Selasa, 01 April 2014

Do’a Bepergian, Do’a yang Mengesankan


SafarAda satu do’a yang begitu menyentuh, dalam maknanya dan saya anggap begitu lengkap menghimpun segala kebaikan yang kita butuhkan dan segala keburukan yang ingin kita hindari berkaitan dengan perjalanan jauh atau safar yang kita lakukan. Do’a itu adalah do’a safar yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Saya baru tahu dan menghafalnya tatkala berangkat haji 2 tahun lalu. Do’a tersebut adalah sebagai berikut:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ

“Allah Maha Besar (3x). Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang buruk dalam harta dan keluarga.”
Apabila kembali, doa di atas dibaca dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” (HR. Muslim 2/998)
Pernah suatu ketika saya mendengar berita musibah kebakaran di sebuah pemukiman padat di Jakarta saat orang-orang mudik merayakan Idul Fithri di kampung halamannya. Terbayang bagaimana reaksi mereka saat pulang menyaksikan rumahnya habis terbakar. Saya pun segera teringat kepada do’a safar di atas … sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perubahan yang buruk dalam harta dan keluarga. Jika kita hayati dan renungkan do’a tersebut rasanya tidak berlebihan jika saya mengulangi lagi ungkapan saya di awal tulisan ini, sebuah do’a yang menghimpun segala kebaikan yang kita butuhkan dan segala keburukan yang ingin kita hindari berkaitan dengan safar yang kita lakukan. Do’a yang mencakup apa-apa yang mungkin tidak terpikirkan untuk kita mohonkan seandainya kita menyusun do’a sendiri. Memang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Berikut sedikit penjelasan Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad saat mensyarah kumpulan do’a Hishnul Muslim karya DR Sa’id bin Ali Wahf al-Qahthani tentang do’a safar tersebut.
Ungkapan أَنْتَ الصَّاحِبُ Engkau teman, dengan kata lain teman yang selalu dekat. Yang dimaksud adalah dampingan Allah Ta’ala kepadanya dengan segala perhatian dan penjagaan. Yang demikian itu karena manusia adalah makhluk yang harus banyak didampingi dalam perjalanan. Pendampingan itu dibutuhkan agar selalu merasa tenang, selalu berhati-hati, terjaga dari apa-apa yang membahayakannya sehingga diingatkan dengan kata itu sebagai tempat bersandar yang paling baik dan penjagaan yang paling sempurna daripada sahabat yang mana pun juga.
Ungkapan الْخَلِيْفَة pengganti dengan kata lain, yang menggantikan orang yang pergi untuk mengamankan segala apa yang diwakilkan kepadanya. Artinya, Engkaulah yang kuharapkan, bersandar kepada-Nya ketika aku tiada di tengah keluargaku, hendaknya Engkau merapikan kekacauan yang ada pada mereka, mengobati penyakit mereka dan menjaga agama dan amanat mereka.
Ungkapan مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ dari kesulitan dalam perjalanan dengan kata lain, kerumitannya. Diambil dari akar kata الوعث yaitu suatu tempat yang datar, banyak tanah berpasir yang melelahkan dan menyulitkan binatang ternak.
Ungkapan وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ adalah pemandangan yang menyedihkan. الكابة و الكابة و الكاب adalah penampilan yang buruk, putus asa karena sedih. Sedangkan yang dimaksud adalah memohon perlindungan dari segala pemandangan yang menimbulkan rasa sedih.
Ungkapan وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ keburukan ketika kembali, yaitu kembali dengan sesuatu yang buruk baginya. Kembali dengan sesuatu yang menimpa dirinya dalam perjalanan, atau apa-apa yang menimpa diri, kerabat, harta dan apa-apa yang menjadi kesenangannya. Al-munqalab adalah tempat kembali.
Ungkapan وَإِذَا رَجَعَ dan ketika pulang, yaitu dari perjalanannya.
Ungkapan قَالَهُنَّ semua itu dibaca dengan kata lain, mengucapkan semua kalimat itu, وَزَادَ فِيْهِنَّ dengan tambahan: kami semua kembali, yaitu kembali dengan baik. Dari kata اب artinya kembali dengan kata lain, kami kembali, dan تَائِبُوْنَ kami semua bertaubat dari segala macam dosa. Serta عَابِدُوْنَ kami semua beribadah dengan kata lain, kami mukhlis لِرَبِّنَا kepada Rabb kami, dan karenanya kami حَامِدُوْنَ kami memuji atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kami.


***

_________________
Rujukan:
  • Syarah Do’a dan Dzikir Hishnul Muslim, Majdi bin Abdul Wahhab Ahmad, Darul Falah.

Selamatkan Diri dari Adzab Allah Dengan Bersyukur


Rain from freefoto.comTidak perlu diragukan lagi akan keutamaan syukur dan ketinggian derajatnya, yakni syukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang datang terus beruntun dan tiada habis-habisnya. Di dalam Al-Qur’an Allah menyuruh bersyukur dan melarang kebalikannya. Allah memuji orang-orang yang mau bersyukur dan menyebut mereka sebagai makhluk-makhluk-Nya yang istimewa. Allah menjadikan syukur sebagai tujuan penciptaan-Nya, dan menjanjikan orang-orang yang mau melakukannya dengan balasan yang sangat baik. Allah menjadikan syukur sebagai sebab untuk menambahkan karunia dan pemberian-Nya, dan sebagai sesuatu yang memelihara nikmat-Nya. Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang mau bersyukur adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Allah memerintahkan untuk bersyukur pada beberapa ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:

 وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“… dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-NahI: 114)

 فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ

“Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)


فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“… maka mintalah rizki itu di sisi Allaih dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.“ (Al-Ankabut: 17)
Allah menggantungkan tambahan nikmat dengan syukur. Dan tambahan nikmat dari-Nya itu tiada batasnya, sebagaimana syukur kepada-Nya. Allah berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dengan bersyukur akan selalu ada tambahan nikmat. Ada peribahasa mengatakan, ‘Jika kamu tidak melihat keadaanmu bertambah, maka bersyukurlah.’
Allah mengabarkan bahwa yang menyembah Diri-Nya hanyalah orang yang bersyukur pada-Nya. Dan siapa yang tidak mau bersyukur kepada-Nya berarti ia bukan termasuk orang-orang yang mengabdi-Nya. Allah berfirman:

وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar hanya kepada Allah saja kamu menyembah.” (Al-Baqarah: 172)
Allah mengabarkan keridhaan-Nya terletak pada mensyukuri-Nya. Allah berfirman:

وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
“… dan jika kamu bersyukur niscaya Allah meridhai bagimu kesyukuranmu itu …” (Az-Zumar: 7)
Allah mengabarkan bahwa musuh-Nya iblis selalu berusaha menggoda manusia agar tidak bersyukur, karena ia tahu kedudukan syukur yang sangat tinggi dan nilainya yang sangat agung, seperti yang terungkap dalam firman-Nya:

ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“… kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raaf: 17)
Allah membarengkan syukur dengan iman dan memberitahukan bahwa Dia tidak punya keinginan sama sekali untuk menyiksa hamba-hamba-Nya yang mau bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman:

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.“ (An-Nisaa: 147) Artinya, kalau kalian mau bersyukur dan beriman yang menjadi tujuan kalian diciptakan, maka buat apa Allah menyiksa kalian?

Lantas Bagaimanakah kita Bersyukur?
Asal dan hakikat syukur ialah mengakui nikmat yang memberinya dengan cara tunduk, patuh dan cinta kepadanya. Orang yang tidak mengenal bahkan tidak mengetahui suatu nikmat ia jelas tidak bisa mensyukurinya. Demikian juga dengan orang yang mengenal nikmat tetapi tidak mengenal yang memberinya, ia tidak mensyukurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya tetapi ia mengingkarinya berarti ia mengkufurinya. Orang yang mengenal nikmat berikut yang memberikannya, mau mengakui dan juga tidak mengingkarinya, tetapi ia tidak mau tunduk, mencintai dan meridhai, berarti ia tidak mau mensyukurinya. Dan orang yang mengenal nikmat berikut yang memberinya lalu ia mau tunduk, mencintai dan meridhai serta menggunakan nikmat untuk melakukan keta’atan kepadanya, maka ia adalah orang yang mensyukurinya.
Dengan demikian jelas bahwa syukur itu harus berdasarkan lima landasan, yakni kepatuhan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, kecintaan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, pengakuan orang yang bersyukur atas nikmat yang disyukuri, sanjungan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri atas nikmatnya dan tidak menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang tidak disukai oleh yang disyukuri. Kelima hal itulah yang menjadi asas dan landasan syukur. Satu saja di antaranya tidak ada maka salah satu kaidah syukur menjadi rusak.


*********
______________
Rujukan:
Fiqih Do’a Dan Dzikir, Syaikh Abdurrazak bin Abdul Muhsin al-Badr, Penerbit Darul Falah.

Pandangan Mata Saat Shalat


Menoleh dalam shalat. Picture courtesy of http://pedia.muftisays.comKerap kali kita menyaksikan saat seseorang sedang shalat pandangan matanya melirik ke arah lain atau memandang ke atas, dan ada juga yang memejamkan atau  menutup matanya. Yang melirikkan matanya mengesankan orang tersebut tidak khusyu, sedangkan yang menutup matanya mengesankan orang tersebut sedang berusaha untuk khusyu di dalam shalatnya. Lantas bagaimanakah petunjuk dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal ini?
Sesungguhnya di antara kesalahan orang yang shalat adalah memandang ke tempat selain tempat sujud dan memejamkan matanya. Telah datang perintah yang menganjurkan orang shalat untuk menundukkan pandangannya dan melihat tempat sujud, kecuali saat tasyahhud (duduk tahiyat)  dimana hendaknya memandang isyarat jari telunjuknya dan tidak lebih dari itu.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tentang menoleh ketika shalat. Beliau bersabda, “Menoleh itu adalah ikhtilash (upaya tipu daya) yang dilakukan oleh syaithan dari shalat yang dikerjakan seorang hamba.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam ash-Shahih II/234 dan VI/338, Abu Dawud di dalam as-Sunan I/239, at-Tarmidzi di dalam al-Jaami II/482, dll.)
Dari Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Bagaimana keadaan kaum yang mengangkat pandangan matanya ke langit ketika shalat?” Beliau sangat keras menanggapi masalah ini sehingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka benar-benar mengakhiri perbuatan itu atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam ash-Shahih II/233, an-Nasa’i di dalam al-Mujtaba III/7, Abu Dawud di dalam as-Sunan I/240, dll.)
Dari Jabir bin Samrah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan mata mereka yang terangkat ke langit ketika shalat atau pandangan itu tidak akan kembali lagi pada mereka.”  (Diriwayatkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih I/321, Abu Dawud di dalam as-Sunan I/240, Ibnu Majah di dalam as-Sunan I/332 dan Ahmad di dalam al-Musnad V/90)
Menoleh dalam shalat selain bisa memutus konsentrasi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga disebut sebagai ikhtilash yang artinya sesuatu yang dirampas secara paksa dan secara sombong. Atau sesuatu yang disambar dan dibawa lari tanpa ada perlawanan, sekalipun dalam pengawasan pemiliknya. Dalam bahasa Arab, yang disebut dengan naahib (perampas) adalah orang yang mengambil barang dengan paksa dan menggunakan kekuatan. Sedangkan yang dimaksud dengan saariq (pencuri) adalah orang yang mengambil barang sewaktu pemiliknya lengah. Ketika syaithan membujuk orang yang sedang shalat untuk menoleh ke arah mana saja tanpa ada keperluan, maka dia serupa dengan mukhtalish. Dinamakan dengan ikhtilash karena sebagai ungkapan buruk perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya, sebab orang yang sedang shalat pada hakikatnya sedang menghadap Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala, dan syaithan akan selalu mengintai kelengahannya. Ketika dia menoleh itulah syaithan akan mencuri kesempatan dan menguasai kondisi tersebut. (Fathul Baari II/235)
Namun shalat tidak menjadi batal karena menoleh kecuali jika sampai berpaling dari arah kiblat atau membelakanginya. Ibnu Abdil Barr berkata, “Jumhur ulama mengatakan bahwa menoleh yang ringan (tidak keterlaluan) tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Mengenai memejamkan mata dalam shalat, Ibnul Qayyim berkata, “Memejamkan mata bukanlah ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika shalat. Telah dijelaskan bahwa beliau memandang jari telunjuknya ketika duduk tasyahhud dan pandangan beliau tidak melebihi jari telunjuknya itu.”
Al-Fairuz Abadi berkata, “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam membuka kedua matanya al-mubarakah (yang penuh berkah) ketika mengerjakan shalat. Beliau tidak memejamkannya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang ahli ibadah.” (Safar as-Sa’adah hal. 20)
Banyak hadits yang membuktikan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak memejamkan kedua matanya ketika shalat. Di antaranya ketika beliau menghalangi binatang yang hendak lewat di hadapannya ketika shalat, melihat surga dan neraka, ketika menghalangi seorang pemuda dan wanita yang akan lewat di depannya dan ketika syaithan datang kepadanya ketika shalat lantas beliau memegang dan mencekiknya.
Para ulama masih memperselisihkan apakah memejamkan mata ketika shalat makruh atau tidak. Bahkan ada sebagian ulama yang membolehkannya karena memejamkan mata sangat membantu seseorang untuk khusyu yang menjadi ruh shalat. Namun yang benar jika tanpa memejamkan mata bisa mengerjakan shalat dengan khusyu, maka itu lebih afdhal. Sedangkan apabila benda yang berada di hadapannya bisa mengganggu konsentrasinya , maka tidak makruh memejamkan mata. Bahkan yang mengatakan sunnah dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dengan maksud syariat daripada memvonisnya sebagai perbuatan makruh. Wallahu a’lam.


**********

____________________
Rujukan:
Koreksi Total Ritual Shalat, Abu Ubaidah Masyhur Hasan Salman, Pustaka Azzam.

Kisah-kisah Menakjubkan Bakti Ulama Kepada Ibu


Bakti kepada orang tuaPerintah untuk berbakti kepada orang tua mungkin sudah sering kita dengar. Di berbagai pengajian, buku-buku dan artikel majalah yang kita baca sudah banyak menjelaskan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam yang memerintahkan dan menganjurkan untuk berbuat baik kepada orang yang telah melahirkan kita. Namun barangkali masih jarang kita dengar contoh kongkrit dan kisah-kisah bakti para ulama salafus shalih kepada orang tua mereka khususnya kepada ibu mereka. Tindakan mereka tersebut tentu tidak lepas dari baik dan dalamnya pemahaman mereka terhadap ilmu yang mereka miliki sebagai ulama. Dan sebaik-baik ilmu adalah yang diamalkan. Berikut saya cuplikan beberapa kisah nyata yang menakjubkan tentang bakti kepada ibu.
Dari Dawud bin Qais dia berkata, “Abu Murrah pernah mengabarkan kepadaku bahwa bila Abu Hurairah hendak pergi, setelah mengenakan pakaian, dia datang kepada ibunya lalu berkata, ‘Semoga keselamatan dan berkah terlimpah kepadamu wahai Ibu. Semoga engkau mendapatkan balasan dari Allah karena dulu engkau telah memeliharaku.’ Kemudian bila pulang, dia pun mengatakan seperti itu.” (1)
Dari Mundzir ats-Tsauri dia berkata, “Muhammad bin al-Hanafiyah biasa menyisir rambut ibunya.” (2)
Abdullah bin Ja’far bin Khaqan al-Maruzi (Bandan) berkata , “Muhammad bin Basyir bin Utsman pernah berkata, ‘Pernah ketika saya bermaksud untuk keluar (setelah saya mengumpulkan hadits-hadits dari para ulama Basrah), ibu saya melarang. Saya pun mentaati larangan ibuku. Karena ketaatanku itu saya mendapatkan berkah.’” (3)
Muhammad bin Munkadir berkata, “Pernah semalaman saya memijat kaki ibuku, sementara saudaraku Umar waktu itu semalaman juga melakukan shalat. Saya tidak menganggap amalan malam Umar lebih baik dari amalan malamku.” (4)
Abu Ishaq ar-Riqqi al-Hanbali ketika menyebutkan biografi Abdullah bin Aun berkata, “Pernah suatu ketika dia dipanggil oleh ibunya. Tanpa disadari dia mengeraskan suara melebihi suara ibunya. Karena hal itu dia membebaskan dua orang budak.” (5)
Dari Anas bin an-Nadhr al-Asyja’i dia berkata, “Suatu malam ibu Ibnu Mas’ud meminta air. Ibnu Mas’ud pun mengambil air, lalu dibawa kepada ibunya. Ternyata ibunya telah tertidur. Maka dia pun berdiri menunggui ibunya hingga pagi.” (6)
Al-Akhnasi pernah berkata, “Saya pernah mendengar Abu Bakar berkata, ‘Saya pernah bersama Manshur bin al-Mu’tamir duduk-duduk di rumahnya. Tiba-tiba ibunya memanggil dengan nada agak kasar, ‘Wahai Manshur, anak laki-laki Hubairah membutuhkan kamu untuk suatu urusan. Apakah kamu enggan?!’ Manshur menempelkan jenggot pada dadanya, sedikitpun dia tidak berani mengangkat kepalanya dan menghadapkan wajah kepada ibunya.” (7)
Suatu ketika Ibnul Hasan at-Tamimi hendak membunuh kalajengking, namun kalajengking itu masuk ke lubang. Dia beranikan diri merogohkan jari-jarinya ke lubang untuk menangkap kalajengking itu meskipun harus rela disengat. Orang-orang berkata kepadanya, “Kamu ini bagaimana?!” Dia menjawab, ‘Saya khawatir kalajengking tadi keluar lalu merayap ke tempat ibuku dan menyengatnya.’” (8)
Suatu ketika Umar ditanya, “Bagaimana bentuk bakti anakmu kepadamu?” Umar menjawab, “Setiap kali berjalan di siang hari bersamaku, dia selalu berjalan di belakangku dan setiap kali berjalan di malam hari bersamaku, dia selalu berjalan di depanku. Begitu pula ketika tidur , dia tidak pernah tidur di atas bila saya berada di bawah.” (9)
Dari Muhammad bin Sirin dia berkata, “Pada zaman Utsman harga kurma sangat mahal hingga mencapai seribu dirham. Meskipun begitu Usamah tetap berani membelinya. Dia beli kurma tadi lalu dia kupas kulitnya kemudian diberikannya kepada ibunya. Orang-orang berkata kepadanya, ‘Apa yang membuatmu berani membeli kurma dengan harga seribu dirham?’ Dia menjawab, ‘Saya punya prinsip, bila ibu saya meminta sesuatu yang saya mampu memenuhinya pasti akan saya penuhi.” (10)
Zainal Abidin adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya. Saking berbaktinya, ada orang-orang berkata kepadanya, “Sungguh kamu adalah orang yang sangat berbakti kepada ibumu. Tetapi kami tidak pernah melihatmu makan bersama ibumu dalam satu piring?” Dia menjawab, “Saya khawatir mendahului makan makanan yang hendak dimakan ibuku. Karena menurutku itu termasuk tindakan durhaka kepadanya.” (11)
Semoga Allah merahmati mereka para pendahulu kita yang shalih dan menjadikan kita termasuk golongan mereka.
***

___________________________
Rujukan:
Kisah Teladan Bakti Anak Kepada Ibu Bapak, Ibrahim bin Abdullah Musa al-Hazimi, Penerbit Media Hidayah 2004
(1) Hadits hasan diriwayatkan Bukhari dalam al-Adabul Mufrad dan lainnya.
(2) Al-Birr wa Shilah no 34. Para periwayat atsar ini orang-orang yang tsiqah.
(3) Siyar A’lam an-Nubala XII/145
(4) Siyar A’lam an-Nubala V/405
(5) Ahsan al-Mahasin karya Abu Ishaq hal. 348
(6) Birrul Walidain karya Ibnul Jauzi hal. 550
(7) Siyar A’lam an-Nubala V/359
(8) Tahdzib Siyar A’lam an-Nubala hal. 541
(9) ‘Uyun al-Akhbar III/97 dan Birrul Walidain hal. 53
(10) Ath-Thabaqat Ibnu Sa’ad II/527
(11) Muhadharat al-Adiba hal 327 dan Wafayat al-A’yan III/268

Akibat Tersebarnya Berita Kejahatan dan Kemungkaran


Akibat tersebarnya berita-berita kejahatanBagi penikmat media-media berita baik itu koran maupun televisi niscaya akan sering mendengar dan membaca berbagai berita tentang perbuatan kriminal dan mungkar. Entah itu berita korupsi, perzinaan, perselingkuhan, pencurian, pembunuhan, penyiksaan, kerusakan akhlak dan lain sebagainya. Memang berita-berita tersebut sudah menjadi konsumsi yang digemari banyak orang dan sumber pemasukan untuk menyedot banyak pembaca bagi media-media tersebut. Sebagian mungkin beranggapan bahwa itu perlu diketahui dalam rangka kontrol sosial, mengetahui waqi’ (realitas umat) dan sebagai bahan untuk mengkritik pemerintah. Namun pada kenyataannya yang banyak terjadi hanyalah sekedar konsumsi mata dan hati tatkala beristirahat selepas kerja, untuk refreshing dan dianggap ‘hiburan’ oleh kebanyakan orang yang tidak memiliki kemampuan atau kekuasaan apa-apa untuk merubahnya. Jangan-jangan dalam hatinya pun tidak terbersit rasa benci sama sekali.
Seorang ulama, Syaikh Musthafa al-Adawy, menjelaskan secara ringkas tentang hal yang berkaitan dengan memperdengarkan berita-berita buruk ini. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,


لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًاعَلِيمًا

“Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nisa: 148)
Yang demikian itu karena kata-kata buruk akan membantu tersebarnya kejahatan dan kemaksiatan.
Contoh sederhana saja, jika anda mendengar beberapa orang bercerita bahwa si fulan melakukan zina, anda pasti tidak senang dan anda akan membenci si fulan yang berzina. Setelah beberapa hari anda mendengar kabar bahwa fulan yang lain berzina dengan mahramnya, maka rasa benci anda kepada pelaku zina yang pertama akan berkurang dan kebencian itu akan terarah kepada pelaku zina dengan mahramnya. Bebeapa hari kemudian anda mendengar masyarakat bercerita bahwa fulan yang lain lagi melakukan zina di tempat umum dan terbuka, di pinggir jalan. Mendengar kabar itu pasti anda akan lupa dari pelaku zina dengan mahramnya dan kebencian anda akan terarah kepada pelaku zina di tempat umum. Jadi begitulah, kemungkaran akan menjadi hal biasa jika banyak dibicarakan.
Jika ada di sebuah kampung di mana tidak ada satu pun dari penduduknya yang meminum minuman keras, kemudian pada suatu ketika terdengar kabar bahwa salah satu penduduknya meminum minuman keras, maka semua penduduk akan membenci peminum itu. Namun jika mereka pergi ke kota dan melihat minuman keras dijual di pinggir-pinggir jalan dan begitu sering dibicarakan, maka perbuatan itu lambat laun akan dianggap sebagai perbuatan biasa. Oleh karenanya mengucapkan kata-kata buruk tidak diperkenankan.
Alloh berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)
Dan sudah dipaparkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

فليقل خيرا او ليصمت

“… maka ucapkanlah kata-kata yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini akan mencegah tersebarnya keburukan.

Demikian penjelasan Syaikh Musthafa al-Adawy.
Apabila kita bisa menjaga diri dari menyebarkan berita-berita buruk, maka selanjutnya seperti halnya kita menjaga kesehatan tubuh dengan menghindari mengkonsumsi makan-makanan yang buruk yang bisa merusak kesehatan, maka terlebih lagi jika itu adalah makanan hati. Bacaan dan ilmu ibarat makanan bagi hati dan akal. Permasalahan ini cakupannya tentu akan lebih luas lagi, tidak hanya sekedar masalah bacaan atau tontonan di media massa.
Ternyata mati rasa tidak hanya terjadi pada kulit, tetapi bisa juga terjadi pada hati. Wallohu a’lam wa nas’alulloha al’afiyah.


***

____________________
Rujukan:
Fikih Akhlak, Musthafa al-Adawy, Penerbit Qisthi Press 2005

Untuk Para Lelaki Yang Menunda-nunda Untuk Menikah


Bunga pernikahan. Courtesy of Bride and Groom Magazine.Konon menurut data statistik umumnya pria menikah pada usia 27 tahun dan wanita pada usia 25 tahun. Tentunya itu bukan patokan untuk menikah, karena siapa saja yang sudah mampu untuk menikah maka dianjurkan untuk segera menikah. Dan Alloh menjanjikan rizki bagi mereka yang menikah.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nuur: 32)
Berapakah umur anda sekarang? Barangkali anda belum berminat untuk segera menikah? Silakan simak motivator-motivator berikut ini:
1. Mendapatkan ketenangan dan rasa kasih sayang
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang…” (Ar-Rum: 21)
2. Agar termasuk golongan Rasulullah
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas, katanya : “Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, ‘Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?’ Salah seorang dari mereka berkata, ‘Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya.’ Kemudian yang lain berkata, ‘Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.’ Dan yang lain lagi berkata, ‘Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.’ Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: ‘Kaliankah yang berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Namun aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah golonganku.’ (Muttafaq alaihi)
3. Agar bisa menjadi orang terbaik

خَيْرِكُمْ خَيْرِكُمْ لأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرِكُمْ لأَهْلِيْ

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah)
4. Bisa mendapatkan pahala sedekah dengan mudah dan berulang-ulang
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pula kepada Sa’ad bin Abi Waqas radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh tidaklah kamu menginfakkan suatu infak semata untuk mencari wajah Allah melainkan kamu mendapatkan pahala padanya. Bahkan apa yang kamu letakkan pada mulut istrimu.” (Muttafaq ‘alaih).
“Dan nafkah yang diberikan seseorang kepada ahlinya, istrinya dan keluarganya adalah sedekah” (HR Muslim)
Seandainya punya isteri plus anak 2 saja, sehari 3 kali memberi mereka makan, pakaian dsb, setahun berapa banyak telah bersedekah…? Dan itu tidak terasa bahwa sang suami telah bersedekah walau hanya karena menunaikan kewajiban asal sejak awal sudah diniatkan lillahi Ta’ala.
5. Bahkan itu adalah sedekah yang paling utama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan satu dinar yang kamu infakkan untuk membebaskan budak, dan satu dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang kamu infakkan untuk istrimu, maka yang paling utama adalah satu dinar yang kamu infakkan untuk istrimu.” (HR. Muslim).
6. Menunaikan syahwat sekaligus bersedekah dan berpahala
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan dalam persetubuhan kalian terdapat sedekah” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah! Salah seorang di antara kami menyalurkan syahwatnya (kepada istrinya). Apakah ia mendapatkan pahala padanya?! Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Bagaimana menurutmu, seandainya seseorang menyalurkan syahwatnya pada suatu yang haram, apakah ia berdosa? Maka demikian sebaliknya jika ia menyalurkannya pada suatu yang halal, ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
7. Berpotensi mendapatkan pahala yg mengalir terus-menerus walau telah wafat dengan memiliki anak shalih
“Jika mati anak Adam terputuslah amalannya melainkan tiga perkara: Ilmu yang boleh dimanfaatkan, sedekah jariah (yang manfaatnya terus-menerus) serta anak yang shalih yang mendoakannya (dengan kebaikan).” (HR Muslim)
Bayangkan kita mengajarkan kebaikan kepada anak-anak yang kemudian diamalkan oleh mereka dan lalu mereka mengajarkannya kepada keturunan-keturunan mereka dan seterusnya.
“Barangsiapa yang memulai sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti amal itu setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun…” (HR Muslim)
8. Bisa mendapatkan pelindung dari api neraka
“… barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu dia mengasuhnya dengan baik, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi tirai pemisah dari api Neraka.” (HR Bukhari dan Muslim)
9. Bisa mendapat kejutan di akhirat kelak karena anak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Siapa yang membaca Al Qur’an mempelajarinya, dan mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya: “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab: “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari al-Qur’an” (Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim)
10. Memenuhi hak ibu dan ayah
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yg paling berhak utk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya lagi. “Ibumu” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya lagi “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah.  (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Umumnya para ibu dan ayah menghendaki anaknya segera menikah. Mengapa tidak untuk menyenangkan dan memenuhi keinginan mereka kalau kita mampu memenuhinya…? Bahkan berbuat baik kepada ibu dan ayah lebih didahulukan daripada berbuat baik kepada orang lain.
Demikianlah 10 motivator atau alasan kuat untuk segera menikah yang bisa saya kumpulkan. Silakan bagi pembaca yang mempunyai motivator-motivator lain untuk menambahkannya pada bagian komentar. Jazaakumullohu khairan.


*********

________________________
Dirangkum dari berbagai sumber.

Program Gratis Untuk Menulis Huruf Arab dan Terjemah al-Qur’an


Arabic Pad 1.4Bagi anda yang suka menulis makalah atau artikel-artikel islami kerap kesulitan tatkala harus menulis tulisan Arab, baik dalam hal penulisan huruf-huruf dan tanda harokatnya maupun arah penulisan dari kanan ke kiri atau RTL (right to left). Tidak banyak orang yang faham bagaimana cara mensetting komputer Windows-nya agar bisa melakukan penulisan dari kanan ke kiri dan menulis huruf Arab lengkap dengan tanda harokatnya.
Namun alhamdulillah ada suatu program buatan anak bangsa yang khusus dibuat untuk menulis Arab dengan mudah – Arabic Pad 1.4. Program tersebut bahkan bisa digunakan dan diunduh secara gratis di websitenya. Di antara kelebihan program tersebut yang saya rasakan adalah kemudahan dalam menulisnya dibanding menggunakan Word, mudah dalam menambahkan berbagai tanda harokat, serta ukuran programnya yang kecil, tidak lebih dari 50 kB. Hasil tulisan kita di Arabic Pad tinggal kita copy paste ke program word editor. Bagi pengguna Windows XP kemungkinan masih perlu ada sedikit setting yang harus dilakukan, namun bagi pengguna Windows 7 insya Alloh lebih mudah.

Bagi anda yang berminat silakan anda download di link di atas.
Di samping itu ada juga program gratis yang menampilkan terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia – Terjemah al-Qur’an 1.5. Masih dari pembuat yang sama dengan Arabic Pad. Kelebihan dari program tersebut adalah memiliki fasilitas pencarian yang sangat cepat dan ukurannya yang hanya 271 kB. Namun program tersebut hanya menampilkan terjemahannya saja tanpa disertai tulisan Arabnya.
Saya ucapkan jazaakallahu khairan kepada Mas Ebta Setiawan atas usahanya yang bermanfaat ini.


***

Nabi Nuh Berada Dalam Puncak Kesabaran


Kesabaran Nabi Nuh. Courtesy of free wallpaper from goodscreen.ruSabar adalah satu kata yang sering kita ucapkan dan kita dengar, namun tidak mudah untuk kita amalkan dengan sempurna. Memang sabar telah diperintahkan dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan kenyataan ujian yang selalu dialami manusia dalam kehidupannya di dunia menjadikan sabar (seharusnya) bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Barangkali kita sering mendengar orang berkata, “… tapi sabar khan ada batasnya!” atau “… apa kita harus bersabar terus…?” dan sebagainya. Musibah atau ujian yang demikian bertubi-tubi terkadang menjadi pembenaran atas ucapan tersebut. Namun bagaimanakah sabar yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul?

Kesabaran Nabi Nuh ‘alaihis salam

Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah mengajak umatnya ke jalan Allah selama 995 tahun secara rahasia dan terang-terangan, malam dan siang hari, memberikan kabar gembira juga ancaman, akan tetapi beliau hanya mendapatkan pembangkangan dari mereka, bahkan pelecehan dan ejekan. Kendati demikian Nabi Nuh tetap berdakwah dalam waktu tersebut tanpa kesal dan bosan. Setiap kali umatnya menentang, maka beliau merubah caranya dalam berdakwah. Bagaimanapun keadaannya, beliau amat belas kasihan kepada umatnya dan takut jika mereka tertimpa adzab Allah yang sangat pedih. Beliau sangat penyantun dan lapang dadanya dan sungguh telah menjadi teladan dalam kesungguhan dan telah berada dalam puncak kesabaran.
Allah mengabadikannya dalam al-Qur’an:

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًافَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًاوَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًاثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًاثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا

“Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (Nuh: 5-9)
Kesabaran Nuh bukan hanya dalam menghadapi kaumnya, juga kala menghadapi keluarganya. Inilah fitnah dan cobaan yang hanya dihadapi oleh orang-orang yang bersabar.
Seorang da’i terkadang diberikan ujian dan cobaan dengan sikap kaum dan teman-temannya, akan tetapi ketika dia kembali kepada keluarganya, maka ia mendapatkan ketenangan dan penyejuk hati. Adapun Nuh, beliau dicoba dengan sikap kaumnya dan keluarganya sekaligus. Allah berfirman:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (at-Tahrim: 10)
Bukan hanya isterinya yang menjadi musibah dalam keluarga Nuh, akan tetapi anaknya pun menolak Islam dan membantah ayahnya sehingga masuk ke dalam golongan kafir. Nuh berusaha keras menyelamatkan anaknya, akan tetapi harapan tinggal harapan, Allah berfirman:

وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang”. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Huud: 42-43)
Nuh telah dicoba dan bersabar, ia berdo’a kepada Allah dan mendapatkan kemenangan, Allah pun memberikan kebaikan sebagai ganti atas apa yang diambil darinya. Allah menggantinya dengan memberikan anak cucu yang melanjutkan keturunan.

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ

“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (ash-Shaffat: 77)

Serba-Serbi Sabar

Sabar yang banyak diperintahkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah ini meliputi 3 keadaan:
1. Sabar dalam menahan jiwa dalam ketaatan dan senantiasa menjaganya, memupuknya dengan keikhlasan dan menghiasinya dengan keilmuan. Di sini tetap berlaku seperti halnya ibadah yang lain, yaitu perlunya keikhlasan karena Allah dan perlunya ilmu agar kesabaran kita benar adanya.
2. Sabar dengan menahan diri dari segala kemaksiatan dan berdiri tegak melawan hawa nafsu.
3. Ridha dengan qadha dan qadar Allah tanpa mengeluh. Adapun mengeluh berupa mengadukan kepada Allah maka tidak mengapa, seperti ucapan Nabi Ya’qub ‘alahis salam,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

“Yakub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” (Yusuf: 86)
atau Nabi Ayyub ‘alahis salam,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (al-Anbiyaa’: 83)
Dengan sabar maka akan diketahui siapakah yang berada dalam barisan kaum mukminin dan membersihkan mereka dari orang-orang yang bisa melemahkan barisan mereka. Kita ingat kisah kemenangan pasukan Thalut melawan Jalut,
“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 249)
Beberapa medan kesabaran adalah sabar dalam menghadapi bencana dunia, dalam menghadapi hawa nafsu, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dalam berdakwah, dalam kesempitan, dalam menghadapi anak-anak & isteri, dalam menghadapi saudara seagama dan sabar dalam menuntut ilmu.
Sabar mencakup segenap akhlak islami. Sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) adalah sabar dalam menahan syahwat perut dan kemaluan. Syaja’ah (keberanian) adalah bersabar di medan tempur. Al-hilm (santun) adalah bersabar dalam menghadapi sikap membalas ketika marah. Lapang dada adalah bersabar dalam menghadapi rasa kesal. Qana’ah adalah bersabar dengan merasa cukup dengan yang ada. Kitman (menjaga rahasia) adalah bersabar dalam menyembunyikan satu urusan. Zuhud adalah bersabar dengan meninggalkan kelebihan dalam hidup.
Demikianlah bahwa pohon akhlak Islam itu digiring oleh sabar, karena itulah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya tentang iman, beliau menjawab, “Toleransi dan kesabaran.” (Hadits hasan dikeluarkan oleh al-Hakim III/626, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah III/357 dan Syaikh Salim bin Ied al-Hilali menghasankan hadits ini)
Sabar memiliki beberapa syarat:
1. Ikhlas
2. Tidak mengeluh
3. Sabar pada waktunya terjadi musibah dan inilah sabar yang terpuji lagi berpahala.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan. Beliaupun berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku” Selanjutnya dikabarkan kepadanya, “Yang menasehatimu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah aku tadi tidak mengenalimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” (HR. al-Bukhari III/148, al-Fath dan Muslim VI/277-288 an-Nawawi)
Semoga Allah selalu menolong kita untuk bisa bersabar dalam setiap keadaan.


*********

___________________
Rujukan:
Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly, Penerbit Darul Ilmi Publishing.

3 Hadits Lemah Yang Populer Tentang Puasa


Ada 3 hadits yang sangat populer yang berkaitan dengan puasa yang ternyata hadits-hadits tersebut lemah atau dha’if. Ini perlu diketahui dalam rangka membersihkan dienul Islam dari kesalahan pemahaman akibat tersebarnya hadits-hadits lemah tersebut. Terlebih lagi kita tentu tidak ingin terkena ancaman sebagai pendusta dengan mengatasnamakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam padahal bukan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Pengertian hadits secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam  baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, perangai maupun sifat jasad beliau shalallahu ‘alaihi wa salam. [1]
Pengertian ini sama dengan pengertian as-sunnah, khobar dan atsar. Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar, “Menurut ulama ahli hadits bahwa khobar itu sama dengan hadits dan ada yang mengatakan bahwa hadits adalah yang datangnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam  sedangkan khobar adalah yang datangnya dari selain beliau. Juga ada yang berpendapat bahwa semua hadits itu khobar namun tidak semua khobar itu hadits.” [2]
Adapun lemah dalam bahasa Arabnya الضَّعِيفُ yang secara bahasa berarti kebalikan dari kuat, baik tidak kuat secara fisik maupun maknawi. Dan yang dimaksud di sini adalah tidak kuat secara maknawi.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa hadits lemah adalah hadits yang tidak memiliki kriteria hadits shahih dan hasan. Atau dengan bahasa yang lebih bagus lagi bahwa hadits lemah adalah hadits yang tidak memiliki kriteria untuk bisa diterima. [3]
Berikut ketiga hadits lemah yang populer berkaitan tentang puasa:

صُوْمُوْاتَصِحُّوْا 
“Berpuasalah niscaya engkau akan sehat”
Lemah
Diriwayatkan oleh Thobroni dalam al Ausath 2/225, Abu Nu’aim dalam ath-Thib dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Sholih dari bapaknya dari Abu Huroiroh secara marfu’.
Sisi cacatnya adalah Zuhair bin Muhammad, dia itu orang yang lemah.
Berkata Imam al-’Iroqi dalam Takhrij Ihya’: “Diriwayatkan oleh Thobroni dalam al-Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath-Thibbun Nabawi dengan sanad lemah”.
Bahkan ash-Shoghoni dalam al-Maudhu’at agak berlebih-lebihan saat menyatakan bahwa ini adalah hadits palsu. [4]

الصَّاـِٕمُ فِي عِبَادَةٍ وَ اِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Lemah
Diriwayatkan oleh Tammam 18/172 berkata: “Telah mengkabarkan kepada kami Yahya bin Abdillah bin Zajjaj berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harun, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abdurrohman dari Hasyim bin Abu Huroiroh al-Homsi dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin dari Salman bin Amir adh-Dhobbi secara marfu’”.
Sisi cacat hadits ini adalah adanya beberapa orang yang tidak dikenal, yaitu Yahya az Zajjaj dan Muhammad bin Harun.
Barangkali yang shohih, lafadz ini adalah ucapan Abul ‘Aliyah sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Imam Ahmad dalam Zawa’id Zuhd hlm.303 dengan tambahan lafadz: “Selagi tidak mnggunjing orang lain”. [5]

اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ،وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Alloh, untuk-Mu lah saya berpuasa dan atas rezeki-Mu lah saya berbuka.”
Lemah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud:2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah: 9744, Ibnu Sunni: 479 dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman: 3902 dari Mu’adz bin Zahroh bahwasanya sampai kepada dia bahwasanya Rosululloh apabila berbuka beliau berdo’a: -dengan do’a diatas-
Sisi cacat hadits ini dari tiga sisi:
Pertama: Majhulnya Mu’adz bin Zahroh.
Kedua: Dia itu seorang tabi’in yang langsung meriwayatkan dari Rosululloh, maka haditsnya mursal dho’if.
Ketiga: Sanad hadits ini mudhthorib.
Oleh karena itu dilemahkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Albani. [6]
Berkata Abu Yusuf: “Do’a buka puasa yang shohih adalah:

ذَهَبَ الظَّمَأُوَابْتَلَّتِ العُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَاللَّهُ
“Telah hilang rasa haus dan telah basah kerongkongan serta tetaplah pahala insya Alloh. [7]


***

____________________________
Rujukan:
Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Pustaka al-Furqon
[1] Lihat Taisir Mustholah Hadits oleh Syaikh Mahmud ath-Thohan hlm. 14
[2] Lihat Nuzhatun Nazhor ma’a Nukat oleh al-Hafizh Ibnu Hajar hlm. 52
[3] Lihat Muqadimah Ibnu Sholah hlm. 37, Tadribur Rowi oleh Imam as-Suyuthi 1/179, Ikhtishor Ulum Hadits oleh Imam Ibnu Katsir hlm. 44. Taudhihul Afkar oleh Imam ash-Shon’ani hlm. 1/247
[4] Lihat adh-Dho’ifah: 253
[5] Lihat adh-Dho’ifah: 653
[6] Lihat takhrij Adzkar hlm: 367, Irwa’: 919
[7] HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad shohih. Lihat Irwa’: 920, Shohih Jami’ no. 4678

Meruqyah Diri Sendiri


Ruqyah atau pengobatan dengan ayat al-Qur'anAlhamdulillah saat ini pengobatan dengan thibbun nabawi mulai dilirik kaum muslimin sebagai alternatif pengobatan disamping pengobatan melalui ilmu medis kedokteran. Berbagai ramuan herbal dan semacamnya yang didasarkan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam seperti habbatus sauda, minyak zaitun, madu, kurma dan air zam-zam sudah banyak beredar di toko-toko dan dikemas sedemikian rupa sehingga memudahkan penggunaannya.
Namun satu hal yang jangan sampai dilupakan adalah kekuatan do’a kepada Alloh. Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan berbagai do’a dan dzikir yang begitu banyak manfaatnya. Di antaranya untuk membentengi diri dari kejahatan yang kita tidak menyadarinya dan hanya Allah yang tahu seperti melalui dzikir pagi dan petang dan untuk pengobatan.
Ruqyah yang bentuk jamaknya adalah ruqaa merupakan bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i. Penyembuhan dengan al-Qur’an dan do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam adalah penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna. Allah berfirman dalam Surat al-Isra ayat 82,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…”
Pengertian ‘dari al-Qur’an’ pada ayat di atas maksudnya adalah al-Qur’an itu sendiri. Karena al-Qur’an secara keseluruhan adalah
penyembuh sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. [1]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57)
Dengan demikian al-Qur’an merupakan penyembuh yang sempurna di antara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu untuk melakukan penyembuhan dengan al-Qur’an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, pemenuhan syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawannya untuk selamanya.
Para ulama telah sepakat untuk membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:
1. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Ta’ala atau Asma dan Sifat-Nya atau sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
2. Ruqyah itu boleh diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lain yang difahami maknanya
3. Harus diyakini bahwa bukanlah dzat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberikan pengaruh itu adalah kekuasaan Allah, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. [2]
Di antara ayat-ayat yang dianjurkan untuk dibaca sebagai ruqyah diantaranya ayat kursi, Surat al-Fatihah, Surat al-Ikhlash, Surat al-Falaq, Surat an-Nas, Surat al-A’raf ayat 117-122, Surat Yunus ayat 79-82, Surat Thaha ayat 65-70 dan Surat al-Kafirun. Ruqyah ini berguna untuk pengobatan penyakit fisik maupun untuk melawan guna-guna atau sihir.
Cara pengobatan ini bisa juga dilakukan kepada diri sendiri seperti yang ditunjukan kisah-kisah berikut ini:

وعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ. ثَلاَثًا. وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ،قال: فَفَعَلْتُ فَأَذْهَبَ اللهُ مَا كَانَ بِي – رواه مسلم

Dari Utsman bin Abu al-Ash bahwasanya dia mengadukan rasa sakit kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam: “Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhnya yang sakit lalu ucapkan Bismillah tiga kali, setelah itu ucapkan sebanyak tujuh kali ‘A’udzubi ‘izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhadziru.’ (Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan). Lalu aku baca do’a ini, setelah itu Allah menghilangkan rasa sakit yang sebelumnya aku rasakan.” (HR Muslim)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat al-Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat al-Fatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar. Kemudian aku beritahukan kepada banyak orang yang mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan cepat.” [3]
Mengenai kekhususan air zam-zam ini terdapat pada hadits Jabir yang marfu’,

مَاءُ زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam tergantung kepada tujuan diminumnya.” [4]
Sedekah Mengobati Penyakit
Dari al-Hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “…Obatilah orang-orang sakit kamu dengan sedekah..”. (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam shahih targhib no 744)
Suatu kisah nyata terjadi pada Imam al-Hakim Abu Abdillah penulis kitab al mustadrak. Beliau pernah terkena penyakit borok di wajahnya, ia sudah berusaha berobat dengan segala cara namun tak kunjung sembuh. Beliaupun datang kepada abu Utsman ash-Shabuni agar mendo’akan kesembuhan untuknya. Abu Utsman pun mendo’akannya di hari jum’at dan banyak orang yang mengaminkan.
Di hari jum’at mendatang, datanglah seorang wanita membawa secarik kertas dan bercerita bahwa ia telah bersungguh sungguh mendo’akan untuk kesembuhan beliau. Lalu wanita itu bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda: “Katakan kepada abu abdillah.. Hendaklah ia mengalirkan air untuk kaum muslimin.” Maka beliau pun segera membangun sumur di dekat rumahnya dan menyediakan airnya untuk diminum oleh manusia. Seminggu kemudian, tampak kesembuhan terlihat pada wajah beliau dan akhirnya hilang sama sekali. Dan beliau hidup beberapa tahun setelah itu. (Shahih targhib no 964)
Insya Allah sedekah yang sepadan dengan penyakit atau musibah yang diderita bisa menjadi obat penyembuh. Bisa dengan memberi makan orang fakir, menanggung beban anak yatim, mewakafkan harta, atau mengeluarkan sedekah jariyah. Jika kesembuhan belum kunjung datang, mungkin Allah memperpanjang sakit untuk sebuah hikmah yang dikehendaki-Nya atau karena kemaksiatan yang menghalangi kesembuhan. Jika demikian cepatlah bertaubat dan perbanyak doa di sepertiga malam terakhir.
Demikianlah beberapa contoh pengobatan yang bisa dilakukan untuk diri sendiri. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.

Update 12/09/2013 :
Hadits-hadits yang berkaitan dengan anjuran Rasulullah untuk bersedekah sebagai obat penyembuh adalah hadits yang sangat lemah derajatnya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran meskipun sebagian ulama mengamalkan kandungannya. Bersedekah dengan niat kesembuhan dari penyakit adalah termasuk keinginan duniawi yang pada asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Disamping itu meniatkan ibadah untuk mendapatkan balasan dunia bisa menggugurkan pahala amal kebaikan. Allah berfirman dalam QS Huud ayat 15-16,
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” [5]
Wallahu a’lam.


*********

_______________________
Rujukan:
-Doa & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Yazid Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam asy-Syafi’i
-Majalah adz-Dzakhiirah Edisi 43 – 1429H hal. 52
-Posting Ustadz Khalid Syamhudi di milis PM-Fatwa 28 September 2011.
-http://fariqgasimanuz.wordpress.com
[1] Al-Jawaabul Kaafi Liman Saala ‘Anid Dawaaisy Syaafi (Jawaban yang Memadai Bagi Orang Yang Bertanya Tentang Obat Penyembuh yang Mujarab) karya Ibnul Qayyim hal. 20
[2] Al-’Illaaj bir Ruqaa minal Kitab was Sunnah hal. 72-83
[3] Zaadul Ma’ad (IV/178) dan al-Jawabul Kaafi (hal. 21)
[4] HR Ibnu Majah dan lain-lainnya. Lihat juga Shahih Ibnu Majah  (II/183) juga Irwa’ul Ghalil (IV/320)
[5] Majalah as-Sunnah no 03-04/Thn XVII artikel oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. dengan judul “Hadits yang Sangat Lemah Tentang Keutamaan Bersedekah Untuk Menyembuhkan Penyakit”

Fenomena Bertekad Tobat Ketika Hendak Bermaksiat


Disaster - Courtesy of itsnature.orgPeringatan bagi orang yang terpedaya dan sering mengulangi kemaksiatan. Semoga kita terhindar dari fenomena ini. Sekedar sharing sebuah artikel pendek namun bermanfaat. **
Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk tobat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat.”
Memang betul, pintu tobat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertobat kepada Allâh dengan tobat sebenarnya (tobat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima tobatnya.
Tobat nashûhâ ialah tobat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pengagungannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.
Syarat sahnya tobat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa pernah berbuat zalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya.” (H.R. al-Bukhâri, no. 2269) .
Tekad untuk bertobat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun, ketika bisikan “bertobat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana tobatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertobat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya? Bisa saja Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyulitkan jalan bertobat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.
Kewajiban seorang muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya, serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertobat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertobat sebelumnya.
Simaklah firman-firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَإِيَّاىَ فَارْهَبُونِ
“dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. al-Baqarah/2: 40).
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
“Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” (Q.S. Ali ‘Imrân/3: 28).
Dalam ayat yang lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Fâthir/35: 6).

*********

_________________
Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411
Artikel http://www.Salafiyunpad.wordpress.com disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01 Tahun XIV April 2010.

Larangan Menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah


Larangan Menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam Menjadikan Kuburan Sebagai Tempat Ibadah. Tree Grave - Courtesy of Deborah Sandidge www.betterphoto.comSebagaimana kita ketahui, Islam adalah agama tauhid yang menegakan peribadahan hanya kepada Allah semata. Dakwah tauhid ini diserukan tidak hanya oleh Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, tapi juga oleh seluruh Nabi dan Rasul. Dalam sebuah surat dalam al-Qur’an, yaitu Surat al-A’raf, Allah menyebut kisah beberapa Rasul yang mendakwahkan tauhid:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS al-A’raf: 59)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (QS al-A’raf: 65)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Saleh. Ia berkata. “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (QS al-A’raf: 85)
Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam sangat memperhatikan masalah tauhid ini. Beliau berdakwah menitikberatkan pada masalah tauhid selama 13 tahun di Mekah. Berbagai hal yang bertentangan dengan tauhid pun telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Di antara perbuatan yang bisa menghilangkan atau mengurangi tauhid adalah mengaku mengetahui ilmu ghaib, sihir dan perdukunan, mengagungkan berhala atau patung-patung, berkurban untuk selain Allah, mengolok-olok agama, bertawasul kepada selain Allah atau bersumpah dengan selain nama Allah.
Di antara hal yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam terhadap umatnya adalah beribadah di kuburan atau menjadikan kubur sebagai tempat ibadah. Beberapa hadits yang menyebutkan pelarangan ini adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda ketika beliau sakit dan dalam keadaan berbaring,

لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid).”
‘Aisyah berkata, “Kalau bukan karena (laknat) itu, niscaya kuburan beliau akan ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan dijadikan sebagai masjid.” [1]
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah dan Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menghadapi sakaratul maut, maka beliau menempelkan ujung baju beliau ke wajah beliau sendiri. Dan ketika ujung baju itu telah menutupi wajahnya, maka beliau membukanya kembali seraya bersabda, “Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan makam Nabi-Nabi mereka sebagai masjid.” ‘Aisyah mengatakan, “Beliau memperingatkan agar tidak melakukan seperti apa yang mereka lakukan.” [2]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengemukakan, “Seakan-akan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengetahui bahwa beliau akan pergi


Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah.
Gereja Augustias di 
Portugal. Gereja yang 
dibangun di atas kubur
 Agostinho Xavier de Silva
 Vidigal yang meninggal
 pada tahun 1843.
selamanya melalui sakit yang beliau derita, sehingga beliau khawatir makam beliau akan diagung-agungkan seperti yang telah dilakukan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, beliau melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai isyarat yang menunjukkan celaan bagi orang-orang yang berbuat seperti perbuatan mereka.”
Dalam hadits lain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam jatuh sakit, maka beberapa orang isteri beliau sempat membicarakan tentang sebuah gereja yang terdapat di negeri Habasyah (Ethiopia), yang diberi nama Maria – Ummu Salamah dan Ummu Habibah sudah pernah mendatangi negeri Habasyah – kemudian mereka menceritakan tentang keindahan gereja dan gambar-gambar yang terdapat di dalamnya. ‘Aisyah bercerita, “(Kemudian nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mengangkat kepalanya) seraya berucap, “Mereka itu adalah orang-orang yang jika ada orang shalih di antara mereka yang meninggal dunia, maka mereka akan membangun masjid di makamnya itu lalu mereka memberi barbagai macam gambar di tempat tersebut. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah (pada hari kiamat kelak).” [3]

Pengertian Menjadikan Makam Sebagai Masjid
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitab az-Zawaajir (I/121), “Menjadikan makam sebagai masjid berarti shalat di atasnya atau dengan menghadap ke arahnya.”

Larangan menyerupai Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kubur sebagai tempat ibadah.
Gereja St Servatius di
 Belanda yang dibangun di
atas kubur pendeta St
 Servatius yang meninggal
 tahun 384. Telah menjadi
 tempat ziarah selama
 berabad-abad.
Imam al-Bukhari menerjemahkan hadits pertama dengan mengatakan, “Bab Maa Yukrahu min Ittikhaadzil Masaajid ‘alal Qubuur (Bab Dimakruhkan Membangun Masjid di Atas Kuburan).” Beliau mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid berkonsekuensi pada larangan membangun masjid di atasnya.
Tidak ada perbedaan antara membangun masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid, sehingga keduanya sama-sama diharamkan. Hal ini menunjukan bahwa masjid dan kuburan itu tidak dapat dikumpulkan dalam satu tempat dan berkumpulnya dua hal tersebut bertentangan dengan tauhid dan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena keikhlasan inilah masjid itu dibangun. Allah berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS al-Jin: 18)
Al-Manawi di dalam kitab Faidhul Qadiir mengatakan, “Artinya, mereka menjadikan makam para Nabi itu sebagai arah kiblat mereka dengan keyakinan mereka yang salah. Dan menjadikan makam itu sebagai masjid menuntut keharusan pembangunan masjid di atasnya dan juga sebaliknya. Hal demikian itu menjelaskan sebab dilaknatnya mereka, yaitu karena tindakan tersebut mengandung sikap berlebihan dalam pengagungan. Al-Qadhi (yakni al-Baidhawi) mengatakan, “Orang-orang Yahudi bersujud kepada makam para Nabi sebagai pengagungan terhadap mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke makam itu dalam mengerjakan shalat dan ibadah lainnya, sehingga dengan demikian mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang dilaknat oleh Allah. Dan Allah telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut.”
Kenyataan yang ada akibat perbuatan menempatkan kuburan di masjid (atau sebaliknya) adalah berbagai penyimpangan dalam beribadah. Di antaranya berupa pengagungan terhadap penghuni kubur yang dianggap orang shalih lantas menjadikan kubur tersebut sebagai sarana bertaqarrub kepada Allah dengan melakukan berbagai ibadah seperti shalat,  dzikir dan berdo’a. Terlebih lagi jika mereka menjadikan penghuni kubur sebagai perantara dalam berdo’a kepada Allah atau memiliki keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut berkuasa untuk dimintai pertolongan atau menghindari mudharat. Padahal Allah berfirman,
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS az-Zumar: 3)

*********

________________________
Rujukan:
1. Larangan Shalat di Masjid yang Dibangun di Atas Kubur, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Imam asy-Syafi’i, 2004
2. Kitab Tauhid 3, DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Darul Haq, 1999
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/156, 198 dan VIII/114), Muslim (II/67)
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/422, VI/386 dan VIII/116), Muslim (II/67), Abu Awanah (I/399), an-Nasa’i (I/115) dll.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (I/416 dan 422), Muslim (II/66), an-Nasa’i (I/115), Ahmad (VI/51) dll.

Kecerdasan Iyas bin Mu’awiyah al-Muzanni


Kecerdasan Iyas bin Mu'awiyah al-Muzanni. Desert - Courtesy of www.itsnature.orgNama beliau adalah Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Nejed. Beliau termasuk generasi tabi’in yaitu generasi yang bertemu dengan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam namun tidak sempat bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Telah nampak bakat dan kecerdasan putera al-Muzanni yang satu ini sejak kecil. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya kendati beliau masih kanak-kanak.
Telah diriwayatkan bahwa ketika masih kecil beliau belajar ilmu hisab di sebuah sekolah yang diajar oleh Yahudi ahli dzimmah (tunduk dan berada di bawah jaminan penguasa Islam, tidak masuk Islam namun membayar pajak). Pada suatu hari berkumpullah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu, lalu mereka asyik membicarakan masalah agama mereka tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru Yahudi itu berkata kepada teman-teman Iyas, “Tidakkah kalian heran dengan kaum muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan di surga, namun tidak akan buang air besar?”
Iyas menoleh kepadanya lalu berkata,
Iyas : “Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian perbincangkan itu wahai guru?”
Guru : “Silakan!”
Iyas : “Apakah semua yang dimakan di dunia ini keluar menjadi kotoran?”
Guru : “Tidak!”
Iyas : “Lantas kemana perginya yang tidak keluar itu?”
Guru : “Tersalurkan sebagai makanan jasmani.”
Iyas : “Lantas dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tak mustahil di surga seluruhnya diserap tubuh dan menjadi makanan jasmani.”
Merasa kalah argumen, guru itu memberikan isyarat dengan tangannya sambil berkata kepada Iyas, “Semoga Allah mematikanmu sebelum dewasa.”
Dalam kisah lain, pernah ada duhqan (seperti jabatan lurah di kalangan Persi dahulu) yang datang ke majelisnya Iyas dan bertanya,
Duhqan : “Wahai Abu Wa’ilah, bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?”
Iyas : “Haram!”
Duhqan : Dari sisi mana dikatakan haram, sedangkan ia tak lebih dari buah dan air yang diolah, sedangkan keduanya sama-sama halal?”
Iyas : “Apakah engkau sudah selesai bicara wahai Duhqan, ataukah masih ada yang hendak kau utarakan?”
Duhqan : “Sudah, silakan bicara!”
Iyas : “Seandainya kuambil air dan kusiramkan ke mukamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika kuambil segenggam pasir dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Jika aku mengambil segenggam semen dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan : “Tidak.”
Iyas : “Sekarang, jika kuambil pasir lalu kucampur dengan segenggam semen, lalu kutuangkan air di atasnya dan kuaduk, lalu kujemur hingga kering, lalu kupukulkan ke kepalamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan : “Benar, bahkan bisa membunuhku.”
Iyas : “Begitulah halnya dengan khamr. Di saat kau kumpulkan bagian-bagiannya lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka dia menjadi haram.”

Terpilih Menjadi Qadhi

Karena keutamaan yang beliau miliki, beliau pernah dipercaya menjadi qadhi di Bashrah pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Umar bin Abdul Aziz awalnya memiliki dua pilihan calon yaitu Iyas dan al-Qasim bin Rabi’ah al-Haritsi yang kedua-duanya bak kuda balap kembar dalam ilm fiqih, tegas dan kukuh dalam kebenaran, cemerlang pemikiran-pemikirannya dan tepat dalam pandangannya. Masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Lantas beliau mengutus walinya di Irak yang bernama Adi bin Arthah untuk memilih di antara keduanya.
Adi bin Arthas mempertemukan antara Iyas dan al-Qasim lalu berkata, “Amirul mukminin – semoga Allah memanjangkan umurnya – memintaku untuk mengangkat salah satu dari kalian sebagai kepala pengadilan Bashrah. Bagaimana pendapat kalian berdua?”
Masing-masing mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama sambil menyebutkan keutamaan, ilmu dan kefakihannya.
Adi berkata, “Kalian tidak boleh keluar dari sini sebelum kalian memutuskannya.”
Iyas berkata, “Wahai Amir, anda bisa menanyakan tentang diriku dan al-Qasim kepada dua fuqaha Irak ternama yaitu Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan antara kami berdua.”
Iyas mengatakan seperti itu karena al-Qasim adalah murid  dari kedua ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak punya hubungan apapun dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab kalau pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama itu, tentulah mereka akan memilih dia dan bukan Iyas. Maka dia segera menoleh kepada Adi dan berkata, “Wahai Amir, janganlah anda menanyakan perihalku kepada siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia, Iyas lebih mengerti tentang agama Allah daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim. Bila aku bohong dalam sumpahku ini, maka tidak patut anda memilihku karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya. Bila aku jujur, anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama.”
Iyas berpaling kepada amir dan berkata, “Wahai Amir, anda memanggil orang untuk menjadi hakim. Ibaratnya anda letakkan ia di tepi jahanam, lalu orang itu (al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsu yang dia bisa meminta ampun kepada Allah dengan beristighfar kepada-Nya dan selamatlah ia dari apa yang ditakutinya.”
Maka Adi berkata kepada Iyas, “Orang yang berpandangan seperti dirimu inilah yang layak menjadi hakim.”
Lalu diangkatlah Iyas sebagai qadhi di Bashrah

.
*********


_____________________________
Rujukan:
Jejak Para Tabi’ien, DR. Abdurrahman Ra’fat Basya, Pustaka at-Tibyan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU