Maksud Berpaling dari Mengingat Allah dalam Ayat “A’radha ‘an Dzikri”
Allah SWT berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Waman a'radha 'an dzikrii fa-inna lahu ma'iisyatan dhankan wanahsyuruhu yaumal qiyaamati a'm(a)
Ketika Allah SWT memberitahukan tentang keadaan hamba yang mengikuti petunjuk-Nya ketika di dunia dan di akhirat, Dia juga memberitahukan keadaan orang yang berpaling dan enggan mengikuti petuntuk-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” Artinya, berpaling dari peringatan yang Aku turunkan.
Kata dzikr di sini adalah kata benda yang disandarkan kepada faa ‘il (pelaku), seperti kata qiyaami (berdiriku) dan qiraa’ati (bacaanku). Kata benda tersebut bukan disandarkan kepada maf’ul (obyek), sehingga maknanya bukan, “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Ku.”
Namun demikian, dalam ayat tersebut sudah pasti ada muatan makna tersebut.
Sedangkan untuk makna lainnya, akan kami sebutkan nanti. Akan tetapi, dalam ayat ini lebih tepat dikatakan bahwa kata dzikr tersebut disandarkan kepada kata ganti milik, bukan kepada maf’uul. Jadi maknanya adalah ‘Barangsiapa yang berpaling dari Kitab-Ku dan tidak mengikutinya’, karena Al-Qur an juga disebut dzikr. Allah SWT berfirman,
وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ أَفَأَنْتُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ
Wahadzaa dzikrun mubaarakun anzalnaahu afaantum lahu munkiruun(a)
ذَلِكَ نَتْلُوهُ عَليْكَ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ
Dzalika natluuhu 'alaika minaaayaati wadz-dzikril hakiim(i)
وَمَا هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
Wamaa huwa ilaa dzikrul(n)-lil'aalamiin(a)
“Dan Al-Qur’an itu tidak lain hanya peringatan bagi seluruh umat.” (al-Qalam: 52)إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
Innal-ladziina kafaruu bidz-dzikri lammaa jaa-ahum wa-innahu lakitaabun 'aziizun
“Sesungguhnya orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, mereka itu pasti akan celaka dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41)إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Innamaa tundziru maniittaba'adz-dzikra wakhasyiyar-rahmana bil ghaibi fabasy-syirhu bimaghfiratin wa-ajrin kariimin
Berdasarkan penjelasan ini, maka idhaafah (penyandaran) lafal dzikr adalah seperti penyandaran kata benda baku (jaamid) kepada kata ganti milik, bukannya penyandaran pelaku kepada obyeknya,
“Yang mengampuni dosa dan menerima tobat, lagi keras hukuman-Nya.” (Ghaafir: 3)
Beberapa idhaafah (penyandaran) dalam ayat ini tidak mempunyai makna berkesinambungan. Tetapi, maksud penyandaran itu adalah bahwa sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang tetap. Makna ini juga yang berlaku dalam sifat-sifat Allah SWT yang merupakan nama-nama-Nya. Allah SWT berfirman,
“Diturunkan kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Yang mengampuni dosa dan menerima tobat lagi keras hukuman-Nya. Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nyalah tempat kembali.” (Ghaafir; 2-3)
Miftah Ad Dar As Sa’adah – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar