Selasa, 03 Juni 2014

Islam dan Politik

Islam dan PolitikOleh KH MA Sahal Mahfudh

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

***

Syari'ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.

Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.

Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.

Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.

Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.

Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.

***

Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.

Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.

Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.

Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.

Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.

Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

***

Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.

Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.

Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi di Kendal, 4 Maret 1989.

Negara Islam, Adakah Konsepnya?

Negara Islam, Adakah Konsepnya?Oleh KH Abdurrahman Wahid

Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college - ahl halli wal aqdli), yang terdiri dari tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pemerintahan. Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.

***

Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky? Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.

Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, Haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

***

Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?

Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?


*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 18-April 2002.

NU dan Ukhuwah Islamiyah

Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan, bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi 1

Tujuan utama Nahdlatul Ulama adalah mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian martabat manusia.2

Gerakan keagamaan yang digalang dimaksudkan untuk turut membangun dan mengembangkan masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.3

Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwah), toleransi (at-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara.4

Dan sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan akti mengambil bagian dalam pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.5

Nahdlatul Ulama dalam hal ini mengembangkan ukhuwwah Islamiyah yang mengemban kepentingan bangsa.6 Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari menekankan pentingnya ukhuwah7 dengan mengutip berbagai ayat A1-Qur'an dan Hadits yang berkaitan dengan ukhuwah dimaksud.

***

Kata ukhuwah berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk abstrak dari kata akhun. Struktur katanya sama dengan kata bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akhun dapat berarti saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula diartikan kawan, bentuk jamaknya ikhwan. Kata ukhuwah menurut bahasa bisa diartikan kesaudaraan/persaudaraan atau kekawanan/perkawanan.8

Dalam penggunaan sehari-hari, sering juga dipakai dua pengertian tersebut. Dalam Al-Qur’an, hubungan antar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan, yang berarti bahwa orang mukmin bukan sekadar teman bagi mukmin yang lain, namun lebih dari itu adalah saudara.9 Tetapi dalam ayat lain10 juga disebutkan sebagai ikhwan yang juga diperkuat oleh hadits.11

Ukhuwah Islamiyah, dengan demikian berarti hubungan persaudaraan atau perkawanan antar sesama umat Islam, dan dalam konteks keindonesiaan adalah seluruh umat Islam di Indonesia, baik yang tergabung dalam ormas Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mau pun yang lain.

Ukhuwah Islamiyah dimaksud, seperti lazimnya hubungan persaudaraan antar anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung nilai-nilai pengikat tertentu, baik yang disepakati bersama, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis mau pun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah. Tetapi meskipun ada pengikat yang amat kuat dan melekat sekalipun, tidak berarti tanpa perbedaan. Sebagai umat, masing-masing mempunyai ciri, watak, latar belakang kehidupan dan wawasan berbeda satu sama lain.

Unsur pengikat dalam upaya menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas Allah SWT dan rasulNya, Muhammad SAW. Ikatan akidah inilah yang paling kuat dibandling ikatan darah atau keturunan.12 Ia merupakan pondasi yang kokoh untuk suatu bangunan yang disebut ukhuwah Islamiyah.

Rasa dan keyakinan satu Tuhan, satu rasul dan seiman, mampu menumbuhkan cinta kasih yang mendalam, yang kemudian diejawantahkan dalam sikap dan perilaku luhur, sarat dengan nilai akhlaq al-karimah dan solidaritas sosial yang dalam. Di sini dituntut adanya kesadaran akan hak dan kewajiban antar sesama muslim dan mukmin.13

Meskipun ada perbedaan, kebhinekaan dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat munculnya khushumah (permusuhan), 'adawah (perlawanan) maupun muhasadah (saling menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut.14 Dalam hal ukhuwah Islamiyah antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang cukup usia, keduanya mempunyai titik temu dalam konteks keindonesiaan. Titik temu itu pada dasarnya adalah sama, ingin berbuat untuk kemaslahatan umat atau masyarakat di Indonesia yang tercinta ini.

Upaya mewujudkan kemaslahatan itu secara kongkrit merupakan partisipasi nyata dalam pembangunan manusia seutuhnya. Keduanya ingin mengejar kemajuan, menghilangkan keterbelakangan, mengurangi kemiskinan dan mengikis kebodohan. Baik miskin materi, miskin ilmu, miskin moral dan miskin iman.

Ukhuwah yang menumbuhkan sikap saling melengkapi kekurangan dengan dasar ikhlas dan saling pengertian yang luas demi kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan. Tentu saja dalam hal ini masing-masing berada pada posisinya sesuai dengan kelebihan dan potensi yang dimiliki.

***

Memang diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidak semulus yang ingin dicapai. Di sini perlu telaah mendalam mengenai faktor-faktor penghambat. Secara umum dapat dikemukakan antara lain, adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan. Faktor sektarian ini kadang sampai pada penilaian benar-salah yang mengakibatkan ketegangan atau kesenjangan tertentu.

Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan dan kurang atau bahkan tiadanya silaturrahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu, faktor penghambat utama adalah tingkat akhlak yang relatif masih rendah, sehingga sering timbul sikap tahasud, saling mencela dan ghibah (rerasan).

Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Padahal Rasulullah sampai-sampai menekankan dan menggantungkan iman seseorang, pada sejauh mana ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri.15 Yang terjadi justru sebaliknya, seorang mukmin kurang mensyukuri, bahkan tidak senang melihat kesuksesan mukmin lain, terkadang malah lebih senang melihat kegagalannya. Di sini sering terjadi sikap kompetisi yang kurang sehat, sikap ingin mendominasi segala-ganya dan mengklaim apa saja yang berwatak positif bagi diri dan kelompoknya.

Upaya untak mengatasi hambatan-hambatan tersebut dapat dilakukan semua pihak, untuk pada gilirannya ukhuwah itu sendiri menjadi potensi yang sangat bermanfaat bukan saja bagi warga ke dua belah pihak, namun bagi seluruh warga negara Indonesia. Terciptalah kemudian sikap kebersamaan dalam keragaman. Hal ini juga merupakan cerminan dari kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Bagaimana menghilangkan atau paling tidak memperkecil porsi sektarianisme dalam berbagai bidang yang menyangkut aspek-aspek kehidupan? Bagaimana pula meningkatkan sikap dan perilaku akhlak karimah serta mengembangkan sikap tasamuh, tawasuth dan i'tidal? Bagaimana pula melembagakan silaturrahim dan dialog untuk mencari titik maslahah untuk menghadapi tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus budaya dan perubahan nilai? Semua pertanyaan ini memerlukan jawaban yang jelas dan konseptual, yang dapat dirumuskan dalam forum-forum yang lebih serius.

Namun sebelum semua pertanyaan di atas akan dijawab, ada satu pertanyaan yang sangat mendasar, yang jawabannya akan sangat mempengaruhi atas perlu tidaknya pertanyaan yang lain dicari jawabannya. Pertanyaan dimaksud ialah, “Benarkah kita berniat menegakkan ukhuwah Islamiyah Indonesia?".

***

Catatan Kaki:

1.    Mukaddimah Khittah 1926 alenia (1)
2.    Ibid alenia (2)
3.    Ibid alenia (3)
4.    Khittah 1926 butir (8)
5.    Ibid
6.    Mukaddimah AD NU - 1984
7.    Mukaddimah Qanun Asasi NU 1926
8.    Kamus al-Munjid
9.    Surat Al-Hujurat ayat 10
10.  QS Ali Imran ayat 103
11.  HR Bukhori dan Muslim
12.  Sayid Quthub Assalam Al-'Aalami
13.  Ibid
14.  Qanun Asasi NU -1926
15.  HR Bukhori dan Muslim





*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar NU-Muhammadiyah dan Ukhuwah Islamiyah di Yogyakarta, 13 November 1989. Judul asli Ukhuwah Islamiyah Indonesia.
kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak ancaman yang membahayakan diri mereka. Persatuan, ikatan batin, saling membantu dan keseia-sekataan merupakan prasyarat dari timbulnya persaudaraan (ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.

Taushiyah PBNU Soal Pemilu 2014

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah, berkat taufiq, hidayah, i’anah dan ‘inayah-Nya, bangsa Indonesia telah selesai
melaksanakan agenda kenegaraan yang sangat penting, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif pada tanggal 9 April 2014.
Kendati di sana-sini masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi di masa-masa mendatang, namun secara umum Pemilu telah berlangsung dengan aman dan damai.
Tiga bulan setelah selesainya Pemilu Legislatif, tepatnya pada tanggal 9 Juli 2014 bertepatan dengan bulan Ramadlan 1435 H, bangsa Indonesia kembali menyelenggarakan agenda kenegaraan yang tak kalah pentingnya, yakni Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (Pilpres).
Agar supaya Pilpres berlangsung dengan aman dan lancar serta menghasilkan pemimpin yang terbaik bagi bangsa, negara dan agama, maka Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menganggap perlu untuk menyampaikan taushiyah berikut ini:
  • Keikutsertaan secara aktif warga negara dalam pilpres merupakan perwujudan dari rasa tanggung jawab akan kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah menjadi kesepakatan kita bersama untuk menjaganya.
  • Bahwa partisipasi dalam pilpres dapat dianggap sebagai bentuk ibadah, selama hal itu dilakukan dengan cara-cara yang baik dan benar, yang mengindahkan nilai-nilai agama dan moral. Sebaliknya, manakala partisipasi itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara (al-ghayah tubarrir al-wasilah), maka hal itu merupakan bentuk kedurhakaan (maksiat) kepada Allah swt dan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara.
  • Bahwa money politics yang terbukti telah terjadi dalam pemilu legislatif yang lalu, baik yang melibatkan para calon anggota legislatif (caleg), tim sukses dan masyarakat pemegang hak pilih maupun aparat penyelenggara pemilu, tidak boleh berulang kembali pada pilpres yang akan datang. Money politics adalah bentuk suap (risywah). Ia merupakan risywah siyasiyyah (suap yang berdimensi politik), sehingga baginya berlaku sabda Nabi saw:

 الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي فِي النَّارِ - رواه الطبراني
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي: الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا - رواه أحمد
ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ،... وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا، فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ - رواه البخاري
  • Mengimbau kepada warga NU khususnya dan masyarakat serta bangsa Indonesia pada umumnya, untuk melakukan istighatsah, memohon pertolongan Allah swt agar pilpres nanti dapat berlangsung dengan aman, damai, dan lancar. Semoga Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih nanti benar-benar merupakan sosok pemimpin yang amanah, yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Pemimpin yang memiliki kemampuan untuk membawa bangsa Indonesia menuju kehidupan yang adil, makmur dan bermartabat.
  • Mengimbau kepada warga NU khususnya dan segenap anak bangsa pada umumnya untuk menjaga ikatan tali persaudaraan (ukhuwwah), kendati terjadi perbedaan pilihan dan dukungan di antara mereka. Kita wajib bersama-sama menciptakan iklim dan suasana damai, jauh dari hiruk pikuk provokasi dan agitasi yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.

Semoga Allah SWT berkenan mengabulkan harapan kita dan memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Amin ya Mujibas-sailin!
Wa akhiru da’wana ‘anil-hamdu lillahi Rabbil-‘alamin, wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.

Jakarta, 30 Jumadal-Akhirah 1435 H
                  30  April 2014 M


Dr. KH. A. Mustofa Bisri (Pj. Rais Aam)
Dr. KH. A. Malik Madaniy, MA (Katib Aam)
Dr. KH, Said Aqil Siroj, MA (Ketua Umum)
Dr. H. Marsudi Syuhud (Sekretaris Jenderal)

________________________________
Sumber : www.nu.or.id/taushiah
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU