Oleh KH Abdurrahman Wahid
Judul
di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses
“penyantrian” kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja,
pendapat ini berdasarkan pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta
muslimin dapat dianggap sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka
alias kaum muslimin yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan
ajaran-ajaran agama mereka. Orang-orang seperti itu, dikalangan “kaum
santri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang-orang abangan” (nominal muslim)
di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar, jauh lebih besar daripada
kaum santri. Jika di masa lampau ada anggapan, bahwa kaum santri yang
melaksanakan secara tuntas ajaran-ajaran agama mereka berjumlah sekitar
30 % dari penduduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini
tidak melaksanakan “kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.
Karena
“menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap Islam baru tersebar
dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka para wakil berbagai organisasi
Islam, menerima pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki
Bagus Hadikusumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subardjo,
Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan itu dengan mewakili
organisasi masing-masing. Tentu mereka bersikap seperti itu, karena
secara de facto telah berkonsultasi dengan kawan-kawan lain
dari organisasi masing-masing, atau paling tidak mengetahui sikap itu
diterima secara umum di kalangan gerakan Islam di Indonesia. Hanya
dengan keyakinan seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di
kemukakan di atas. Pengetahuan sejarah tersebut sangat diperlukan, untuk
mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan Islam itu,
sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk mengetahui motif dari
keputusan yang diambil tersebut.
Pada saat ini,
organisasi-organisasi Islam menguasai wacana politik dan budaya di
negeri kita. Sebagaimana terlihat dalam demikian banyak para “santri”
yang membeberkan pandangan dan pemikiran mengenai kedua bidang tersebut
dalam media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topik-topik yang
sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut aspek-aspek agama
Islam, namun hampir dua pertiga paparan pendapat dan pemikiran itu
berasal dari “dunia santri”. Bahkan mereka yang tidak menjalankan
seluruh ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari telah turut
bersama-sama menyatakan pendapat dan pandangan kaum santri di media
khalayak. Dari fakta ini, banyak pengamat asing tentang Indonesia,
berpandangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan kaum
santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.
***
Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati adalah pelaksanaan syari’ah
(jalan hidup kaum muslimin), umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan
masyarakat santri di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam
dijalankan dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah
dilakukan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai
“pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga perwakilan
rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah membuat sesuatu
yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk tidak mengaitkan negara
kepada kehidupan beragama secara formal atau resmi. Karena itu, ketika
penulis masih menjadi Presiden, telah mengusulkan agar tiap Peraturan
Daerah yang isinya bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap
batal.
Karena itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus
dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan dengan
keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa sampai
sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa daerah yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawabnya, karena Mahkamah Agung
yang seharusnya memberikan kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar
bagi kehidupan kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah
Mahkamah Agung yang benar-benar menjalankan kewajiban, tentulah tidak
takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum teroris”. Karena
ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak memberikan kontribusi
apa-apa dalam memudahkan berbagai masalah sangat penting bagi negeri
kita. Mahkamah Agung kita sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang
ingin memberlakukan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan
Franklin D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945,
bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri (what we have to fear is fear itself).
Umpamanya,
Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak
boleh bekerja sendirian setelah jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang
keluarga dekat, jelaslah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang
menyamakan kedudukan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara
lelaki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya dilihat
bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang penakut itu. Kalau
ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan atau tidak bertentangan
dengan UUD 1945, persoalannya adalah penggunaan nama syari’ah itu
sendiri. Tentu itu dilakukan dengan tujuan “mengislamkan” perundang-
undangan di negeri ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan
Ketua Mah kamah Agung Mesir, Al-Asmawi pernah mengemukakan dalam sebuah
buku, bahwa tiap undang-undang yang berisikan pencegahan dan hukuman (deterrence and punishment) pada hakikatnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?
Jelaslah
dengan demikian, upaya melakukan syari’atisasi dengan menggunakan
kerangka Al-Asmawi itu, adalah apa yang oleh fiqh (hukum Islam) dan
cabang-cabangnya dinamai “melakukan hal yang tidak perlu, karena sudah
dilakukan” (tahsil al-hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan
saja, sedangkan substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga
dilakukan secara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses syari’
atisasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa penggunaan
nama syari’ah. Hal tersebut dapat terjadi sebagai proses dalam hidup
bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, karena terbawa oleh
kerancuan kerangka berpikir, penyebutan syari’ah dalam produk-produk
DPRD propinsi, kabupaten dan kota hanya bersifat politis saja, sesuatu
yang perlu disayangkan.
***
Hal lain yang perlu kita
sayangkan, bahwa beberapa bank pemerintah telah mendirikan bank
syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat diperdebatkan. Bukankah bank
seperti itu menyatakan tidak memungut bunga bank (interest) tetapi menaikkan ongkos- ongkos (bank cost)
di atas kebiasaan? Bukankah dengan demikian, terjadi pembengkakan
ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip cara kerja sebuah dengan bank yang sehat. Lalu,
bagaimanakah halnya dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja
sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.
Karenanya,
banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-muslim, turut
terkena “demam syari’atisasi” tersebut. Hal itu disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam tersebut. Begitu juga,
sangat kurang diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara
institusional/kelembagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/budaya
dipihak lain. Kalau kita mementingkan budaya/kultur, maka lembaga yang
mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti partai
Islam, pesantren, dan tentu saja bank syari’ah. Selama budaya Islam
masih hidup terus, selama itu pula benih-benih berlangsungnya cara hidup
Islam tetap terjaga. Karena itu, kita tidak perlu berlomba-lomba
mengadakan syari’atisasi, bahkan itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan
oleh pihak pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Mudah dikatakan, namun
sulit dilaksanakan bukan?
*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Memorandum, 28 November 2003.
Home » Archives for 06/01/14
Minggu, 01 Juni 2014
SUFISME DI BELANTARA MODERNITAS
Oleh KH MA Sahal Mahfud
Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhlukNya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini justru sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syekh Ahmad bin Ruslan al-Syafi'i mengemukakan, "Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma'rifatullah dengan keyakinan". Bahwa sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa tidak mesti mengenal terlebih dulu siapa yang berhak disembah, untuk kemudian segala proses dan komponen ibadah kepadaNya tercerminkan di bawah ma'rifatullah. Sebab, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa ma'rifatullah.
Di balik itu, tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah di hari pembalasan nanti, seperti diungkapkan al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.
Dengan demikian ada dua hal yang menjadi agenda manusia di hadapan Tuhannya. Ketika seseorang pertama kali ingin memasuki "daerah" Allah, maka ia diwajibkan ma'rifatullah terlebih dahulu. Dan ketika seorang telah mencapai titik final perjalanannya, maka satu-satunya hal yang patut dicita-citakan dan diharapkan adalah hanya liqaullah (bertemu dengan Allah). Rentang antara liqaullah dan ma'rifatullah inilah yang kemudian melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi sekaligus keterkaitan erat dari dan oleh manusia sendiri.
***
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 57, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (mau'idhah) dari Tuhanmu dan penyembuh/obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifa'uh lima fi al-shudur) dan petunjuk (wa hudan) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (wa rahmatan li al-mu'minin)".
Ayat ini dalam tafsir Ruhul Ma'ani diinterpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan al-Qur'an -sebagai mau'idhah- secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut.
Lebih jauh lagi, Imam Junaedi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis munculnya klasifikasi syaritat, thariqat, haqiqat dan ma'rifat. Dari kalimat mau'idhah yang mengandung nasihat-nasihat untuk meninggalkan segala hal yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari'at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlaq al-mazmumah (perilaku tidak baik) yang dapat dilihat orang lain.
Sedangkan kalimat "syifa'un lima fii al-shudur" memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit ruhani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari akidah-akidah yang sesat dan tabiat-tabiat yang hina dan tercela. Ini merupakan filosofi munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat "wa hudan " mengisyaratkan kesempurnnan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan Allah.
Tingkatan ini menggambarkan adanya keadaan jiwa manusia yang telah terhiasi oleh akidah dan akhlak yang baik dan mulia, sehingga seseorang dapat meraih "dhuhur al-haq fi qulubi al-shiddiqin", yakni terlihatnya Allah yang Maha Haq di dalam hati para shiddiqin (orang-orang yang tingkat keimanannya setaraf dengan Abu Bakar Shiddiq). Adapun kalimat "wa rahmatan li al-mu'minin" memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma'rifat, bahwa seseorang telah meraih "tajalla anwar al-uluhiyah" (terpancarnya cahaya ketuhanan) yang abadi. Dengan "al-anw'ar al-uluhiyah" ini seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu'min lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar al-Makky punya pendapat yang intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya ketiga hal syari'at, thariqat dan haqiqat. Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar menggambarkan ketiga hal itu dengan pendapatnya yang lain:
''Syari'at itu seperti sebuah perahu, sedangkan thariqat adalah lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar laut".
Adapun tasawuf (sufisme) oleh banyak ulama masih diperdebatkan definisinya dengan seribu pendapat. Salah satu definisi tersebut adalah seperti yang dikemukakan Abu Zakariya al-Anshari:
"Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah".
Sehingga dengan definisi ini dapat diambil pengertian, tasawuf adalah refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung dan suci terhadap segala pelaksannan ketiga (atau keempat) hal di atas.
***
Abad XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban tinggi. Orang tak lagi membicarakan atau merisaukan hal-hal yang masih bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kocenderungan yang ada hanyalah dominasi sikap ingin serba praktis, mengenakkan dan lebih mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil produksi teknologi mutakhir yang mampu membikin manusia sebagai makhluk "serba manja".
Bersamaan dengan itu, persaingan masalah-masalah sosial dan pelaku-pelaku sosial itu sendiri, muncul sebagai efek lain dari modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari berjalannya kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistis akan menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya manusia justru acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.
Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari mencari. "dunia lain" yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Maka agama pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengubah keresahan tersebut, meskipun demikian hal itu tidak bisa dipahami sebagai suatu justifikasi tentang adanya asumsi bahwa agama adalah kompensasi kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman.
Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan 'uzlah ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud oleh para ulama didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorancg zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak kumanthil di dalam hati.
Begitu juga 'uzlah yang oleh Abu Bakar didefinisikan sebagai, "al-tafarrud 'an al-khalq" (memisahkan diri dari makhluk lain). Sikap ini terhitung sangat dianjurkan untuk diamalkan, ketika zaman dilanda pergeseran nilai-nilai Islam dan segala aturan normatifnya. Ketika seseorang khawatir terhadap fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamannnya berkurang intensitasnya, 'uzlah adalah salah satu sikap yang dapat menjawab tantangan itu.
Akan tetapi, apabila segala kekhawatiran tersebut tidak terlalu memprihatinkan, zuhud justru dipraktikkan dengan berkumpul dan bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk `amar ma'ruf nahi munkar. Lebih jauh lagi, para ulama sepakat, zuhud atau 'uzlah dapat dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga meskipun seseorang -misalnya- sedang berada di tengah keramaian sebuah pasar, akan tetapi dalam hatinya ia merasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.
***
SUFISME memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akhirat. Dalam ajaran sufisme ditemui adanya anjuran-anjuran untuk mempertinggi etos kerja. Seseorang yang mendalami tasawuf juga diperintahkan untuk bekerja mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya. Seseorang sama sekali tidak diperkenankan berpasrah diri dan tawakal kepada Allah SWT, sembari rajin mengerjakan shalat sunnah dan banyak berzikir, sebelum ia memenubi kewajiban-kewajibannya sebagai -misalnya- seorang kepala rumah tangga, mencari nafkah.
Akan tetapi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api di mana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalam hal ini mereka berkata:
"Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan".
Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata: "Semua harta benda dunia adalah battu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah, kecuali jika pengumpulannya dengan niat yang baik untuk akherat. Maka bila dalam pentasharufannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia iu pun akan menjadi harta akherat."
Dengan demikian, sufisme serta segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di tengah dunia modern. Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas, sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak berimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bukan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya.
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhlukNya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini justru sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syekh Ahmad bin Ruslan al-Syafi'i mengemukakan, "Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma'rifatullah dengan keyakinan". Bahwa sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa tidak mesti mengenal terlebih dulu siapa yang berhak disembah, untuk kemudian segala proses dan komponen ibadah kepadaNya tercerminkan di bawah ma'rifatullah. Sebab, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa ma'rifatullah.
Di balik itu, tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah di hari pembalasan nanti, seperti diungkapkan al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.
Dengan demikian ada dua hal yang menjadi agenda manusia di hadapan Tuhannya. Ketika seseorang pertama kali ingin memasuki "daerah" Allah, maka ia diwajibkan ma'rifatullah terlebih dahulu. Dan ketika seorang telah mencapai titik final perjalanannya, maka satu-satunya hal yang patut dicita-citakan dan diharapkan adalah hanya liqaullah (bertemu dengan Allah). Rentang antara liqaullah dan ma'rifatullah inilah yang kemudian melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi sekaligus keterkaitan erat dari dan oleh manusia sendiri.
***
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 57, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (mau'idhah) dari Tuhanmu dan penyembuh/obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifa'uh lima fi al-shudur) dan petunjuk (wa hudan) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (wa rahmatan li al-mu'minin)".
Ayat ini dalam tafsir Ruhul Ma'ani diinterpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan al-Qur'an -sebagai mau'idhah- secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut.
Lebih jauh lagi, Imam Junaedi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis munculnya klasifikasi syaritat, thariqat, haqiqat dan ma'rifat. Dari kalimat mau'idhah yang mengandung nasihat-nasihat untuk meninggalkan segala hal yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari'at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlaq al-mazmumah (perilaku tidak baik) yang dapat dilihat orang lain.
Sedangkan kalimat "syifa'un lima fii al-shudur" memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit ruhani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari akidah-akidah yang sesat dan tabiat-tabiat yang hina dan tercela. Ini merupakan filosofi munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat "wa hudan " mengisyaratkan kesempurnnan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan Allah.
Tingkatan ini menggambarkan adanya keadaan jiwa manusia yang telah terhiasi oleh akidah dan akhlak yang baik dan mulia, sehingga seseorang dapat meraih "dhuhur al-haq fi qulubi al-shiddiqin", yakni terlihatnya Allah yang Maha Haq di dalam hati para shiddiqin (orang-orang yang tingkat keimanannya setaraf dengan Abu Bakar Shiddiq). Adapun kalimat "wa rahmatan li al-mu'minin" memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma'rifat, bahwa seseorang telah meraih "tajalla anwar al-uluhiyah" (terpancarnya cahaya ketuhanan) yang abadi. Dengan "al-anw'ar al-uluhiyah" ini seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu'min lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar al-Makky punya pendapat yang intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya ketiga hal syari'at, thariqat dan haqiqat. Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar menggambarkan ketiga hal itu dengan pendapatnya yang lain:
''Syari'at itu seperti sebuah perahu, sedangkan thariqat adalah lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar laut".
Adapun tasawuf (sufisme) oleh banyak ulama masih diperdebatkan definisinya dengan seribu pendapat. Salah satu definisi tersebut adalah seperti yang dikemukakan Abu Zakariya al-Anshari:
"Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah".
Sehingga dengan definisi ini dapat diambil pengertian, tasawuf adalah refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung dan suci terhadap segala pelaksannan ketiga (atau keempat) hal di atas.
***
Abad XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban tinggi. Orang tak lagi membicarakan atau merisaukan hal-hal yang masih bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kocenderungan yang ada hanyalah dominasi sikap ingin serba praktis, mengenakkan dan lebih mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil produksi teknologi mutakhir yang mampu membikin manusia sebagai makhluk "serba manja".
Bersamaan dengan itu, persaingan masalah-masalah sosial dan pelaku-pelaku sosial itu sendiri, muncul sebagai efek lain dari modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari berjalannya kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistis akan menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya manusia justru acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.
Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari mencari. "dunia lain" yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Maka agama pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengubah keresahan tersebut, meskipun demikian hal itu tidak bisa dipahami sebagai suatu justifikasi tentang adanya asumsi bahwa agama adalah kompensasi kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman.
Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan 'uzlah ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud oleh para ulama didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorancg zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak kumanthil di dalam hati.
Begitu juga 'uzlah yang oleh Abu Bakar didefinisikan sebagai, "al-tafarrud 'an al-khalq" (memisahkan diri dari makhluk lain). Sikap ini terhitung sangat dianjurkan untuk diamalkan, ketika zaman dilanda pergeseran nilai-nilai Islam dan segala aturan normatifnya. Ketika seseorang khawatir terhadap fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamannnya berkurang intensitasnya, 'uzlah adalah salah satu sikap yang dapat menjawab tantangan itu.
Akan tetapi, apabila segala kekhawatiran tersebut tidak terlalu memprihatinkan, zuhud justru dipraktikkan dengan berkumpul dan bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk `amar ma'ruf nahi munkar. Lebih jauh lagi, para ulama sepakat, zuhud atau 'uzlah dapat dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga meskipun seseorang -misalnya- sedang berada di tengah keramaian sebuah pasar, akan tetapi dalam hatinya ia merasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.
***
SUFISME memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akhirat. Dalam ajaran sufisme ditemui adanya anjuran-anjuran untuk mempertinggi etos kerja. Seseorang yang mendalami tasawuf juga diperintahkan untuk bekerja mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya. Seseorang sama sekali tidak diperkenankan berpasrah diri dan tawakal kepada Allah SWT, sembari rajin mengerjakan shalat sunnah dan banyak berzikir, sebelum ia memenubi kewajiban-kewajibannya sebagai -misalnya- seorang kepala rumah tangga, mencari nafkah.
Akan tetapi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api di mana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalam hal ini mereka berkata:
"Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan".
Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata: "Semua harta benda dunia adalah battu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah, kecuali jika pengumpulannya dengan niat yang baik untuk akherat. Maka bila dalam pentasharufannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia iu pun akan menjadi harta akherat."
Dengan demikian, sufisme serta segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di tengah dunia modern. Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas, sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak berimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bukan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya.
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
TAUSHIAH
Terbaru
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses “penyantrian” kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka
Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat proses “penyantrian” kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka
بسم الله الرحمن الرحيم Alhamdulillah, berkat taufiq, hidayah, i’anah dan ‘inayah-Nya, bangsa Indonesia telah selesai melaksanakan agenda kenegaraan yang sangat penting, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif pada tanggal 9 April 2014.
Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan, bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak ancaman yang membahayakan diri mereka.
بسم الله الرحمن الرحيم. ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri, agar supaya mereka merasakan akibat sebagian dari apa-apa yang mereka perbuat, semoga mereka kembali ke jalan yang benar (QS/Rum [30]: 41)
Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri, agar supaya mereka merasakan akibat sebagian dari apa-apa yang mereka perbuat, semoga mereka kembali ke jalan yang benar (QS/Rum [30]: 41)
Oleh Raja Yordania Abdullah II
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Assalamu Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
“Terima Kasih”. Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mendukung Nahdlatul Ulama dalam tugasnya berdakwah. Kepada Anda semua-komunitas muslim Indonesia yang hebat, untuk seluruh sahabat dari berbagai keyakinan, dan kepada seluruh bangsa Indonesia, saya sampaikan salam Yordania dan salam dari seluruh rakyatnya.
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Assalamu Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
“Terima Kasih”. Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mendukung Nahdlatul Ulama dalam tugasnya berdakwah. Kepada Anda semua-komunitas muslim Indonesia yang hebat, untuk seluruh sahabat dari berbagai keyakinan, dan kepada seluruh bangsa Indonesia, saya sampaikan salam Yordania dan salam dari seluruh rakyatnya.
Oleh KH Abdurrahman Wahid
Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain.
Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain.
Nusantara sebagai sebuah kesatuan geografis, kesatuan budaya, kesatuan politik dan kesatuan ekonomi terbentuk melalui proses berabad-abad, setidaknya mulai wangsa Sanjaya Mataram, Sriwijaya yang terus berkembang zaman Kahuripan, Daha, Singasari, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram Baru hingga Republik Indonesia saat ini. Kehadiran penjajah Spanyol, Belanda, Inggris, selama ratusan tahun itu gagal memecah-belah kesatuan yang telah kokoh itu.
Sebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan جمعيّة دينيّة إجتماعيّة (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman أهل السّنّة والجماعة di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.
KETUA UMUM PBNU
Tiga puluh tahun yang lalu yakni tahun 1984 tepatnya di Situbondo, NU mencanangkan gerakan "Kembali ke Khittah 1926". Langkah strategis itu telah membawa kemajuan yang sangat berarti bagi NU, sehingga menjadi organisasi yang besar, kuat dan disegani. Pada hakekatnya kembali ke Khittah adalah kembali pada spirit, pola pikir serta nilai luhur pesantren.
Sejarah perlu dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang hanya dengan membaca potongan-potongan fragmen, sementara sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman menyimpang. Tidak hanya itu, bahkan bisa memutarbalikkan fakta dalam peristiwa. Hal itu terjadi di tengah bangsa ini dalam memahami sejarah pemberontakan PKI.
Langganan:
Postingan (Atom)