Kamis, 01 Mei 2014

Baju Baru itu Suci

Baju Baru itu SuciPakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Pakaian sering dikelompokkan ke dalam jenis kebutuhan primer. Sebagai kebutuhan pokok, pakaian berfungsi sebagai penutup aurat yang dalam Islam hukumny adalah wajaib. Maka wajib pula bagi individu memiliki pakaian yang cukup untuk menutup auratnya. Tidak harus mewah dan beragam, yang penting aurat itu tertutup dengan rapat.
Hanya saja di zaman sekarang ini macam pakaian sungguh amat ragamnya. Baik merk, kwalitas, maupun modenya yang terus berubah. Sehingga dinamika dalam dunia mode terus berkembang, baik karena tuntunan nilai guna dan fungsi saja tetapi juga tuntutan pasar.
Hal inilah yang menjadi salah satu faktor seseorang memeiliki banyak pakaian. Sehingga mereka dapat berganti-ganti memakainya. Jika salah satu pakaian telah dipakai dan dianggap kotor ataupun terkena najis maka seseorang akan menggantinya dengan yang bersih dan suci, begitulah keadaan yang kesehariannya dialami seseorang.
Pakaian yang dianggap telah kotor dan najis akan dicuci kembali menggunakan air dengan tujuan supaya kembali bersih dan suci lalu bisa digunakan untuk beribadah seperti shalat dan ibadah lain. Ketika seseorang memiliki pakaian yang telah usang dan warna pakaian yang memudar, kecondongan akan muncul untuk membeli pakaian baru.
Tidak ada larangan membeli pakaian baru meskipun pakaian yang lama masih layak untuk dipakai, tentu tiada lain tujuan membelinya adalah untuk menutup aurat, agar terlihat rapi dan menjaga kebersihan. Kebingungan dan keragu-raguan akan kesucian pakaian baru terkadang menjadi beban tersendiri, dikarenakan jika seseorang membeli pakaian baru entah itu kemeja, celana, sarung dan lain-lain merasa was-was akan kesuian pakaian tersebut.
Maka untuk solusi menghilangkan rasa keragu-raguan apakah pakaian tersebut suci atau tidak, sebagian ulama’ memberi penjelasan bahwa pakaian yang baru saja ia beli dihukumi suci karena asal dari pada sesuatu itu suci selama tidak ada hal-hal yang membuatnya terkena najis, seperti baju yang terbuat dari campuran kulit bangkai hewan, atau terbuat dari campuran sesuatu yang najis, maka jika diketahui itu semua, baju tersebut dihukumi najis. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Kitabnya Al-Asybah Wa Al-Nadloir menjelaskan,

قَاعِدَة: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ 

عَلَى التَّحْرِيم

Salah satu Qaidah Fiqhiyah berbunyi: Asal sesuatu itu hukumnya mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Qaidah Fiqhiyah ini memberi penegasan bahwa sesuatu misalnya hewan atau apapun  dihukumi mubah dan halal selama tidak didapati dalil yang mengharamkannya. Jika Qaidah ini disesuaikan dengan akar masalah diatas, maka seseorang yang membeli baju baru namun ia dilanda keragu-raguan apakah baju tersebut suci atau najis, atau terbuat dari barang yang suci ataukah najis, kesucian baju tersebut menjadi hukum yang dimenangkan dalam artian baju baru itu dihukumi suci selama tidak diketahui ada sesuatu yang membuatnya menjadi najis. 
Jika diketahui bahwa baju itu terdapat sebuah najis yang menempel maka hukum baju tersebut tidak bisa dibawa kehukum asal, karena telah diketahui ada najis yang menempel. Qaidah ini berlaku jika tidak diketahui asal muasal apakah baju tersebut suci ataukah najis, maka boleh dibawa kehukum asal yang mengatakan bahwa asal sesuatu tersebut suci selama tidak ada dalil atau bukti yang menyebutkan mengenai najisnya baju tersebut.


*********


_________________
Sumber : www.nu.or.id

Musafir yang Bebas Shalat Jum'at

Musafir yang Bebas Shalat Jum'at
Pada dasarnya shalat jum’at hukumnya adalah wajib bagi setaip muslim laki-laki. Hal ini berdasar pada firman Allah swt dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا 

نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ 

الْجُمُعَةِفَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ 

 اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْكُنْتُمْ تَعْلَمُونَ 



Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Demikianlah shalat jum’at menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu. Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kwalitas ketaqwaan dan keimanan umat muslim. Karena itulah shalat jum’at didahului dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis sholat jum’at hendaknya menjadi satu media syi’ar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuwat persatuan umat.
Adapun syarat-syarat shalat jum’at seperti yang terturils dalam kitab MatnulGhayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’

وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام 

والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة 

والاستيطان

Syarat wajib jum’at ada tujuh hal yaitu; Islam, baligh, berakal sehal, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak sedang bepergian)

Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat pertama Islam, baligh dan berakaldapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak wajib shalat jum’at orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا 

امراة ومسافرا وعبدا ومريضا

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat jum’at kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sedang sakit.

Pada praktiknya, shalat jum’at sama seperti shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu pertama hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua jumlah orang tidak kurng dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat jum’at, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka dilaksanakanlah shalat dhuhur.
Dengan demikian shalat jum’at selalu dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itulah maka shalat jum’at tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan (musafir).
Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk ma’syiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.
Bolehnya meninggalkan shalat jum’at oleh musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi udzur seseorang untuk menjalankan shalat jum’at karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat jum’at tiba.
Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak berlaku jika status seorangmusafir telah berbah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian –rukhsah al-safar-. Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at, jama’ atau qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jum’at bila tiba waktunya.   
Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.
Oleh karena itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr(kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk ma’syiat. Ketiga,mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-madaniyah dan Al-Fiqhul Islami)

Tujuh Larangan dalam Buang Air dan Etikanya



Tujuh Larangan dalam Buang Air dan EtikanyaBuang air dalam terminoligi fiqih sering disebut dengan Qadhil Hajat. Yaitu perasaan mendesak untuk buang hajat. Baik hajat air kecil maupun hajat air besar. Pada dasarnya ada beberapa tatakrama yang harus ditaati bagi mereka yang hendak buang air.
Pertama, dianjurkan mendahulukan kaki kiri ketika memasuki tempat buang air. Hal ini berlawanan dengan adab memasuki ruangan yang dimuliakan seperti rumah, mushalla, masjid dan lain sebagainya yang mengharuskan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu.
Kedua, ketika memasuki ruang buang air sunah membaca:

بسم الله اللهم انى اعوذ بك من الخبث والخبائث

Bismillahi allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits

Dengan nama Allah, Ya Allah aku berlindung kepada Mu dari godaan syaitan laki-laki dan perempuan.
Doa ini sangat penting mengingat tempat buang air yang identik dengan ruang kotor sebagai ruang berdiamnya para syaitan.
Ketiga, hendaklah berdo’a setelah membuang air sebagaimana doa yang diajakan oleh rasulullah saw:

غفرانك الحمد لله الذى أذهب عنى الأذى وعافانى

Ghufranaka alhamdulillahilladzi adzhaba anil adza wa ‘afani

Ya Allah aku mohon ampunan-Mu segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan rasa sakit dariku dan yang telah memberikan kesehatan
Keempat, hendaklah ketika memasuki tempat buang air memakai alas kaki dan tutup kepala. Demikian anjuran fiqih mengenai tatakrama buang air.
Adapun larangan yang harus benar-benar dihindarkan dalam buang air ada enam hal.
Pertama, janganlah membelakangi atau menghadap ke arab kiblat. Kecuali terdapat tabir pemisah seperti tembok atau memang ada ruangan khusus untuk buang air. Maka bebas saja membuat toilet, WC dan kamar mandi ke arah yang disukai, asalkan tertutup.
Kedua, jangan melakukannya di air yang diam atau berhenti dan tidak mengalir.
Ketiga, jangan kencing atau berak di bawah pohon yang berbuah. Baik ketika musim berbuah atau sedang tidak berbuah.
Keempat, jangan melakukannya di jalan yang biasa dilalui manusia, di tempat berteduh dan juga di dalam lubang bumi yang bundar.
Kelima, jangan berbicara ataupun bercakap ketika sedang buang air. Kecuali dalam keadaan darurat.
Keenam, Jangan menghadap atau membelakangi matahari dan bulan ketika terbit atau terbenam dan terakhir, Jangan membawa sesuatu yang dimuliakan yaitu sesuatu yang bertuliska nama Allah swt. Demikian keterangan dalamFathul Qarib al-Mujib dan Muraqil Ubudiyah.


********* 


__________________________
Sumber : www.nu.or.id/syariah

Tuntunan Mengqashar Shalat

Tuntunan Mengqashar ShalatIslam sebagai agama yang mengatur tata cara hidup bermasyarakat dan tata cara beribadah kepada Yang Maha Kuasa, tidak pernah membebani umatnya di luar kemampuannya. Bahkan ketika berhubungan dengan perkara wajibpun Islam selalu memberikan dispensasi, sekiranya kewajiban itu terlalu membebani umatnya. Dispensasi atau keringanan dalam fiqih disebut dengan rukhshah. Hal ini tercermin dalam masalah qashar dan jama’shalat.
Secara bahasa qashar berarti meringkas, yaitu meringkas shalat yang semula harus dikerjakan empat rakaat (misal dhuhur, ashar dan isya) menjadi dua rakaat. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt dalam surat An-Nisa’ ayat 101:

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان 

تقصروا من الصلاة

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu 

Artinya seseorang yang sedang dalam bepergian (musafir) dibolehkan mengqashar shalat. Begitu pula jika dalam keadaan berperang. Karena tuntunan konsntrasi penuh dalam menghadapi serangan pihak musuh, maka diperboehkan mengqashar shalat. Demikian pernah terjadi di zaman Rasulullah saw sebagaimana diterangan dalam hadits Muslim yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayah.

ليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلاة ان خفتم 

ان يفتنكم الذين كفروا



Tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir.

Begitulah diantara dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan diperbolehkannya mengqashar shalat. Sedangkan petunjuk tehnis mengqashar shalat tentunya hanya terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang merupakan warisan para mujtahid dalam menentukan sebuah hukum. Sebagaimana keterangan dalam Matnul Gyayah wat Taqrib karya Qadhi Abu Suja’:

فصل – ويجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية 

بخمس شرائط: ان يكون سفره فى غير معصية, 

وانتكون مسافته ستة عشر فرسخا, وان يكون 

 مؤدياللصلاة والرباعية وان ينوي القصر مع الا 

حراموان لايأتم بمقيم 



Bagi seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang berrakaat empat dengan lima syarat. 1) Kepergiannya bukan dalam rangka maksyiat. 2) jarak perjalanannya paling sedikit 16 farsakh. 3) shalat yang diringkas adalah yang berrakaat empat. 4) niat mengqashar bersamaan dengan takbiratul Ihram. 5) dan hendaknya tidak bermakmum pada orang yang mukim (tidak musafir).

Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa syarat mengqashar shalat pada dasarnya adalah ketika dalam berpergian. Namun syarat ini bisa ditawar dalam kondisi perang. Apabila di rasa empat rakaat terlalu lama dan menghawatirkan keamanan maka diperbolehkan mengqashar shalat. Sebagaimana kerangan hadits di atas.
Adapun syarat kedua mengenai jarak tempuh perjalanan, maka mengqashar shalat hanya diperbolehkan ketika jarak tempuh bepergian mencapai 16 farsakh atau kira-kira 90 km. Yaitu jarak yang biasanya para musafir telah mengalami kelelahan dan kepayahan.
Dari dua syarat tersebut (musafir dan ukuran jarak tempuh), maka barang siapa dalam perjalanan seseorang tidak sempat shalat. Lalu sesampai di rumah ia hendak mengqadhanya (membayarnya) maka orang tersebut tidak diperbolehkan mengqashar shalat (dengan 2 rakaat) karena ia tidak lagi dalam keadaan musafir. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang mempunyai hutang shalat kemudian dia melakukan perjalanan (musafir) lalu ia hendak membayarnya dengan mengqadha maka tidak boleh shalat itu dilakukan dengan cara qasahar (2 rakaat). Karena hutang shalat itu terjadi ketika dia belum berstatus sebagai musafir.
Adapun penjelasan mengenai syarat ketiga, maka itu bersifat pasti. Hanya shalat yang empat rakaatlah yang boleh diqasahar. Itu artinya shalat dhuhur, ashar dan isya. Dengan kata lain ketika seseorang berpergian dalam jarak tempuh lebih dari 90 km (misalkan dari Jakarta menuju Surabaya) secara otomatis ia akan melewati waktu shalat dhuhur dan ashar, apabila berangkat dari pagi hari melalui jalur darat maupun laut. Maka orang tersebut boleh melakukan shalat dhuhur dan ashar masing-masing dua rakaat.
Akan tetapi jikalau orang tersebut melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat sehingga dapat menghemat waktu, maka baginya ada dua pilihan. Boleh mengqashar shalat ataupun tidak mengqashar. Karena pada dasarnya qashar sebagai sebuah dispensasi (rukhshah) tidaklah bersifat wajib. Tetapi bersifat anjuran. Artinya, qashar adalah sebuah pilihan yang disediakan oleh Allah bagi umatnya yang merasa berat melakukan shalat dengan empat rekaat ketika bepergian. Oleh karena itu seorang muslim selaku hamba Allah boleh memilih qashar atau tidak. Tetapi lebih baik melakukannya ketika syarat lima telah terpenuhi.
Mengenai tatacara niat tidak ada yang berubah sebagaimana niat dalam shalat biasa, yaitu niat dibarengkan dengan takbiratul ihram di dalam hati yang bunyinya, sebagai berikut:

أصلى فرض الظهر ركعتين مستقبل القبلة قصرا لله 

تعالى

Ushalli fardhad dhuhri rak’ataini mustaqbilal qiblati qasran lillahi ta’la
Aku niat shalat dhuhur dua rekaat menghadap qiblat keadaan qashar karena Allah

Dan syarat yang terakhir, hendaklah jika seseorang melakukan shalat qashar jangan makmum kepada imam yang tidak qashar (sedang shalat biasa). Qashar boleh dilakukan secara berjamaah berbarengan dengan sesama musafir.


*********


________________________________
Sumber : www.nu.or.id/syariah

Tata Cara Jama' Shalat

Tata Cara Jama' ShalatYang dimaksud dengan shalat jama’ialah mengumpulkan dua shalat fardlu dikerjakan dalam satu waktu shalat. Shalat yang boleh dijama’ adalah shalat dhuhur dengan ashar dan magrib dengan isya’.Shalat jama’ ada 2 (dua) macam, pertamajama’ taqdim ialah melakukan shalat dhuhur dan ashar pada waktunya dhuhur atau melakukan shalat maghrib dan isya’ pada waktunya maghrib. Kedua, Jama’ ta’khir ialah melakukan shalat dhuhur dan ashar pada waktunya shalat ashar atau melakukan shalat maghrib dan isya’ pada waktunya shalat isya’.
Syarat-syarat jama’ taqdim ada 4 (empat): Pertama, tartib maksudnya mendahulukan shalat yng pertama dari pada yang kedua seperti mendahulukan shalat dhuhur dari pada ashar, atau mendahulukan maghrib dari pada isya’.
Kedua, niat jama’ dalam shalat yang pertama. Waktu niatnya adalah antara takbir dan salam, tapi yang sunat, niat bersamaan dengan takbiratul ihram. Niatnya shalat dhuhur dan ashar dengan jama’ taqdim:

أصلى فرض الظهر أربع ركعات مجموعا بالعصر جمع تقديم لله تعالى

“Saya niat shalat fardlu dhuhur empat rekaat dijama’ bersama ashar dengan jama’ taqdim karena Allah Ta’ala”.
Niatnya shalat maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim:

أصلى فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا بالعشاء جمع تقديم لله تعالى

 “Saya niat shalat fardlu maghrib tiga rekaat dijama’ bersama isya’ dengan jama’ taqdim karena allah Ta’ala”.

Ketiga, Muwalat ( berurutan ) maksudnya antara dua shalat pisahnya tidak lama menurut uruf, jadi setelah dari shalat yang pertama harus segera takbiratul ihran untuk shalat yang kedua.
Keempat, Ketika mengerjakan shalat yang kedua masih tetap dalam perjalanan, meskipun perjalanan itu tidak harus mencapai masafatul qashr,sebagaimana shalat qashar  (lihat keterangan dalam rubrik syariah judultuntunan mengqashar Shalat). Sebagaimana dalam matan gahayah wat taqrib:

ويجوز للمسافر أن يجمع بين الظهر والعصر فى وقت أيهما شاء, وبين المغرب والعشاء فى وقت أيهما شاء

Boleh saja bagi musafir menjamak (mengumpulkan) antara shalat dzuhur dan ashar dalam waktu mana saja yang ia suka (diantara keduanya). Dan antara shalat maghrib dan isya di waktu mana saja yang ia suka.  

Adapun syarat-syarat jama’ ta’khir ada dua, pertama, Niat jama’ ta’khir dilakukan dalam waktunya shalat yang pertama. Niatnya shalat dhuhur dan ashar dengan jama’ ta’khir :

أصلى فرض الظهر أربع ركعات مجموعا بالعصر جمع تأخيرالله تعالى

“Saya niat shalat fardlu maghrib empat rekaat dijama’ bersama ashar dengan jama, ta’khir karena Allah Ta’ala”. 

Niatnya shalat maghribi dan isya’ dengan jama’ ta’khir:

أصلى فرض المغرب ثلاث ركعات مجموعا بالعصر جمع تأخيرالله تعالى

 “Saya niat shalat fardlu maghrib tiga rekaat dijama’ bersama isya’ dengan jama’ ta’khir karena Allah Ta’ala”.

Dua, ketika mengerjakan shalat yang kedua masih tetap dalam perjalanan sebagaimana keterangan di atas.

Shalat Ghaib dan Jenazah

Apabila ada keluarga atau saudara sesama muslim yang meninggal dunia jauh dari tempat kita, baik meninggalnya itu disebabkan suatu bencana, kecelakaan atau penyakit yang sedang menimpa sehingga menimbulkan banyak korban, maka disunnahkan bagi kita untuk mendirikan shalat ghaib walaupun waktunya sudah lewat.
Shalat ghaib hukumnya sah sebagaimana shalat jenazah. Begitupula bacaan dan segala caranya sama dengan shalat jenazah.  Dengan empat takbir tanpa rukuk dan sujud. Membaca surat alfatihah setelah takbir pertama (takbiratul ihram). Kemudian takbir kedua membaca shalawat atas nabi miimal shalawat pendek “allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad”. Lalu mendo’akan mayit setelah takbir ketiga yang berbunyi:

اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘afihi wa’fu anhu.

Ya Allah ampuniah dia, berilah dia rahmat dan sejahterakan serta maafkanlah dia
Dan terakhir, setelah rakaat keempat disunnahkan membaca do’a sebelum salam.  Adapun do’a setelah takbir keempat adalah:

اللهم لاتحرمنا أجره ولاتفتنا بعده واغفرلنا وله

Allahumma la tahrimna ajrahu wala taftinna ba’dahu waghfirlana walahu

Ya Allah, janganlah Engkau halangi pahalanya yang akan sampai kepada kami, dan jangan Engkau memberi fitah kepada kami sepeninggalnya serta ampunilah kami dan dia.
Hanya saja perbedaannya terletak pada niat. Jika shalat jenazah yang mayitnya ada di depan maka niatnya adalah :

أصلى على هذا الميت اربع تكبيرات فرض كفاية 

مأموما لله تعالى

Saya niat shalat atas mayit ini empat kali takbir fardhu kifayah karena menjadi makmum karena Allah Ta’ala.

Sedangkan niat shalat ghaib yang ditujukan kepada mayit yang diketahui dengan jelas identitasya maka bunyi niatnya adalah:

أصلى على ميت (فلان) الغائب اربع تكبيرات 

فرض الكفاية لله تعالى

Saya niat shalat ghaib atas mayit (si A) empat kali takbir fardhu kifayah karena Allah Ta’ala.

Andaikan shalat ghaib itu dilakukan tanpa mengetahui identitas Jenazahnya dengan tepat, sebagaimana yang sering dilaksanakan setelah shalat jum’at maka niatnya adalah


أصلى على من صلى عليه اللإمام اربع تكبيرات 

فرض الكفاية مأموما لله تعالى


Saya niat shalat ghaib atas mayit yang dishalati iamam empat kali takbir fardhu kifayah menjadi makmum karena Allah Ta’ala.(eh)

*********


______________________________
Sumber : www.nu.or.id/syariah

Hukum Nikah dan Poligami

Hukum Nikah dan PoligamiPada dasarnya hukum nikah adalah sunnah bagi mereka yang dianggap telah membutuhkannya. Baik secara biologis maupun psikologis. Karena kebutuhan itu selalu mengundang ketamkan, maka seorang laki-laki hanya diperbolehkan menikahi masksimal empat orang istri. Demikian keterangan lengkapnya dalam fathul qarib.

النكاح مستحب لمن يحتاج اليه, ويجوز للحر أن 

يجمع بين اربع حرائر


Nikah disunnahkan bagi mereka yang membutuhkannya. Seorang laki-laki (merdeka/bukan budak) boleh memiliki empat orang istri.

Hal ini berdasar pada firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3:

 فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.

Tentang pembatasan jumlah empat orang istri bagi laki-laki muslim, hadits riwayat Abu Daud tentang cerita sahabat Wahbin al-Asady dapat dijadikan sebagai pelajaran.  Wahbin al-Asady pernah sebercerita “saya masuk Islam, dan saat itu mempunyai istri delapan orang. Kemudian saya menceritakannya kepada Rasulillah saw. Lalu beliau bersabda: اختر منهن اربعا   pilihlah empat dari mereka”.

*********


______________________
Sumber : www.nu.or.id/syariah

Rasulullah SAW Tidak Rela Putrinya Dimadu

Rasulullah SAW Tidak Rela Putrinya DimaduDalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah sebuah cerita menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib telah melamar seorang putri Abu Jahal bin Hisyam, lalu Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta restu kepada Rasulullah saw tentang hal itu tetapi beliau tidak memberikan restu kepada mereka.
Maka keluarlah Rasulullah SAW dalam keadaan marah ke atas mimbar sehingga orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT beliau bersabda:

Bani Hisyam bin al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib tapi aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak akan mengizinkannya kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka, karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya, sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya, namun sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya.

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapapun mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa Awal Islam. Juga posisi Abu Jahal dalam surat  al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir.  

Bentangan sejarah ini menunjukkan betapa poligami dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung ‘masalah’. Kalimat Rasulullah saw “sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih daru dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak sekedar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam al-Qur’an), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama.


*********


_____________________________
Sumber : ww.nu.or.id/syariah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU