serta istri dan anak­-anaknya; maka setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria. Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 33-42)
Inilah penutup kesenangan itu. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang panjang, dan pengaturan yang meliputi semua langkah dan tahapan urusan manusia. Dalam pemandangan ini, terdapat ke­serasian antara penutup dan permulaan surah ini, bersama orang yang datang dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut kepada Allah, dan orang merasa kaya yang tidak membutuhkan sesuatu dan berpaling dari petunjuk. Lalu, kedua tipe manusia ini kini berada dalam timbangan Allah.
Kata “as-shaakhkhah” (الصَّاخَّةُ) adalah lafal yang memiliki bunyi yang keras dan menembus, hampir memekakkan gendang telinga. Ia membelah angkasa, hingga sampai di telinga sebagai teriakan yang sangat keras dan bertubi-tubi.
Bunyi yang sangat keras ini sebagai pendahuluan bagi pemandangan berikutnya, yaitu pemandangan yang melukiskan orang yang lari dari manusia yang paling dekat dengannya,
”Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, ibu dun bapaknya, serta istri dan anak­-anaknya.”
Padahal, mereka saling terikat dengan jalinan-jalinan dan ikatan-ikatan yang tak terpisahkan, tetapi suara yang sangat keras itu merobek-robek ikatan-ikatan tersebut dan memutuskan jalinan­-jalinannya.
Ketakutan dan kengerian dalam pemandangan ini bersifat individual, nafsi-nafsi’ terfokus pada dirinya sendiri’, menakutkan diri yang bersangkutan, me­misahkannya dari segala sesuatu yang melingkupi­nya, dan menekannya dengan tekanan yang berat. Maka, setiap orang hanya sibuk memikirkan dirinya dan urusannya. Ia merasakan kesedihan yang khusus, yang tidak meninggalkan orang yang memiliki ke­lebihan dalam pemikiran dan usaha,
“Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa: 37)
Di balik kalimat ini, terdapat bayang-bayang yang tersembunyi, dan di dalam lipatannya terdapat bayang-bayang yang dalam dan jauh. Maka, tidak ada kalimat yang lebih singkat tetapi lebih luas cakupan­nya daripada kalimat yang diungkapkan ini, untuk menggambarkan kesusahan dan kesedihan yang menyibukkan dan menyita perasaan dan hati nurani,
“Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. “[1]
Begitulah keadaan semua makhluk pada hari yang sangat menakutkan itu, ketika telah tiba suara yang memekakkan.
Kemudian dilukiskanlah keadaan orang-orang yang beriman dan keadaan orang-orang kafir, sesudah mereka dinilai dan ditimbang dengan tim­bangan Allah di sana,
‘Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa, dan gembira ria.” (QS. ‘Abasa: 38-39)
Inilah wajah-wajah yang cerah ceria, berbinar-­binar, tertawa-tawa, bergembira-ria, penuh harapan kepada Tuhannya, dan merasa tenang karena me­rasakan keridhaan Tuhannya kepadanya. Maka, mereka selamat dari bencana suara yang meme­kakkan dan membingungkan. Atau, karena mereka sudah mengetahui tempat kembalinya, dan sudah jelas baginya tempat tinggalnya, lalu wajahnya ceria dan bergembira ria sesudah terjadinya peristiwa yang menakutkan dan membingungkan.
”Banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu, dan ditutupi lagi oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa: 40-42)
Wajah-wajah ini diliputi oleh debu-debu kesedihan.
Dengan demikian, terdapat keserasian antara permulaan dan akhir surah. Bagian permulaan me­netapkan hakikat timbangan, dan bagian akhir me­netapkan basil timbangan. Terasa pulalah keman­dirian surah yang pendek ini dengan muatan dan cakupannya terhadap hakikat-hakikat yang besar, pemandangan-pemandangan, dan kesan-kesannya Dengan semua ini, sempurnalah keindahan dan kebagusannya yang halus lembut dan penyesalan, dan ditutupi oleh hitamnya kehinaan dan kerendahan. Mereka sudah mengetahui apa yang telah mereka kerjakan, karena itu mereka yakin akan pembalasan yang dinantikannya.
”Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka “.
Yang tidak mau beriman kepada Allah dan risalah-risalah-­Nya, melanggar batas-batas-Nya, dan merusak apa-­apa yang diperintahkan-Nya untuk dihormati.
Pada wajah setiap orang itu sudah terlukis tempat kembalinya masing-masing. Terlukis sifat-sifat dan identitas mereka dari celah-celah lafal dan kalimat Al­-Qur’an yang diungkapkan ini. Seakan-akan wajah­-wajah tersebut berupa sosok yang bersangkutan, karena kuatnya pengungkapan Al-Qur’an dan lem­butnya sentuhannya.


Catatan Kaki:
[1] Dari buku al-Insan Laa Yaquumu Wahdahu karya Crosby Morison, dan diterjemahkan oleh Mahmud Shalih al-Falaki dengan judul Al-Ilmu Yad’uu dal-Iman.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/10/21/15596/tafsir-surat-abasa-bagian-ke-5-selesai-keadaan-manusia-setelah-bangkit-dari-kubur/#ixzz2V6Zw7Axd

Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-3



Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-3: Keparatnya Orang Kafir dan Penentang Dakwah Islamiyah



Hakikat teguran Allah SWT kepada Rasulullah SAW.

Ringkasan

Hakikat teguran Allah SWT kepada Rasulullah SAW:
1.  Bukan sekedar arahan:
- Bagaimana berinteraksi dengan seseorang anak manusia?
- Bagaimana berinteraksi dengan sebagian golongan manusia?
2.  Namun ia sebagai arahan
- Bagaimana manusia dapat seimbang dalam berbagai perkara hidup?
- Dari mana mereka menyandarkan nilai-nilai yang memberikan keseimbangan?
3.  Tujuan teguran: Mengokohkan nilai-nilai dan keseimbangan dari hukum samawi saja:
- Jauh dari campur tangan kehidupan duniawi
- Jauh dari gambaran kehidupan duniawi

Penjabaran

 Setelah menetapkan hakikat yang besar di tengah-tengah komentarnya terhadap peristiwa tersebut pada segmen pertama surah ini, maka ayat-ayat ber­ikutnya pada segmen kedua ini menunjukkan ke­heranan terhadap sikap orang-orang yang berpaling dari petunjuk, tidak mau beriman, dan menyom­bongi dakwah ke jalan Tuhannya. Segmen ini me­nunjukkan keheranan terhadap sikap orang itu dan kekafirannya, yang tidak mau mengingat sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya. Juga yang tidak mau memperhatikan pemeliharaan dan per­lindungan Allah kepada dirinya dalam setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sejak per­tama hingga terakhir, dan tidak mau menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya, Penjaminnya, dan Penghisabnya,
”Binasalah manusia, alangkah amat sangat kekafiran­nya. Dari apakah Allah menciptakannya? Dari setetes mani Allah menciptakannya dan menentukannya. Kemudian Dia memudahkan jalannya. Lalu, Dia me­matikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Apabila Dia menghendaki,Dia membangkitkannya kembali. Sekali-kali jangan, manusia itu belum melak­sanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” (‘Abasa: 17-23)
‘Binasalah manusia karena dia benar-benar layak mendapatkan kebinasaan dan kecelakaan, karena tindakan dan sikapnya yang mengherankan itu. Perkataan ini adalah untuk menjelek-jelekkan dan mencela dengan keras sikapnya, dan untuk me­nunjukkan bahwa dia melakukan sesuatu yang pantas mendapatkan kebinasaan karena buruk dan jeleknya apa yang dilakukannya itu.
‘Alangkah amat sangat kekafirannya!” (‘Abasa: 17)
Alangkah kafir dan ingkarnya dia terhadap masalah kejadian dan penciptaan dirinya. Kalau dia mau memikirkan masalah-masalah ini, niscaya dia akan bersyukur kepada Penciptanya, akan tawadhu di dalam urusan dunianya, dan akan sadar terhadap akhiratnya.
Nah, kalau tidak begitu, maka mengapakah dia sombong, congkak, dan berpaling? Siapakah dan apakah dia itu? Dari mana asalnya, dan apa bahan penciptaan dirinya?
“Dari apakah Allah menciptakannya?” (‘Abasa: 18)
Dia berasal dari sesuatu yang hina dan tak ber­harga. Kemudian nilainya menjadi meningkat karena karunia, nikmat, penentuan, dan pengaturan-Nya,
”Dari setetes mani Allah menciptakan dan menentu­kannya. “(‘Abasa: 19)
Dari sesuatu yang tidak ada harganya sama sekali, dari bahan pokok yang tidak ada nilainya. Akan tetapi, Penciptanyalah yang menentukannya dengan menciptakan dan mengaturnya. Dia menentukannya dengan memberinya harga dan nilai, menjadikannya makhluk yang sempurna, dan menjadikannya makh­luk yang mulia, serta mengangkatnya dari asal-usul yang hina dan rendah ke tempat dan kedudukan tinggi yang untuknyalah bumi dengan segala sesuatunya diciptakan.
”Kemudian Dia memudahkan jalannya.” (‘Abasa,: 20)
Direntangkan untuknya jalan kehidupan, atau di­bentangkan untuknya jalan petunjuk, dan dimudah­kan baginya untuk menempuhnya dengan peralatan­-peralatan dan potensi-potensi yang diberikan-Nya, baik untuk menempuh kehidupan maupun menem­puh hidayah tersebut.
Hingga apabila perjalanan hidup sudah berakhir, maka berkesudahanlah kehidupan dan aktivitasnya sebagaimana yang dialami oleh semua makhluk hidup, tanpa ada pilihan lain dan tanpa dapat meng­hindar,
“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.”(‘Abasa: 21)
Maka, urusan kesudahannya ini seperti urusan­nya dalam permulaannya, berada di tangan Zat yang telah mengeluarkannya kepada kehidupan dan menyudahi kehidupannya manakala Dia meng­hendaki. Juga menjadikan tempat tinggalnya di perut bumi, sebagai penghormatan baginya dan untuk memeliharanya. Dia tidak menyunnahkan untuk membiarkan tubuhnya dan anggota-anggotanya berserakan di muka bumi. Bahkan, Dia menjadikan insting manusia berkeinginan menutup dan me­ngubur mayat. Maka, semua ini termasuk peng­aturan dan penataan-Nya.
Sehingga, apabila telah tiba waktu yang dike­hendaki-Nya, maka dikembalikanlah manusia itu kepada kehidupan untuk menghadapi urusan yang dikehendaki-Nya,
“Kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkit­kannya kembali.”(‘Abasa: 22)
Manusia tidak dibiarkan dengan sia-sia, lenyap tanpa perhitungan dan pembalasan. Apakah kamu lihat dia telah bersiap sedia untuk menghadapi urus­an ini?
“Sekali-kali jangan, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. (‘Abasa: 23)
Manusia secara umum, dengan personal-per­sonalnya dan generasinya secara keseluruhan, belum melaksanakan dengan sesungguhnya apa yang diperintahkan Allah kepadanya hingga akhir masa hidup mereka. Isyarat ini menggunakan kata ‘belum’.
Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia ini masih banyak kekurangannya, belum menunaikan kewajibannya, belum mengingat dan menyadari asal usul dan kejadiannya dengan sebaik-baiknya, serta belum bersyukur kepada Penciptanya, Pemberinya petunjuk, dan Pemberinya jaminan dengan syukur yang sebenar-benarnya. Mereka juga belum melaksanakan perjalanan di muka bumi untuk mencari persiapan guna menghadapi hari perhitungan dan pembalasan. Demikianlah mereka secara umum, dan lebih dari itu banyak sekali di antara mereka yang berpaling, congkak, dan menyombongkan diri terhadap petunjuk!


Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-2



Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-2: Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW


Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW ketika Menghadapi Para Pembesar Quraisy dan Ibnu Ummi Maktum, dan Refleksi Para Sahabat dalam Mengimplementasikan Pelajaran darinya

۞ عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ﴿١﴾أَن جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ﴿٢﴾وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ﴿٣﴾أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَىٰ﴿٤﴾أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ﴿٥﴾فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّىٰ﴿٦﴾وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَن جَاءَكَ يَسْعَىٰ﴿٨﴾وَهُوَ يَخْشَىٰ﴿٩﴾فَأَنتَ عَنْهُ تَلَهَّىٰ﴿١٠﴾كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ﴿١١﴾فَمَن شَاءَ ذَكَرَهُ﴿١٢﴾فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ﴿١٣﴾مَّرْفُوعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ﴿١٤﴾بِأَيْدِي سَفَرَةٍ﴿١٥﴾كِرَامٍ بَرَرَةٍ﴿١٦

Artinya:
  1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
  2. Karena telah datang seorang buta kepadanya.
  3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
  4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
  5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
  6. Maka kamu melayaninya.
  7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
  8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
  9. Sedang ia takut kepada (Allah).
  10. Maka kamu mengabaikannya.
  11. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
  12. Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
  13. Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
  14. Yang ditinggikan lagi disucikan,
  15. Di tangan para penulis (malaikat),
  16. Yang mulia lagi berbakti.
                      (QS. ‘Abasa: 1-16)


Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Pengarahan yang turun berkenaan dengan peristiwa ini merupakan persoalan sangat besar yang jauh lebih besar dari apa yang tampak di luar. Se­sungguhnya ini adalah mukjizat dan hakikat yang hendak ditetapkan Allah di muka bumi, beserta dampak penetapan ini terhadap perbuatan manusia di dalam kehidupan. Barangkali ia adalah mukjizat Islam yang pertama dan sekaligus terbesar. Akan tetapi, pengarahan ini datang sedemikian rupa, sebagai komentar atas peristiwa individual, menurut metode Ilahi dalam Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa perseorangan dan dalam konteks terbatas sebagai kesempatan untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang bakal diberlakukan.
Jika tidak demikian, maka hakikat yang menjadi sasaran penetapan di sini beserta dampak-dampak praktis yang ditimbulkannya di dalam kehidupan umat Islam merupakan inti Islam. Itulah hakikat yang dikehendaki Islam dan semua risalah langit sebelumnya untuk ditanamkan di bumi.
Hakikat ini bukan semata mata bagaimana sese­orang bermuamalah dengan orang lain, atau bagai­mana sekelompok orang bergaul dengan kelompok lain sebagaimana makna yang dekat dengan peris­tiwa beserta komentarnya itu. Akan tetapi, hakikat benar-benar lebih jauh dan lebih besar daripada ini. Ikatannya ialah bagaimana manusia menimbang semua urusan kehidupan, dan dari sumber mana mereka mengembangkan dan menentukan nilai­-nilai yang mereka pergunakan untuk menimbang sesuatu.
Hakikat yang menjadi sasaran penetapan ini ialah manusia di bumi harus mengembangkan tata nilai dan tata norma mereka dengan semata-mata ber­pedoman pada kalimat IIahi dari langit (wahyu). Mereka tidak terikat oleh lingkungan-lingkungan bumi, tidak terikat dengan tempat-tempat hidup mereka, serta tidak bersumber dari pemikiran-pemi­kiran mereka yang sangat terikat dengan tempat-tempat dan lingkungan-lingkungan itu. Ini adalah persoalan yang sangat besar, tetapi juga sangat sulit. Sulit bagi manusia yang hidup di bumi, tetapi menggunakan norma-norma dan nilai-nilai yang datang dari langit. Yakni, terlepas dari per­timbangan-pertimbangan bumi, dan terbebas dari tekanan-tekanan berbagai pertimbangan tersebut.
Kita mengetahui kebesaran dan kesulitan per­soalan ini ketika kita mengetahui besarnya realitas manusia, perpindahannya kepada perasaan, dan tekanannya pada jiwa. Juga sulitnya lepas dari ling­kungan sekitar dan tekanan-tekanan yang timbul dari realitas kehidupan masyarakat, yang bersumber dari kondisi-kondisi penghidupan, ikatan-ikatan kehidup­an, warisan budaya, sisa-sisa sejarah, dan semua hal yang mengikat mereka erat-erat dengan bumi (budaya, peradaban, lingkungan, situasi, kondisi, dan sebagainya). Ditambah dengan tekanan-tekanan ter­hadap jiwa karena pertimbangan-pertimbangan, tata norma, tata nilai, pandangan, dan ideologi. Inilah satu-satunya nilai dan tolok ukur untuk menilai dan mengukur berbobot ataukah tidaknya seorang manusia. Ini adalah norma langit yang murni, tidak ada hubungannya dengan tempat, situasi, dan lingkungan bumi.
Ya, yang demikian ini saja rasanya sudah cukup. Karena, kebesaran, ketinggian, dan keluhuran jiwa yang menjadikan urusan yang hendak dicapainya sampai membutuhkan peringatan dan pengarahan itu, merupakan urusan yang lebih besar daripada kebesaran itu sendiri, dan lebih tinggi daripada ketinggiannya itu. Inilah hakikat persoalan itu, yang menjadi tujuan pengarahan IIahi untuk menetapkan dan memantapkannya di muka bumi, melalui peris­tiwa unik ini. Yakni, agar manusia mengabaikan nor­ma-norma dan timbangan-timbangan mereka ke­pada norma-norma dan pertimbangan-pertimbang­an dari langit, terlepas dari nilai-nilai dan timbangan­-timbangan bumi yang bersumber dari realitas (budaya, tradisi, lingkungan) mereka. Inilah persoalan yang besar dan agung itu. Kita juga mengetahui besarnya hakikat urusan ini dan kesulitannya ketika kita mengetahui bahwa jiwa Muhammad bin Abdullah saw. sangat memerlukan­ agar sampai kepadanya pengarahan dari Tuhannya. Bahkan, memerlukan celaan keras ini, yang sampai batas keheranan terhadap tindakannya. Dengan demikian, untuk menggambarkan besarnya suatu urusan di dunia ini, cukup kiranya kalau dikatakan bahwa jiwa Muhammad bin Abdullah saw. Sangat membutuhkan peringatan dan pengarahan. Sesungguhnya timbangan yang diturunkan Allah bersama para rasul untuk meluruskan semua tata nilai itu adalah,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (a1-Hujuraat: 13)
Akan tetapi, manusia hidup di bumi serta ber­hubungan dan berinteraksi dengan sesamanya de­ngan berbagai macam hubungan yang mempunyai timbangan, bobot, dan daya tarik terhadap kehidup­annya. Mereka bergaul dan bermuamalah dengan nilai-nilai lain seperti nasab (keturunan), kekuatan (kekuasaan), dan harta benda (kekayaan). Ter­masuk juga nilai-nilai yang timbul dari hubungan kerja, perekonomian ataupun non perekonomian. Dalam semua hal itu, pertimbangan sebagian ma­nusia berbeda dengan sebagian yang lain. Sehingga, yang sebagian lebih unggul dalam timbangan-tim­bangan bumi.   ,.
Kemudian Islam datang untuk mengatakan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. “Lalu, ditutupnya lem­baran yang berisi nilai-nilai yang berat timbangannya dalam kehidupan manusia, keras tekanannya ter­hadap perasaan mereka, dan kuat daya tariknya ke bumi. Semuanya diganti dengan nilai-nilai yang bersumber langsung dari langit, yang hanya ini saja yang diakui dalam timbangan langit.
Kemudian datanglah peristiwa ini untuk menetap­kan nilai itu dalam sebuah peristiwa yang terbatas. Juga untuk menetapkan prinsip dasar bahwa “timbangan yang sebenarnya adalah timbangan langit, dan nilai yang sebenarnya adalah nilai langit. Umat Islam harus meninggalkan semua tradisi yang menjadi kebiasaan manusia; dan harus meninggalkan segala sesuatu yang bersumber dari ikatan-­ikatan bumi seperti tata nilai, pandangan hidup, ideologi, norma-norma, dan pemikiran-pemikiran. Sehingga, mereka hanya berpegang pada nilai-nilai dari langit saja dan menimbangnya dengan tim­bangan langit saja”.
Datanglah seorang tuna netra yang miskin, ber­nama Ibnu Ummi Maktum, kepada Rasulullah saw yang sedang sibuk mengurusi sejumlah pembesar Quraisy, yaitu Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal Amr bin Hisyam, Umayyah bin Khalaf, dan Al-Walid ibnul-Mughirah, bersama Abbas bin Abdul Muthalib. Waktu itu Rasulullah saw. sedang mengajak mereka memeluk Islam. Beliau berharap bahwa masuk Islamnya mereka akan membawa kebaikan bagi Islam yang selama ini dipersulit dan ditekan di Mekah.
Mereka itulah yang biasa menghambat jalan Islam dengan menggunakan harta, kedudukan, dan kekuatannya. Mereka menghalang-halangi manusia dari Islam, dan melakukan berbagai macam tipu daya untuk membekukan Islam di Mekah. Sedang­kan, yang lainnya melakukan penghalangan dan penghambatan di luar Mekah. Mereka tidak mau menerima dakwah yang disampaikan oleh orang yang paling dekat persahabatannya dengan mereka dan paling kuat ikatan kekeluargaannya. Pasalnya, mereka hidup di dalam lingkungan jahiliah yang sarat dengan fanatisme kabilah, yang menjadikan sikap kabilah sebagai pusat nilai dan pemikiran.
Lelaki tuna netra yang fakir ini datang kepada Rasulullah saw. ketika beliau sedang sibuk me­ngurusi pemuka-pemuka Quraisy. Beliau sedang mengurusi sesuatu bukan untuk dirinya dan ke­pentingannya sendiri, melainkan untuk Islam dan kepentingan Islam. Karena seandainya mereka masuk Islam, maka akan tersingkirkanlah ham­batan-hambatan yang sulit dan duri-duri yang tajam dari jalan dakwah di Mekah. Sehingga, Islam tentu akan berkembang di sekitarnya, sesudah masuk Islamnya tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar ter­sebut
Lelaki ini datang, lalu berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, tolong bacakan dan ajarkan kepadaku apa yang telah diajarkan Allah kepadamu!” Ia mengulang-ulang perkataan ini padahal ia me­ngetahui kesibukan Rasulullah saw. dalam menghadapi urusan ini. Maka, Rasulullah saw. tidak senang kalau pembicaraan dan perhatian beliau terhadap tokoh­-tokoh Quraisy itu terputus. Ketidaksenangan beliau tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak terlihat oleh lelaki tuna netra itu, yaitu beliau bermuka masam dan berpaling. Ber­paling dari lelaki fakir yang sendirian tetapi dapat mengganggunya dari urusan yang sangat penting ini. Yakni, urusan yang di belakangnya terdapat harapan yang banyak bagi dakwah dan agamanya. Atau, urusan yang didorong oleh keinginannya untuk membela agamanya, ketulusannya terhadap urusan dakwahnya, kecintaannya terhadap kemaslahatan Islam, dan keinginannya terhadap perkembangan dan penyebarannya.
Di sinilah langit campur tangan untuk mengata­kan kata pasti dalam urusan ini, untuk menaruh rambu-rambu dan semua petunjuk jalan, dan untuk menetapkan timbangan untuk menimbang semua norma dan nilai, tanpa menghiraukan semua jenis lingkungan dan pemikiran. Termasuk pemikiran tentang kemaslahatan dakwah menurut pandangan manusia, bahkan menurut pandangan penghulu semua manusia yakni Nabi Muhammad saw.
Datanglah celaan dari Allah Yang Mahatinggi lagi Maha luhur kepada Nabi-Nya yang mulia, pemilik akhlaq yang luhur, dengan uslub yang keras dan tegas. Hanya satu kali ini saja di dalam seluruh Al­-Qur’an dikatakan kepada Rasul tercinta dan dekat dengan Allah suatu perkataan, ‘sekali-kali jangan!, yaitu perkataan untuk membentak Hal itu disebabkan besarnya urusan yang kepadanya agama ini ber­tumpu.
”Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang seseorang tuna netra kepadanya.” (‘Abasa: 1-2).
Uslub yang dipergunakan Al-Qur’an di dalam menyampaikan celaan IIahi ini merupakan uslub yang tidak mungkin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa tulis manusia. Karena, bahasa tulis itu memiliki ikatan-ikatan, aturan-aturan, dan tradisi­-tradisi, yang menurunkan suhu pengarahan dalam bentuknya yang hidup secara langsung. Uslub Qur’ani ini juga unik dengan kemampuan pemaparannya dalam bentuk ini dalam sentuhan-sentuhan sekilas, kalimat-kalimat yang terputus-putus, dan ungkapan-ungkapan yang seakan-akan berupa kesan-kesan, dengan intonasi-intonasi,  sifat-sifat, dan kilasan-kilas­an  yang hidup. Ayat ini menggunakan bentuk cerita tentang gang ketiga yang bukan lawan bicara. Di dalam uslub ‘metode’ ini terdapat isyarat yang mengesankan bahwa persoalan ini menjadi topik pembicaraan yang disertai ketidaksenangan di sisi Allah. Dia tidak suka mengarahkan secara langsung perkataan ini kepada Nabi-Nya dan kekasih-Nya, karena kasih sayang-Nya dan untuk menghormatinya. Sehingga, tidak diucap­kan langsung sesuatu yang tidak menyenangkan ini kepadanya.
Kemudian diputarlah pernyataan ini, sesudah ditutupnya perbuatan yang menyebabkan datangnya celaan ini, kepada celaan kepada lawan bicara. Maka, dimulailah celaan ini dengan sedikit tenang,
‘Tahukah kamu tahu barangkali ia ingin membersihkan diri­ (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, atau pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (`Abasa: 3-4)
Tahukah kamu, barangkali akan terealisir ke­baikan yang besar ini? Yaitu, lelaki tuna netra yang datang kepadamu karena mengharapkan kebaikan dari sisimu ini ingin membersihkan diri­nya, menyadarkan hatinya, dan mendapatkan peng­ajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat baginya? Tahukah kamu barangkali hatinya akan bersinar dengan secercah cahaya dari Allah, karena tidak mungkin mercusuar di bumi menerima cahaya langit?
Ini adalah suatu hal yang dapat terwujud apabila hati sudah terbuka terhadap petunjuk, dan hakikat iman sudah sempurna di dalamnya. Ini adalah persoalan besar dan berat dalam timbangan Allah.
Kemudian intonasi celaannya naik lagi, nadanya keras, dan beralih kepada sikap keheranan terhadap tindakan itu, yang menggantikan celaan,
‘Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), maka kamu mengabaikannya. ” (‘Abasa: 5-10)
Tentang orang yang sudah menampakkan ke­tidakbutuhannya kepada dirimu, agamamu, pe­tunjuk, kebaikan, cahaya, dan kesucian yang ada di sisimu; kamu layani dia, perhatikan urusannya, serius untuk menunjukkannya, dan hadapi dia, sedang dia berpaling darimu! “Apakah kerugianmu kalau dia tidak membersihkan dirinya (beriman)?”Apakah ke­rugianmu kalau dia tetap di dalam kekotoran dan kejorokannya? Toh kamu tidak akan dimintai per­tanggungjawaban tentang dosanya. Kamu tidak dapat ditolong olehnya, dan kamu juga tidak ber­kewajiban melaksanakan urusannya.
‘Adapun orang yang datang kepadamu dengan ber­segera (untuk mendapatkan pengajaran) “yang datang dengan penuh kepatuhan dan kesadaran, “serta takut (kepada Allah)”dan berusaha menjaga dirinya, “maka kamu mengabaikannya”. Sikap mengabaikan orang yang beriman dan menginginkan kebaikan serta bertaqwa itu, disebut dengan “talahhiy ” sebagai sifat yang keras dan kasar.
Kemudian tekanan celaan ditinggikan lagi hingga menjadi bentakan dan gertakan, “‘sekali-kali jangan demikian’.” Jangan sekali-kali begitu! Suatu pernyataan yang menarik perhatian dalam hal ini.
Lalu dijelaskanlah hakikat dakwah ini beserta kemuliaan, keagungan, ketinggiannya, dan ketidak­butuhannya kepada seorang pun dan sandaran apa pun. Juga pemfokusan perhatiannya kepada orang yang menginginkan dakwah itu, apa pun kedudukan dan timbangannya dalam timbangan-timbangan dunia,
“Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran­ ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan dan ditinggikan serta disucikan, di tangan para penulis (malaikat) yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa.: 11-16)
Peringatan itu sangat mulia kalimat dan lembaran nya (kitabnya), ditinggikan, disucikan, dan diserah­kan kepada para utusan dari kalangan makhluk tertinggi untuk menyampaikannya kepada orang­-orang pilihan di muka bumi, agar disampaikan lagi kepada umat manusia. Di samping itu para utusan (malaikat) tersebut adalah mulia dan sangat berbakti. Karena itu, peringatan (wahyu Allah) itu adalah mulia dan suci mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengannya, dan sesuatu yang bersentuhan dengan­nya, dari dekat ataupun jauh. Ia adalah terhormat, tidak pantas digunakan melayani orang-orang yang berpaling dan menampakkan ketidakbutuhannya kepadanya. Maka, peringatan (dakwah, Al-Qur’an) ini hanya untuk orang yang mengenal kemuliaannya dan mencari penyucian diri dengannya.
Inilah timbangan Allah, yang dipergunakan untuk menimbang semua tata nilai dan pemikiran, untuk mengukur manusia dan semua peraturan. Inilah kalimat Allah yang menjadi muara semua perkataan, hukum, dan keputusan.
Di manakah dia berada? Kapan? Di Mekah, dak­wah dilakukan dengan mengendap-endap, dan jumlah kaum muslimin minoritas. Adapun melayani pembesar-pembesar Quraisy yang dilakukan Nabi saw. itu bukan didorong oleh kepentingan pribadi, dan sikap tidak menghiraukan lelaki tuna netra yang fakir itu juga tidak dimotivasi oleh pertimbangan pribadi, melainkan untuk kepentingan dakwah sejak awal hingga akhir. Akan tetapi, dakwah ini sendiri merupakan timbangan dan nilai. Ia datang untuk menetapkan timbangan dan nilai ini di dalam ke­hidupan manusia. Maka, ia tidak akan menjadi kokoh dan kuat, serta memperoleh kemenangan kecuali dengan ditetapkannya timbangan dan nilai-nilai ini.
Sesungguhnya urusan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, lebih agung dan lebih kompleks daripada peristiwa personal dan persoalan langsungnya. Akan tetapi, ia hendak menyampaikan kepada manusia timbangan-timbangan dan nilai-nilai serta kalimat-kalimat langit, bukan dari bumi. Yaitu,
“Se­sungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa. “
Orang yang paling bertaqwa di sisi Allah ialah orang yang berhak mendapatkan perlindungan dan perhatian, meskipun ia lepas dari semua unsur dan pemikiran-pemikiran lain, yang dikenal manusia di bawah tekanan realitas bumi (duniawi) dan kese­pakatan-kesepakatan mereka. Nasab (keturunan), kekuatan, harta, dan semua tata nilai tidak ada bobotnya apabila lepas dari iman dan takwa. Satu-satunya hal yang layak mendapatkan timbangan dan penilai­an ialah apabila diperhitungkan dengan perhitungan iman dan takwa.
Inilah hakikat besar yang menjadi sasaran peng­arahan Ilahi yang ditetapkan dalam konteks ini. Pengarahan itu berdasarkan metode Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa personal dan dalam konteks terbatas, sebagai sarana untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang berlaku.
Jiwa Rasulullah saw. sangat terkesan oleh pe­ngarahan dan celaan ini. Ia memperoleh kesan yang kuat dan hangat juga termotivasi untuk menetapkan hakikat ini di dalam seluruh kehidupan beliau dan kehidupan masyarakat Islam, dengan menyifatinya sebagai hakikat Islam yang pertama.
Maka, aktivitas pertama yang dilakukan Rasu­lullah saw. ialah mengumumkan pengarahan dan celaan yang turun berkenaan dengan peristiwa ter­sebut. Pengumuman ini merupakan sesuatu yang besar dan luar biasa serta tidak dapat dilakukan ke­cuali oleh seorang Rasulullah, dari sisi mana pun kita melihatnya.
Ya, tidak ada seorang pun yang mampu kecuali Rasulullah untuk mengumumkan kepada manusia bahwa, dia dicela demikian keras dengan bentuk yang unik ini karena suatu kekeliruan yang dilaku­kannya. Cukuplah bagi orang besar mana pun, selain Rasulullah, untuk mengakui kesalahan ini dan memperbaikinya pada masa yang akan datang. Akan tetapi, ini adalah persoalan nubuwwah ‘kenabian’, persoalan yang lain, dan ufuk yang lain pula.
Tidak ada yang mampu selain Rasulullah untuk menyampaikan hal ini sedemikian rupa di hadapan pembesar-pembesar Quraisy dalam kondisi seperti itu. Yakni, dalam rangka dakwah terhadap orang-­orang yang membangga-banggakan nasab, harta, dan kekuatannya, dalam suatu lingkungan yang tidak ada tempat padanya selain pemikiran-pemikir­an ini. Sehingga, pada batas di mana mengenai Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim ini mereka mengatakan,
”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada se­orang besar dan salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)” (Az-Zukhruf: 31)
Itulah nasab beliau di antara mereka. Secara pribadi, beliau tidak memiliki kedudukan apa-apa di kalangan mereka sebelum menjadi rasul.
Kemudian, tidak mungkin hal ini terjadi di lingkungan seperti ini kecuali karena wahyu dari langit. Ini tidak mungkin bersumber dari bumi ini, apalagi pada masa itu.
Itu adalah kekuatan langit yang mendorong urus­an seperti itu berjalan di jalannya. Itu tembus dari celah jiwa Rasulullah saw. kepada lingkungan di sekitarnya. Kemudian ia menetap padanya secara dalam, kuat, dan mantap, serta berlaku sepan­jang masa di dalam kehidupan umat Islam.
Sungguh ini merupakan kelahiran baru bagi kemanusiaan seperti lahirnya manusia dengan tabiat­nya. Adapun yang lebih besar lagi nilainya ialah ter­imbasnya manusia secara hakiki, dalam perasaan dan realitas, dari semua tata nilai yang sudah dikenal dan diberlakukan di muka bumi. Mereka beralih kepada nilai-nilai lain yang turun dari langit dengan terlepas dari semua tata nilai, pertimbangan-pertim­bangan, pandangan, pola pikir, lingkungan kerja,  dan ikatan realitas yang memiliki daya tekan yang berat dan hubungan-hubungan daging, darah, urat saraf dan perasaan yang ada di bumi.
Kemudian nilai-nilai baru itu dipahami dan di­cerna oleh semua orang. Maka, berubahlah urusan besar yang untuk menyampaikannya ini. Jiwa nabi Muhammad saw. memerlukan peringatan dan pe­ngarahan. Berubahlah sesuatu yang besar ini men­jadi terang-benderang di dalam hati nurani orang muslim, menjadi syariat masyarakat Islam, dan men­jadi hakikat kehidupan yang utama di dalam kehidup­an masyarakat Islam sepanjang masa.
Sesungguhnya kita hampir tidak mengerti hakikat kelahiran baru itu. Karena, kita tidak pernah mem­bayangkan di dalam hati kita hakikat keterbebasan dari semua tata nilai, timbangan-timbangan, dan norma-norma serta pemikiran-pemikiran yang di­lahirkan oleh tatanan dunia dan hubungan-hubung­annya yang memiliki daya tekan yang besar sehingga menimbulkan persepsi sebagian pengikut mazhab progresif’, bahwa salah satu sisi sistem duniawi­, yaitu sistem ekonomi itulah yang menentukan tem­pat kembalinya manusia beserta aqidah, kebudaya­an, peradaban, perundang-undangan, tradisi, dan pandangannya terhadap kehidupan. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab tafsir materi terhadap sejarah dengan sempitnya wawasan dan kebodohan yang berlebihan terhadap hakikat kehidupan.
Sungguh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah ini suatu mukjizat kelahiran baru bagi manusia di tangan Islam pada masa itu.
Sejak kelahiran itu dominanlah nilai-nilai yang menyertai peristiwa besar dunia. Akan tetapi, masalahnya tidak ringan dan tidak mudah di lingkungan bangsa Arab, bahkan di dalam jiwa kaum muslimin sendiri. Hanya saja Rasulullah saw. dengan iradah Allah beserta tindakan-tindakan dan pengarahan­ pengarahan-Nya yang menimbulkan respon yang hangat dari jiwa Rasulullah, dapat menanamkan hakikat ini di dalam hati nurani dan di dalam ke­hidupan. Beliau mampu menjaga dan memelihara­nya, hingga akar-akarnya kuat, cabang-cabangnya berkembang, dan menaungi kehidupan umat Islam dalam kurun waktu yang panjang, meskipun golong­an-golongan lain menentangnya. Setelah peristiwa ini, Rasulullah saw. senantiasa bersikap lunak kepada Ibnu Ummi Maktum. Setiap kali berjumpa dengannya, beliau berkata, “Selamat bertemu orang yang karenanya aku dicela oleh Tuhan­ku.” Bahkan, beliau menjadikannya pengganti beliau dua kali setelah hijrah di Madinah.
Untuk menggugurkan timbangan-timbangan lingkungan dan tata nilainya yang bersumber dari pengakuan dan tradisi-tradisi dunia, Rasulullah saw. mengawinkan putri bibi beliau Zainab binti Jahsy al-Asadiyah dengan mantan budak beliau yang ber­nama Zaid bin Haritsah. Masalah perkawinan dan persemendaan (periparan) merupakan masalah yang sangat sensitif di lingkungan bangsa Arab khususnya. Sebelumnya, ketika Rasulullah saw. memper­saudarakan antar kaum muslimin pada masa-masa permulaan hijrah, beliau mempersaudarakan paman beliau Hamzah dengan mantan budak beliau Zaid. Juga mempersaudarakan Khalid bin Ruwaihah al­-Khats’ami dengan Bilal bin Rabah.
Rasulullah saw. mengangkat Zaid sebagai pang­lima perang Mu’tah, yaitu sebagai panglima pertama disusul dengan Ja’far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah, untuk memimpin tiga ribu pasukan Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Khalid bin Walid.
Rasulullah saw. sendiri juga keluar mengiringkan mereka. Dalam perang ini, ketiga panglima tersebut gugur sebagai syuhada. Mudah-mudahan Allah me­ridhai mereka. Tindakan terakhir yang dilakukan Rasulullah saw ialah mengangkat Usamah bin Zaid menjadi pang­lima perang dalam menghadapi pasukan Romawi. Dalam pasukan Islam ini, banyak kalangan Muhajirin dan Anshar yang ikut Di antaranya Abu Bakar dan Umar yang merupakan dua orang wazir dan sahabat Rasul serta khalifah sepeninggal beliau ber­dasarkan kesepakatan kaum muslimin. Di antaranya lagi adalah Sa’ad bin Abi Waqqash yang merupakan orang dekat Rasulullah saw. dan termasuk golongan Quraisy angkatan pemula yang masuk Islam.
Sebagian orang merasa kurang pas dengan kepemimpinan Usamah karena masih terlalu muda. Mengenai hal ini, dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa Ibnu Umar RA berkata, “Rasulullah saw. mengirim para pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid RA, maka se­bagian orang mencela kepemimpinan Usamah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Jika kamu mencela kepemimpinannya, maka sesungguhnya kamu telah mencela kepemimpinan bapaknya sebelumnya. Demi Allah, sesungguhnya dia layak menjadi pe­mimpin, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang paling saya cintai, sesungguhnya dia termasuk orang yang saya cintai.”‘
Dalam hadits riwayat ath-Thabrani dan al-Hakim disebutkan bahwa ketika banyak orang berceloteh mengenai Salman al-Farisi dan mempersoalkan kebangsaan Persia dan kebangsaan Arab, sesuai dengan hukum nasionalisme yang sempit, maka Rasulullah saw. membuat pukulan telak dalam per­soalan ini seraya bersabda, “Salman itu termasuk keluarga kami.”
Maka, dilampauilah dengan sabda beliau ini ­dengan nilai-nilai langit dan timbangan-timbangan­nya semua dataran nasab yang mereka bangga ­banggakan, dan semua batas nasionalisme sempit yang mereka agung-agungkan. Beliau menganggap Salman (yang bukan berkebangsaan Arab) ini se­bagai keluarga beliau.
Ketika terjadi peristiwa antara Abu Dzar al-Ghiffari RA dan Bilal bin Rabah RA sehingga dari mulut Abu Dzar terlontar perkataan, “Wahai anak wanita hitam,” maka Rasulullah saw. sangat marah terhadap ucapan itu. Beliau mengecam Abu Dzar dengan keras dan menakutkan dengan sabdanya,
Sebuah kalimat nabawiyah dengan segala kehangatannya, ”Hai Abu Dar, telah dikurangi takaran dan tidak ada ke­utamaan bagi anak wanita yang berkulit putih dari anak wanita yang berkulit hitam.” (HR Ibnul Mubarak)
Maka, dibedakanlah urusan ini menurut akarnya yang jauh. Adapun Islam adalah nilai-nilai dan tim­bangan-timbangan langit, sedangkan jahiliah adalah nilai-nilai dan timbangan-timbangan bumi!
Ini meresap ke dalam hati Abu Dzar yang sensitif. Ia sangat terkesan olehnya, dan ia letakkan pipinya ke tanah seraya bersumpah bahwa ia tidak akan meng­angkatnya sebelum diinjak oleh Bilal, untuk mene­bus perkataannya yang besar implikasinya.
Timbangan yang mengangkat derajat Bilal ialah timbangan langit Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Abu Hurairah RA ber­kata, “Rasulullah saw bersabda,
”Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang engkau kerjakan dalam Islam yang lebih diharapkan manfaatnya bagimu. Karena saya mendengar semalam (ketika mi’raj) bunyi sandalmu di hadapan saya di surga.’ Bilal menjawab, Tidaklah saya kerjakan suatu amalan di dalam Islam yang lebih kuharapkan man­faatnya daripada aku bersuci baik pada waktu malam maupun siang. Setelah selesai bersuci itu saya kerjakan shalat (Zhuhur atau shalat sunnah sesudah berwudhu) sesuai yang ditentukan untuknya.”‘
Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang Ammar bin Yasir yang meminta izin kepada beliau, ‘Berilah izin kepada Ammar. Selamat datang bagi orang dan bagus‘ Aku tidak mengetahui berapa lama lagi aku tinggal di antara kamu. Karena itu, ikutilah dua orang sesudahku.”
Beliau juga bersabda tentang Ammar ini ‘Ammar dipenuhi keimanan hingga ke dalam jiwanya. (HR an-Nasa’i)
Ibnu Mas’ud dikira keluarga Rasulullah oleh orang luar Madinah. Dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Abu Musa RA berkata, “Aku datang dari Yaman bersama saudara­ku, kemudian kami tinggal di sana beberapa lama. Maka, kami tidak menganggap Ibnu Mas’ud dan ibunya melainkan dari keluarga Rasulullah saw. karena seringnya mereka masuk menemui Rasu­lullah saw. dan berada di sana.”
Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan bahwa Anas RA berkata, “Ketika Rasulullah saw. meminang seorang wanita untuk dikawinkan dengan Julaibib, seorang lali-laki mantan budak, maka kedua orang tua anak wanita itu berkata, ‘Apakah kalian hendak me­nolak urusan Rasulullah saw.? Jika beliau telah merelakannya untuk kalian, maka kawinkanlah dia.’ Kedua orang tua wanita itu lantas merelakan, kemudian di­kawinkannyalah wanita itu dengan lelaki tersebut.”‘
Tidak lama setelah perkawinannya itu Rasulullah saw. kehilangan Julaibib dalam suatu peperangan karena gugur sebagai syahid. Muslim meriwayatkan bahwa Abu Burzah al-Aslami RA berkata, “Rasulullah saw. berada dalam suatu peperangan, lalu Allah memberikan rampasan atas kemenangan ini. Kemu­dian beliau berkata kepada para sahabat, ‘Apakah kamu kehilangan seseorang.?’ Mereka menjawab, ‘Ya, si fulan, si fulan, dan si fulan.’ Kemudian bertanya lagi, ‘Apakah kamu kehilangan seseorang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, si fulan, si fulan, dan si fulan.’ Ke­mudian beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu ke­hilangan seseorang?’ Mereka menjawab, Tidak.’ Lalu beliau bersabda, ‘Akan tetapi, saya kehilangan Julaibib.”
Mereka lalu mencarinya, dan mereka mendapati Julaibib berada di sisi tujuh orang (musuh) yang telah dibunuhnya. Kemudian Nabi saw. datang dan berdiri di sampingnya, lalu bersabda, ‘Ia telah mem­bunuh tujuh orang, lalu mereka membunuhnya. Dia ini bagian dariku dan aku bagian darinya.’ Kemudian beliau meletakkannya di atas kedua lengan beliau tanpa alas kecuali kedua lengan beliau itu. Kemudian digalikan lubang, lalu beliau memasukkannya ke dalam kuburnya, dan tidak menyebut-nyebut mandi.” Dengan pengarahan Ilahi dan petunjuk nabawi ini, terjadilah kelahiran baru bagi kemanusiaan dengan cara yang unik ini, dan lahirlah masyarakat Rabbani (yang patuh kepada Tuhan) yang menerima tata nilai dan tata normanya dari langit, yang lepas dari ikatan-­ikatan bumi, meskipun mereka sendiri hidup di atas bumi. Ini merupakan mukjizat yang sangat besar bagi Islam. Mukjizat yang tidak akan terwujud ke­cuali dengan iradah IIahi, dan dengan amal Rasu­lullah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa agama Islam berasal dari sisi Allah dan yang membawanya kepada manusia adalah seorang rasul.
Di antara skenario Allah dalam mengatur urusan ini adalah diserahkannya tongkat estafet tugas dakwah ini sepeninggal Rasulullah saw. kepada sahabat pertama beliau Abu Bakar dan sahabat kedua Umar. Dua orang manusia yang lebih mengerti tabiat urus­an ini, yang intens penghayatannya terhadap pe­tunjuk Rasulullah, yang paling dalam kecintaannya kepada Rasulullah, dan yang paling antusias meng­implementasikan kecintaannya dan mengikuti jejak langkah beliau.
Abu Bakar RA selalu menjaga apa yang dike­hendaki oleh sahabatnya, Rasulullah saw., mengenai Usamah. Maka, tindakan pertama yang dilakukan­nya setelah dia diangkat menjadi khalifah ialah me­laksanakan penugasan Usamah untuk menjadi pe­mimpin pasukan sebagaimana yang sudah disiapkan Rasulullah saw. Ia mengantarkan sendiri Usamah ke luar Madinah. Usamah naik kendaraan, sedang Abu Bakar yang khalifah itu berjalan kaki. Maka, Usamah yang masih muda belia itu merasa malu naik kendaraan sedangkan khalifah berjalan kaki, lalu dia berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, silakan engkau naik dan saya akan turun.” Tetapi, Khalifah Abu Bakar menjawab dengan bersumpah, “Demi Allah, engkau tidak boleh turun, dan demi Allah aku tidak akan naik. Apakah kerugianku seandainya kakiku ber­lumuran debu di jalan Allah barang sesaat?” Kemudian Abu Bakar merasa mempunyai ke­perluan kepadaUmar, karena memikul tugas ke­khalifahan yang berat itu. Akan tetapi, Umar hanya seorang anggota pasukan Usamah, sedang Usamah adalah komandan. Karena itu, ia meminta izin ke­pada Usamah. Tiba-tiba Khalifah Abu Bakar berkata, “Jika engkau memandang perlu membantuku de­ngan Umar, silakan.” Ya Allah, sungguh luar biasa. Khalifah Abu Bakar berkata kepada Usamah, “Jika engkau memandang perlu membantuku dengan Umar, silakan.” Sungguh sangat luas cakrawala hati dan pikiran Abu Bakar. Sungguh ini adalah ufuk tinggi yang tidak mungkin dicapai oleh manusia kecuali dengan iradah dan bimbingan dari Allah, di bawah bimbingan tangan Rasulullah.
Kemudian roda zaman pun terus berputar. Maka, kita lihat Umar ibnul-Khaththab yang menjadi khalifah (kedua) itu mengangkat Ammar bin Yasir menjadi gubernur di Kufah.
Di depan pintu Umar, telah berdiri Suhail bin Amr bin al-Harits bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, dan sejumlah pembesar Quraisy. Akan tetapi, Umar ter­lebih dahulu mengizinkan Suhaib dan Bilal untuk masuk, karena mereka termasuk orang yang ter­dahulu memeluk Islam dan termasuk peserta Perang Badar. Maka, tersenyumlah Abu Sufyan, dan ia berkata dengan sentimen jahiliah, “Selama ini aku belum pernah melihat kejadian seperti hari ini, di mana budak-budak itu diizinkan masuk sedang­kan kami dibiarkan menunggu di depan pintu.”
Kemudian sahabatnya yang telah merasakan kebenaran Islam, berkata, “Wahai kaum, demi Allah, sesungguhnya saya melihat gejolak yang terjadi pada wajah kalian. Jika kalian marah, maka marahlah kepada diri kalian. Masyarakat telah diseru untuk memeluk Islam, demikian juga kalian, maka mereka segera memeluk Islam sedang kalian enggan me­lakukannya. Maka, bagaimana keadaan kalian apa­bila mereka telah dipanggil pada hari Kiamat sedang kalian dibiarkan saja?”
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa Umar memberikan bagian kepada Usamah bin Zaid lebih besar daripada bagian Abdullah bin Umar, sehingga Abdullah menanyakan kepada Umar ten­tang sebab tindakannya itu. Maka, Umar berkata kepadanya, “Wahai anakku, Zaid itu lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada ayahmu, dan Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada engkau. Oleh karena itu, aku lebih mengutamakan orang yang dicintai Rasulullah dari orang yang kucintai.”
Umar mengucapkan perkataan ini karena ia me­ngetahui bahwa kecintaan Rasulullah saw. itu men­jadi ukuran timbangan langit.”
Umar pernah menugaskan Ammar untuk me­meriksa Khalid ibnul Walid, seorang panglima perang yang selalu mendapatkan kemenangan yang gemilang dan memiliki nasab yang terhormat (di kalangan kaumnya). Lalu, Ammar mengikatnya dengan selendangnya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Ammar mengikatnya dengan kain sur­bannya hingga selesai pemeriksaan. Maka, setelah terbukti bahwa Khalid tidak bersalah, Ammar lantas melepaskan ikatan itu dengan tangannya. Khalid tidak menganggap apa-apa terhadap semua tindakan Ammar ini. Hal itu karena Khalid adalah seorang sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam sebagai­mana dikatakan oleh Rasulullah saw.
Umar pulalah yang berkata tentang Abu Bakar RA, “Dia adalah tuan kita yang telah memerdekakan tuan kita pula yakni Bilal, yang dahulu adalah budak Umayyah bin Khalaf. Bilal disiksa dengan siksaan yang pedih, hingga ia dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakannya.” Umar menyebut Bilal ini dengan “sayyidina’ tuan kita’.
Umar pula yang berkata, “Seandainya Salim mantan budak Hudzaifah itu masih hidup, niscaya kujadikan dia penggantiku.” la menggantikannya kepada Utsman, Ali, Thalhah, dan az-Zubair. Umar tidak mengangkat seorang pun untuk menggantikannya menjadi khalifah, tetapi hal itu diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang (formatur) sepening­galnya. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengutus Ammar dan Hasan bin Ali RA kepada penduduk Kufah untuk meminta bantuan kepada mereka mengenai urusan yang terjadi antara dia dan Aisyah RA. Lalu, Ammar berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ia (Aisyah) adalah istri Nabi kamu saw. di dunia dan di akhirat. Hanya saja Allah menguji kamu untuk mengikuti Ali atau mengikuti Aisyah.” Maka, orang-orang pun men­dengarkannya mengenai urusan Aisyah, Ummul Mukminin dan putri Abu Bakar ash-Shiddiq RA.
Bilal bin Rabah diminta oleh saudaranya sesama muslim Abu Ruwaihah al-Khats’ami untuk menjadi mediator dalam perkawinannya dengan orang Yaman, lalu Bilal berkata kepada mereka, “Aku adalah Bilal bin Rabah, dan ini saudaraku Abu Ruwaihah. Ia seorang lelaki yang jelek akhlaq dan agamanya. Jika Anda man mengawinkan dia, silakan mengawin­kannya; dan jika hendak meninggalkannya, silakan tinggalkan.”
Bilal tidak memanipulasi dan menutup-nutupi kekurangan saudaranya itu. Ia tidak menyebut diri­nya sebagai mediator dan tidak melupakan bahwa dirinya akan ditanya di hadapan Allah tentang apa yang dikatakannya. Maka, mereka merasa tenteram dengan kejujurannya itu, dan mereka kawinkan saudara Bilal ini. Mereka merasa tersanjung, padahal mereka dari kalangan bangsawan Arab, karena Bilal yang mantan budak ini menjadi mediatornya. yang sedikit jumlahnya, penuh kepastian, dan agung ini.
Hakikat besar itu telah mantap di kalangan masyarakat Islam, dan sesudah itu ia tetap mantap dalam masa yang panjang meskipun banyak keburukan. “Abdullah bin Abbas sangat populer, demikian pula mantan budaknya, Ikrimah. Abdullah Ibnu Umar juga sangat populer, demikian pula mantan budak nya, Nafi’. Begitu juga Anas bin Malik dan mantan budaknya, Ibnu Sirin. Abu Hurairah bersama mantan budaknya, Abdurrahman bin Hormuz. Di Bashrah terdapat al-Hasan al-Bashri, di Mekah terdapat Mujahid bin Jabar, Atha’ bin Rabah, dan Thawus bin Kisan sebagai fuqaha-fuqaha ternama Di Mesir yang memiliki wewenang memberi fatwa adalah Yazid bin Abu Habib, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, padahal Yazid ini adalah mantan budak Aswad dari Danqilah.
Timbangan langit menguatkan ahli takwa, meski­pun mereka terlepas dari nilai-nilai (kedudukan) bumi (duniawi) menurut anggapan mereka sendiri dan menurut orang-orang di sekitar mereka. Tim­bangan ini tidak pernah naik dari bumi kecuali hanya sebentar sesudah kejahiliyahan merajalela di seluruh penjuru dunia, dan orang-orang mengintai dolar. Amerika yang menjadi pemimpin negara-negara Barat, serta seluruh manusia tidak lebih dari sekadar alat dalam mazhab materialisme yang dominan di Rusia sebagai pemimpin bangsa-bangsa Timur. Sedangkan, tanah air kaum muslimin sendiri sudah dikuasai oleh kejahiliyahan kuno yang dulu Islam datang untuk menghapus dan menghancurkan­nya, dan dalam beberapa masa Islam memang dapat melibasnya. Tata nilai Ilahi sudah dihancurkan, dan mereka kembali kepada nilai-nilai jahiliah yang tidak berharga dan tidak ada hubungan sama sekali de­ngan imam dan takwa.
Nah, di sana tidak ada sesuatu lagi kecuali harapan terhadap dakwah Islam untuk menyelamatkan kemanusiaan pada kali lain dari kejahiliyahan. Juga untuk membidani lahirnya kembali kemanusiaan seperti kelahirannya yang sudah disaksikannya pada kali pertama. Yakni, kelahiran pertama yang untuk itu datanglah peristiwa yang diceritakan oleh per­mulaan surah ini, untuk diumumkan lewat ayat-ayat.



Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-1



Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-1: Mukadimah



Ringkasan Kandungan surat
  1. Teguran Allah atas Rasulullah ketika mengacuhkan Ibnu Ummi Maktub seorang laki-laki buta
  2. Memberikan perbaikan/solusi terhadap orang kafir
    • mengingatkan  : Sumber keberadaannya, Asal penciptaannya, Kemudahan hidupnya, Siapa yang mematikan dan menghidupkannya
    • memperingatkan :  Tidak melaksanakan kewajibannya
  3. Mengingatkan hati manusia dengan orang yang datang membawa makanan sebagai kebutuhannya
  4. Peristiwa kiamat (Ash-shokhoh)

Mukadimah 

  Surah ini memiliki sekat-sekat yang kuat, hakikat-hakikat yang besar, sentuhan-sentuhan yang men­dalam, serta unik lukisan-lukisan, bayangan-bayang­an, dan isyarat isyaratnya. Juga memberikan kesan kejiwaan dan musikal yang sama.
Segmen pertama memecahkan suatu peristiwa tertentu yang terjadi dalam sirah (perjalanan hidup) Rasulullah saw. Yaitu, ketika beliau sedang sibuk mengurusi segolongan pembesar Quraisy yang beliau seru kepada Islam, maka beliau didatangi Ibnu Ummi Maktum, seorang laki-laki tunanetra yang miskin. Karena tidak mengetahui Rasulullah saw. sedang sibuk mengurusi kaum Quraisy itu, maka ia tetap meminta kepada beliau agar mengajarkan kepadanya apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau. Sehingga, Rasulullah saw. merasa tidak se­nang atas kedatangan Ibnu Ummi Maktum, lalu beliau bermuka masam dan berpaling darinya.
Maka, turunlah ayat-ayat Al-Qur’an pada per­mulaan surah ini yang mencela sikap Rasulullah saw. itu dengan sangat keras. Ayat-ayat itu juga menetap­kan hakikat nilai yang sebenarnya dalam kehidupan jamaah Islam dengan menggunakan metode yang pasti, sebagaimana segmen ini juga menetapkan hakikat dakwah dan tabiatnya. Mengenai hal ini dapat dilihat pada surah ‘Abasa ayat 1-16.
Segmen kedua mengobati keingkaran manusia dan kekafirannya yang amat buruk kepada Tuhannya. Diingatkan-Nya dia akan sumber keberadaannya dan asal-usul kejadiannya, dimudahkan-Nya ke­hidupannya, dan diberitahukan tindakan Tuhannya di dalam mematikan dan menghidupkannya kem­bali. Namun, sesudah itu dia masih bandel juga, se­bagaimana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 17-23.
Segmen ketiga mengarahkan hati manusia kepada sesuatu yang sangat erat sentuhannya dengan diri­nya. Yaitu, makanannya dan makanan binatang-­binatang ternaknya, dan apa yang ada di belakang makanan itu yang berupa pengaturan dan penentuan Allah kepadanya, seperti pengaturan dan penentuan serta penataannya terhadap kejadian dirinya. Hal ini terlihat pada surah ‘Abasa ayat 24-32.
Sedangkan, segmen keempat atau terakhir meng­informasikan “ash-shaakhkhah”suara yang meme­kakkan’ yang datang pada harinya dengan segala sesuatunya yang mengerikan, yang sudah tampak dari lafalnya, sebagaimana tampak bekas-bekasnya di dalam hati manusia yang kebingungan karena peristiwanya yang luar biasa juga pada wajah-wajah mereka karena dahsyatnya peristiwa ini, sebagai­mana tercantum dalam surah ‘Abasa ayat 33-42.
Pemaparan segmen-segmen surah ini dan ayat-ayatnya, secara sepintas kilas seperti ini, menimbul­kan kesan dan pengaruh yang sangat kuat dan men­dalam, dengan sentuhan-sentuhannya di dalam hati.
Kami akan berusaha mengungkap beberapa sisi­nya dengan jangkauan yang jauh. Jangkauan yang diisyaratkan oleh sebagian segmennya yang kadang­-kadang tidak terungkapkan dalam paparan terdahulu. 





Meneladani Keluarga Nabi : Pernikahan Beda Keyakinan



Meneladani Keluarga Nabi




Syariat islam memiliki aturan yang jelas tentang menikah beda agama. Seorang wanita muslimdilarang menikah dengan laki-laki non muslim, dan pernikahannya dianggap tidak sah. Dan jika laki-laki muslim menikahi wanita non muslim, maka hukumnya ada dua macam yaitu :


  1. Laki-laki muslim dilarang menikahi wanita musrik dengan dasar dalil dalam surat Al-Baqarah ayat 22. Alloh berfirman  : 

    الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
    Al-ladzii ja'ala lakumul ardha firaasyan wassamaa-a binaa-an wa-anzala minassamaa-i maa-an faakhraja bihi minats-tsamaraati rizqan lakum falaa taj'aluu lillahi andaadan wa-antum ta'lamuun(a).
    "Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu (manusia), dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu, segala buah-buahan sebagai rejeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." – (QS.2:22). Ayat ini turun setelah salah seorang sahabat meminta izin kepada Rosululloh SAW, untuk menikahi wanita cantik dari keluarga penyembah berhala. Maka turunlah ayat ini sebagai larangan untuk menikahinya.
  2.  Seorang laki-laki muslim dibolehkan untuk menikahi wanita ahli kitab. Maksud dari ahli kitab disini yaitu wanita yang beragama nasrani atau yahudi. Dalilnya berdasarkan Surat Al Maidah : 5.

    الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
    Al-yauma uhilla lakumuth-thai-yibaatu watha'aamul-ladziina uutuul kitaaba hillun lakum watha'aamukum hillun lahum wal muhshanaatu minal mu'minaati wal muhshanaatu minal-ladziina uutuul kitaaba min qablikum idzaa aataitumuuhunna ujuurahunna muhshiniina ghaira musaafihiina walaa muttakhidzii akhdaanin waman yakfur bil-iimaani faqad habitha 'amaluhu wahuwa fii-aakhirati minal khaasiriin(a). 


    "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan, di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka, dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina, dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir. sesudah beriman, (tidak menerima hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi." – (QS.5:5).

     Dalam kitabnya, Imam Syafi’I mendefinisikan yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang nasrani dan yahudi yang berketurunan bangsa Israel asli.

Para ulama sepakat meskipun dibolehkan menikahi wanita ahli kitab, hukumnya bisa berubah menjadi haram. Dikhawatirkan nanti anak-anaknya mengikuti agama ibunya atau berbeda keyakinan dapat berdampak buruk pada keharmonisan keluarga. Oleh karena itu pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa haram menikah beda agama. Termasuk laki-laki muslim yang menikahi wanita ahli kitab, karena dianggap lebih banyak mudharatnya.



Dalam Islam, menikah memiliki tujuan mulia, tidak sekedar menyalurkan fitrah biologis, membangun keluarga, dan memperbanyak keturunan. Tetapi membangun keluarga yang berkah dan juga abadi, tidak hanya didunia, tetapi juga di akhirat. Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya, “Wanita dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka, pilihlah karena agamanya maka engkau akan beruntung”.



Jika ada enggota keluarga kita yang berlainan agama, kita wajib menghormatinya. Di dunia mereka ialah bagian dari keluarga kita. Namun ingatah kisah Nabi Nuh as yang menyuruh anaknya untuk naik bersama bahtera agar selamat dalam bencana banjir besar sebagai azab Allah. Namun ia lebih memilih berlindung ke atas gunung. Namun tetap saja banjir tersebut melanda siapa saja yang ada diluar kapal yang dibuat oleh Nabi Nuh. Kisah Nabi  Nuh ini ada di dalam Surat Hud : 42-46. Kisah ini mengingatkan kita bahwa hubungan darah bukanlah hubungan yang hakiki bagi seorang muslim. Karena jika bukan karena agama, setiap keluarga tidak akan utuh bersatu hingga hari akhir.



Alangkah indahnya keluarga yang dibangun dengan visi dan misi yang sama. Sebuah keluarga yang dibangun dengan pondasi iman, sehingga melahirkan generasi yang beriman. Seperti generasi para Nabi Ibrahim, yang telahirkan generasi orang-orang shaleh. 



Ketika kita memilih tempat tinggal untuk keluarga kita, sebaiknya yang pertama dipilih yaitu apakah rumah kita dekat dengan masjid atau tidak. Sehingga cahaya ibadah akan menungi rumah kita. Namun kebanyakan diantara kita lebih mengutamakan kediaman kita yang dekat dengan pusat perbelanjaan atau tempat hiburan. Padahal jika rumah kita dekat dengan masjid, sejak dini kita bisa mengajari anak-anak kita untuk encintai masjid dan sering sholat berjamaah.



Generasi yang beriman, akan lahir dari orang-orang yang beriman.


Tafsir dan Intisari Surat Al - Faatihah



Intisari Surat Al - Faatihah


Asbabul Nuzul Al – Faatihah

Surat Al – Fatatihah merupakan surat pertama dalam al – qur’an yang diturunkan oleh Allah di Mekkah sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa surat ini diturunkan di Madinah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abisaibah dan Attabarani dari Mujahid dan Abu Hurairah. Bunyi hadistnya adalah; menangislah iblis ketika diturunkannya Al – Faatihah di Madinah. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa surat Al – Faatihah diturunkan dua kali di Mekkah dan di Madinah.
Al – Faatihah yang artinya pembukaan disebut Ummul Qur’an atau Ummul Kitab yang bermakna induk dari isi al - qur’an atau intisari dari al – qur’an. Tema besar keimanan, ibadah, berita baik, berita buruk, balasan untuk orang – orang mukmin dan kafir, serta kisah orang – orang yang taat kepada Allah juga kisah orang – orang yang ingkar semua terangkum dalam surat al – faatihah. Menurut Al – Qurtubi, al – faatihah memiliki 12 nama. Selain sebagai Ummul Qur’an, surat tersebut memiliki nama lain seperti al – matsani yang artinya al – faatihah dibaca terus berulang – ulang. Nama lainnya juga Assyifa yang artinya penyembuh.

Al – faatihah merupakan rukun shalat. Tidak sah shalatnya jika tidak membaca al – faatihah sebagai sabda Rasulullah; tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (al – faatihah) yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Karenanya, al – faatihah juga mempunyai nama lain yakni as – shalah. Setelah shalat fardhu kita disunnahkan membaca al – faatihah. Dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Said Ibnu Rafi Mualah; rasul pernah mengatakan kepada ku, “maukah kau ku ajari sebuah surat agung dalam al – qur’an sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Kemudian rasul berjalan keluar sambil menggandeng tangan ku. Tatkala ketika kami sudah hampir keluar, aku berkata, “wahai Rasulullah, anda telah bersabda akan mengajari ku sebuah surat agung dalam al – qur’an”. Maka beliau bersabda, “surat itu adalah alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Itulah asabulmatsani, serat al – qur’an al – kazim yang dikaruniakan kepada ku”.

Beberapa ulama berpendapat apakah bacaan basmalah, bismillahirrahmanirrahim merupakan bagian dari al – qur’an? Basmalah menurut Imam Hanafi dan Imam Malik bukan termasuk bagian dari surat al – faatihah. Namun menurut Imam Hanafi basmalah tetap dibaca dalam shalat sebelum membaca surat al – faatihah, tapi dengan suara tidak nyaring. Berbeda dengan Imam Malik yang tidak membacanya sama sekali. Sedangkan menurut Imam Hambali, basmalah merupakan bagian dari surat al – faatihah namun dalam shalat berjamaah imam tidak perlu membaca dengan nyaring, sama pendapatnya dengan Imam Hanafi. Imam Safi’i sama pendapatnya dengan Imam Hambali. Basmalah merupakan bagian dari surat al – faatihah menurut hadist yang diriwayatkan Bukhari dengan menghitung jumlah surat al – faatihah 7 ayat dan menghitung basmalah 1 ayat daripadanya. Namun pendapat para ulama mashab ini tidak perlu dipertentangkan karena mereka berpendapat sesuai dalilnya dan memilih satu dari pendapat – pendapat tersebut tidak berarti kita sesat. Insya Allah.

Fadhilah Al – Faatihah

Berbagai fadhilah dan keutamaan membaca al – faatihah begitu banyak diulas dalam hadist meskipun menurut para ahli hadist sebagian besar termasuk dalam kategori hadist dhaif atau hadist lemah. Sebagian lagi malah termasuk hadist maudu’ atau palsu.

Dari sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda; pada malam isra’ aku berhenti di bawah arsy. Aku menengadah dan di atas ku terdapat dua papan yang terbuat dari mutiara dan yakud. Pada papan satu tertulis al – faatihah dan papan satu lagi tertulis seluruh al – qur’an. Aku berkata, “Tuhan ku muliakanlah umat ku dengan dua papan ini”. Tuhan yang Maha Tinggi berfirman, “aku sudah memuliakan kamu dan umat mu dengan keduanya”. Aku berkata, “apa pahala yang membaca al – faatihah?”. Allah swt berfirman, “barangsiapa membaca al – faatihah satu kali, maka aku haramkan baginya 7 pintu jahannam.” Aku berkata, “Tuhan ku, apa pahala bagi orang yang membaca al – qur’an satu kali?”. Allah berfirman, “ya Muhammad, untuk satu huruf aku berikan padanya satu pohon di surga.”

Surat al – faatihah juga bisa dijadikan obat untuk ruqiyah sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdilah; rasulullah bersabda, “al – faatihah itu obat dari segala penyakit kecuali kematian”. Beberapa sahabat membacakan al – faatihah pada orang gila dan orang yang terkena sengatan ular dan rasulullah tidak melarangnya. Para sahabat juga menceritakan pengalaman – pengalaman mereka mengobati orang sakit dengan membacakan al – faatihah kemudian rasulullah berkata, “tidak ada jampi – jampi yang syariat kecuali al – faatihah”.

Tafsir Al – faatihah

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ayat ini dibaca ketika akan memulai suatu pekerjaan. Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, Abu Hurairah berkata; Rasulullah bersabda; setiap sesuatu yang tidak diawali dengan basmalah, ia akan terputus. Terputus yang dimaksud disini, Allah mencabut kebaikan dan keberkahannya.


Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Puja dan puji hanya milik Allah swt. Allah-lah yang menjadi sumber segala penciptaan dan keberkahan di dunia ini. Kata ‘Rabb’ bukan hanya menguasai, namun juga mengatur dan menumbuhkan. Lihatlah, setiap wujud alam merupakan kekuasan Allah seperti yang dikatakan di surat Al – Anbiyaa ayat 33; dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing – masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. Allah mengatur setiap peredaran benda luar angkasa. Allah juga yang menciptakan milyaran galaksi yang berada di luar angkasa. Allah membuatnya dengan perhitungan cermat setiap garis orbit sehingga benda langit tetap mempertahankan gayanya sendiri tanpa terpengaruh gaya gravitasi di sekelilingnya.

Tak cukup sampai disitu, Allah juga yang menciptakan gunung seperti yang dikatakan pada suratAn – Naba ayat 7; bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung – gunung sebagai pasak?. Dalam penelitian ekologi, gunung muncul karena adanya lempengan – lempengan bumi yang saling menekan dan mendekat seolah – olah saling mengikat. Munculnya pegunungan ternyata bertujuan untuk menekan aktivitas magma di perut bumi sehingga tidak muncul ke permukaan dan menghancurkan kerak bumi. Inilah yang disebut pasak yang berfungsi untuk mengikat bumi dari pengaruh magma.

Fenomena alam lainnya bisa kita lihat dalam surat ar – rahman ayat 19 – 20. Bagaimana Allah mempertemukan air laut namun tidak bercampur. Inilah yang dinamakan peristiwa tegangan permukaan yang terjadi di Laut Tengah di Samudra Atlantik, Laut Merah, dan Samudra Hindia. Inilah beberapa keteraturan alam yang telah ditetapkan Allah. Bahkan dalam diri kita sendiri, Allah juga mengganti triliunan sel ketika kita kehilangan 300 sel dalam 60 detik. Allah juga menciptakan sekresi lendir di hidung kita untuk menyaring mikroba – mikroba yang ikut terhirup ketika kita bernafas. Rambut halus yang berada di dalam hidung kita juga ikut menyaring mikroba yang biasany menyebabkan efek batuk dan bersin. Mikroba yang masuk ke makanan akan bertempur dengan asam lambung. Jika berhasil lolos akan dimusnahkan oleh enzim pencernaan di usus. Semua yang mengatur hal tersebut hanyalah Allah. Inilah wujud kasih sayang Allah terhadap makhlukNya.

Arrahmaanirrahiim. Artinya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ar – Rahman adalah sifat Allah yang dicurahkan untuk semua hambaNya. Sedangkan Ar – Rahim hanya curahan kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang – orang mukmin.

Maalikiyawmiddiin, Allah yang menguasai hari pembalasan. Ayat ini menegaskan keimanan kita pada Hari Akhir. Setiap amal perbuatan kita akan diperhitungkan pada Yaumul Hisab. Pada hari itu, orang – orang mukmin akan dipisah dengan orang – orang kafir.

Iyyakana’buduwaiyyakanasta’iin, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Agama Islam dibagun diatas pondasi tauhid sehingga umat islam mampu bertahan pada pertentangan dan penyiksaan orang kafir. Dengan keyakinan tauhid inilah umat islam menghancurkan orang – orang kafir meski dalam jumlah yang sedikit. Sebagaimana janji Allah, kebenaran akan tegak dan kebatilan akan hancur yang tercantum dalam surat Al – Isra’ ayat 81; dan katakanlah: yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Berkat Allah, pengikut agama yang tauhid ini yang semulanya sedikit kini bertambah banyak bahkan hingga ke seluruh dunia. Pemeluk agama islam yang diperkirakan berjumlah 1,6 miliyar akan bertambah menjadi 2,2 miliyar di tahun 2030 dan mampu menyalip pengikut agama kristiani yang kini diperkirakan mencapai 2,1 miliyar.

Menurut sebuah lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat, pertumbuhan agama islam dua kali lebih pesat ketimbang agama lain dengan pertumbuhan sekitar 35% atau rata – rata 1,5%. Sedangkan agama lain hanya 0,7%.
Ihdinasshirathalmustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah jalan kebenaran yang diterangkan pada ayat selanjutnya. Shiraathalladziina an’amta’alayhim, yaitu jalan orang – orang yang telah dilimpahi nikmat. Mereka seperti dijelaskan di surat an – nisa ayat 69 -70. Mereka yang dianugerahkan nikmat oleh Allah adalah para nabi, orang – orang siddiq, benar, orang yang mati syahid, dan orang – orang yang saleh. Merekalah yang sesungguhnya hidupnya paling nikmat yang dipenuhi karunia Allah. Kenikmatan bukan karen harta dan tahta tapi kenikmatan memperoleh hidayah Allah dan istiqamah di jalan-Nya.

Saat membaca al – faatihah kita dilindungi. Didekatkan pada hal – hal benar dan dijauhi dari jalan – alan yang sesat. Ghayrilmaghdhubi’alayhim wa laddhalliin, orang yang dimurkai Allah menurut para ahli tafsir seperti dalam tafsir Ibnu Katsir yakni mereka yang memiliki ilmu tapi tidak mengamalkannya. Seperti dalam suatu kisah Kaum Yahudi, mereka mengatahui bahwa akan ada nabi terakhir yakni Muhammad yang sudah tertulis dalam Kitab Taurat. Namun mereka mengingkarinya. Ta’ab bin Assad, pemimpin Bani Quraiza pernah berkata saat dikepung oleh pasukan islam karena melanggar Piagam Madinah, “Demi Allah sungguh telah jelas bagi kalian semua bahwa Dia adalah rasul yang diutus dan Dia-lah yang sesungguhnya kalian jumpai dalam kitab kalian.” Namun orang – orang Yahudi tetap tak mau beriman, bahkan mereka berkhianat. Kelicikan Bangsa Yahudi bisa kita lihat pada Bangsa Israel saat ini. Mereka menindas dan menjajah Palestina. Mereka berambisi menguasai dunia dengan segala cara. Allah sudah menegaskan dalam firmanNya surat Al – Isra’ ayat 4; “Dan Kami tetapkan kepada Bani Israil dalam kitab itu, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan kamu pasti akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Karena itulah mereka digolongkan ke dalam bangsa yang murka oleh Allah. Semoga kita bukan termasuk ke dalam kaum yang memiliki sifat – sifat seperti orang yahudi dan kita senantiasa membaca Al – Faatihah agar tidak masuk ke dalam golongan orang – orang yang tersesat.

source: khazanah trans7 (selasa, 23 april 2013)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU