Senin, 31 Maret 2014

Jurus Jitu Mendidik Anak


Ebook: Jurus jitu mendidik anakAda tulisan menarik mengenai kiat dan cara mendidik anak yang ditulis oleh Ustadz Abdullah Zaen Lc. M.A. dan disebarluaskan dalam bentuk ebook oleh yufid.com mesin pencari ilmu Islam. Mungkin ini adalah artikel terpanjang dan menyalahi kebiasaan tulisan di blog ini yang ringkas,  namun melihat pembahasannya yang sangat penting dan menarik maka saya postingkan di blog ini. Semoga memberi manfaat bagi para pembaca yang sudah memiliki anak atau pun yang baru mau memiliki anak.*

PROLOG

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini (1432 H, ed.), kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak. Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini. Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU

Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua. Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu Apa Saja yang Dibutuhkan?

Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai variannya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”).
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para orangtua,

مُرُوا أَوِلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun.” (H.R. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempraktikkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasihati seorang anak kecil,

يَاغُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ

“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah)
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan
anak lainnya.

Ayo Belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANG TUA

Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimas salam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekadar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orang tua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan
mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.[1]
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi Kesalihan Orang Tua dalam Mendidik Anak

Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orang tua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insya Allah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan, “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa Contoh Aplikasi Nyatanya

Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Quran, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…” Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insya Allah kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah Renungan Penutup

Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orang tua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu ber-facebook-an dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini?? Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa Sih Kekuatan Keikhlasan?

Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan
Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana. Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insya Allah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
2. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot
Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar. Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekadar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot. Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur
Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita. Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan
ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orang tuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?
Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasihat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
4. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala
Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka.” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Dipertemukan di mana?
Di surga Allah Jalla wa  ’Ala![2]

Mulailah dari Sekarang!

Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu,
beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh Aplikasi Kesabaran

1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak
Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوِ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمجِّسَانِهِ

“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insya Allah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa. Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik!
Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
3. Sabar menjadi pendengar yang baik
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.
Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/ mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!” Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
4. Sabar manakala emosi memuncak
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni berwudhu.
Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.

Berakit-rakit ke Hulu

Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.
Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insya Allah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jumat di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses, dan seterusnya. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang
mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun, bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka.”
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits “Rabbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan
pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). (Q.S. Al-Furqan: 74)

Seberapa Besar Sih Kekuatan Doa?

Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi.” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)

Sejak Kapan Kita Mendoakan Anak Kita?

Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ

“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak, niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya.” Hadits riwayat Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mencontohkan,

زَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih.” (Q.S. ash-Shâffât: 100).
Nabi Zakariya ‘alaihis salam juga demikian,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Q.S. Ali Imran: 38).
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara azan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya. Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, Hati-hati!

Doa orang tua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”
“Ya” sahutnya.
“Engkau sendiri yang merusak anakmu,” pungkas sang Imam.


***

_______________________________________
Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
[1] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr
(V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435)
[2] Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-
I’tiqâd (hal. 183)

Tidak Menggerakan Lidah dalam Bacaan Shalat


Taj Mahal Hall - from WikipediaDi antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.
Allah Ta’ala berfirman,

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

 “… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi. Lihat  Irwa’ hadits no 302)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa shalat itu tidak hanya gerakan saja namun meliputi perkataan, karena yang dimaksud dengan membaca itu adalah menggerakan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
Oleh karena itu para ulama yang melarang orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di dalam hati tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar hal 10)
Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits ini berkualitas shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062)
Mengenai keras bacaan seseorang dalam shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.”
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut. Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143))
Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))


***

____________________________
Rujukan:
-Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, Koreksi Total Ritual Shalat, Pustaka Azzam 1993.
-Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000.
-www.alsofwah.or.id, Tuntunan Shalat Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah.

Jawaban Tuduhan-Tuduhan Buruk Kaum Nasrani dan Orang-Orang Kafir Terhadap Islam (Bag 1)


Membantah syubhat terhadap IslamAlhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memuliakan agama Islam dan umatnya serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. Dan adalah suatu kepastian bahwa umat Islam akan berjaya di bawah naungan al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat.  Walaupun orang-orang kafir dan musyrik membencinya.
Berbagai syubhat dan tuduhan buruk telah banyak dilontarkan oleh orang-orang kafir dan orientalis dari kalangan Nasrani atau Kristen. Dan ikut pula digembar-gemborkan oleh para murtaddin (orang-orang murtad) yang begitu bangga dengan kemurtadannya seperti nampak pada website-website mereka. Mereka melontarkan syubhat baik dengan cara halus dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an dan membawanya kepada makna-makna yang mereka kehendaki ataupun cara kasar dengan cacian dan terang-terangan menjelek-jelekan Islam dan pembawa risalahnya yaitu Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun yang membuat takjub, justru lontaran syubhat-syubhat tersebut bagaikan menggosok emas yang menyebabkan Islam semakin tampak kemilau dan membuka mata orang-orang yang lalai akan keagungannya. Semakin terpatri dalam dada apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32)
Tentu tidak mengherankan jika mereka tidak takut akibat buruk menimpa mereka seandainya mereka menghayati ayat ini. Bagaimana akan takut, bahkan memang mereka tidak beriman terhadap Allah, al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barangkali tidak asing bagi sebagian kita, terutama pengguna internet, forum, milis dan email, bagaimana begitu banyak dan gigih syubhat dan tuduhan buruk terhadap Islam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam oleh orang-orang kafir untuk memalingkan kaum muslimin dari keyakinan agama mereka. Terutama tuduhan buruk terhadap al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah Islam, karena dengan dirusakkannya kehormatan beliau, otomatis batal pula ajaran yang beliau bawa. Di antara syubhat mereka adalah bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad shallallau ‘alaihi wa sallam, beliau dituduh berakhlak bejat,  al-Qur’an banyak memiliki kontradiksi, bertentangan dengan ilmu dan fakta alam serta berbagai tuduhan lainnya.
Berikut ini adalah jawaban-jawaban terhadap berbagai syubhat yang bantahan ini disampaikan oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dari situs Majalah Qiblati. Beliau menjawab berbagai pertanyaan dan tuduhan yang ditujukan kepada Qiblati. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan harap bersabar membacanya karena sangat panjang dimana pada situs aslinya terbagi dalam 7 seri. Ditata ulang seperlunya menyesuaikan format penulisan di blog ini.**

_

Bagian 1

Syubhat: Assalamu’alaikum, syaikh mamduh yang ana muliakan, ana dapat syubhat dari orang Nasrani, kenapa di dalam al-Qur’an ada ayat yang menggunakan kata-kata “KAMI”; orang pertama dalam bentuk jamak bukan tunggal, berarti benarlah Tuhannya orang Nasrani tentang TRINITAS, Tuhan bapak, anak dan roh kudus? Mohon dijawab agar umat Islam mengetahui jawaban syubhat ini. Jazakallahu khairan. +628***541****
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Sesungguhnya, termasuk permasalahan terbesar pada syubhat para pendeta Nasrani yang mereka tanamkan kepada akal para pengikutnya adalah bahwa mereka jahil (bodoh) terhadap bahasa Arab. Lalu mereka menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang mulia kepada bahasa mereka kemudian mengeluarkan hukum jahil mereka berdasarkan bahasa mereka, bukan berdasarkan kekhususan bahasa, dan lisan Arab. Kemudian orang-orang awam Nasrani menukil kebodohan tersebut dari pendeta-pendeta mereka.
Kata [نَحْنُ], nahnu (kami), dalam bahasa Arab tidak harus bermakna lebih dari satu, karena itu adalah bentuk penghormatan menurut bangsa Arab dalam bahasa mereka. Para Raja dan panglima, saat mereka menetapkan keputusan, maka mereka akan menetapkan keputusan tersebut dengan menyebut kata nahnu (kami), padahal dia hanya satu orang. Akan tetapi kata itu digunakan untuk mengungkapkan pengagungan dan kedudukan tinggi. Hal tersebut terus berlangsung hingga hari ini pada sebagian pemimpin bangsa Arab. Oleh karena itu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan al-Qur’an yang mulia, Dia menurunkannya dengan lisan Arab hingga bangsa Arab kala itu tidak pernah memprotes satu kata atau ayat pun, karena mereka tahu maksud dari al-Qur’an yang mulia. Mereka hanya menuduh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan tuduhan-tuduhan, diantaranya adalah tukang sihir atau gila. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani menuduhnya tentang ayat-ayat al-Qur’an, karena pengetahuan mereka bahwa ayat-ayat tersebut sesuai dengan bahasa dan lisan mereka.
Jika bangsa Arab menggunakan lafazh nahnu (kami) karena mengagungkan urusan mereka, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak dengan pengagungan itu dan lebih layak dengannya dari setiap orang. Oleh karena itu, kata nahnu (kami) adalah untuk pengagungan dalam ayat-ayat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada manusia, bukan untuk penggandaan.
Di antara perkara yang menolak kerancuan pemahaman tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal terhadap hak Dzat-Nya secara nyata dan berfirman kepada manusia dengan firmanNya Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2): 163)
Dan firmanNya:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlash (112): 1)
Maka yang demikian itu menunjukkan akan kebatilan keyakinan Trinitas, berbeda dengan klaim mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada mereka.
Oleh karena itu, sesungguhnya saya menasihatkan kepada setiap orang Nasrani yang mencari kebenaran untuk mempelajari kekhususan bahasa dan lisan Bangsa Arab yang mereka itu tidak pernah mengingkari perbedaan bentuk pembicaraan dalam al-Qur’an yang mulia, dimana kadang datang dengan bentuk jamak (plural), dan kadang dalam bentuk mufrad (tunggal). Jika para pembesar yang ahli bahasa, fasih dalam berbicara dan bersya’ir di zaman turunnya al-Qur’an tidak pernah walaupun sekali mengingkari (memprotes) macam-macam penggunaan bentuk pembicaraan dalam al-Qur`an yang mulia, maka bagaimana mungkin selain mereka, yang bukan bangsa Arab, juga bukan dari kaum muslimin pada zaman ini mengingkari ragam bentuk pembicaraan al-Qur’an yang mulia?!*
_
Syubhat: Assalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Saya pembaca majalah Qiblati dan rubrik yang paling saya sukai adalah yang berkenaan dengan masalah kristenisasi, berhubung saya juga adalah pengajar kristologi di sebuah tadrib ad-duaat di Makassar yang senantiasa mengirim dai-dainya ke daerah misi di wilayah Timur Indonesia.
Saya sering menerima pertanyaan dari pendeta, khususnya mengenai syubhat-syubhat mereka terhadap al-Qur`an. Sementara ini saya sedang menulis buku menjawab pertanyaan para misionaris mengenai keraguan mereka akan ajaran Islam. Ada satu hal yang belum bisa saya jelaskan yakni mereka mengatakan bahwa dalam al-Qur`an juga terdapat pertentangan ayat. Mereka mencontohkan dalam QS. As-Sajadah: 5
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”
Menurut misionaris ini bertentangan dengan QS.Al-Maarij: 4
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
Dalam ayat 5 QS. As-Sajadah kadar urusan naik ke langit disebutkan sama dengan 1000 tahun sementara dalam ayat 4 QS. Al-Maarij disebutkan 50.000 tahun. Maka bagaimanakah jawabannya? Saftani Muhammad <*******@yahoo.co.id>‎
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu
Pertama, saya sampaikan salam kepada Anda dan para saudara yang bersama Anda atas peran Anda dalam memberikan hidayah kepada manusia dan menghadapi usaha pemurtadan para misionaris. Mudah-mudahan Allah membalas Anda dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya dua ayat tersebut menjelaskan bahwa ukuran sehari di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam.
Macam yang pertama, maka ayat pada surat al-Ma’arij (70) tersebut berbicara tentang kejadian hari kiamat dan kedahsyatannya. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang hari kiamat dan kedahsyatannya, dan apa yang terjadi padanya dari kejadian-kejadian besar, dan tanda-tanda kekuasaan yang jelas. Termasuk bagian dari kedahsyatannya adalah panjangnya hari tersebut yang menyamai lima puluh ribu tahun dari tahun dunia. Dan ayat tersebut adalah ayat keempat dari surat al-Ma’arij (70), dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ (١) لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (٢) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ (٣) تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا (٥) إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (٦) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (٧) يَوْمَ تَكُونُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ (٨) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ (٩) وَلا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا (١٠

“Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa, orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya,..” (QS. Al-Ma’arij: 1-10)
Dan yang menunjukkan atasnya adalah hadits Abu Hurairah Radiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

« مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ »

“Tidak ada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan darinya haknya, kecuali jika pada hari kiamat akan dilempengkan untuknya lempengan-lempengan dari api neraka, lalu dia dipanggang di atas api neraka Jahannam, kemudian dicoskan ke lambungnya, kening dan punggungnya. Setiap kali menjadi dingin, maka dikembalikan lagi, pada satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun. Hingga diputuskan antara para hamba lalu dia melihat jalannya, apakah ke sorga ataukah ke neraka.” (HR. Muslim (987))
Ibnu ‘Abbas Radiallahu Anhuma berkata, ‘Ini adalah hari kiamat, Allah menjadikannya atas orang-orang kafir seukuran lima puluh ribu tahun.’ (Diriwayatkan at-Thobariy di Jami’ul Bayan (23/602))
Macam yang kedua; yaitu ayat-ayat yang tidak berbicara tentang panjangnya hari kiamat, akan tetapi berbicara tentang panjangnya hari-hari yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ukurannya dibandingkan dengan hari-hari dunia yang kita menghitungnya adalah hari-hari yang Allah mengadakan makhluk dan mengaturnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa satu hari disisi-Nya setara dengan seribu tahun dari hari-hari kita ini. Hal itu juga datang dalam surat al-Hajj (22), pada ayat ke 47, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Juga datang pada surat as-Sajdah (32), pada ayat kelima, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

دَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ – ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah (32): 5-6)
Dan tampak dengan jelas pada bentuk kedua ayat tersebut bahwa pembicaraan di dalamnya adalah tentang hari-hari Allah yang di dalamnya terdapat penciptaan dan pengaturan-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifatinya dengan menyatakan bahwa ukurannya mencapai seribu tahun dari hari-hari dunia.
Dengan ini, menjadi jelaslah kedua macam bentuk yang lalu dari ayat-ayat tersebut hanyalah berbicara tentang hari-hari yang berbeda, bukan hari-hari yang satu. Maka hari yang ada pada ayat al-Ma’arij (70) adalah hari pada hari kiamat, dan ukurannya adalah lima puluh ribu tahun, adapun hari pada dua ayat surat al-Hajj (22) dan as-Sajdah (32) adalah hari di sisi Allah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurusi berbagai perkara di dalamnya, dan ukurannya adalah seribu tahun.
Dari sini jelas, bahwa tidak ditemukan kontradiksi di antara ayat-ayat tersebut, akan tetapi kontradiksi itu ada pada akal-akal para pendeta Nasrani yang menyangka bahwa al-Qur’an yang mulia seperti kitab-kitab suci mereka yang harus ada kontradiksi sebagian terhadap sebagian yang lain.*
_
Syubhat: Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya adakah hukum di kristen tentang larangan makan babi, saya pernah dengar katannya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan kristen, dia selalu tanya “kenapa kalian tidak boleh makan babi”. Dan “katanya nabimu dulu senang makan babi sehinga kalian sekarang gak boleh makan,” mohon bantu jawab fitnah ini… wassalamu ‘alaikum. wr. wb. (IVAN, Batam)
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan itu najis, tidak halal bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145)
Tidak disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain firman-Nya: “Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157)
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang penemuan-penemuan modern yang menemukan bahwa pada babi terdapat faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan. Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi (T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa mematikan.] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging manusia dengan bentuk yang kedokteran hingga hari ini belum mampu membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine [footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi. Diketahui bahwa Babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit: 1. influenza (flu babi) 2. Balantidium Dysentery 3. Fasciolopsis Buski 4. Taenia Solium (cacing pita) 5. Ascaris (ular perut) 6. Trichinella Spiralis 7. Zoonoses], dari sini tampaklah hikmah pengharaman daging babi dalam Islam.
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan pengharaman, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan penyakit ini pada babi akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan bahwa pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa terdapat madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia, maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah kedustaan yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya babi ini:
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.’
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.”
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8) Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you.  And the swine, though he divide the hoof, and be clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are unclean to you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan pada edisi Terjemahan Resmi: ‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8)
Terjemahan inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: ‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*
_
Syubhat: Qiblati memang “HEBAT” tolong kupas tuntas agama NASRANI biar dia gak nyari-nyari kelemahan agama kita dan kasih kisah muallaf. Maju terus pantang mundur..!! Faturahman, Madinah
Jawab: Kami berterima kasih kepada Anda atas nasihat ini, dan kami berada di atas jalan kami untuk merealisasikan permintaan tersebut Insya Allah, bersamaan dengan kebutuhan kami terhadap do’a Anda agar Allah memudahkan kepentingan kita ini, sebagaimana kita tidak lupa untuk berdo’a kepada orang Nasrani agar mendapatkan hidayah. Kita sangat berambisi atas hidayah mereka. Kami adalah pembawa rahmat bagi para hamba-Nya, dan kami mendakwahi manusia dengan cara yang terbaik, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita. [*]

_

Bagian 2

Syubhat: Mengapa shalat pada agama Anda dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham kecuali bahasa Arab?
Jawab: Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui jawabannya. Anda harus mengetahui bahwa menurut kaum muslimin, di dalam shalat terdapat tiga perkara:
Pertama, membaca al-Qur’an, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan saya jelaskan nanti sebabnya apa.
Kedua, lafazh-lafazh dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat tauqifiy (paten), tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.
Ketiga, do’a, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau tidak hafal doa yang berhasa Arab) untuk berdo’a dengan bahasanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memahami seluruh bahasa. Dialah yang menciptakannya dan Dialah yang mengadakannya (tetapi tetap diajurkan untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang ada dalam al-Quran dan Sunnah).
Dari sini kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun dalam do’a di dalam shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui bahasa Arab. Ada pun membaca al-Qur`an, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, sama saja apakah di dalam shalat atau pun di luar shalat, karena sebab berikut:
1. Karena al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak boleh bagi kami untuk mengubah atau mengganti firman itu walaupun satu huruf.
2. Karena membaca setiap huruf al-Qur`an adalah bernilai satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya al-Qur`an diterjemahkan, maka pastilah jumlahnya akan bertambah atau berkurang.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya (al-Qur’an) dari penggantian dan perubahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bagi setiap orang untuk membaca al-Qur’an dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal itu akan menjadikan perubahan al-Qur’an seperti yang terjadi pada Taurat dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga al-Qur’an dari pengubahan dengan bahasa Arab.
4. Bolehnya membaca al-Qur’an dengan sejumlah bahasa itu akan membawa kepada kerancuan besar dalam makna al-Qur’an, karena manusia akan berbeda dalam menerjemahkan. Masing-masing orang akan mengklaim bahwa terjemahannyalah yang benar, yang kemudian terpecahbelahlah kaum muslimin.
Terakhir, saya ingin Anda memahami bahwa asal syubhat ini adalah kedengkian yang disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani  terhadap keunggulan bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin di negeri Andalusia, mereka mendirikan satu peradaban yang menyinari seluruh negeri Eropa, dan menyebarkan agama Islam serta bahasa Arab di antara putra-putra Andalus. Bersamaan dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar orang-orang awam di Eropa kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di Universitas Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum muslimin yang telah menyalakan lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu dan karya-karya mereka.
Adalah para pemuda dan pencari ilmu serta orang-orang terpelajar di Eropa melahap bahasa Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa penakluk yang dengan kekuatan pedangnya menguasai pendidikan, akan tetapi karena bahasa itu adalah bahasa peradaban yang tegak, maka tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya kecuali dengan menguasainya.
Bahkan Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Orang-orang Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa membacanya. Sebagaimana  Bapa Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa itu melihat kepada para pemuda Eropa yang keluar dengan diam-diam dari peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya meletakkan kepalanya di antara dua tapak tangannya, seperti orang-orang lain yang fanatik terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan perjalanan peradaban. Dia menulis:
“Sesungguhnya orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait sya’ir Arab dan periwayatan mereka. Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan filosof Arab. Bukan dengan tujuan untuk mendebat mereka, akan tetapi untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan anggun. Di manakah orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan bahasa Latin? Atau mempelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci? Duhai ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca buku-buku berbahaa Arab, dan mempelajarinya dengan penuh semangat. Mereka mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak menghargai pendidikan keNasranian yang keberadannya sudah tidak layak untuk dipentingkan. Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa, hingga kepada bahasa mereka sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan sulit mendapatkan satu orang saja yang bisa menulis surat kepada temannya dengan bahasa latin.” (Tarikh Andalus (123))
Ya, orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai orang-orang Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila dibandingkan dengan orang yang mengesakan Allah dan masuk Islam telah memilih bahasa Arab yang tidak diwajibkan atas mereka. Inilah yang diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di atas.
Sekarang, marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam mempergauli selain muslim dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Katolik saat Granada jatuh, dimana mereka mengharamkan kaum muslimin untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu mereka mewajibkan bahasa mereka dengan paksa. Barangsiapa ditemukan membawa buku berbahasa Arab, maka dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka pun membakar ribuan buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama), termasuk ilmu duniawi.
Ini semua menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan perbedaan Islam dengan Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber kebencian terhadap bahasa Arab?*
_
Syubhat: Anda mengklaim bahwa ajaran Islam yang pokok adalah “Tauhid.”  Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah dan hanya kepada Dialah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan” (QS.1 Al-Fatihah 5).  Apakah kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai dengan konsep Tauhid?
Jawab: Ya, sesuai dengan konsep tauhid. Karena berkumpulnya kaum muslimin di sekitar satu rumah yaitu Baitullah, dan menghadapnya mereka dengan satu kiblat yang sama yaitu Ka’bah, dan bacaan mereka hanya kepada satu kitab yaitu al-Qur’an, semua itu turut andil dalam menjaga persatuan kaum muslimin agar tidak terpecah belah dan berselisih.
Ka’bah tidak lain hanyalah kiblat, yang kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat mereka atas perintah Allah. Itu seperti pandangan persatuan mereka, serta kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya, serta thawaf di sekitarnya adalah demi menjalankan perintah Allah. Kaum Muslimin mengetahui bahwa itu hanyalah batu, yang tidak mendatangkan madharat, tidak juga memberi manfaat, akan tetapi kaum muslimin melaksanakan perintah Allah sekalipun belum mengetahui hikmah di belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari “hanya beribadah kepada Allah pencipta alam semesta”.
Tidaklah Islam itu mengajak kecuali hanya menyembah, beribadah dan taat kepada Allah saja, serta mencabut segala peribadatan kepada selain-Nya, manusia atau pun batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*
_
Syubhat: Sesungguhnya saya tidak mendapatkan seseorang dari para ulama dan da’i kaum muslimin yang kami temui di Perancis yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak menyulitkan mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal aslinya adalah anggur yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka selalu berputar sekitar perubahan kondisi anggur, karena dengan menjadikannya khomer, maka itu memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin filsafat tersebut, saya ingin mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam rincian; bagaimana sesuatu yang diturunkan dari anggur atau apel bisa menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi Anda untuk menjawab kami? (Marcell, Perancis)
Jawab: Pertama, izinkanlah saya untuk menghaturkan terima kasih kepada setiap ulama dan para da’i yang telah menjawab Anda. Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas mereka dengan kebaikan. Ada pun berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka janganlah Anda menyangka bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu adalah pengaburan yang dilakukan oleh syetan kepada Anda. Dari jawaban saya, Anda akan yakin dengan kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab, saya katakan bahwa dengan logika aneh seperti itu, yang Anda ingin memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan mengalami kekalahan dalam pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk berani mengakui kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda ingin memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu adalah dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat saya jawab dengan logika yang sama, maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya pernikahan bapak-bapak dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini menjadi semakin kuat atas kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi Anda.* [Alhilyahblog: Iyas bin Mu'awiyah al-Muzzani dengan kecerdasannya juga pernah menjawab pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan ini]
_
Syubhat: Mengapa saat kaum muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya orang-orang Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir orang-orang Yahudi, Muhammad -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari Baitul Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?
Jawab: Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah kiblat untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk menolak masuk Islam, dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan mereka bahwa pengarahan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang yang bersamanya ke kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan kiblat mereka adalah kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka untuk masuk Islam.
Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin bangsa Arab yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk mengagungkan Baitul Haram dan menjadikannya sebagai Ka’bah dan kiblat mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit saat mereka mendengar dari orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan perkara ini dan menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang diridhai-Nya. Kemudian turunlah al-Qur’an mengabulkan apa yang ada di dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu dengan firman-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ketika kaum muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan menyempurnakan shalat mereka ke arah kiblat yang baru.
Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau dari kiblat mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan kebanggaan mereka kepadanya.
Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada kaum muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya kiblat dari Ka’bah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini adalah sebuah kejadian besar di hati mereka dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas siapa yang mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan siapa yang membelot. Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka. Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan, maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah baitul haram yang kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah masjidil Aqsha, demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi tampak siapa yang mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas dan siapa yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.
Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pasrahlah kaum muslimin dan menghadap ke arah kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.*

_

Bagian 3

Syubhat: Mengapa kaum muslimin menyembah batu hitam (hajar aswad), dan ini jelas dari perbuatan mereka yang selalu menciuminya dan sujud ke arahnya.
Jawab: Sesungguhnya pertanyaan Anda tersebut adalah bukti nyata bagi penipuan dan pembodohan yang dilakukan oleh sebagian pendeta, karena kaum muslimin tidak sujud kepada hajar aswad, dan tidak pula menyembahnya. Jadi, darimana para pendeta yang menyimpang itu mendapatkan pemahaman yang salah ini? Jawabannya tidak lepas dari dua kemungkinan: bisa jadi mereka itu adalah orang-orang yang bodoh terhadap agama Islam, kemudian mereka tularkan kebodohan mereka kepada Anda; atau bisa jadi mereka sengaja berdusta dan menipu demi menolong kebatilan mereka agar Anda tetap berada di atas agama mereka, meskipun dengan cara dusta.
Sesungguhnya hajar aswad adalah dari bebatuan sorga. Saat Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintah Ibrahim ‘Alaihi Sallam untuk membangun Ka’bah, maka dia pun bergegas untuk meninggikan pondasi bangunan Ka’bah. Kemudian Ibrahim ‘Alaihi Sallam meminta putranya, Isma’il ‘Alaihi Sallam mencarikan sebuah batu yang nantinya akan menjadi tanda awal thawaf. Maka saat Isma’il mulai mencari, dia tidak menemukan. Lalu dia kembali kepada ayahandanya tanpa membawa batu. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan bersama Jibril ‘Alaihi Sallam sebuah batu dari sorga yang sekarang berada pada tempatnya hingga hari ini.
Hajar aswad terdapat di rukun (pojok Ka’bah) sebelah selatan timur di bagian luar Ka’bah. Keberadaannya sebagai tanda dimulai dan berakhirnya sebuah putaran thawaf, dan dengannyalah putaran thawaf menjadi sempurna.
Kaum muslimin saat mencium hajar aswad, mereka melakukannya hanya karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah memerintahkan kita untuk mencontoh manasik hajinya, bukan karena menyembah hajar aswad, dan tidak pula sujud kepadanya, sebagaimana Anda klaim. Kaum muslimin tidak menjadikan satu perantara pun antara mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mereka tidak beranggapan bahwa ada sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk mendatangkan madharat (bahaya) dan manfaat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menafikan (menolak) adanya kekuasaan makhluk apa pun, sebagaimana mereka beranggapan bahwa hubungan ibadah antara makhluk dan sang Pencipta adalah hubungan langsung tanpa perantara. Dan bahwa para hamba tidak membutuhkan perantara yang bisa memberikan pertolongan hingga mereka menuju dan mendekat kepadanya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan mereka mengaggapnya sebagai perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah)  yang mengeluarkannya dari agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa segenap ibadah, tidak boleh diarahkan atau ditujukan kepada makhluk mana pun, apakah makhluk itu seorang malaikat yang dekat kepada Allah, atau seorang Nabi yang diutus oleh Allah, lebih-lebih lagi sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat dan memberikan manfaat.
Sesungguhnya mencium hajar aswad bukanlah  sebuah syarat, tidak pula sebuah kewajiban atas kaum muslimin. Cukuplah Anda ketahui bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, termasuk murid utama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat dia thawaf di sekitar Ka’bah dan datang pada hajar aswad, dia berkata,

إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكِ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalau sebuah batu yang tidak bisa mendatangkan madharat, dan tidak bisa memberikan manfaat, seandainya saja aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu.”
Sesungguhnya perkataan khalifah ini adalah sebuah ketetapan yang menguatkan sebuah aqidah (keyakinan) yang sangat penting, yaitu bahwa kami tidak menyembah batu dan kami tidak menyentuhnya agar mengangkat madharat atau memberikan manfaat, tidak juga berdo’a memohon kepadanya. Akan tetapi kami menciumnya hanya karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menciumnya. Ini adalah sebuah penjelasan dari Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu kepada umat Islam, serta sebagai pelajaran sekaligus nasihat yang dalam dari pelajaran aqidah yang shahih, dan sebagai bentuk ittiba’ (mengikut) Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.*
_
Syubhat: Apakah bisa kami fahami, bahwa kaum muslimin dengan shalat mereka menghadap ke Ka’bah, berarti mereka itu menyembah Ka’bah selain Allah? Apakah Ka’bah itu adalah rumah Allah? Apakah kalian berkeyakinan bahwa Allah bertempat tinggal di dalam sebuah rumah di Makkah?
Jawab: Dulunya, kami berharap agar ada salah seorang pendeta yang mau ikut dalam dialog damai ini di majalah Qiblati, daripada mereka menanamkan tipu muslihat atas agama Islam ini kepada akal Anda. Namun biar bagaimana pun, saya akan menjawab Anda. Saya katakan: sesungguhnya Ka’bah tidaklah disembah selain Allah, akan tetapi kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat dan thawaf mengelilinginya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan mereka untuk melakuklan yang demikian. Maka kaum muslimin, dengan perbuatan tersebut adalah sekedar mentaati perintah Rabb (TUHAN) mereka, bukan menyembah Ka’bah. Inilah ibadah yang benar, yaitu mentaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu, jika ada seorang muadzdzin (tukang adzan) ingin adzan, maka dia menaiki Ka’bah dengan kedua kakinya, kemudian mengeraskan suara adzan di atas atap Ka’bah. Maka apakah bisa diterima oleh akal, bahwa sesuatu yang disembah kemudian dinaiki/diinjak dengan kedua kakinya?!!
Kemudian, istilah baitullah (rumah Allah) tidaklah mesti bermakna bahwa Allah bertempat tinggal di dalamnya, karena setiap masjid  di manapun berada di dunia ini adalah disebut baitullah (rumah-rumah Allah). Dinamakan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala disembah di dalamnya, bukan karena Allah tinggal di dalamnya. Bahkan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kehormatan darah seorang muslim lebih agung di sisi-Nya daripada kehormatan Ka’bah yang dimuliankan oleh Allah. Suatu hari, Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah melihat ke Ka’bah seraya berkata, ‘Betapa agungnya engkau, betapa agungnya kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya daripadamu.’ (HR. at-Turmudzi (1955), Shahih at-Turmudzi (2032))
Tidaklah kehormatan darah dalam syariat Islam terbatas atas pemeluk Islam saja, tetpi juga berlaku bagi non muslim.  Allah telah menjadikan Islam menjaga darah, sebagaimana ia juga menjaga harta dan kehormatan. Di antara orang-orang yang aman darah mereka (tidak boleh diganggu) adalah orang-orang yang datang ke negeri Islam, maka mereka masuk di bawah perjanjian dengan kaum muslimin dan suaka mereka. Jadi mereka adalah orang-orang yang terlindung darah mereka. Hal ini ditetapkan berdasarkan teks-teks syariat dan kesepakatan umat Islam.*
_
Syubhat: Telah lewat bahwa Anda telah mengatakan pada salah satu jawaban Anda terhadap Surat Wanita Nasrani, bahwa anjing adalah najis, dan bahwa malaikat tidak mau turun dengan kehadiran anjing. Ini adalah ucapan dari Anda tanpa dalil akal (logika) yang bisa menjadikan non muslim puas dengannya. Kami tidak menginginkan sebuah dalil pun dari al-Qur’an, atau ucapan Nabi Anda, karena kami tidak mengakuinya. Akan tetapi kami menginginkan dalil penafian keberkahan dari anjing, dan ini adalah mustahil, karena anjing adalah hewan yang diciptakan oleh Allah, jadi dia itu diberkahi. Kami pun juga bisa mengatakan bahwa domba-domba yang Anda pelihara adalah hewan-hewan najis, dan tidak diberkahi. Akan tetapi kami berkeyakinan bahwa anjing dan kambing memiliki manfaat besar terhadap manusia, dan Allah telah menjadikannya diberkahi agar seluruh manusia bisa mengambil faidah darinya. Saya mohon Anda menetapkan ucapan Anda dengan logika, jika tidak, maka ucapan Anda tidak ada gunanya bagi kami.
Jawab: Sesungguhnya saat saya menjawab dari al-Qur’an dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penyebabnya adalah karena penanya yang Nasrani tersebut menuduh kaum muslimin bahwa para malaikat lari dari anjing (takut anjing). Maka untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan tersebut saya haruslah berdalil dengan al-Qur’an dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun berkaitan dengan permintaan Anda akan sebuah dalil logika akan kenajisan anjing dan tidak adanya keberkahan padanya, maka saya jawab sebagai berikut:
Berkenaan dengan kenajisan anjing, maka tidak membutuhkan dalil logika. Ilmu modern telah membuktikan bahwa anjing membawa penyakit dalam. Dimana dia membawa lima puluh virus. Dan kebanyakan ditemukan di air liurnya. Sebagaimana telah ditetapkan oleh ilmu modern bahwa air liur anjing berbeda dengan air liur hewan lain. Anda bisa dengan mudah mengecek kebenaran pernyataan ini, karena hal itu telah masyhur dan diketahui oleh para ilmuwan Nasrani dan selain mereka.
Adapun klaim Anda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan keberkahan pada anjing, maka ini adalah sebuah ucapan tanpa bukti (dan berkata atas nama Allah secara dusta). Maka di sini saya yang meminta Anda untuk mendatangkan dalil logika untuk menetapkan kebenaran klaim Anda. Saya yakin, Anda tidak akan bisa  menetapkannya, dan saya akan menetapkan tidak adanya keberkahan pada anjing sepanjang Anda bertanya kepada saya.
Pertama, bukanlah menjadi sebuah syarat bahwa setiap makhluk yang dicipatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diberkahi. Jika tidak demikian, maka syaitan yang terkutuk pun adalah makhluk ciptaan Allah, dan sungguh mustahil dia diberkahi.
Adapun tercapainya keberkahan bagi anjing, maka saya akan membuat perumpamaan yang terdiri dari sejumlah pertanyaan, dan jawabannya akan menghantarkan Anda kepada kebenaran masalah ini:
Berapa kali anjing hamil dalam setahun? Yang dikenal adalah dia hamil 3 hingga 4 kali.
Berapa kali kambing hamil dalam setahun? Yang diketahui adalah sekali atau dua kali.
Berapa anjing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah sekitar enam hingga delapan anjing.
Berapa kambing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah satu, dan jarang sekali dua.
Maka kita akan menemukan dengan bahasan angka bahwa anjing lebih banyak perkembangbiakannya daripada kambing. Akan tetapi kenyataannya bahwa jumlah kambing jauh lebih banyak daripada jumlah anjing.
Saya bertanya kepada Anda, mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya jawabannya adalah karena sebab keberkahan yang dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada kambing-kambing. Dan tidak menjadikannya pada anjing. Disini lah saya berjanji dan meminta kepada setiap muslim dan muslimah yang membaca ucapan ini untuk berkata Allahu Akbar.
Saya juga ingin Anda mengetahui perkara penting lain, yaitu bahwa kami bisa mengambil manfaat dari segala sesuatu yang berasal dari kambing; kulit, daging, tulang, dan tanduknya, (bahkan juga kotorannya untuk pupuk). Adapun anjing, maka jika dia mati maka tidak bisa diambil darinya sesuatu pun. Sebagaimana Anda juga jangan lupa bahwa setiap Nabi adalah penggembala kambing (bukan pemelihara anjing). Akan tetapi mustahil bagi seseorang untuk berbangga, apapun agamanya, bahwa dia adalah seorang penggembala anjing.
Saya berharap Anda tidak fanatik kepada anjing, setelah saya menjawab Anda akan najisnya anjing dengan dalil logika yang Anda inginkan, serta ketidak berkahannya. Dan kambinglah yang membawa keberkahan. Dan terima kasih bagi Anda.
_
Syubhat: Anda kaum muslimin menolak ilmu modern, dan ini jelas dengan penafian kalian akan berputarnya bumi.
Jawab: Syubhat ini menunjukkan akan kelemahan Anda yang amat sangat. Ketika Anda tidak menemukan sesuatu pun yang bisa Anda pegang untuk mengalahkan kaum muslimin, maka Anda pun mencari-cari pada catatan kuno Anda, barangkali Anda mendapatkan sesuatu yang merugikan kami. Biar bagaimanapun, permasalahan rotasi bumi bukanlah termasuk ilmu syar’i. Akan tetapi itu adalah permasalahan ilmu dunia. Sebagian besar agama, termasuk diantaranya adalah Nasrani, semuanya menafikan rotasi bumi, sebagai bentuk tertinggalnya keilmuan ratusan tahun lalu yang manusia hidup di dalamnya, bila dibandingkan dengan keadaan kita pada hari ini. Bahkan Bibel telah pergi lebih jauh dari hal tersebut. Bibel bahkan menganggap bahwa bumi ini persegi empat, dan ini adalah ucapan yang lebih buruk dari penafian rotasi bumi. Disebutkan dalam (Yehezkiel 7: 2),

 حزقيال 7 : 2 (قَدْ جَاءَتِ النِّهَايَةُ عَلَى زَوَايَا الأَرْضِ الأَرْبَعِ)
  akhirnya bisa datang ke empat penjuru (pojok) bumi.”
Agar saya bersikap obyektif dan amanah, maka dalam jawaban ini saya juga katakan bahwa ada sebagian ulama muslim yang menafikan rotasi bumi karena keyakinan mereka bawa bumi ini datar, bukan bulat. Kemudian setelah mereka, datanglah sejumlah penuntut ilmu yang taklid kepada mereka dan menukil dari mereka tanpa pemahaman. Akan tetapi wajib bagi kita untuk perhatian terhadap satu perkara penting, yaitu bahwa terdapat satu perbedaan besar antara pemahaman yang salah dengan penyebutan Bibel bahwa bumi ini persegi empat. Dan sebaliknya kita temukan bahwa al-Qur’an telah mensifati bumi dengan bentuk bola.
Setelah kemajuan ilmu yang dialami oleh manusia, maka pandangan ilmiah pun berubah pada mayoritas muslim dan Nasrani serta selain mereka. Kemudian mereka pun berkeyakinan akan rotasi bumi. Kemudian tetap tersisa sejumlah kecil dari seluruh agama yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya yang lahir dari para pendahulunya, yaitu bahwa bumi tidak berotasi. Ini adalah buah dari kekurangan besar dalam memahami masalah rotasi bumi. Mereka menyangka dengan pemikiran sederhana bahwa rotasi bumi tidak bisa dirasakan. Sebagaimana mereka menyangka bahwa seandainya terjadi rotasi bumi, maka termasuk perkara yang mustahil kita bisa tetap tegak di permukaannya. Ini adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan ketiadaan penguasaan teori ilmiah dan ilmu falak.
Yang wajib Anda fahami adalah bahwa al-Qur’an tidak menafikan rotasi bumi. Lihatlah apa yang dikatakan oleh salah satu ulama besar kaum muslimin zaman ini, yaitu Syaikh al-Albani rahimahullah. Dia berkata, ‘Kami, pada dasarnya tidak meragukan bahwa masalah rotasi bumi adalah sebuah hakikat ilmiah yang tidak menerima perdebatan. Pada waktu yang kita berkeyakinan bahwa bukan termasuk profesi syariat secara umum dan al-Qur’an secara khusus berbicara tentang ilmu falak, dan rincian ilmu falak… (Kaset no. I/497)
Perlu diketahui bahwa ahli falak kaum muslimin, dulu adalah orang yang pertama kali menetapkan rotasi bumi beratus tahun yang lalu, kemudian diikuti oleh sejumlah ulama syariat.
Sekalipun masalah rotasi bumi ini bukan masalah aqidah, tetapi terdapat sebagian ulama Islam yang menafikan rotasi bumi dan banyak juga ulama kaum muslimin yang mengatakan rotasi bumi. Dari sinilah kami memahami bahwa syubhat tersebut tidak memiliki nilai sama sekali dalam dialog antara kami dengan Anda. Terutama bahwa saya termasuk orang yang menetapkan rotasi bumi. Boleh bagi Anda untuk melihat kembali pada pembahasan saya dalam majalah ini dari edisi 11 tahun II hingga edisi 09 tahun III. Dan sesungguhnya orang yang menafikan rotasi bumi tidak akan masuk neraka sebagaimana orang yang menetapkan rotasi bumi juga tidak masuk sorga (karenanya). Maka barangsiapa mati di atas keyakinan ini atau itu, maka dia tidak akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. Oleh karena itulah, kami menginginkan agar dialog diantara kita adalah dalam permasalahan aqidah agama yang keyakinan terhadapnya bisa menghantarkan ke sorga atau berakibat neraka.
Sebagai penutup, saya selalu menyambut Anda sebagai seorang tamu di majalah Qiblati, termasuk seluruh pembaca Nasrani. Anda sekalian memiliki hak untuk bertanya sesuka Anda, maka hati kami terbuka untuk semuanya.*
_

Bagian 4

Terima kasih atas jawaban Syeikh Mamduh  dalam edisi Nopember 2010 mengenai “jawaban syubhat kristiani dan syiah.” Selanjutnya saya masih butuh penjelasan atas dua hal yang sering dituduhkan oleh umat kristiani terhadap Al-Quran yang mulia. Saya memperoleh pertanyaan dari misionaris mengenai Al-Quran:
Syubhat (1): Penyebutan Maryam ibu Yesus sebagai saudara perempuan Harun dan anak kandung Imran (QS.19:28) [footnote: Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

  يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا

 "Hai saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam: 28)]
Mereka menganggap Allah Subhanahu wa Ta’ala mengira Maryam saudara perempuan Musa dan Harun yang adalah anak Imran. Padahal antara keduanya ada selisih waktu sekitar 1400 tahun. Mengapa Maryam disebut saudara perempuan Harun? Menurut misionaris, ini adalah kesalahan penulisan Sejarah dalam al-Qur’an.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya orang-orang yang membuat keragu-raguan tentang al-Qur’an tidak mengetahui kalau penyebutan ukhtu Harun (saudari Harun) bukanlah penamaan pertama kali oleh al-Qur’an, melainkan al-Qur’an hanya mengisahkan apa yang pernah terjadi, yaitu apa yang dikatakan oleh kaum Maryam kepadanya, dan panggilan yang mereka lontarkan kepadanya saat dia mengandung ‘Isa ‘Alaihi Sallam. Mereka mengingkari kehamilan tersebut, lalu menuduh kehormatan, kemuliaan, dan kesuciannya. Maka mereka berbicara dengannya dengan panggilan ya ukhta Harun (Wahai saudari Harun), maksudnya adalah ‘Engkau dari keluarga baik-baik, suci, lagi dikenal keshalihan, ibadah dan kezuhudannya, maka bagaimana hal ini bisa terjadi pada dirimu?’
Sekalipun telah pasti bahwa orang-orang Yahudi berbicara dengannya dengan panggilan wahai saudari Harun, tetapi para ulama ahli tafsir telah berselisih pendapat akan penentuan pribadi tersebut. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia adalah Nabi Harun, saudara Musa ‘Alaihi Sallam. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia adalah seorang laki-laki shalih dari kaumnya pada masa itu di mana Maryam ‘Alaiha Salam mencontohnya dan menyerupainya dalam kezuhudan, ketaatan, dan ibadah. Maka dia pun dinisbatkan kepadanya. Maka jadilah maksud mereka dalam pembicaraan itu adalah, ‘Wahai orang yang serupa, dan meniru laki-laki shalih itu, tidaklah ayahmu seorang keji, tidak juga ibumu seorang pelacur, maka darimana anak di perutmu itu?’
Perlu diketahui pula bahwa kala itu banyak tersebar nama Harun di tengah Bani Israil hingga hari ini.
Apakah yang dimaksud itu adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam atau Harun lain yaitu seorang shalih kala itu, maka bagi kami hal ini tidak penting, karena al-Qur’an hanyalah menceritakan dan menukil apa yang terjadi kala itu.
Jika kita mengambil kemungkinan pertama, yaitu bahwa yang dimaksud adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam, maka yang dimaksud oleh orang-orang Yahudi adalah bahwa dia termasuk dari keturunannya. Kemudian saya akan membuat satu contoh dari Bibel. Dan itu adalah sebuah pukulan menyakitkan bagi para pembuat keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut, sebuah pukulan telak yang membantah syubhat tersebut.
Bibel telah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi menyebut Yesus dengan Putra Dawud: “Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” (Matius (9:27))
Maka apakah Yesus benar-benar Anak Dawud? Tentu saja tidak, lalu  mengapa ucapan mereka ini tidak diingkari dengan mengatakan ini adalah kesalahan penulisan sejarah dalam Bibel?!!
Sekarang, terjerumuslah orang-orang bodoh itu ke dalam kuburan yang mereka gali, jatuh ke dalam keburukan amal-amal mereka. Dengan logika sama yang mereka inginkan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an yang mulia karena mengisahkan sebutan ucapan Yahudi ‘Wahai saudari Harun’, maka kita temukan bahwa Bibel menyebut Yesus dengan sebutan Putra Dawud!!
Sesungguhnya kita merasa malu untuk menuduh penyimpangan Bibel dengan sebab ini, karena Bibel telah pasti penyimpangannya dengan dalil yang lebih besar dan terang benderang. Cukuplah dengan banyaknya ragam Bibel, perselisihan dan pertentangannya sebagai bukti. Sementara mereka tidak malu menuduh al-Qur’an salah menulis sejarah hanya dengan syubhat yang tertolak ini. Ini adalah sebuah bukti akan kelemahan mereka dalam menetapkan penyimpangan al-Qur’an.
Di sini kami bertanya kepada orang-orang yang meragukan keabsahan al-Qur’an yang mulia, ‘Bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara jarak antara dia dan Dawud ‘Alaihi Salam lebih dari jarak antara Maryam dan Harun’Alaihi Salam? Bahkan bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, sementara dia datang dari jalan Roh Kudus?!!
Sesungguhnya perkara yang wajib diketahui oleh para pembuat keraguan terhadap al-Qur’an tersebut bahwa penisbatan seorang manusia kepada manusia lain yang memiliki kedudukan di antara kaumnya (seperti Dawud) adalah dalam rangka pemuliaan. Oleh karena itulah kita temukan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku adalah seorang Nabi, tidak ada kedustaan, aku adalah Putra Abdul Muthallib.’ Padahal beliau adalah Muhammad Putra ‘Abdullah Putra ‘Abdul Muththallib. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuliakan nasabnya kepada kakeknya.
Sesungguhnya saya mampu untuk membuat keragu-raguan pada akal orang-orang Nasrani  yang awam, dan menyesatkan mereka dengan kedustaan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pendeta terhadap orang-orang awam kaum mulimin. Kemudian saya klaim bahwa Bibel telah menguatkan al-Qur’an yang menyebut Maryam sebagai Saudari Harun. Telah disebutkan dalam Keluaran (15:20-21): “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.”
Akan tetapi karena saya percaya diri dan beriman bahwa jalan hidayah dan jalan sorga tidak akan ada kecuali dengan keikhlasan dan kejujuran bersama Allah, oleh karenanya saya tidak berdalil akan penyimpangan Bibel dengan dalil ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang suka mempermainkan ayat. Karena Maryam yang dimaksud di situ bukanlah Maryam Ibu Isa ‘Alaihi Sallam.
Saya berangan-angan, daripada sibuk menafikan persaudaraan antara Maryam dan Harun, hendaknya para pendeta itu menyibukkan diri mereka dengan menjelaskan sebab yang menjadikan Bibel menulis tuduhan zina terhadap Maryam tanpa memberikan pembelaan dan pensucian. Dan yang wajib mereka lakukan, jika mereka jujur, adalah memuji al-Qur’an dan meninggikan urusannya, karena al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang membela Maryam ‘Alaiha Salam, serta mensucikannya dan mengumumkan kesuciannya, serta meninggikan urusan dan kehormatannya.
Cukuplah al-Qur’an dengan menasabkan al-Masih ‘Alaihi Salam kepada ibunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘al-Masih Putra Maryam’, ‘Isa Putra Maryam’, sementara Bibel telah menasabkan al-Masih kepada Yusuf an-Najjar!!
‘Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Lukas; 4:22)
‘Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yohannes 1:45)
‘Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?’ (Matius 13:55)
Bahkan Bibel menjadikan al-Masih memiliki saudara: ‘Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.’ (Markus 6:3)
Maka Kitab yang manakah yang telah diubah-ubah, al-Qur`an yang mulia ataukah Bibel? Kami menunggu jawabnnya.
_
Syubhat (2): Kontradiksi ayat menurut mereka dalam Al-Quran seperti dalam hal berapa hari penciptaan Jagad Raya?Pertama: Bumi dan langit diciptakan dalam 6 masa. Hal ini terdapat dalam surah QS. 7:54 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ  

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf: 54)]
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di atas‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang”. Juga dalam QS.10:3 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

 إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ  

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.(Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam ENAM MASA, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”
Kedua, dalam QS. 41: 9 – 12 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ(10
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ (12

“Katakanlah: “Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Fushshilat: 9-12)] ternyata disebutkan dalam 8 masa (2 + 4 + 2) bukan enam masa,“Katakanlah Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam DUA MASA ……… Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam EMPAT MASA. ……Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam DUA MASA”.
Bagaimana menjelaskan hal ini?
Semoga dapat segera dijawab karena pertanyaan-pertanyaan ini menyebar di berbagai brosur dan literatur kristen berwajah Islam  sebagai upaya mengguncang keyakinan kaum muslimin terhadap al-Quran. Tidak lupa saya ucapkan Terima kasih atas perhatian dan penjelasannya, saya sangat berharap jawaban nantinya dibaca juga oleh umat Kristiani yang senantiasa melontarkan syubhat-syubhat terhadap Al-Quran tanpa ilmu. Sukses untuk MAJALAH QIBLATI.
Jawab: Tidak ada pertentangan dan kontradiksi dalam ayat-ayat tersebut. Pertentangan dan kontradiksi itu hanyalah ada pada akal-akal mereka saja. Dikarenakan empat pada hari-hari yang pertama adalah hasil dari dua ditambah dua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan bumi pertama kali pada dua hari, kemudian menjadikan di dalamnya pasak, yaitu gunung-gunung, kemudian menjadikan keberkahan di dalamnya dari air dan tanam-tanaman. Dan berbagai rizqi yang disimpan di dalamnya dalam dua hari berikutnya, maka jadilah penciptaan bumi dan segala isinya itu dalam empat hari. Maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ

“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fushshilat: 10)
Keempat hari itu adalah hasil dari dua hari pertama dan dua hari yang lain, maka jadilah totalnya empat hari, yaitu memasukkan dua hari yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya:

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (QS. Fushshilat: 9)
Maka tidaklah keempat hari itu berdiri sendiri dari dua hari yang pertama. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dalam dua hari, jadi totalnya adalah enam hari, dengan menambahkan empat dan dua.
Sesungguhnya saya bertanya kepada orang-orang yang membuat keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut, yang ingin menetapkan bahwa al-Qur’an merupakan karya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bodoh tidak tahu bahwa 2+4+2 sama dengan 8? Apakah hilang dari beliau bahwa penciptaan langit dan bumi dalam ayat lain adalah pada enam hari?
Kemudian bagaimana mungkin perkara ini hilang dari orang-orang Kafir Arab yang cerdas dalam berniaga, serta orang-orang yang menolak dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berhujjah dengan kesalahan ini, agar mereka bisa menegaskan dan menetapkan bahwa al-Qur`an adalah bikinan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Terutama bahwa ayat-ayat al-Qur’an dulunya turun secara terpisah-pisah, yaitu satu, dua atau tiga ayat bersamaan? Artinya sangat mudah untuk menyingkap kesalahan tersebut. Akan tetapi ini tidak pernah terjadi, sementara sekarang datang kepada kita orang yang tidak faham bahasa Arab, lantas berkeinginan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an dengan syubhat tersebut.
Maka apakah seorang berakal itu bisa membayangkan bahwa orang yang bisa memalsu Kitab Mulia seperti al-Qur’an itu mungkin bisa berbuat salah dengan kesalahan yang seorang anak SD saja tidak mungkin salah karenanya?
Kami memuji Allah, serta bersyukur kepada-Nya akan karunia akal ini. *
_

Bagian 5

Syubhat: Al-Qur’an telah menyebutkan kebatilan agama Islam di dalam ayat:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ

“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (QS. al-Maidah: 68), kami mendapati bahwa ayat tersebut menyebutkan Taurat dan Injil dengan jelas, ini mengharuskan untuk berpegang teguh kepadanya bukan berpegang teguh dengan al-Qur’an. Ini adalah sebuah dalil akan kebatilan agama Islam.
Jawab: Saya tidak tahu apa gunanya kedustaan dan tipu muslihat dalam menetapkan keyakinan agama yang wajib diimani oleh seorang manusia dengan jujur dan ikhlas, sehingga dia jujur terhadap dirinya sendiri dan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anda telah memangkas ayat tersebut dan tidak menyempurnakannya, padahal lanjutan ayat di atas berbunyi:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ

“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu’. (QS. al-Maidah: 68)
Sesungguhnya maksud ayat dengan apa yang diturunkan dari Tuhan kalian adalah al-Qur’an. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan setelah Taurat dan Injil selain al-Qur’an. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui ayat tersebut justru memerintahkan ahlul kitab untuk menjadi muslim dan beriman dengan al-Qur’an yang mulia.
Saya berharap sekali lagi, jujurlah kepada Allah dan kepada diri Anda sendiri. Saya bisa memaklumi Anda, karena mungkin saja Anda menukil syubhat ini tanpa meyakinkan diri terlebih dahulu. Di sini, saya kira Anda telah membongkar sendiri tipu muslihat para pendeta terhadap Anda dan kepada banyak orang Nasrani yang tertipu oleh mereka. Saya memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Syubhat: Bagaimana Anda menginginkan dari kami untuk beriman dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai nabi, sementara al-Qur’an meminta kami untuk bershalawat kepadanya dan mendoakan rahmat baginya sebagaimana datang dalam ayat bershalawat dan salamlah kalian atasnya, seharusnya kamilah yang lebih butuh kepada rahmat Allah, ternyata kami mendapati nabi kalian Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa perlu untuk didoakan.
Jawab: Wajib bagi Anda untuk mengetahui bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh kami bershalawat kepadanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memulai ayat dengan firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan diri-Nya sendiri untuk bershalawat kepada beliau, lalu para malaikat-Nya. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang bershalawat kepada beliau, tanpa menyebut para malaikat, maka pastilah itu sudah cukup sebagai pemuliaan dan pengagungan.
Pertanyaan yang benar yang seharusnya dilontarkan agar Anda bisa memahami permasalahan ini secara benar adalah, ‘Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bershalawat atas beliau?”
Maka jawabannya adalah:
1. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemanfaatannya yang besar kembali kepada yang bershalawat kepada beliau. Disebutkan dari Anas bin Malik rahimahullah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ»

“Barangsiapa bershalawat kepada aku satu kali shalawat, maka Allah akan bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dan dihapus darinya sepuluh kesalahan, dan diangkat untuk sepuluh derajat.” (HR. Ahmad (11587), an-Nasa`i (1297))
2. Shalawat bertujuan untuk menguatkan hubungan ruhani dan kecintaan antara kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena orang yang mencintai sesuatu dia akan memperbanyak mengingatnya.
3. Dengan memperbanyak shalawat dan salam atas Rasulullah, hal itu akan menarik seorang muslim untuk bersuritauladan dengan beliau. Barangsiapa memperbanyak ingat sesuatu maka dia akan tergantung dan bersuritauladan dengannya.
4. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan satu ibadah dari ibadah-ibadah yang terbaik.
5. Bershalawat kepada Rasulullah adalah sebuah ketaatan, melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab keberkahan pada diri, usaha dan umur.
7. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak memiliki harta.
8. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab pengampunan dosa-dosa dan pemenuhan berbagai hajat.
9. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab bershalawatnya Allah kepada orang yang bershalawat kepada Rasulullah, dan juga penyebab bershalawatnya para malaikat kepadanya.
10. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah mewajibkan syafaat beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari kiamat dan penyebab dekatnya seseorang kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
11. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah akan memberatkan timbangan seorang muslim pada hari kiamat.
Dan manfaat-manfaat lainnya. Jadi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh dengan kita, tidak butuh dengan do’a kita untuknya, demikian pula shalawat dan salam kita atasnya, sebaliknya kitalah yang mengambil manfaat darinya.
Saya memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_

Bagian 6

Syubhat: Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat dalam tafsir al-Qur’an? Dan bersamaan dengan itu Anda mengklaim bahwa Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi? Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak akan mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawab: Pertama, Anda harus mengetahui bahwa terdapat perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam Kitab Suci al-Qur’an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum muslimin atas al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an itu satu, tidak berselisih, dan tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya 1400 tahun yang lalu. Al-Qur’an terjaga dengan janji Allah:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara perselisihan dalam tafsir al-Qur’an dengan perselisihan dalam Injil. Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan antara kitab suci al-Qur’an dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui bahwa Anda akan masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan karunia Allah hal itu bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan al-Qur’an. Akan tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir sebagian ayat dari al-Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa mayoritas ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer) bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an, dan membaca kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum membaca al-Qur’an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini sudah cukup dalam merealisasikan hidayah al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi beberapa pembagian:
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah khilaf tanawwu’ (perselisihan yang bersifat variatif), bukan khilaf tadhot (kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf lafzhi (redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna. Khilaf tanawwu’ pada hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam pembagian khilaf ini.
Contoh yang demikian adalah tafsir shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu al-Qur’an, yakni mengikutinya.”
Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah mengikuti al-Qur’an. Akan tetapi masing-masing dari keduanya, memberikan perhatian atas satu sifat tidak pada sifat lain.
Sebagaimana bahwa lafazh shirat juga memberikan isyarat kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan, ‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua memberikan isyarat kepada satu makna dari shirathal mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka menyebut dari nama yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan perumpamaan, dan memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam makna. Bukan untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah diketahui bahwa azh-zhalim linafsihi (orang yang menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan al-muqtashid (yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta as-sabiq (yang terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera lebih dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala kebaikan disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian sesungguhnya masing-masing diantara mereka – yaitu dari kalangan ahli tafsir – menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari berbagai macam ketaatan:
Seperti ucapan, ‘as-sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya, al-muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan zhalim linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain berkata, ‘ as-sabiq, al-muqtashid, dan az-zhalim telah disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya penyebutan itu adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan shadaqah, penyebutan orang zhalim dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual beli.’
Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai khilaf tadhot (perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang mulia, karena beberapa sebab:
1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Apakah quru’ itu suci dari haidh ataukah haidh?
Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا 

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 24)
Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Salam?
Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan tulang punggung (penopang) aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan itu ada pada perkara fiqih yang Allah menginginkan hal itu terjadi sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.
2. Perselisihan ini – sekalipun sedikit – kebanyakan terjadi pada abad terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para sahabat dan tabi’in pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid bersungguh-sungguh dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan akal-akal mereka.
Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak mengklaimnya sendiri. Karena banyaknya kontradiksi di dalamnya. Dimana naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda dengan perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka. Perselisihan mereka dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah (keyakinan) mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana itu semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan aqidah mereka.
Adapun Islam dan al-Qur’an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah, yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan tabi’in hingga hari ini.*
_
Syubhat: Saat kami membaca sejarah perjalanan Nabi kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya adalah suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu ajakan yang terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawab: Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Maka tampak, bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa itu, dan Anda akan mengetahuinya di sela-sela jawaban saya apa yang saya maksudkan dengannya.
Anda harus mengetahui bahwa kalimat ‘Aslim Taslam (Masuk Islamlah, kamu akan selamat)’ adalah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius dengan dalil bahwa dia mempercayainya, dan mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul, utusan Allah. Akan tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya dan terhalang dari Islam. Saya tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bahwa saat itu adalah waktu kemunculan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah disebutkan dalam shahih al-Bukhari:

فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ ، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ .

“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan, maka berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti keledai liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu telah tertutup. Maka saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa dari keimanan, dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka pun sujud dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara Heraclius.”
Di dalam hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:

فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ

“Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan jawami’ul kalim (kalimat ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut, dengan keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat, lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim: “Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aslim taslam (masuk Islamlah, kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya, serta kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan dari adzab akhirat.”
Kemudian, sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan mengetahui bahwa Heraclius telah tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah.
Barangkali Anda sekarang mengetahui bahwa dengan ucapan saya, bahwa Anda tidak memperhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana barangkali telah jelas bagi Anda akan sebab yang menjadikan kami tidak menilik kembali pandangan kami terhadap agama kami dengan syubhat ini dan syubhat yang lain.*
_
Syubhat: Apakah boleh Nabi kalian -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua, dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat dia berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawab: Sebagaimana biasa, Anda sekalian menyampaikan syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan faktanya. Ditambah lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama, tidak benar ucapan Anda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha saat dia masih muda. Seandainya Anda mengetahui hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap diri Anda. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat menikahi Saudah, kala itu Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia enam puluh enam tahun. Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menikahinya kecuali bahwa dia, saat pergi ke Habasyah ia bersama suaminya, dan saat kembali dari sana suaminya meninggal dunia. Karena keluarganya masih berada di atas kesyirikan, maka nabi terdorong untuk menikahinya demi memberikan kasih sayang kepadanya, berbuat baik dengan kondisinya, dan menghibur kesendiriannya.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya. Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا 

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah, pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada Saudah dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.
Maka di manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di manakah bukti bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya dalam menjawab bukanlah dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah menanamkan syubhat ini di akal Anda, sementara saat kami mengajak mereka untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.*
_
Syubhat: Sesungguhnya orang yang mengikuti sejarah kaum muslimin, dia akan menemukan bahwa mereka tidak pernah memiliki ilmu hadits. Ilmu hadits itu baru dibuat setelah dua ratus tahun. Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut belakangan sebagai ahli hadits memutuskan untuk mengumpulkan hadits. Kemudian jadilah mereka mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar hadits. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku mendengar Fulan berkata, ‘Aku mendengar Fulan dari Nabi kalian -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-, maka atas dasar inilah menjadi sulit menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih, atau hadits maudhu’. Maka tidak mungkin ada sambungan bagi kalian sebagaimana sebelumnya, karena panjangnya masa itu.
Jawab: Sebagaimana biasa, kami memulai dengan meluruskan kesalahan, dan pemahaman kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadits, tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini baru ada setelah dua ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai sejak generasi pertama di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan telah mencakup satu bagian besar dari hadits. Apa yang ditemukan oleh orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadits dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadits itu dengan rupa yang sangat luas. Dimana hal ini menunjukkan akan menyebarnya pengkodifikasian hadits, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan bahwa permulaan penulisan hadits telah dilakukan di awal abad kedua, yaitu antara tahun 120 – 130 H. dengan bukti nyata yang menjelaskan kepada kita. Terdapat sejumlah kitab, yang penulisnya telah wafat di tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’ Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij (W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa para ulama hadits, telah meletakkan syarat-syarat demi menerima hadits, yang syarat itu mampu menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan kepastian. Hingga menjadikan hadits tersebut tersampaikan seperti halnya didengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang menyampaikan hadits) yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran, keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku, dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hafalan, mengikat dengan dadanya (hafalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara bersamaan. Yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadits tersebut, serta menunaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang disyaratkan oleh ahli hadits untuk hadits yang shahih dan hasan itu pun menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi hadits, kemudian selamatnya penukilan hadits di antara mata rantai sanad, bersihnya hadits itu dari segala cacad yang tampak maupun yang tersembunyi, serta ketelitian para ahli hadits dalam mempraktekkan syarat-syarat tersebut serta kaidah dalam menghukumi hadits dengan dhai’f hanya karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama ahli hadits tidak mencukupkan diri dengan ini, bahkan mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak bahwa Anda tidak memperhatikannya. Para ulama ahli hadits telah memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip hadits rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab dari satu perawi ke perawi yang lain hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang didengar yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari cabangnya. Maka jadilah metode para ahli hadits lebih kuat, lebih hikmah, dan lebih agung dari segala metode dalam menilai periwayatan, dan sanad yang tertulis.
Maka janganlah Anda menyangka bahwa pembahasan sanad menunggu dua ratus tahun sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meneliti dan mencari-cari sanad sejak zaman pertama saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah ar-Rasyid Utsman Radhiallahu ‘Anhu tahun 35 H, yang kemudian kaum muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Dimana mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadits, menguji para perawi hadits, hingga perjalanan mencari hadits menjadi syarat pokok penentuan hadits.
Para ulama ahli hadits tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh para pemalsu hadits dari golongan ahlu bid’ah, dan mazdhab-mazdhab politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya dengan mengikuti sarana-sarana ilmiah demi membentengi sunnah. Maka mereka pun meletakkan kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi ahli bid’ah, serta penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadits dan tanda-tanda hadits-hadits palsu.
Ilmu hadits, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada pada kaum muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan dongeng-dongeng yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan, kontradiksi dan berbagai perubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum muslimin, yang dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadits hingga sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari segala cacad dengan ilmu isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad (jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana hal itu bisa sampai.*
_
Syubhat: Yang menguatkan kebatilan agama Islam adalah bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain nabi kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawab: Ini adalah sebuah ucapan yang tidak benar. Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadits yang datang di dalam shahih Muslim bab Iman no. 242:

حَدَّثَنِي ‏ ‏مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏دَاوُدَ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَبِي الْعَالِيَةِ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏ابْنِ عَبَّاسٍ ‏ ‏قَالَ ‏ سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏بَيْنَ ‏ ‏مَكَّةَ ‏ ‏وَالْمَدِينَةِ ‏ ‏فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ ‏ ‏أَيُّ وَادٍ هَذَا فَقَالُوا ‏ ‏وَادِي الْأَزْرَقِ ‏ ‏فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى ‏ ‏مُوسَى ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏فَذَكَرَ مِنْ لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا لَمْ يَحْفَظْهُ ‏ ‏دَاوُدُ ‏ ‏وَاضِعًا إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ ‏ ‏جُؤَارٌ ‏ ‏إِلَى اللَّهِ بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا ‏ ‏هَرْشَى ‏ ‏أَوْ ‏ ‏لِفْتٌ‏ ‏فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى ‏ ‏يُونُسَ ‏ ‏عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ ‏ ‏خِطَامُ ‏ ‏نَاقَتِهِ لِيفٌ ‏ ‏خُلْبَةٌ ‏ ‏مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.

“Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada kami Ibnu Abi ‘Adin dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, ‘Kami berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam antara Makkah dan Madinah. Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu beliau bersabda, ‘Lembah apakah ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah Azraq.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku melihat Musa ‘Alaihi Sallam.’ Lalu beliau menyebut warna kulitnya, rambutnya, sesuatu yang tidak dihafal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya, mengeraskan suara seraya bertalbiyah (membaca talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata, ‘Kamipun berjalan hingga kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda, ‘Gunung apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku melihat kepada Yunus, berada di atas seekor onta mereka, memakai jubah dari wol, dan tali kekang ontanya adalah sabut tengah melewati lembah ini seraya bertalbiyah.’
Oleh karena itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab kami yang memberikan faidah bahwa para Nabi telah berhaji ke baitullah. Dan sebagaimana Anda meminta kami yang demikian, maka sesungguhnya kami meminta dari Anda satu dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi tidak berhaji ke baitullah dari kitab-kitab kalian.*
_

Bagian 7

Syubhat: Kami setuju bahwa tidak ada kesalahan dalam sejarah dan ilmu pengetahuan, akan tetapi, marilah kita melihat berbagai kesalahan dalam al-Qur’an baik dalam sejarah, atau ilmu pengetahuan.
-Al-Qur`an surat al-Kahfi ayat 83-89 menyebutkan seorang tokoh Zul-Qarnayn yang adalah muslim. Menurut tokoh Islam Ibn Hisham dan Al-Tabari Zul-Qarnayn adalah Aleksander Agung. Ironisnya, Aleksander Agung adalah seorang polytheis (musyrik).
Jawab: Sungguh disayangkan, Anda sekalian adalah korban para pendeta dan misionaris yang telah menyampaikan syubhat ini dengan memanfaatkan ketidaktahuan Anda. Pertama kali Anda wajib mengetahui metode ulama ahli tafsir dan selain mereka dalam memberikan keterangan. Pada saat seorang ahli tafsir meriwayatkan satu ucapan dari berbagai ucapan, maka maksudnya tidak lain adalah menukil semua yang dia dengar kemudian setelah itu memilah dan memilih dari ucapan-ucapan tersebut mana yang rajih dan shahih. Kemudian membantah dan menjelaskan kelemahan yang dhaif (lemah) dan yang tidak shahih. Kemudian menampakkan apa yang shahih darinya agar manusia mengetahuinya.
Alasan keshahihan dari tidaknya kembali kepada kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta apa yang disepakati oleh jumhur ulama kaum muslimin.
Pada saat seorang ulama tafsir berkata, “Dikatakan/katanya/diriwayatkan/ atau dikisahkan…” maka ini berarti bahwa yang berkata adalah orang yang tidak dikenal (majhul), dan sumber ucapan tersebut tidak dikenal. Oleh karena itulah fi’il (kata kerjanya) dibuat majhul (pasif), yaitu qiila (dikatakan). Oleh karena dasar ini, maka ucapan itu tidak bernilai jika tidak dikuatkan oleh satu berita dari al-Qur’an atau Sunnah yang shahih. Dan perkara aqidah tidak akan dibangun di atas sesuatu yang tidak diketahui. Maka ucapan apapun yang diikuti atau yang datang setelah kata kerja bentuk pasif qiila (dikatakan), maka ucapan itu digugurkan dari derajat shahih dan yakin kepada kedudukan mengandung kebenaran atau kedustaan sesuai dengan kesesuaiannya atau jauhnya dari apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Pada kisah Dzulqarnain, gugurlah kandungan itu kepada makna dusta. Dikarenakan secara yakin Dzulqarnain yang dimaksud bukanlah Dzulkarnain Agung dari Macedonia – Yunani yang telah membangun kota Iskandariyah. Dzulqarnain ini mati pada usia 33 tahun, sebagaimana disebutkan dalam buku-buku Kristen. Dan dia hidup 323 tahun sebelum kelahiran al-Masih ‘Alaihi Sallam.
Adapun Dzulqarnain yang disebutkan dalam al-Qur’an, maka dia ada pada masa Ibrahim ‘Alaihi Sallam. Dikatakan bahwa dia telah masuk Islam di hadapan Ibrahim ‘Alaihi Sallam, dan berhaji ke Ka’bah dengan berjalan kaki. Kemudian manusia telah berbeda pendapat tentangnya, apakah dia itu seorang nabi ataukah seorang hamba shalih dan seorang raja yang adil. Dan perselisihan itu juga bersamaan dengan kesepakatan mereka bahwa dia adalah seorang muslim, yang mengesakan serta taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang benar dalam hal ini – menurut kami – adalah tawaqquf (diam tidak berkomentar) tentangnya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَا أَدْرِيْ أَتَبِعَ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لاَ ، وَمَا أَدْرِيْ ذَا الْقَرْنَيْنِ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لَا

“Aku tidak tahu, apakah dia mengikuti seorang nabi ataukah tidak, dan aku tidak tahu Dzulqornain seorang nabi ataukah tidak.’ (HR. al-Hakim, al-Baihaqiy, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ (5524))
Sekalipun kita tidak tahu, dia itu seorang Nabi ataukah tidak, maka yang jelas bagi kami dari sela-sela perkataan al-Qur’an tentangnya bahwa dia adalah seorang mukmin yang berada di atas ilmu dan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dia kekuasaan, kemudian dia berjalan berjihad untuk menebarkan kebenaran dan keadilan.
Kemudian perbedaan antara hamba shalih ini dengan Alexander Macedonia yang kafir itu adalah satu perkara yang dikenal oleh para ulama kaum muslimin. Seorang ahli tafsir, Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam al-Bidayah wan Nihayah (1/493): “Dari Qatadah, dia berkata ‘Iskandar (Alexander) adalah Dzulqarnain, dan bapaknya adalah Kaisar pertama, dan termasuk putra dari Sam bin Nuh ‘Alaihi Sallam. Adapun Dzulqarnain yang kedua, maka dia adalah Iskandar (Alexander) putra Philips… Macedonia – Yunani – Mesir. Pendiri kota Iskandariyah yang menoreh sejarah Romawi. Dia lebih terakhir dari yang pertama dengan jarak masa yang panjang… Kami mengingatkannya, karena banyak dari manusia berkeyakinan bahwa keduanya adalah satu, dan bahwa yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah dia yang menterinya adalah Aristoteles.  Yang karenanya terjadilah kesalahan besar, serta kerusakan yang panjang lagi banyak. Sesungguhnya yang pertama adalah seorang hamba beriman, shalih, lagi seorang raja yang adil. Adapun yang kedua adalah seorang musyrik, dan menterinya adalah orang-orang filsafat. Kemudian jarak masa di antara keduanya lebih dari dua ribu tahun. Maka keduanya tidak sama dan tidak serupa, kecuali atas orang bodoh yang tidak tahu hakikat berbagai perkara.” Selesai perkataan Ibnu Katsir Rahimahullah.
Maka mengapa Anda mengesampingkan ucapan ahli tafsir yang jelas ini lalu berpegang dengan dalil-dalil lemah para pendeta tersebut?!
Akan tetapi yang aneh dari Anda sekalian adalah bahwa tidak ada dalam kitab-kitab suci Anda keterangan-keterangan yang mencukupi akan Alexander yang kedua, lebih-lebih lagi yang pertama. Puncak dari apa yang ada pada sisi Anda sekalian adalah mimpi Daniel, serta menganggap bahwa di dalam mimpi tersebut terdapat satu isyarat kekuasaan Alexander yang kafir ini, serta terpecahnya kerajaannya setelah itu.
Keanehan ini dari Anda ataukah yang aneh itu adalah bahwa Anda tidak mengetahui satu sanad pun yang bersambung bagi kitab-kitab yang Anda imani? Tidak juga terdapat pengetahuan akan kondisi orang-orang yang melakukan penerjemahannya, bersamaan dengan puluhan tema yang saling kontradiksi dan berselisih yang menghilangkan klaim ‘ ishmah (terjaga dari kesalahan), dan bahwa ditulis berdasarkan ilham dari Roh Kudus. Dan cukuplah perselisihan kalian terhadap nasab Isa ‘Alaihi Sallam. Sekalipun demikian, Anda memiliki kenekatan untuk mengkritik al-Qur’an mulia yang sampai dengan sanad yang bersambung secara mutawatir?!
Maka apakah masuk akal, seorang manusia yang memiliki sedikit akal datang lalu menjadikan apa yang ada di dalam sebuah kitab yang telah diubah-ubah sebagai hakim atas al-Qur’an agung yang terjaga dengan penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?!*
_
Syubhat: Dalam surah yang sama disebutkan matahari terbenam di lumpur.

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا 

“Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (QS. al-Kahfi: 86)
Jawab: Sekali lagi, sebagaimana biasa, para pendeta telah mempermainkan Anda. Sebelum saya menjawab, saya akan menjelaskan kepada Anda akan makna [عَيْنٍ حَمِئَةٍ], maka itu adalah air yang memiliki lumpur hitam. Dan saat al-Qur’an menyebut ‘Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…’ maka itu adalah penyebutan sifat fenomena yang dilihat oleh Dzulqarnain, bukan penyebutan sifat yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka siapakah yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwa matahari tenggelam dalam lumpur hitam?
Saya akan membuat satu contoh agar kerancuan ini hilang. Jika Anda duduk di tepi pantai pada saat matahari tenggelam, lalu Anda melihat kepada bulatan matahari, maka apa yang akan Anda lihat? Dengan sederhana, Anda akan melihat bahwa bulatan matahari akan tenggelam ke dalam lautan. Maka apakah berarti bahwa matahari itu menghilang di dalam lautan? Tidak diragukan lagi bahwa hilangnya matahari di dalam lautan adalah apa yang dilihat oleh mata Anda, tetapi hakikatnya tidak benar seperti itu. Jadi, jika Anda mensifati apa yang terjadi pada matahari karena hilangnya di dalam lautan saat Anda berdiri di tepi pantai, maka Anda tidak dusta dan tidak salah.
Demikian pula seandainya Anda menghadap ke arah barat, sementara di depan Anda ada sebuah gunung. Maka Anda akan mendapati bahwa matahari akan tenggelam di belakang gunung. Tentu saja tidak akan pernah difahami oleh seorang pun bahwa matahari tersembunyi di balik gunung secara hakiki.
Jika di depan Anda adalah sebuah danau, maka Anda akan mendapati bahwa matahari akan tenggelam di dalam danau. Dan inilah yang terjadi pada Dzulqornain yang telah sampai pada laut yang mengandung lumpur hitam pada saat terbenamnya matahari. Maka dia mendapati matahari itu tenggelam dalam lumpur hitam itu. Saat kita katakan dia mendapatinya tenggelam di balik gunung atau mendapatinya tenggelam di dalam air, maka itu adalah perkara yang sesuai dengan penisbatan untuknya. Ayat tersebut tidak bermakna mutlak, akan tetapi terikat dengan pribadi Dzulqarnain.
Demikian pula kita dapati dalam kisah Musa ‘Alaihi Sallam, saat Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya untuk melemparkan tongkat:

وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لا تَخَفْ إِنِّي لا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ 

“’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti Dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ‘Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.’” (QS. an-Naml: 10)
Menjadi jelaslah bagi semuanya bahwa Musa ‘Alaihi Salam saat mendapati tongkatnya bergerak-gerak, dia merasa takut dan menyangka bahwa tongkatnya telah berubah menjadi seekor ular besar. Di sinilah kita bertanya, apakah tongkat itu ular?
Jawabannya adalah tidak. Akan tetapi ini adalah apa yang dilihat oleh Musa ‘Alaihi Salam, maka sebagaimana tongkat tersebut bukanlah ular, maka matahari tersebut tidak tenggelam dalam lumpur hitam. Dan kedua ayat tersebut menceritakan apa yang dilihat oleh Dzulqarnain dan Musa ‘Alaihi Salam.
Sesungguhnya para pendeta, misionaris dan orang-orang batil selain mereka, saat menyebarkan syubhat seperti ini, menjadi jelaslah bagi kami bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti Bibel  mereka. Karena Bibel telah menggunakan metode yang sama.
Disebutkan dalam Hakim-Hakim (Judge) 19: 14 versi bahasa Arab

 [سفر قضاة 19:14]: فَعَبَرُوا وَذَهَبُوا وَغَابَتْ لَهُمْ الشَّمْسُ عِنْدَ جِبْعَةَ الَّتِيْ لِبُنْيَامِيْنَ  

“Maka mereka pun lewat dan pergi, kemudian mataharipun menghilang untuk mereka pada Gibea milik Bunyamin” [footnote: Ayat ini terdapat di Naskah berbahasa Arab, sementara terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris disebutkan dengan teks yang berbeda, yang didalamnya jelas-jelas terdapat perubahan. Dan perlu diketahui bahwa naskah berbahasa Arab lebih dahulu daripada naskah berbahasa Indonesia dan Inggris. Maka orang-orang Nasrani tatkala mendapati apa yang mereka anggap sebagai satu musibah dalam Kitab mereka, merekapun mengubah-ubah penerjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris, juga barangkali bahasa-bahasa lain. Kemudian mereka menerjemahkan ayat itu dengan: (19:14) Lalu berjalanlah mereka melanjutkan perjalanannya, dan matahari terbenam, ketika mereka dekat Gibea kepunyaan suku Benyamin. Ini adalah dalil bahwa perubahan dalam Bible masih terus berlanjut, dan campur tangan manusia tidak pernah berhenti hingga hari ini. sekalipun demikian masih saja ada keyakinan bahwa Bible adalah kitab suci!]
Dengan teks ini, jadilah matahari meninggi di langit kemudian turun dan menghilang di kota Gibea. Maka apakah matahari tidak di langit, karena dia menghilang di kota Gibea? Ataukah bahkan ungkapan itu bermakna bahwa matahari telah terbenam saat mereka sampai di kota Gibea?
Barangkali sekarang menjadi jelas bahwa mereka belum membaca kitab mereka dengan teliti.
Kesalahan besar yang terdapat dalam Bibel adalah disebutkannya dalam Wahyu (12:1): Maka tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.
Maka kami bertanya kepada orang-orang Nasrani, bahwa seorang wanita berselubung matahari, sementara matahari lebih besar 1.030.000 kali dari bumi?
Maka bandingkanlah wahai orang-orang berakal, apa hujjah mereka atas kami dan hujjah kami atas mereka!*
_
Syubhat: Demikian juga telah disebutkan dalam al-Bukhari bahwa matahari itu bergerak, jadi kesimpulannya, bahwa matahari bergerak hingga terbenam di dalam lumpur.
Jawab: al-Bukhari sama sekali tidak mengatakan bahwa matahari tenggelam di dalam lumpur, akan tetapi dia meriwayatkan sebuah hadits sekitar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Yasin: 38)
Jika yang dianggap aneh itu adalah bahwa matahari bergerak dan berotasi maka ini adalah suatu pendapat yang dikuatkan oleh ilmu falak. Matahari bergerak dan berputar sebagaimana bumi bergerak dan berputar. Rotasi bumi tidak bertentangan dengan gerakan dan perputaran matahari. Lalu Imam al-Bukhari rahimahullah tidak pernah meriwayatkan dalam hadits bahwa matahari menghilang. Akan tetapi dia meriwayatkan bahwa matahari sujud di bawah ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih. Dan sujudnya matahari di bawah ‘Arsy ini tidak berarti lama dalam diam dan sujud hingga bisa diperhatikan oleh orang-orang yang melihat kepadanya. Sujudnya matahari di bawah ‘Arsy tidak berarti dia menghilang dari pendangan seluruh manusia, karena ‘Arsy ada di atas langit dan bumi, serta matahari. Tidak juga menunjukkan bahwa matahari meninggi hingga di atas langit lalu sujud di bawah ‘Arsy. Akan tetapi matahari terbenam dari mata-mata kita, sementara dia terus dalam garis edar yang dia berada di dalamnya. Maka jika dia beranjak di dalamnya hingga mencapai pertengahan, maka inilah tempat sujudnya.
Sesungguhnya ilmu modern telah memastikan kebenaran ayat-ayat al-Qur`an dalam masalah perjalanan dan gerakan matahari. Demikian juga tentang masalah rotasi bumi. Sementara kita mendapati bahwa Bibel bersikukuh atas pendapat bahwa mataharilah yang bergerak mengelilingi bumi, bukan sebaliknya. Bahkan sesungguhnya Bibel sama sekali tidak pernah menyebutkan di dalamnya bahwa malam dan siang adalah buah dari rotasi bumi.
Telah disebutkan dalam Pengkhotbah (1:5): Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Teks ini menetapkan satu masalah berbahaya, dimana dia berkata bahwa matahari pada saat terbenam, dia bergerak cepat menuju tempat terbitnya untuk terbit lagi (?!) Ini, dengan sederhana bermakna bahwa matahari berputar mengelilingi bumi!
Cukuplah bahwa orang-orang Nasrani telah menyiksa, membakar dan membunuh mati para ilmuwan astronomi yang meyakini rotasi bumi yang kemudian menjadi jelas kebenarannya setelah itu. Dan perkara ini ternyata telah bersesuaian dengan kemajuan ilmu yang telah dicapai pada hari ini, yang itu telah bersesuaian dengan al-Qur`an yang mulia.
Seluruh kesalahan ini ditanggung oleh Bibel, kemudian mereka tidak mengambil pusing tentangnya atau merasa bodoh terhadapnya. Lalu mereka mendatangi al-Qur’an seraya berusaha dengan segala cara untuk mencari kesalahan di dalamnya. Dan mereka tidak bisa menetapkan satu kesalahan pun padanya hingga hari ini, dan bahkan hingga hari kiamat nanti.
Jika terdapat satu kesalahan di dalam al-Qur’an yang mulia, maka kami katakan kepada para pendeta dan misionaris, ‘Medan sudah ada diantara kami dan Anda, silakan berdialog, maka pastilah umat ini akan melihat perbandingan yang hakiki antara al-Qur`an Mulia, yang merupakan firman Allah, dan antara Kitab yang kalian anggap sebagai Kitab suci, padahal tidaklah demikian, karena kitab itu adalah bikinan manusia.’
_
Syubhat: Tersebar di Youtube bahwa Da’i Ahmad Dedat rahimahullah wafat dalam kondisi buruk, maka ini adalah bukti bahwa dia berada di atas kebatilan, dan Nasrani berada di atas kebenaran. (Mahasiswa nasrani S2 di India)
Jawab: Pertama, kita berdo’a memohonkan rahmat dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Syaikh Ahmad Deedat atas apa yang telah dia persembahkan demi menolong agama Islam dan kaum muslimin. Sungguh, karena sebabnya telah banyak dari orang-orang Nasrani yang beriman, dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran dan kesyirikan kepada cahaya Islam. Dan sesungguhnya saya, dengan segala ilmu saya tentang Nasrani (kristologi) hanyalah seorang murid kecil di hadapan sebuah gunung besar yang saya banyak mengambil faidah darinya, maka kami pun meneruskan jalan perjuangannya. Demikian pula kami akan meninggalkannya untuk orang-orang setelah kami dengan izin Allah, agar cahaya Allah terus bersinar hingga hari kiamat.
Berkenaan dengan kondisi wafat ulama besar ini rahimahullah, maka saya menjawab orang-orang Nasarni, dengan mengatakan: sesungguhnya hujjah kalian – saya dapati – selalu lebih rapuh daripada sarang laba-laba. Saya berharap pada kesempatan yang akan datang, Anda memberikan kepada kami minimal satu syubhat yang setara dengan kekuatan sarang laba-laba (bukan kurang dari itu), dan itu mustahil Anda lakukan. Oleh karena itulah, saya akan menjawab Anda sekalian atas syubhat ini dari berbagai sisi:
Pertama, kondisi yang diderita oleh Syaikh Ahmad Deedat sebelum wafatnya adalah sebuah kondisi biasa yang dilalui oleh banyak manusia pada hari ini. Sebelum wafatnya, dia mengalami kelumpuhan otak yang setelah itu dia wafat pada tahun 2005 M. Akan tetapi apakah Anda sekalian mengetahui, wahai orang-orang Nasrani tentang usia pada saat beliau wafat? Dia wafat pada usia 87 tahun. Artinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memanjangkan usianya, dan ini adalah sebuah nikmat, lalu mengapa Anda sekalian melupakannya.
Jika kalian menganggap penderitaannya dengan sakit sebelum wafatnya, yang menyababkannya terduduk di ranjang sebagai bukti akan kebatilannya. Maka bagaimanapula anggapan Anda dengan orang yang kondisinya lebih hina, disiksa dan disalib sebelum kematiannya?! Bukankah dengan logika Anda yang sama menjadi dalil akan kebatilan agama yang dibawanya? Jika kondisi Syaikh Deedat sebelum kematiannya adalah sebuah isyarat akan kesesatannya, maka apakah hal itu tidak menjadikan kita berkeyakinan juga akan kebatilan agama Nasrani dari orang-orang yang tertimpa penyakit yang sama, dan jumlah mereka jutaan, sama saja apakah mereka yang sudah mati atau yang berada di atas ranjang hari ini?! Terutama, seharusnya mereka tidak sampai pada kondisi yang dialami Syaikh Deedat karena keberadaan al-Masih ‘Alaihi Sallam yang telah menjadi juru selamat mereka dari kesalahan sesuai dengan keyakinan Anda? Sementara Syaikh Deedat, tidak ada seorang pun yang menjadi juru selamat baginya dari segala kesalahan?! Maka seharusnya yang tertimpa penyakit itu hanya dia saja – dan yang setara dengannya – bukan malah banyak orang-orang Nasrani.
Kedua, sakit itu dari Allah, yang kemudian datang sebagai buah dari bentukan Allah terhadap tubuh manusia. Sang Pencipta Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia berbeda-beda dalam tabiat tubuh-tubuh mereka. Dia jadikan sebagian mereka, system kekebalan tubuhnya lebih kuat dari yang lain, sementara yang lain Dia jadikan tugas-tugas anggota tubuhnya menjadi kendur sebelum yang lain… demikian seterusnya.
Masing-masing mereka berbeda-beda akhir kematian mereka; sama saja mereka yang mati dengan kesehatan buruk atau dengan kesehatan baik. Maka tidaklah kondisi kematian seseorang itu merupakan bukti akan kebenaran atau kesalahan keyakinan manusia. Jika tidak, maka pastilah al-Masih ‘Alaihi Sallam (menurut Nasrani), dengan logika ini, menjadi manusia yang paling sesat wal’iyadzu billah, dimana dilakukan penyiksaan yang menakutkan terhadapnya, lalu dia mati dengan kematian yang sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Bibel kalian, yaitu dengan kematian buruk yang telah disodorkan padanya bentuk penyiksaan menakutkan yang terburuk yang Syaikh Deedat tidak megalami hal itu. Bahkan Syaikh Deedat, saat wafat tidak mengalami peludahan sebagaimana yang dialami oleh al-Masih ‘Alaihi Salam dengan pengakuan injil Matius (26:67) Lalu mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya; orang-orang lain memukul Dia.
Lalu penyiksaan terhadapnya terus berlangsung hingga setelah kematiannya. Maka jadilah kematian al-Masih ‘Alaihi Sallam, sebagaimana  yang diceritakan oleh Bibel kalian, lebih buruk dari kematian Syaikh Deedat yang wafat dalam keadaan mulia tanpa ada satu penghinaan pun terhadap kemuliaanya, atau yang menyentuh sisi kemanusiaannya.
Ketiga, bagaimana Anda sekalian mengharuskan kami, dengan logika kalian terhadap kematian seorang muslim yang memiliki agama selain agama Anda sekalian? Karena kematian dalam agama Islam adalah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah Dia tetapkan terhadap hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati….” (QS. al-Anbiya’: 35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup terhadap hamba-hamba-Nya akan pengetahuan waktu kematian, demikian juga tempat yang di dalamnya dia mati, demikian juga jalan yang menghantarkan kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ

“…dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Kematian adalah sebuah rahmat bagi seorang mukmin, dan azab bagi orang-orang kafir, karena kematian adalah sebuah tabir yang dengan hilangnya tabir itu sampailah seorang mukmin kepada sorga dan keridhaan-Nya, dan yang kafir sampai kepada azab Allah dan neraka Jahim selamanya. Dan bukanlah cara kematian, apapun bentuknya adalah sebuah dalil akan buruknya kematian, kecuali orang yang mati di atas maksiat dan tercabut rohnya di atasnya. Sementara Syaikh Ahmad Deedat wafat di atas kebaikan agung yang telah kami kenal, dan dikenal oleh orang-orang yang dekat dengannya. Mudah-mudahan Allah merahmati ulama besar ini dengan rahmat yang luas.


***
______________________________
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU