Sabtu, 07 Desember 2013

Anjuran untuk Ziarah Kubur






Ziarah kubur sudah menjadi perilaku rutin warga nahdliyin. Mereka terbiasa mengunjungi makam orang tua, kerabat, sahabat, kiai, dan makam para wali di tanah air ini.Ganjaran Allah SWT. bagi para peziarah sudah menanti. Betapa tidak? Mereka biasanya mengisi upacara ziarah dengan membaca ayat-ayat Alquran atau rangkaian zikir tahlil dan shalawat. Mereka menerima pahala yang berlipat, untuk ibadah ziarahnya itu sendiri dan rangkaian bacaan yang mereka lafalkan.
Ziyaratul quburi mustahabbatun ‘alal jumlah littazakkuri wal i‘tibar. Waziyaratu quburis shalihin mustahabbatun liajlit tabarruki ma‘al i‘tibar. Ziarah kubur adalah sunah untuk mengingatkan manusia pada kematian dan membaca pertanda di hadapan mereka. Sedangkan menziarahi kubur orang saleh adalah juga sunah untuk membaca pertanda di hadapan mereka dan mengalap berkah. Begitu kata Imam Ghazali dalam Ihya Ulumid Din.
Dengan otomatis, ziarah termasuk ibadah yang sangat dianjurkan. Banyak manfaat yang mereka terima dari ibadah ziarah. Ini bukan ibadah yang berat dan asing mengingat ziarah sudah mengalami tradisi yang panjang dalam sejarah umat Islam di Indonesia.
Makam Sunan Kalijaga, di desa Kadilangu, Demak, Jawa Tengah misalnya. Setiap harinya dikunjungi oleh ribuan peziarah dari berbagai pelosok, terlebih lagi musim lebaran dan liburan sekolah.
Tentu, niat para peziarah adalah kunci utama dalam melakukan ibadah ini. Dalam segala bentuk ibadah, umat Islam selalu menanamkan dalam hati untuk mendekatkan diri dan meningkatkan takwa kepada Allah.
Terlebih lagi, makam para wali dan orang saleh di Indonesia sangat banyak. Ini sangat memungkinkan sekali bagi mereka untuk mengalap berkah. Sementara, keberkahan sendiri bagi kehidupan nahdliyin adalah nilai yang membekali mereka bukan hanya menghadapi tetapi juga mengatasi segala persoalan kehidupan.
Upaya mendekatkan diri kepada Allah, dan kecintaan mereka kepada para wali dan orang saleh, adalah langkah strategis sehingga Allah memberikan kebaikan dunia dan akhirat bagi mereka.

*********

__________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)

Hidangan dan Makanan dalam Upacara Kematian (Ta’ziyah)

 
 
 


Menghormatitamu memang dianjurkan dalam Islam. Bahkan dalam salah satu hadits disebutkan bahwa menghormati tamu merupakan artikulasi keimanan seseorang.

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليقل خيراً أو ليصمت , ومن كان يوم بالله واليوم الاخر فليكرم جاره , ومن كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليكرم ضيفه
 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

Bagaimana jika seorang tamu berkunjung dengan niatan berta’ziyah ikut berbela sungkawa karena kematian seorang anggota keluarga? Tentunya tata cara penghormatannya juga harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena situasinya sedang berkabung, maka menghormati tamu hendaknya dilakukan dengan penuh kesederhanaan dan keperhatinan. Berbeda dengan menjamu tamu ketika berpesta (walimatul urusy atau walimatul khitan).

Namun tradisi yang telah berkembang di sebagian masyarakat justru sebaliknya. Mereka membuat acara berkabung ini dengan semacam pesta; dengan menyembelih sapi, atau kerbau ataupun dengan memasak makanan dalam porsi yang besar. Sehingga keadaan duka itu tidak terasa lagi, bahkan hilang sama sekali. Hal ini menyebabkan  fungsi ta’ziyah sebagai salah satu wahana pengingat mati (tadzkiratul maut), dengan harapan meningkatkan ketaqwaan tidak tercapai. Bahkan dapat membebani keluarga sohibul mushibah (yang ditinggal mati), lebih-lebih jika sohibul mushibah itu keluarga yang kurang mampu.

Begitu juga dengan berbagai macam suguhan yang dihidangkan ketika tahlil selama seminggu. Sesungguhnya hal itu tidak merupakan kewajiban dan tidak pula sebuah keharusan. Hal ini perlu dipahami karena seringnya masyarakat menyeleggarakan telung dino (tradisi memperingati hari ketiga dari kematian) atau mitung dino (tradisi memperingati hari ke tujuh dari kematian) dengan berbagai macam makanan dan jajanan.

Oleh karena itu hal ini perlu diluruskan kembali, bahwasannya berbagai macam tradisi peringatan kematian itu adalah anjuran syari’at Islam. Akan tetapi berbagai macam makanan dan sesuguhan itu yang selalu dihadirkan bersamaan denga tradisi tersebut adalah bentuk dari perkembangan tradisi dan harus dipilah-pilah lagi. Apabila salah memahami bisa-bisa jatuh pada hukum makruh yang harus dihindari. Misalkan keyakinan bahwa menyuguhkan hidangan/makanan dalam ta’ziyah atau nelung dino juga mitung dino dengan harus pada hari ketiga atau ke-tujuh dan tidak boleh pada selain hari itu, hukumnya bisa menjadi makruh.Meskipun hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala sedekah itu, hendaknya keyakinan semacam itu didudukkan pada tempatnya.

Hal ini persis dengan yang digambarkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fatati tamuwal Kubra al-Fiqhiyah:

(وَسُئِلَ) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
Dalam ibarat di atas dikisahkan bahwa Imam Ibnu Hajar ditanya, bagaimanakah hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa bersama mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur? Bagaimana dengan yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri prosesi ta’ziyah jenazah? Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keinginan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah, walaupun sebagian ahli waris yang lain tidak senang menyalurkan sebagian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”; bagaimana hukumnya?

Beliau menjawab: semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk bid’ah yang tidak baik, meski tidak sampai pada derajat haram; kecuali jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (ratsa’) pada keluarga mayit.

Hal yang perlu diperhatikan pada saat menghormati tamu yang bertakziyah adalah jangan sampai memaksakan diri untuk menyajikan hidangan yang berlebihan, semata-mata agar dianggap pantas oleh orang lain. Hormatilah tamu dengan hidangan sepantasnya saja, karena sejatinya para tamu memahami kondisi tuan rumah yang sedang berkabung. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi SAW. Kedua, harta yang digunakan tidak boleh diambil/dikurangi dari tirkah (warisan). Sebab, tirkah yang belum dibagikan mutlak harus dijaga utuh, karena bisa jadi sebagian dari ahli waris tidak rela jika tirkah itu digunakan sebelum dibagikan.

*********

_________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)

Tentang Tahlilan dan Dalilnya



Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan
( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;

عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, 
اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ

Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit.
Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.

*********

________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)  

Ziarah Rajabiyah dan Peringatan Haul



Diriwayatkan Al-Baihaqi dari Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud pada setiap tahun, tepatnya di bulan Rajab, bulan ketujuh dalam kalender Islam Hijriyah. Sesampai di Uhud, beliau memanjatkan doa sebagaimana dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 24 : 

سَلامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Diriwayatkan pula bahwa para sahabat pun melakukan apa yang telah dilakukan Rasulullah. Lanjutan Riwayat: Abu Bakar juga melakukan hal itu pada setiap tahunnya, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa.

Saad bin Abi Waqqash pernah mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, ”Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?” Demikianlah dalam kitab Syarah al-Ihya juz 10 pada fasal tentang ziarah kubur.

Dalam kitab Najhul Balaghah dan Kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah RA oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran hukum bagi orang-orang Madinah untuk yang melakukan Ziarah Rajabiyah atau ziarah tahunan pada setiap bulan Rajab ke maka Sayidina Hamzah yang ditradisikan oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’i (riwayat lain menjelaskan peringatan itu dilakukan karena ia pernah bermimpi dengan Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut).

Bagi umat Islam di Indonesia, tersebut di atas selain menjadi dasar hukum Ziarah Rajabiyah, juga menjadi salah satu sandaran hukum Islam bagi pelaksanaan tadisi yang berkembang di tengah-tengah kita yakni peringatan haul atau acara tahunan untuk mendoakan dan mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua kita.

Para ulama memberikan arahan yang baik tentang tata cara dan etika Ziarah Rajabiyah atau peringatan haul. Dalam al-Fatawa al-Kubra Ibnu Hajar mewanti-wanti, jangan sampai menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah wafat disertai dengan tangisan. Ibnu Abd Salam menambahkan, di antara cara berbela sungkawa yang diharamkan adalah memukul-mukul dada atau wajah, karena itu berarti berontak terhadap qadha yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Saat mengadakan Ziarah Rajabiyah atau peringatan haul dianjurkan untuk membacakan manaqib (biografi yang baik) dari orang yang wafat, untuk diteladani kebaikannya dan untuk berbaik sangka kepadanya. Ibnu Abd Salam mengatakan, pembacaan manaqib tersebut adalah bagian dari perbuatan taat kepada Allah SWT karena bisa menimbulkan kebaikan. Karena itu banyak para sahabat dan ulama yang melakukannya di sepanjang masa tanpa mengingkarinya.

Para ulama di Indonesia menganjurkan, sedikitnya ada tiga kebaikan yang bisa dilakukan pada acara peringatan haul: 1. Mengadakan ziarah kubur dan tahlil 2, Menyediakan makanan atau hidangan dengan niat sedekah dari almarhum. 3. Membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an dan memberikan nasihat agama, antara lain dengan menceritakan kisah hidup dan kebaikan almarhum agar bisa diteladani.

*********

____________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)

Menggeleng-gelengkan Kepala ketika Berdzikir


Lazim kita melihat dalam berbagai kesempatan baik dalam tahlil, wirid, ataupun acara lain orang-orang menggeleng-gelengkan kepala ketika berdzikir. Ternyata setelah dipertanyakan asal-usul gerakan tersebut, jarang sekali yang dapat menerangkan. Jangan-jangan hal itu merupakan pengaruh tradisi Yahudi?
Atau memang murni ajaran Rasulullah SAW. mengingat belum ditemukan hadits yang menerangkan hal itu. Hanya saja sebagian masyarakat mengakui bahwa gerakan itu mempermudah konsentrasi dalam berdzikir. Tentunya hal ini sangat bernilai positif. Akan tetapi bila dipertanyakan apakah gerakan itu sunnah, atau makruh atau apapun hukumnya?  maka hal yang positif tidak selamanya sejalan dengan hukum syariat.
Namun demikian, guna mendapatkan informasi mengenai hukum menggeleng-gelengkan kepala dalam berdzikir, patut kiranya menelusuri terlebih dahulu apa itu dzikir.
Dalam al-Baqarah 152 Allah memerintahkan kepada makhluqnya untuk senantiasa mengingat-Nya.

فاذكرونى اذكركم...
“Ingatlah kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu”
artinya dzikir adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk mengingat Allah swt sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam konteks “ingat kepada Allah” ini umat Islam tidak pernah lepas dari tiga hal: doa, wirid dan zikir. Doa adalah permintaan atau permohonan sesuatu kepada Allah untuk mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. Wirid merupakan bacaan tertentu untuk mendapatkan 'aliran' berkah dari Allah. Sedangkan zikir adalah segala gerak-gerik dan aktivitas yang berobsesi pada kedekatan atau taqarrub kepada Allah. Me-lafadz-kan atau melafalkan kata-kata tertentu yang mengandung unsur ingat kepada Allah, juga termasuk zikir. Zikir sangat penting karena dalam pandangan kesufian ia merupakan langkah pertama cinta kepada Allah.
Ada dua macam zikir atau ingat kepada Allah: pertama, dzikr bil-lisan, yaitu mengucapkan sejumlah lafaz yang dapat menggerakkan hati untuk mengingat Allah. Zikir dengan pola ini dapat dilakukan pada saat-saat tertentu dan tempat tertentu pula. Misalnya, berzikir di mesjid sehabis salat wajib. Kedua, dzikr bil-qalb, yaitu keterjagaan hati untuk selalu mengingat Allah. Zikir ini dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, tidak ada batasan ruang dan waktu. Pelaku sufi lebih mengistimewakan dzikr bil-qalb ini karena implikasinya yang hakiki. Meskipun demikian, sang dzakir (seseorang yang berzikir) dapat mencapai kesempurnaan apabila ia mampu berzikir dengan lisan sekaligus dengan hatinya.
Dengan demikian, orientasi zikir adalah pada penataan hati atau qalb. Qalb memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena baik dan buruknya aktivitas manusia sangat bergantung kepada kondisi qalb.
Oleh karena itulah semulia-mulia makhluq adalah mereka yang senantiasa berdzikir mengingat Sang Pencipta. Dalam Ali Imran 191 diterangkan bahwa:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Ayat di atas juga dapat digunakan sebagai petunjuk bahwasannya berdzikir kepada Allah swt sangat dianjurkan dalam berbagai kesempatan dan kondisi. Tidak hanya ketika khusyu’ berdiam diri (tuma’ninah) tetapi juga ketika beraktifitas, qiyaman wa qu’udan baik berdiri maupun duduk, bahkan juga ketika berbaring wa a’la junubihim. Apalagi hanya sekedar menggeleng-gelengkan kepala, selagi hal itu memiliki pengaruh yang positif maka hukumnya boleh-boleh saja. bahkan disunnahkan. Hal inilah yang diinformasikan oleh kitab Fatawal Khalili ala Madzhabil Imamis Syafi’i:

... علمت أن الحركة فى الذكر والقرأة ليست محرمة ولا مكروهة بل هي مطلوبة فى جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضر وغني وفقر ...
… saya jadi mengerti bahwasannya menggerakkan (anggauta badan) ketika berdzikir maupun membaca (al-qur’an)  bukanlah sesuatu yang haram ataupun makruh. Akan tetapi sangat dianjurkan dalam semua kondisi baik ketika berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, dalam perjalanan, di rumah, ketika kaya, ataupun ketika faqir…
Dengan demikian teringat kita dengan tarian sufi yang dinisbatkan kepada Jalaluddin Rumi. Bagaimana dzikir juga diapresiasikan dalam seni tari.

*********

________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)

Menyiram Air dan Karangan Bunga di Kuburan




Banyak sekali ragam tradisi yang berhubungan dengan ziarah kubur. Mulai dari mengaji al-Qur’an, tahlil, yasinan hingga menyirami pusara dengan air. Tentang dasar hukum berbagai tradisi tersebut telah sering disebutkan dalam rubrik ubudiyah. Kali ini redaksi akan menerangkan dasar hukum menyiram kuburan dengan air dingin atupun air wewangian.Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menerangkan bahwa hukum menyiram kuburan dengan air dingin adalah sunnah. Tindakan ini merupakan sebuah pengharapan –tafaul- agar kondisi mereka yang dalam kuburan tetap dingin.

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)
Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum.
Begitu pula yang termaktub dalam al-Bajuri

...ويندب أن يرش القبر بماء والأولى أن يكون طاهرا باردا لأنه صلى الله عليه وسلم فعله بقبرولده إبراهم وخرج بالماء ماء الورد فيكره الرش به لأنه إضاعة مال لغرض حصول رائحته فلاينافى أن إضاعة المال حرام وقال السبكى لا بأس باليسير منه إن قصد به حضور الملائكة فإنها تحب الرائحة الطيبة...
Disunnahkan menyiram kubur dengan air, terutama air dingin sebagaimana pernah dilakukan rasulullah saw terhadap pusara anyaknya, Ibrahim. Hanya saja hukumnya menjadi makruh apabila menyiraminya menggunakan air mawar dengan alasan menyia-nyiakan (barang berharga). Meski demikian menurut Imam Subuki tidak mengapa kalau memang penyiraman air mawar itu mengharapkan kehadiran malaikat yang menyukai bau wangi.
Hal ini sebenarnya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah saw

” أن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) رش على قبر ابراهيم ابنه ووضع عليه حصباء ”
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam menyiram [air] di atas kubur Ibrahim, anaknya dan meletakkan kerikil diatasnya.”
Begitu juga dengan meletakkan karangan bunga ataupun bunga telaseh yang biasanya diletakkan di atas pusara ketika menjelang lebaran. Hal ini dilakukan dalam rangka Itba’ sunnah Rasulullah saw. sebagaimana diterangkan dalam hadits 

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا)
Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])
Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ
Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar.

*********

_____________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)

Ziarah Kubur di Bulan Sya'ban



Bulan sya’ban telah tiba, sebagian masyarakat kita menamakan bulan sya’ban dengan bulan ruwah. Kata ruwah identik dengan kata arwah, memang keduanya saling berhubungan.
Dinamakan bulan ruwah karena bulan ini adalah bulan di mana para arwah leluhur yang telah mendahului kita menengok keluarga yang ditinggalkan di dunia. Dan keluarga yang masih hidup berbondong-bondong mendoakan arwah para leluhur menjelang bulan ramadhan. Baik melalui do’a, sedekah, tahlil dan tahmid maupun langsung berziarah ke kubur.
Bulan sya’ban menjadi bulan special, artinya ada beberapa tradisi yang berlaku di bulan ini yang tidak dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Diantara tradisi itu adalah menengok makam atau meziarahi kubur orang tua, kakek-nenek, saudara, sanak family, suami atau istri, anak atau bapak yang telah mendahului.
Ada banyak macam nama untuk tradisi ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan atau di akhir bulan Sya’ban. Sebagian mengatakan dengan istilah arwahan, nyekar (sekitar Jawa Tengah), kosar (sekitar JawaTimur), munggahan (sekitar tatar Sunda) dan lain sebagainya. Bagi sebagian orang, hal ini menjadi semacam kewajiban yang bila ditinggalkan serasa ada yang kurang dalam melangkahkan kaki menyongsong puasa Ramadhan.
Oleh karena itu perlu kiranya menenegok kembali beberapa hal yang berhubungan dengan masalah ziarah kubur. Karena pada kenyataannya banyaknya ta’bir dan hikmah yang tersimpan di dalamnya, mampu menjadikan ziarah kubur sebagai salah satu tradisi yang bertahan di sekitar kita.
Pada masa awal-awal Islam, Rasulullah saw memang pernah melarang umat Islam berziarah ke kuburan, mengingat kondisi keimanan mereka pada saat itu yang masih lemah. Serta kondisi sosiologis masyarakat arab masa itu yang pola pikirnya masih didominasi dengan kemusyrikan dan kepercayaan kepada para dewa dan sesembahan. Rasulullah saw mengkhawatirkan terjadinya kesalah pahaman ketika mereka mengunjungi kubur baik dalam berperilaku maupun dalam berdo’a.
Akan tetapi bersama berjalannya waktu, alasan ini semakin tidak kontekstual dan Rasulullahpun memperbolehkan berziarah kubur. Demikian keterangan Rasulullah saw dalam Sunan Turmudzi no 973

حديث بريدة قال : قال رسول الله صلى الله علية وسلم :"قد كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد في زيارة قبر أمه فزورها فإنها تذكر الآخرة"رواة الترمذي

Hadits dari Buraidah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Saya pernah melarang berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah..! karena hal itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat. 
Demikianlah sebenarnya hukum dasar dibolehkannya ziarah kubur dengan illat (alasan) ‘tazdkiratul akhirah’ yaitu mengingatkan kita kepada akhirat. Oleh karena itu dibenarkan berziarah ke makam orang tua dan juga ke makam orang shalih dan para wali. Selama ziarah itu dapat mengingatkan kita kepada akhirat. Begitu pula ziarah ke makam para wali dan orang shaleh merupakan sebuah kebaikan yang dianjurkan, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haytami dalam kitab ‘Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra’.

وسئل رضي الله عنه عن زيارة قبور الأولياء فى زمن معين مع الرحلة اليها هل يجوز مع أنه يجتمع عند تلك القبور مفاسد كاختلاط النساء بالرجال وإسراج السرج الكثيرة وغير ذلك فأجاب بقوله زيارة قبور الأولياء قربة مستحبة وكذا الرحلة اليها. 
Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengn melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula perjalanan ke makam mereka.
Adapun mengenai hikmah ziarah kubur Syaikh Nawawi al-Bantani telah menuliskannya dalam Nihayatuz Zain demikian keterangannya “disunnahkan untuk berziarah kubur, barang siapa yang menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum’at, maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya”…
Demikianlah hikmah di balik ziarah kubur, betapa hal itu menjadi kesempatan bagi siapa saja yang merasa kurang dalam pengabdian kepada orang tua semasa hidupnya. Bahkan dalam keteragan seanjutnya masih dalam kitab Nihayatuz Zain diterangkan “barang siapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap hari jum’at pahalanya seperti ibadah haji”.
Apa yang dikatakan Syaikh Nawawi dalam Nihayuatuz Zain juga terdapat dalam beberapa kitab lain, bahkan lengkap dengan urutan perawinya. Seperti yang terdapat dalam al-Mu’jam al-Kabir lit Tabhrani juz 19

.حدثنا محمد بن أحمد أبو النعمان بن شبل البصري, حدثنا أبى, حدثنا عم أبى محمد بن النعمان عن يحي بن العلاء البجلي عن عبد الكريم أبى أمية عن مجاهد عن أبى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من زار قبر أبويه أو احدهما فى كل جمعة غفر له وكتب برا   

Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum’at maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang ta’at dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
Adapun mengenai pahala haji yang disediakan oleh Allah swt kepada mereka yang menziarahi kubur orang tuanya terdapat dalam kitab Al-maudhu’at berdasar pada hadits Ibn Umar ra.

أنبأنا إسماعيل بن أحمد أنبأنا حمزة أنبأنا أبو أحمد بن عدى حدثنا أحمد بن حفص السعدى حدثنا إبراهيم بن موسى حدثنا خاقان السعدى حدثنا أبو مقاتل السمرقندى عن عبيد الله عن نافع عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من زار قبر أبيه أو أمه أو عمته أو خالته أو أحد من قراباته كانت له حجة مبرورة, ومن كان زائرا لهم حتى يموت زارت الملائكة قبره     
Rasulullah saw bersabda “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya, maka pahalanya adalah sebesar haji mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu menziarahi kuburannya” 
Akan tetapi tidak demikian hukum ziarah kubur bagi seorang muslimah. Mengingat lemahnya perasaan kaum hawa, maka menziarahi kubur keluarga hukumnya adalah makruh. Karena kelemahan itu akan mempermudah perempuan resah, gelisah, susah hingga menangis di kuburan. Itulah yang dikhawatirkan dan dilarang dalam Islam. Seperti yang termaktub dalam kitab I’anatut Thalibin.Sedangkan ziarah seorang muslimah ke makam Rasulullah, para wali dan orang-orang shaleh adalah sunnah.

 (قوله فتكره) أي الزيارة لأنها مظنة لطلب بكائهن ورفع أصواتهن لما فيهن من رقة القلب وكثرة الجزع

Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa.
Dari keterangan panjang ini, maka tradisi berziarah kubur tetaplah perlu dilestarikan karena tidak bertentangan dengan syari’ah Islam. Bahkan malah dapat mengingatkan akan kehidupan di akhirat nanti. Apalagi jika dilakukan di akhir bulan Sya’ban. Hal ini merupakan modal yang sangat bagus untuk mempersiapkan diri menyongsong bulan Ramadhan.


*********

_____________________________________
Sumber : nu.or.id (Ubudiyah)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU