Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan, bahwa
setiap manusia hanya bisa memenuhi 1
Tujuan
utama Nahdlatul Ulama adalah mempersatukan langkah para ulama dan
pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian martabat
manusia.2
Gerakan
keagamaan yang digalang dimaksudkan untuk turut membangun dan
mengembangkan masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas,
terampil berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.3
Sebagai
organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh
prinsip persaudaraan (al-ukhuwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan
dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan
sesama warga negara.4
Dan
sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan
dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan
diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan akti mengambil
bagian dalam pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai
Allah SWT.5
Nahdlatul Ulama dalam hal ini mengembangkan ukhuwwah Islamiyah yang mengemban kepentingan bangsa.6 Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya ukhuwah7 dengan mengutip berbagai ayat A1-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan ukhuwah dimaksud.
***
Kata
ukhuwah berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk abstrak dari kata
akhun. Struktur katanya sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang
artinya anak laki-laki. Akhun dapat berarti saudara, bentuk jamaknya
ikhwah, dapat pula diartikan kawan, bentuk jamaknya ikhwan. Kata ukhuwah
menurut bahasa bisa diartikan kesaudaraan/persaudaraan atau
kekawanan/perkawanan.8
Dalam
penggunaan sehari-hari, sering juga dipakai dua pengertian tersebut.
Dalam Al-Qur’an, hubungan antar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan,
yang berarti bahwa orang mukmin bukan sekadar teman bagi mukmin yang
lain, namun lebih dari itu adalah saudara.9 Tetapi dalam ayat lain10 juga disebutkan sebagai ikhwan yang juga diperkuat oleh hadits.11
Ukhuwah
Islamiyah, dengan demikian berarti hubungan persaudaraan atau
perkawanan antar sesama umat Islam, dan dalam konteks keindonesiaan
adalah seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang tergabung dalam ormas
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mau pun yang lain.
Ukhuwah
Islamiyah dimaksud, seperti lazimnya hubungan persaudaraan antar anggota
keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai
pengikat tertentu, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari
keyakinan dogmatis mau pun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah.
Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak
berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri,
watak, latar belakang kehidupan dan wawasan berbeda satu sama lain.
Unsur
pengikat dalam upaya menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas
Allah SWT dan rasulNya, Muhammad SAW. Ikatan akidah inilah yang paling
kuat dibandling ikatan darah atau keturunan.12 Ia merupakan pondasi yang kokoh untuk suatu bangunan yang disebut ukhuwah Islamiyah.
Rasa
dan keyakinan satu Tuhan, satu rasul dan seiman, mampu menumbuhkan
cinta kasih yang mendalam, yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan
perilaku luhur, sarat dengan nilai akhlaq al-karimah dan solidaritas
sosial yang dalam. Di sini dituntut adanya kesadaran akan hak dan
kewajiban antar sesama muslim dan mukmin.13
Meskipun ada perbedaan, kebhinekaan dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat munculnya khushumah (permusuhan), 'adawah (perlawanan) maupun muhasadah (saling menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut.14
Dalam hal ukhuwah Islamiyah antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
sebagai ormas Islam yang cukup usia, keduanya mempunyai titik temu dalam
konteks keindonesiaan. Titik temu itu pada dasarnya adalah sama, ingin
berbuat untuk kemaslahatan umat atau masyarakat di Indonesia yang
tercinta ini.
Upaya mewujudkan kemaslahatan itu secara kongkrit
merupakan partisipasi nyata dalam pembangunan manusia seutuhnya.
Keduanya ingin mengejar kemajuan, menghilangkan keterbelakangan,
mengurangi kemiskinan dan mengikis kebodohan. Baik miskin materi, miskin
ilmu, miskin moral dan miskin iman.
Ukhuwah yang menumbuhkan
sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling
pengertian yang luas demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu
didambakan. Tentu saja dalam hal ini masing-masing berada pada posisinya
sesuai dengan kelebihan dan potensi yang dimiliki.
***
Memang
diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidak semulus yang ingin
dicapai. Di sini perlu telaah mendalam mengenai faktor-faktor
penghambat. Secara umum dapat dikemukakan antara lain, adanya fanatisme
buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini kadang
sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan atau
kesenjangan tertentu.
Faktor lain adalah sempitnya wawasan,
ketertutupan dan kurang atau bahkan tiadanya silaturrahim dan dialog
mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu, faktor penghambat
utama adalah tingkat akhlak yang relatif masih rendah, sehingga sering
timbul sikap tahasud, saling mencela dan ghibah (rerasan).
Hambatan
yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang
terhadap sesama. Padahal Rasulullah sampai-sampai menekankan dan
menggantungkan iman seseorang, pada sejauh mana ia mencintai sesamanya
seperti mencintai dirinya sendiri.15
Yang terjadi justru sebaliknya, seorang mukmin kurang mensyukuri,
bahkan tidak senang melihat kesuksesan mukmin lain, terkadang malah
lebih senang melihat kegagalannya. Di sini sering terjadi sikap
kompetisi yang kurang sehat, sikap ingin mendominasi segala-ganya dan
mengklaim apa saja yang berwatak positif bagi diri dan kelompoknya.
Upaya
untak mengatasi hambatan-hambatan tersebut dapat dilakukan semua pihak,
untuk pada gilirannya ukhuwah itu sendiri menjadi potensi yang sangat
bermanfaat bukan saja bagi warga ke dua belah pihak, namun bagi seluruh
warga negara Indonesia. Terciptalah kemudian sikap kebersamaan dalam
keragaman. Hal ini juga merupakan cerminan dari kesadaran bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Bagaimana menghilangkan atau paling
tidak memperkecil porsi sektarianisme dalam berbagai bidang yang
menyangkut aspek-aspek kehidupan? Bagaimana pula meningkatkan sikap dan
perilaku akhlak karimah serta mengembangkan sikap tasamuh, tawasuth dan
i'tidal? Bagaimana pula melembagakan silaturrahim dan dialog untuk
mencari titik maslahah untuk menghadapi tantangan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta arus budaya dan perubahan nilai? Semua
pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas dan konseptual, yang dapat
dirumuskan dalam forum-forum yang lebih serius.
Namun sebelum
semua pertanyaan di atas akan dijawab, ada satu pertanyaan yang sangat
mendasar, yang jawabannya akan sangat mempengaruhi atas perlu tidaknya
pertanyaan yang lain dicari jawabannya. Pertanyaan dimaksud ialah,
“Benarkah kita berniat menegakkan ukhuwah Islamiyah Indonesia?".
***
Catatan Kaki:
1. Mukaddimah Khittah 1926 alenia (1)
2. Ibid alenia (2)
3. Ibid alenia (3)
4. Khittah 1926 butir (8)
5. Ibid
6. Mukaddimah AD NU - 1984
7. Mukaddimah Qanun Asasi NU 1926
8. Kamus al-Munjid
9. Surat Al-Hujurat ayat 10
10. QS Ali Imran ayat 103
11. HR Bukhori dan Muslim
12. Sayid Quthub Assalam Al-'Aalami
13. Ibid
14. Qanun Asasi NU -1926
15. HR Bukhori dan Muslim
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial,
2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar
NU-Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah di Yogyakarta, 13 November 1989.
Judul asli Ukhuwah Islamiyah Indonesia.
kebutuhannya bila bersedia untuk
hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan
kebahagiaan dan menolak ancaman yang membahayakan diri mereka.
Persatuan, ikatan batin, saling membantu dan keseia-sekataan merupakan
prasyarat dari timbulnya persaudaraan (ukhuwah) dan kasih sayang yang
menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan
harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar