Kamis, 06 Juni 2013

Kumpulan Tafsir Halaman 1



 

Arsip untuk kategori ‘Tafsir




Ketenangan Hati Dengan Berdzikir


Al-Ustadz Jauhari, Lc

Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan:
اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, ﭮ artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kebutuhan makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman. Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Adh-Dhahhak berkata: ﭮ, yaitu mengulang kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: ﭮ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, ‘alaihimussalam.”
Kemudian Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa makna ﭮ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama kebalikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan agar kita paham apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan: Baca entri selengkapnya »

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)

Penjelasan Mufradat Ayat
مِنْهُمْ
Di antara mereka, yaitu kaum Yahudi yang ada di sekitar kota Madinah. Sebab, kata ganti “mereka” di sini kembali ke firman Allah k sebelumnya yang menjelaskan tentang keadaan mereka. (Tafsir Ath-Thabari, 3/323)

يَلْوُوْنَ
Memutar-mutar lidahnya, yaitu mereka men-tahrif (mengubahnya), sebagaimana dinukil dari Mujahid, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas. Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas bahwa mereka mengubah dan menghilangkannya, dan tidak ada seorangpun dari makhluk Allah k mampu menghilangkan lafadz kitab dari kitab-kitab Allah. Namun mereka mengubah dan mentakwilnya bukan di atas penakwilan sebenarnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377, lihat pula Tafsir Ath-Thabari, 3/324)
Qatadah v berkata: “Mereka adalah Yahudi, musuh Allah k. Mereka mengubah kitab Allah k, membuat bid’ah di dalamnya, kemudian mengira bahwa itu dari sisi Allah k.” (Tafsir Ath-Thabari, 3/324)
Adapun dalam qira`ah (bacaan) Abu Ja’far dan Syaibah dibaca dengan “yulawwuun”, yang menunjukkan makna lebih sering dalam mengerjakan hal tersebut. (Tafsir Al-Qurthubi, 4/121) Baca entri selengkapnya »

 Al Ustadz Abu Karimah Askary bin Jamaluddin Al Atsary Al Bugisy

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Al Baqarah: 79)
Penjelasan Mufradat (Kosakata) Khusus
Para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan kata wail. Ada yang menafsirkannya dengan adzab (siksaan) atas mereka, sebagaimana terdapat dalam riwayat Ibnu Abbas. Ada pula yang mengatakan “lembah yang terdapat di dasar neraka, yang di dalamnya mengalir nanah”, dan ada pula yang menafsirkan lain. Sementara Asy Syaikh As Sa’dy mengatakan, wail adalah kerasnya siksaan dan penyesalan, yang di dalamnya mengandung ancaman yang sangat keras. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman hal. 56, dan lihat perselisihan ulama dalam menafsirkan kata ini dalam Tafsir Ath Thabary, 1/274, Ma’alim At Tanzil, 1/110).
“dengan tangan-tangan mereka”
Ada dua kemungkinan yang dimaksud dengan lafadz ini:
Pertama, sebagai ta’kid (penguat) dari kata “menulis”, sebab tidak mungkin seseorang dikatakan menulis kecuali dengan menggunakan tangan. Ini serupa dengan firman Allah yang lainnya: Baca entri selengkapnya »

Allah SWT berfirman,

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada harikiamat dalam keadaan buta.” (Thaahaa: 124)
Ketika Allah SWT memberitahukan tentang keadaan hamba yang mengikuti petunjuk-Nya ketika di dunia dan di akhirat, Dia juga memberitahukan keadaan orang yang berpaling dan enggan mengikuti petuntuk-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” Artinya, berpaling dari peringatan yang Aku turunkan.
Kata dzikr di sini adalah kata benda yang disandarkan kepada faa ‘il (pelaku), seperti kata qiyaami (berdiriku) dan qiraa’ati (bacaanku). Kata benda tersebut bukan disandarkan kepada maf’ul (obyek), sehingga maknanya bukan, “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Ku.” Baca entri selengkapnya »

Firman Allah SWT,
“Maka, sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” (Thaahaa: 124)
Banyak salaful-ummah yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan sempit dalam ayat di atas adalah azab kubur. Dan mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil tentang adanya siksa kubur. Karena itulah Allah SWT berfirman,
“Dan Kami akan menghimpunkannya pada hah kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia. ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada had ini kamu pun dilupakan.” (Thaahaa: 124-126) Baca entri selengkapnya »

“Dan Kami mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan kami dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) dapat melihat.” (Thaahaa: 124-125)
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud buta dalam ayat di atas; apakah buta hati atau buta mata? Mereka yang  berpendapat bahwa itu adalah buta hati mengambil dalil dari firman Allah Ta’ala,
“Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami.” (Maryam: 38) Baca entri selengkapnya »

Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi :

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’.” (Al-An’am: 158)

Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Pada hari datangnya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman. Tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal untuk semakin bertambah keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah keimanan yang dia miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat) sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu jelas, di mana keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap perkara yang ghaib, dan merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman). Adapun bila tanda-tanda kekuasaan tersebut telah nampak, maka telah menjadi perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga keimanan tidak lagi berfaedah. Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti keimanan orang yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Baca entri selengkapnya »




Kumpulan Tafsir : Menanti Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Akhir Zaman

Menanti Tanda-tanda Kekuasaan Allah di Akhir Zaman


Penulis: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’.” (Al-An’am: 158)

Penjelasan Makna Ayat

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Pada hari datangnya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Rabbmu, yang merupakan kejadian yang luar biasa, yang dengannya diketahui bahwa kehancuran telah demikian dekat, dan kiamat tidak lama lagi. Maka tidak bermanfaat keimanan dari satu jiwa yang sebelumnya tidak beriman atau yang belum membuahkan kebaikan dalam keimanannya, yakni apabila telah dijumpai sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak bermanfaat keimanan seorang yang kafir apabila dia hendak beriman. Tidak pula bermanfaat bagi seorang mukmin yang kurang beramal untuk semakin bertambah keimanannya setelah itu. Namun yang bermanfaat bagi dia adalah keimanan yang dia miliki sebelum itu serta kebaikan yang dia miliki yang diharapkan (bermanfaat) sebelum datangnya sebagian dari tanda-tanda tersebut. Dan hikmah dari semua itu jelas, di mana keimanan yang mendatangkan manfaat adalah keimanan terhadap perkara yang ghaib, dan merupakan pilihan dari seorang hamba (untuk beriman). Adapun bila tanda-tanda kekuasaan tersebut telah nampak, maka telah menjadi perkara yang disaksikan (bukan ghaib), sehingga keimanan tidak lagi berfaedah. Sebab, hal tersebut menyerupai keimanan yang terpaksa. Seperti keimanan orang yang tenggelam, yang terbakar, dan orang-orang semisalnya yang apabila telah melihat kematian, dia pun berusaha melepaskan apa yang dahulu dia yakini. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِيْنَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُوْنَ
“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata: ‘Kami beriman hanya kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.” (Ghafir: 84-85)

Dan banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan sebagian dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Dan di saat manusia melihatnya, maka mereka pun beriman. Namun keimanan mereka tidaklah bermanfaat dan telah tertutup pintu taubat atas mereka. Tatkala ini merupakan janji yang dinanti terhadap orang-orang yang mendustakan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka beserta para pengikutnya menantikan kehancuran dan musibah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan: ‘Katakanlah: tunggulah (munculnya salah satu dari tanda tersebut), sesungguhnya kami termasuk orang-orang yang menunggunya,’ sehingga kalian akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan keselamatan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama berkata: ‘Tidak bermanfaatnya keimanan seseorang di kala terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, karena telah masuk ke dalam hati mereka perasaan takut yang melenyapkan setiap syahwat hawa nafsunya dan melemahkan setiap kekuatan dari kekuatan tubuhnya. Sehingga, manusia seluruhnya beriman karena mereka yakin akan dekatnya hari kiamat. Seperti keadaan orang yang mendekati kematian, yang memutuskannya dari berbagai dorongan melakukan perbuatan maksiat serta melemahkan tubuh-tubuh mereka. Barangsiapa bertaubat dalam keadaan seperti ini tidaklah diterima taubatnya, seperti tidak diterimanya taubat orang yang mendekati kematian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai ke tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dihasankan Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ no. 1903)
Yaitu, selama ruhnya belum sampai ke ujung tenggorokan. Waktu itu merupakan saat di mana seseorang melihat secara langsung tempatnya di dalam surga atau neraka. Maka orang yang menyaksikan terbitnya matahari dari tempat terbenamnya juga seperti itu (keadaannya). Oleh karenanya, sepantasnyalah setiap orang yang telah menyaksikan peristiwa tersebut atau yang memiliki hukum yang sama dengan yang menyaksikannya, taubatnya tertolak selama hidupnya. Sebab ilmunya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta janji-janji-Nya telah menjadi sesuatu yang terpaksa.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Ibnu Katsir rahimahullahu juga mengatakan: “Jika seorang kafir menampakkan keimanannya pada saat itu, maka tidak diterima darinya. Adapun bila dia seorang mukmin sebelum hari itu, jika dia baik dalam beramal, maka dia dalam kebaikan yang besar. Namun jika dia mengotori (imannya), lalu dia bertaubat saat itu, maka tidak diterima taubatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir)

Tertutupnya Pintu Taubat

Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang akan munculnya suatu waktu di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi menerima taubat orang-orang yang hendak bertaubat di masa itu. Yaitu di kala terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, yang menandakan akan berakhirnya zaman dan bangkitnya hari kiamat. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang penafsiran sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa yang dimaksud adalah tanda-tanda hari kiamat yang besar tersebut, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ إِذَا خَرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا؛ طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَالدَّجَّالُ، وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ

“Ada tiga perkara yang jika telah muncul maka tidak bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum munculnya atau dalam keimanannya tidak membuahkan kebaikan; Terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, (munculnya) Dajjal, dan (keluarnya) daabbah (binatang melata yang berdialog dengan manusia dan memberitakan kepada mereka akan dekatnya hari kiamat).” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Az-Zaman Al-Ladzi la Yuqbalu fihi Al-Iman, 1/158)

Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَإِذَا طَلَعَتْ وَرَآهَا النَّاسُ آمَنَ مَنْ عَلَيْهَا فَذَاكَ حِيْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا

“Tidak tegak hari kiamat hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya. Apabila telah terbit demikian, dan manusia telah melihatnya maka merekapun beriman. Dan itu merupakan hari yang tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa, yang dia tidak beriman sebelumnya atau tidak menghasilkan kebaikan pada keimanannya.” (HR. Al-Bukhari no. 4359 dan Muslim, 1/157)

Diriwayatkan juga dari Shafwan bin ‘Assal radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan:

أَنَّ اللهَ جَعَلَ بِالْمَغْرِبِ بَابًا عَرْضُهُ مَسِيْرَةُ سَبْعِيْنَ عَامًا لِلتَّوْبَةِ، لاَ يُغْلَقُ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ مِنْ قِبَلِهِ وَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: {يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا} اْلآيَةَ

“Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat sebuah pintu taubat di sebelah barat yang luasnya sejarak perjalanan 70 tahun, yang tidak akan ditutup selama matahari belum terbit dari tempat tersebut.  Dan itulah maksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا
‘Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman…’.”(HR. At-Tirmidzi no. 3536, dan beliau menshahihkannya serta dihasankan Al-Albani rahimahullahu)

Al-Imam Muslim rahimahullahu juga meriwayatkan dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia berkata: ‘Aku telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu hadits yang tidak aku lupakan. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya tanda hari kiamat yang paling pertama keluar adalah terbitnya matahari dari tempat terbenamnya’.”
Juga diriwayatkan dari hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada suatu hari: “Tahukah kalian ke mana perginya matahari ini?” Mereka (para sahabat) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau mengatakan: “Sesungguhnya dia pergi ke tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu dia merendahkan diri sambil sujud. Senantiasa dia dalam keadaan demikian hingga dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat yang engkau kehendaki.’ Dia pun terbit dari tempat biasanya terbit. Lalu dia terus berjalan, dalam keadaan manusia tidak terkejut sedikit pun akan hal itu. Sampai dia kembali berhenti lalu merendahkan diri sambil sujud di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dan manusia tidak terkejut sedikit pun dari hal itu. Lalu dikatakan kepadanya: ‘Terbitlah dari tempat terbenammu!’ Lalu terbitlah dia dari tempat terbenamnya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah kalian hari apa itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau menjawab: “Itu adalah hari yang tidak bermanfaat keimanan bagi satu jiwa yang tidak beriman sebelumnya atau keimanan yang padanya tidak menghasilkan kebaikan.” (HR. Muslim, 1/159)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ini merupakan riwayat-riwayat yang saling menguatkan yang sepakat menunjukkan bahwa jika matahari terbit dari tempat terbenamnya, tertutuplah pintu taubat dan tidak terbuka lagi. Dan hal tersebut tidak dikhususkan pada saat hari terbitnya (dari tempat terbenamnya saja), namun terus berlanjut hingga hari kiamat.” (Fathul Bari, 11/354)

Pengingkaran Ahlul Bid’ah tentang Kejadian Ini

Seluruh riwayat ini menunjukkan bahwa kejadian ini pasti akan terjadi di akhir zaman. Dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali dari kalangan ahlul bid’ah, seperti Khawarij dan Mu’tazilah.
Al-Qurthubi rahimahullahu berkata dalam Tafsir-nya setelah beliau menyebutkan hadits-hadits tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut: “Ini semua telah didustakan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah.” Lalu beliau menyebut atsar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya rajam itu benar, maka janganlah kalian tertipu. Dan hujjah yang menunjukkan hal tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegakkan rajam, dan Abu Bakr pun telah merajam, dan sesungguhnya kami pun telah melaksanakan rajam setelah mereka berdua. Dan akan muncul satu kaum dari kalangan umat ini yang akan mendustakan rajam, mendustakan Dajjal, mendustakan terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, mendustakan adanya siksa kubur, mendustakan syafaat, mendustakan kaum yang keluar dari neraka setelah mereka hangus terbakar.” (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 7/13364, Ahmad, 1/23. Namun dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dia lemah karena hafalannya yang buruk)
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu juga berkata dalam kitabnya At-Tamhid (23/98) setelah menyebutkan atsar ini: “Seluruh Khawarij dan Mu’tazilah mendustakan enam perkara ini. Sedangkan Ahlus Sunnah membenarkannya dan merekalah al-jamaah serta hujjah membantah orang-orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah.”

Pengingkaran Rasyid Ridha tentang Sujudnya Matahari di Bawah ‘Arsy

Di antara orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Dalam tafsirnya Al-Manar dia berkata setelah menyebutkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tentang sujudnya matahari di bawah ‘Arsy: “Hadits ini diriwayatkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dari berbagai jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik, dari Abu Dzar. Dan dia –walaupun di-tsiqah-kan oleh segolongan orang– adalah mudallis. Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: ‘Dia tidak bertemu Abu Dzar.’ Seperti yang dikatakan Ad-Daruquthni rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari Hafshah dan Aisyah, dan tidak menjumpai zaman keduanya.’ Dan seperti yang disebutkan oleh Ibnul Madini rahimahullahu: ‘Dia tidak mendengar dari ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hal itu disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib. Dan telah diriwayatkan selain riwayat ini dari para sahabat dengan cara ‘an’anah1, sehingga ada kemungkinan yang memberitakan kepadanya dari mereka adalah orang yang tidak terpercaya. Maka, jika pada sebagian riwayat Shahihain dan kitab-kitab Sunan berpenyakit seperti ini, ditambah lagi ada kemungkinan dimasuki kisah Israiliyat dan kekeliruan penukilan secara makna, lalu bagaimana lagi dengan riwayat-riwayat yang ditinggalkan oleh dua Syaikh (Al-Bukhari dan Muslim) dan yang ditinggalkan oleh periwayat kitab-kitab Sunan?”
Inilah perkataannya. (Tafsir Al-Manar, 8/211-212. Lihat kitab Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf bin Abdillah Al-Wabil hal. 394)
Dan ini merupakan perkataan yang batil, yang dijadikan senjata oleh ahlul bid’ah untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menolak apa yang telah menjadi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun jawaban terhadap syubhat Rasyid Ridha adalah sebagai berikut:
Pertama: dalam hadits tersebut tidak terdapat riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Namun yang benar adalah riwayat Ibrahim bin Yazid At-Taimi dari ayahnya dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Dan ayahnya bernama Yazid bin Syarik At-Taimi Al-Kufi. Beliau meriwayatkan hadits secara langsung dari para shahabat, di antaranya: ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Ibnu Mas’ud dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah.
Kedua: dalam riwayat tersebut, Ibrahim bin Yazid telah menyebutkan secara jelas bahwa beliau mendengarkan hadits secara langsung dari ayahnya tanpa perantara. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim, dia mengatakan: “Dari Ibrahim bin Yazid At-Taimi bahwa dia mendengar –sebagaimana yang aku ketahui– dari ayahnya, dari Abu Dzar.” Maka hilanglah persangkaan tuduhan tadlis dalam riwayat tersebut.
Oleh karena itu, para ulama Ahlus Sunnah terus menerima hadits ini tanpa ada penolakan dari mereka. Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu berkata ketika menjelaskan hadits Abu Dzar tersebut: “Pada perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Tempat menetapnya di bawah Arsy’, kita tidak mengingkari bahwa matahari memiliki tempat menetap di bawah ‘Arsy, dari sisi yang kita tidak mampu menjangkaunya, tidak bisa kita saksikan. Dan sesungguhnya bila kita dikabarkan tentang perkara ghaib, maka kita tidak mendustakannya dan tidak menanyakan bagaimana, sebab ilmu kita tidak mampu menjangkaunya.”
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun tentang sujudnya matahari, itu adalah sebuah jangkauan ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah ciptakan padanya.” (lihat Asyrath As-Sa’ah, karya Yusuf Al-Wabil hal. 385)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita sekalian dari penyimpangan yang menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawab.

 _______________________________________________________________________________
1 Maksudnya adalah periwayatan dengan lafadz ‘an, yang berarti dari. Yakni dia tidak menjelaskan apakah dia mendengar langsung dari gurunya atau tidak.



(Sumber : http:/www.Asysyariah.com)

Kumpulan Tafsir : Maksud Kebutaan Pada Hari Kiamat


Maksud Kebutaan Pada Hari Kiamat


قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا
Qaala rabbi lima hasyartanii a'ma waqad kuntu bashiiran


قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
Qaala kadzalika atatka aayaatunaa fanasiitahaa wakadzalikal yauma tuns(a)

“Dan Kami mengumpulkan mereka pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan kami dalam keadaan buta, padahal aku dulu (di dunia) dapat melihat.” (Thaahaa: 124-125)

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud buta dalam ayat di atas; apakah buta hati atau buta mata? Mereka yang  berpendapat bahwa itu adalah buta hati mengambil dalil dari firman Allah Ta’ala,


أَسْمِعْ بِهِمْ وَأَبْصِرْ يَوْمَ يَأْتُونَنَا لَكِنِ الظَّالِمُونَ الْيَوْمَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Asmi' bihim wa-abshir yauma ya'tuunanaa lakinizh-zhaalimuunal yauma fii dhalalin mubiinin

“Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka pada hari mereka datang kepada Kami.” (Maryam: 38)


Dan firman-Nya,

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
Laqad kunta fii ghaflatin min hadzaa fakasyafnaa 'anka ghithaa-aka fabasharukal yauma hadiidun

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari hal ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, hingga penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Qaaf: 22)



يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلائِكَةَ لا بُشْرَى يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا
Yauma yaraunal malaa-ikata laa busyra yauma-idzil(n)-lilmujrimiina wayaquuluuna hijran mahjuuran

“Pada hari mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa.” (al-Furqaan: 22)

كَلا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
Kalaa lau ta'lamuuna 'ilmal yaqiin(i)


لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ
Latarawun-nal jahiim(a)


ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ
Tsumma latarawun-nahaa 'ainal yaqiin(i)

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahanam, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘aunul yakin.” (at-Takaatsur: 5-7)

Ayat-ayat semisalnya yang menegaskan bahwa pada hari kiamat manusia akan melihat dengan mata kepala adalah,


وَتَرَاهُمْ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا خَاشِعِينَ مِنَ الذُّلِّ يَنْظُرُونَ مِنْ طَرْفٍ خَفِيٍّ وَقَالَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلا إِنَّ الظَّالِمِينَ فِي عَذَابٍ مُقِيمٍ
Wataraahum yu'radhuuna 'alaihaa khaasyi'iina minadz-dzulli yanzhuruuna min tharfin khafii-yin waqaalal-ladziina aamanuu innal khaasiriinal-ladziina khasiruu anfusahum wa-ahliihim yaumal qiyaamati alaa innazh-zhaalimiina fii 'adzaabin muqiimin

“Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan duduk karena (merasa) hina. Mereka melihat dengan pandangan lesu.” (asy-Syuuraa: 45)


يَوْمَ يُدَعُّونَ إِلَى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّا
Yauma yuda'uuuna ila naari jahannama da'aan


هَذِهِ النَّارُ الَّتِي كُنْتُمْ بِهَا تُكَذِّبُونَ
Hadzihin-naarullatii kuntum bihaa tukadz-dzibuun(a)


أَفَسِحْرٌ هَذَا أَمْ أَنْتُمْ لا تُبْصِرُونَ
Afasihrun hadzaa am antum laa tubshiruun(a)

“Pada hari mereka didorong ke neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), ‘Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakaanya. Maka apakah ini sihir ataukah kamu tidak melihat?” (ath-Thuur: 13-15)


وَرَأَى الْمُجْرِمُونَ النَّارَ فَظَنُّوا أَنَّهُمْ مُوَاقِعُوهَا وَلَمْ يَجِدُوا عَنْهَا مَصْرِفًا
Waraal mujrimuunannaara fazhannuu annahum muwaaqi'uuhaa walam yajiduu 'anhaa mashrifan

“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya.” (al-Kahf: 53)

Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa buta yang dimaksud adalah buta mata, mengatakan bahwa susunan kalimat dalam surah Thaahaa ayat 124-125 hanyalah menunjukkan kebutaan mata kepala. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kata-kata,


قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا
Qaala rabbi lima hasyartanii a'ma waqad kuntu bashiiran

“Dia berkata, ‘Ya Tuhan mengapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat?’” (Thaahaa: 125)

Jadi orang tersebut tahu bahwa ketika di dunia ia buta dari kebenaran bukannya buta matanya, sehingga ia mengatakan, “Dan sungguh dulu aku melihat.” Lalu bagaimana ketika kata-katanya itu dijawab dengan firman-Nya,


قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
Qaala kadzalika atatka aayaatunaa fanasiitahaa wakadzalikal yauma tuns(a)

“Demikianlah, karena kamu telah didatangi ayat-ayat kami, lalu kamu melupakannya.Maka, demikian pula hari ini kamu dilupakan.” (Thaahaa: 126)

Jawaban ini menunjukkan bahwa kebutaan di akhirat tersebut adalah buta mata. ini adalah balasan baginya yang setimpal dengan perbuatannya. Yaitu, ketika dia enggan mengikuti apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya dan mata hatinya buta, maka pada hari kiamat Allah Ta’ala membutakan matanya. Allah Ta’ala membiarkannya di dalam siksaan karena dia telah meninggalkan petunjuk-Nya di dunia. Karena itu, Allah membalas kebutaaan hatinya dengan kebutaan matanya pada hari kemudian. Dia membalas keengganannya mengikuti petunjuk dengan membiarkannya tersiksa alam azab. Ini juga sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,


وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Waman yahdillahu fahuwal muhtadi waman yudhlil falan tajida lahum auliyaa-a min duunihi wanahsyuruhum yaumal qiyaamati 'ala wujuuhihim 'umyan wabukman washumman ma'waahum jahannamu kullamaa khabat zidnaahum sa'iiran

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang Dia sesatkan, maka sekali-kali dia tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli.” (al-lsraa: 97)

Akan tetapi, kelompok lainnya mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah mereka buta, bisu dan tuli dari petunjuk, bukan buta, bisu, dan tuli yang sesungguhnya. Hal ini juga mereka katakan pada ayat,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Waman a'radha 'an dzikrii fa-inna lahu ma'iisyatan dhankan wanahsyuruhu yaumal qiyaamati a'm(a)

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (secara batiniah), dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat, dalam keadaan buta'." – (QS.20:124)

Kelompok ini mengatakan bahwa pada hari kiamat orang-orang tersebut berbicara, mendengar, dan melihat.
Kelompok lainnya lagi berpendapat hahwa kebutaan, kebisuan, dan ketulian tersebut bersifat terbatas tidak mutlak. Artinya, mereka hanya tidak bisa melihat dan mendengar apa yang membahagiakan mereka. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa a berkata, “Mereka tidak melihat sesuatu yang dapat menyenangkan mereka.”
Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang tersebut dikumpulkan dalam keadaan buta ketika para malaikat mencabut nyawa mereka dan ketika mereka dikeluarkan dari kehidupan dunia, serta ketika mereka bangkit dari kubur menuju ke padang mahsyar. Baru setelah itu mereka dapat mendengar dan melihat. Pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Bashri.
Pendapat lain mengatakan bahwa kebutaan ini terjadi tatakala mereka memasuki neraka dan berada di dalamnya. Pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bicara dicabut dari mereka tatkala Allah Ta’ala berkata kepada mereka,


قَالَ اخْسَئُوا فِيهَا وَلا تُكَلِّمُونِ
Qaalaakhsa-uu fiihaa walaa tukallimuun(i)
"Allah berfirman: 'Tinggallah dengan hina di dalamnya (neraka), dan janganlah kamu berbicara dengan Aku'." – (QS.23:108)

Ketika itu harapan mereka terputus dan akal mereka tidak berfungsi. Menjadilah mereka semua orang buta, bisu, dan tuli. Mereka tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak berbicara. Tidak ada yang terdengar dari mereka kecuali hembusan dan tarikan nafas. Pendapat ini dinukil dari Muqatil bin Sulaiman.
Sedangkan yang dimaksud oleh pendapat yang mengatakan bahwa mereka buta dari argumen, adalah bahwa mereka tidak mempunyai argumentasi sama sekali, bukan maksudnya mereka memiliki argumen dan mereka tidak mampu melihatnya. Akan tetapi, yang dimaksud pendapat ini adalah bahwa mereka buta dari petunjuk sebagaimana keadaan mereka di dunia yang buta dari petunjuk tersebut. Pendapat ini dikuatkan dengan alasan bahwa manusia mati sesuai dengan kondisinya ketika hidup, dan akan dibangkitkan sesuai dengan kondisinya ketika mati.
Dari seluruh paparan di atas, maka tampak bahwa pendapat yang benar adalah kebutaan tersebut kebutaan mata kepala. Pasalnya pada hari kiamat orang kafir mengetahui akan kebenaran dan mengakui apa yang dia dustai ketika di dunia. Oleh karena itu, pada hari kiamat orang kafir tersebut tidak buta dari kebenaran.
Adapun  al-hasyr  (pengumpulan) terkadang yang dimaksud adalah ketika dikumpulkan pada hari kiamat, seperti sabda Rasulullah Sholalloh ‘alaihi wasalam.,

“Sesungguhnya kalian dikumpulkan menuju Allah dalam keadaan telanjang kaki, telanjang pakaian, dan tidak dikhitan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dan firman Allah Ta’ala,


وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ
Wa-idzaal wuhuusyu husyirat

“Dan ingatlah ketika binatang-binatang buas dihimpun.” (at-Takwir: 5)


وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الأرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Wayauma nusai-yirul jibaala wataral ardha baarizatan wahasyarnaahum falam nughaadir minhum ahadan

"Dan (ingatlah) akan hari (kiamat, yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung, dan kamu akan melihat bumi itu datar, dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka." – (QS.18:47)

Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan al-hasyr adalah bahwa mereka dihimpun, dikumpulkan, dan digiring menuju tempat kediaman yang abadi. Bagi orang-orang yang bertakwa, maka mereka dihimpun dan digiring menuju ke surga. Sedangkan orang-orang kafir dikumpulkan dan digiring menuju neraka. Allah Ta’ala berfirman,


يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَنِ وَفْدًا
Yauma nahsyurul muttaqiina ilar-rahmani wafdan

“(Ingatlah) hari ketika Kami mengumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat.”  (Maryam: 85)

Dalam ayat ini,  al-hasyr  (pengumpulan) tersebut adalah setelah mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar, yaitu ketika mereka dikumpulkan di neraka, karena sebelumnya Allah SWT berfirman,


وَقَالُوا يَا وَيْلَنَا هَذَا يَوْمُ الدِّينِ
Waqaaluuu yaa wailanaa hadzaa yaumuddiin(i)


هَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ
Hadzaa yaumul fashlil-ladzii kuntum bihi tukadz-dzibuun(a)

 “Dan mereka berkata, “Aduhai celakalah kita” Allah berkata, ‘Inilah hah pembalasan. Inilah hah keputusan yang selalu kamu dustakan.’” (ash-Shaffaat: 20-21)


احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ
Ahsyuruul-ladziina zhalamuu wa-azwaajahum wamaa kaanuu ya'buduun(a)


مِنْ دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
Min duunillahi faihduuhum ila shiraathil jahiim(i)

“(Kepada para malaikat diperintahkan), ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu mereka sembah selain Allah, maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.’” (ash-Shaffaat: 22-23)

Penghimpunan dalam ayat terakhir ini, adalah penghimpunan yang kedua. Dengan demikian, orang-orang zalim  mereka “berada di antara dua  al-hasyr (penghimpunan). Pertama, ketika mereka digiring dari kubur menuju Padang Mahsyar. Kedua, dari Padang Mahsyar menuju neraka. Ketika dikumpulkan pertama kali mereka mendengar, melihat, berdebat, dan berbicara. Sedangkan, ketika dikumpulkan kedua kalinya mereka dikumpulkan dan diseret di atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Jadi setiap kondisi mempunyai bentuk penyiksaan yang cocok dan yang sesuai dengan keadilan Allah.
Dan ayat-ayat Al-Qur’an saling mendukung satu sama lainnya,


أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
Afalaa yatadabbaruunal quraana walau kaana min 'indi ghairillahi lawajaduu fiihiikhtilaafan katsiiran

“Seandainya Al-Qur’an ini bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapatkan pertentangan yang banyak.” (an-Nisaa: 82)


______________________________________

Miftah Dar as-Sa’adah, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU