
Dalam surat al-Ahzab ayat 41 Allah berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا 
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya.”
Di sini Allah memerintahkan kita untuk berdzikir sebanyak-banyaknya. 
Orang yang banyak berdzikir berarti memiliki hati yang hidup. Dia selalu
 sadar akan keadaannya sebagai seorang hamba yang fakir dan butuh kepada
 Allah serta hatinya dipenuhi dengan pengagungan dan pujian terhadap 
Allah. Perumpaan orang yang berdzikir dan yang tidak berdzikir adalah 
seperti orang yang hidup dan orang yang mati.
Namun barangkali kita belum menyadari apa sajakah manfaat dzikir bagi
 pelakunya? Ibnul Qayyim al-Jauziyyah telah menyebutkan banyak manfaat 
dan faidah dzikir yang bisa menambah motivasi kepada kita untuk banyak 
berdzikir. Faidah dzikir banyak sekali, bisa mencapai seratus lebih. 
Sebagian di antaranya:
Pertama: Mengusir syetan, menundukkan dan mengenyahkannya.
Kedua: Membuat Allah ridha.
Ketiga: 
Menghilangkan kesedihan dan kemuraman hati.
Keempat: Mendatangkan kegembiraan dan kesenangan di dalam hati.
Kelima: Menguatkan hati dan badan.
Keenam: Membuat hati dan wajah berseri.
Ketujuh: Melapangkan rezki.
Kedelapan: Menimbulkan rasa percaya diri dan kharisma.
Kesembilan: Menumbuhkan rasa cinta yang merupakan ruh Islam, menjadi 
inti agama, poros kebahagiaan dan keselamatan. Allah telah menjadikan 
segala sesuatu ada sebabnya. Maka Dia menjadikan sebab cinta adalah 
dzikir secara terus-menerus. Barangsiapa ingin mendapatkan cinta Allah, 
maka hendaklah dia senantiasa berdzikir dan mengingat Allah. Belajar dan
 mengingat merupakan pintu ilmu. Dzikir merupakan pintu cinta, dan jalan
 untuk itu sangat besar dan lurus.
Kesepuluh: Menumbuhkan perasaan bahwa dirinya diawasi, sehingga 
mendorongnya untuk selalu berbuat bajik. Dia beribadah kepada Allah 
seakan-akan Allah melihat dirinya secara langsung. Tapi orang yang lalai
 untuk berdzikir tidak akan sampai kepada kebajikan, sebagaimana orang 
yang hanya duduk saja tidak akan sampai ke tempat tujuan.
Kesebelas: Membuahkan ketundukan, yaitu berupa diri kepasrahan kepada
 Allah dan kembali kepada-Nya. Selagi dia lebih banyak kembali kepada 
Allah dengan cara menyebut asma-Nya, maka dalam keadaan seperti apa pun 
dia akan kembali kepada Allah dengan hatinya, sehingga Allah menjadi 
tempat mengadu dan tempat kembali, kebahagiaan dan kesenangannya, tempat
 bergantung tatkala mendapat bencana dan musibah.
Kedua belas: Membuahkan kedekatan kepada Allah. Seberapa jauh dia 
melakukan dzikir kepada Allah, maka sejauh itu pula kedekatannya dengan 
Allah, dan seberapa jauh dia lalai melakukan dzikir, maka sejauh itu 
jarak yang memisahkannya dengan Allah.
Ketiga belas: Membukakan pintu yang lebar dan berbagai pintu 
ma’rifat. Semakin banyak dia berdzikir, maka semakin lebar pintu yang 
terpampang di hadapannya.
Keempat belas: Membuahkan keengganan kepada Allah dan 
pengagungan-Nya, karena dia merasakan kebersamaan dengan Allah. Berbeda 
dengan orang yang lalai. Tabir keengganan ini sangat tipis di dalam 
hatinya.
Kelima belas: Membuatnya selalu diingat Allah, sebagaimana 
firman-Nya, “Maka ingatlah Aku, niscaya Aku mengingat kalian. 
“(Al-Baqarah: 152).
Keenam belas: Membangkitkan kehidupan di dalam hati. Kami pernah 
mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati sama 
dengan air bagi ikan. Apa yang terjadi dengan ikan andaikan dia 
dipisahkan dari air?”
Ketujuh belas: Dzikir merupakan santapan hati dan ruh. Jika hati dan 
ruh kehilangan santapannya, maka sama dengan badan yang tidak 
mendapatkan santapannya. Suatu kali kami menemui Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah yang sedang shalat subuh. Seusai shalat dia berdzikir kepada 
Allah hingga hampir tengah hari. Pada saat itu dia menengok ke arahku 
seraya berkata, “Inilah santapanku. Andaikan aku tidak mendapatkan 
santapan ini, tentu kekuatanku akan hilang.”
Kedelapan belas: Membersihkan hati dari karatnya, seperti yang sudah 
kami uraikan di bagian atas. Segala sesuatu ada karatnya. Karat hati 
adalah lalai dan hawa nafsu. Sedang untuk membersihkan karat ini ialah 
dengan taubat dan istighfar.
Kesembilan belas: Menyingkirkan kesalahan dan mengenyahkannya. Dzikir
 merupakan kebaikan yang paling agung. Sementara kebaikan dapat 
menyingkirkan keburukan.
Kedua puluh: Menyelamatkannya dari adzab Allah, sebagaimana yang 
dikatakan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan dia memarfu’kannya, 
“Tidak ada amal yang dilakukan anak Adam yang lebih menyelamatkannya 
dari adzab Allah selain dari dzikir kepada Allah.
Kedua puluh satu: Dzikir memberikan rasa aman dari penyesalan pada 
hari kiamat. Karena majelis yang di dalamnya tidak ada dzikir kepada 
Allah, maka akan menjadi penyesalan bagi pelakunya pada hari kiamat.
Kedua puluh dua: Dzikir merupakan ibadah yang paling mudah, namun 
paling agung dan paling utama. Sebab gerakan lidah merupakan gerakan 
anggota tubuh yang paling ringan dan paling mudah. Andaikan ada anggota 
tubuh lain yang harus bergerak seperti gerakan lidah sehari semalam, 
tentu ia akan kesulitan melaksanakannya dan bahkan tidak mungkin.
Kedua puluh tiga: Dzikir merupakan tanaman surga, sebagaimana yang 
diriwayatkan at-Tirmidzy dari hadits Abdullah bin Mas’ud dia berkata, 
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Pada 
malam aku diisra’kan, aku bertemu Ibrahim al-Khalil ‘alaihi salam seraya
 berkata kepadaku, “Hai Muhammad, sampaikanlah salamku kepada umatmu, 
dan beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar 
airnya, dan bahwa surga itu merupakan kebun, sedangkan tanamannya adalah
 subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, wallahu akbar.” 
Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan gharib. Dia juga meriwayatkan dari 
Abu Zubair dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda, “ 
Barangsiapa mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’, maka ditanamkan 
baginya pohon kurma di surga.” Menurut at-Tirmidzy ini hadits hasan 
shahih.
Kedua puluh empat: Terus menerus dzikir kepada Allah membuatnya tidak
 melalaikan Allah. Padahal lalai mengingat Allah merupakan sebab 
penderitaan hamba di dunia dan di akhirat. Siapa yang melalaikan Allah 
juga akan lalai terhadap dirinya sendiri dan kemaslahatannya.
***
_______________________ 
Rujukan: Kalimat Thayyibah Kumpulan Dzikir dan Do’a, Ibnul Qayyim al-Jauziyah penerbit 
Pustaka al-Kautsar 1999.