SEJARAH PENGUMPULAN MUSHAF AL-QURAN
 
 
Assalaamu’alaikum wr. wb.
- Apakah mushaf Al qur’an yang pertama kali tersusun sama urutan suratnya dengan mushaf al-Qur’an yang sekarang?
- Bagaimana sejarah mushaf al-Qur’an itu?
Jawaban:
Wa ‘alaikum salam Wr. Wb.
Bismillah, Washshaltu Wassalamu ‘ala Rasulillah, Waba’du
- Benar, mushaf Al qur’an yang pertama kali disusun memang sama urutan surat nya dengan mushaf Al qur’an yang sekarang.
- Sejarah Pengumpulan Qur’an.
Sejarah pengumlpulan Al-Qur’an menjadi tiga period:
a. Pengumpulan dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Rasullullah  telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat  terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit,  bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan  tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu  membantu penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun  menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa  diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma ,  lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan  tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit, “Kami menyusun Qur’an  dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Jibril  membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan  setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah adalah orang  paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia  ditemui oleh Jibril. Ia ditemui oleh Jibril setiap malam; Jibril  membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril  itu ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an  kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.”
Tulisan-tulisan  Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada  seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan  bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin  Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah  menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka  menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali  membacakan Qur’an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di  atas.
Rasulullah  berpulang ke rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam  mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan  surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan  setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.  Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh  (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan  ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan  membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti  turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping  itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu  yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak  menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan  ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa  ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi)  Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu  mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun  lagi. Az-Zarkasyi berkata, “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf  pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,  penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu  dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan  pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit  yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan  sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum  dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata,  “Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia  senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau  bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah,  maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para  Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini  tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya  pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.”
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan: a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama.
b. Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar  menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada  peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang  Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk  memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi  pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an.  Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin  Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu  Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan  Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah  banyak membunuh para qarri’.
Abu Bakar  menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah  dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah  membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut, kemudian  Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam  qiraat, penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada  pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya  kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya  Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya  Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu.  Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada  hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para  penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu  Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu  berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat.  Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan  kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.
c. Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.
Pengumpulan Qur’an pada masa Usman.
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Pengumpulan Qur’an pada masa Usman.
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini. Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika  terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara  orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman.  Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Qyr’an. Sebagian  bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing  memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap  orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.  Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan  melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga  memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan  terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak.  Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan  dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena  takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan  perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang  pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada  lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman  kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu  Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu  kepadanya. Kemudian Usman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah  bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga  orang terkahir ini adalah orang Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar  menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang  diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam  bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas,  bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut  berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama  dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka  dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman, “Selamatkanlah umat ini  sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab)  sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.” Usman kemudian  mengirim surat kepada Hafsah yang isinya, “Sudilah kiranya anda  kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi Qur’an itu, kami akan  menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan  mengembalikannya.” Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman  memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan  Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun  menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang  Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit  tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy karena  qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy.”
Mereka  melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi  beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada  Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut  dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid  berkata, “Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari  surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah; maka  kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari,  ayat itu ialah:
lalu kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf.”
Berbagai  atsar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara  membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan  para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir: ‘Ya’kub bin Ibrahim  berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan  kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: Pada masa kekahlifahan Usman telah  terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru  qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak  yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan  hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub:  aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling  mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu  akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada  di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an.  Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan  kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk  semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saja!’
Abu Qalabah  berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah  seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan,’ kata Abu Qalanbah:  Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan  kepada seseorang yang telah menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi  orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya  menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta memniarkan tempat  letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan  mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat kepada semua penduduk  daerah yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian.  Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang  ada padamu.’
Ibn Asytah  meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan  Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah  meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin  Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan: ‘Katakanlah segala yang baik tentang  Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf  Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : ‘Bagaimana  pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian  mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain. Ini  telah mendekati kekafiran. Kami berkata: ‘Bagaimana penadapatmu? Ia  menjawab: ‘Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf,  sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata:  Baik sekali pendapatmu itu.
Keterangan  ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh  para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari  tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam  satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli  kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu  masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk di Madinah,  yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”.
Penamaan  mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana  ia mengatakan: “Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk  semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia  memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menerima  perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya  ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf  itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh  huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir  sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini  menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori  keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari  ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir  mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia  menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf  yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang  mempunyai mushaf “berlainan” dengan mushaf yang disepakati itu membakar  mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat  bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan  sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf  lainnya sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai  bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan  mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain  sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang  sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf  itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang  lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya, tetapi  hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada  lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang  telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak  ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apa bila  sebagian orang lemah pengetahuan berkata: Bagaimana mereka boleh  meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan  diperintahkan pula membaca dengan cara itu? maka jawabnya ialah:  ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu  bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan  kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh  huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap  huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah  untuk menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus  dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal  tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka  boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an di kalangan  umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf  itu.
Jika memang  demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas  menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban  bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah  mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut  ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu  menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari  pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap  islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”
d. Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari  teks-teks di atas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar  berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya.  Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena  banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan  korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur’an  ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang  disaksikannnya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan  antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan  Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau  catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang,  dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan  ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu  mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan  yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana  ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan  pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf  diantar ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu  mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut  Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar  dan Usmanialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan  oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para  penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul disatu tempat.  Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan  menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah  kepada mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan  dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka  masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling  menyalahkan, karena kawatir akan timbul bencana, Usman segera  memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan  menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy  saja dengan alasan bahwa qur’an diturunkan dengan bahasa mereka  (quraisy). 
Sekalipun  pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy  guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah  berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja.  Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur di kalangan orang banyak  ialah bahwa pengumpul Qur’an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak  demikian, Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam  (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum  muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya.serta setelah ada  kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena  penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf  itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf  dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan  Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.”
Dengan  usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan  mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan  dan penyimpangan sepanjang zaman. 
Wallahu a’lam bishshawab Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
********* 
 








 
 
 




