Jumat, 20 September 2013

Syariah : Menginjak Bekas Bakaran Mushaf Al Quran

Syariah 
 
Menginjak Bekas Bakaran Mushaf Al Quran



Biasanya rumah orang muslim selalu dihiasi dengan al-Quran yang memenuhi lemari-lemari ruangan yang ada. Dari sekian banyak mushaf tersebut ada yang telah bertahun-tahun tidak dipegang, ataupun dibersihkan, sehingga mengakibatkan kerusakan pada lembaran-lembarannya. Bisa sobek, dimakan rayap, lapuk ataupun sebab lain.
Sebagai sesuatu yang bersifat suci dan mulia, sebaiknya mushaf senantiasa dijaga dan dirawat dengan baik, walaupun itu sudah dalam keadaan rusak dan robek akibat termakan zaman.  Guna menjaga kehormatan serpihan mushaf yang berupa sobekan-sobekan kecil itu, sebaiknya segera saja membakarnya dan membeli mushaf yang baru lagi. Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah hukum menginjak bekas bakaran Mushaf al-Quran tersebut ?
Jika memang benar-benar tahu bahwa bekas bakaran tersebut adalah mushaf Al Quran, maka tidak boleh menginjaknya dengan maksud pengingkaran atau penghinaan, tetapi jika tidak ada maksud mengingkari ataupun menghina, maka perbuatan tersebut tidak apa-apa, karena bekas bakaran mushaf Al Quran tersebut bukanlah disebut Mushaf lagi dan telah berubah status, wujud dan sifatnya

إذا عرف أن ذلك التراب أو الرماد هو رماد المصحف فلا يجوز له أن يطأه على وجه الإمتهان أو العناد
Jika telah diketahui bahwa abu atau bekas bakaran tersebut adalah mushaf, maka tidak boleh menginjaknya dengan maksud ingkar atau menghina.

وأما إذا لم يكن قاصد للإمتهان ولا معاندا فإن ذلك لا يكون حراما، لأنه قد خرج عن كونه قرآنا وتبدلت ذاته وصفته وشكله وهيئته
Sedangkan jika orang tersebut tidak ada maksud ingkar atau menghina, maka tidak apa-apa karena bekas bakaran mushaf Al Quran tersebut bukanlah disebut Mushaf lagi dan telah berubah status, wujud dan sifatnya.




_____________________________
Sumber :  http//www.nu.or.id

Syariah : Tidak Sunnah Membaca Bismillah sebelum Shalat

Syariah 
Tidak Sunnah Membaca Bismillah sebelum Shalat







Space Iklan
300 x 80 Pixel
Para ulama’ fiqih telah mendefinisikan shalat sebagai pekerjaan yang dimulai dengan takbiratul ihram (Allahu akbar) dan diakhiri dengan salam (Assalamu’alaikum warahmatullah), dengan berbagai syarat dan rukun yang telah ditentukan.Namun demikian, sering kali kita dengar seseorang melafadkan ta’awwudz (A’udzu Billaahi Minasy Syaithaanirrajim)  atau Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim)sebelum mendirikan shalat. Apakah hal itu termasuk dalam kategori sunnah?
Sebenarnya tidak disunahkan membaca Ta’awwudz atau Basmalah ketika hendak melaksanakan shalat, karena syara’ telah menetapkan bahwa shalat itu dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, Dalam Kitab Fatawa Isma’il Zain disebutkan

فإن الشارع جعل لها مبدأ وهو تكبيرة الإحرام فلا تسن البسملة قبلها
Syari’at telah menetapkan takbiratul ihram sebagai pembuka shalat, maka tidak disunahkan membaca bismillah sebelumnya. 
Lalu bagaimanakah dengan hadits Nabi tentang setiap pekerjaan yang tidak diawali dengan membaca basmalah adalah sia-sia?

كل أمر ذي بال لايبدأ فيه بسم الله الرحمن الرحيم فهو أبتر
Setiap pekerjaan yang tidak diawali dengan menyebut nama Allah, maka sia-sialah pekerjaan tersebut.
Disini bisa dikasih catatan, bahwa pekerjaan yang telah ditentukan oleh Syara’ seperti shalat adalah diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, maka tidak disunahkan membaca Ta’awwudz atau Basmalah sebelumnya. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas bisa diartikan sebagai larangan membaca bismillah dan ta'awudz sebelum shalat. karena tidak ada syariat yang melarang membaca basmallah sebelum shalat.
oleh karena itu, bagi mereka yang telah terbiasa membaca basmallah atau ta'awwudz sebelum shalat, hendaknya memahami betul bahwa basmaallah ataupun ta'awudz itu tidak termasuk dalam rukun shalat.

 &&****&&



_____________________________________
Sumber : http//www.nu.or.id

Syariah : Hukum Undangan Kawinan dan Kondangan

Syariah 

Hukum Undangan Kawinan dan Kondangan


Space Iklan
300 x 80 Pixel
Menghadiri undangan pesta perkawinan walimatul ‘arus adalah sesuatu yang wajib menurut fiqih, jika tidak ada halangan (udzur syar’i), begitu aturan fiqih sebagaimana terdapat dalam Kitab Kifayatul Akhyar


 والوليمة على العرس مستحبة، والإجابة إليها واجبة إلا من عذر

Mengadakan acara resepsi pernikahan adalah diperbolehkan, sedangkan memenuhi undangan resepsi tersebut adalah wajib hukumnya kecuali jika ada udzur atau halangan.
Sedangkan membawa sumbangan dalam berbagai bentuk kepada tuan rumah atau shahibul hajat (yang disebut dalam tradisi berbeda-beda kondangan, angpao, buwoh dll) tidaklah masuk dalam hukum wajib tersebut. mungkin hal itu merupakan pengejawantahan dari rasa saling membantu yang telah berurat akar dalam tradisi masyarakat kita.
Oleh karena itu tidak dibenarkan jika seseorang sengaja tidak menghadiri undangan walimatul ‘arus hanya dikarenakan tidak ada ‘barang bawaan (kondangan) yang akan diberikan kepada tuan rumah shahibul hajat. Akan tetapi, kuatnya tradisi kondangan (membawa sumbangan kepada tuan rumah dalam berbagai bentuk) ini, mengalahkan hukum fiqih. Sehingga terjadi pergeseran pemahaman.  Masyarakat banyak menganggap kondangan jauh lebih penting mengalahkan kehadiran itu sendiri. Hal inilah yang perlu diluruskan.
Lantas bagaimanakah jika memang ada sesuatu (udzur syar’i, sakit misalnya) yang menyebabkan seseorang tidak bisa menghadiri undangan, apakah wajib diwakilkan?  Jika memang ada udzur syar’i maka gugurlah kewajiban itu sendiri, tanpa harus diwakilkan. Karena dalam kaedah fiqih disebutkan


إن كل ما سقط بالعذر لا يقبل النيابة

Setiap kewajiban yang (bisa) gugur sebab adanya halangan (udzur),  maka kewajiban itu tidak bisa diwakilkan.
Adapun jika seseorang yang berhalangan hadir tersebut mengirimkan perwakilannya dengan tujuan menyampaikan kondangan maka hal itu boleh-boleh saja. Dan hal ini sudah tidak lagi   menjadi urusan fiqih,tetapi urusan norma sosial. 

 ******


_____________________________________
Sumber : http://www.nu.or.id

Syariah

Hukum Rambut Rontok saat Junub



Kalau mau bersih, mandi tentu pakai air dan sabun. Air harus dibeli. Ini tidak harus. Tetapi bagi sejumlah penduduk, air harus dibeli. Urusan sabun ini mutlak harus dibeli. Meskipun yang mewarung itu tetangga baik kenal maupun tidak, sabun tetap harus dibayar baik kontan maupun hutang.

Demikian persiapan mandi. Setidaknya demikian disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Adapun hukum mandi menurut syar‘i terbagi dua. Wajib dan sunah. Sunah bilamana mandi itu diniatkan untuk menghadiri sembahyang Jum‘at, istisqa, sembahyang gerhana, usai memandikan jenazah, wukuf, thawaf, atau masuk kota Mekkah.

Sementara mandi wajib diperuntukkan bagi mereka yang dalam keadaan junub karena keluar mani sebab jimak atau lainnya, usai haid, atau nifas.

Baik mandi wajib atau sunah, seseorang harus niat mandi wajib atau mandi sunahnya di awal basuhan. Persoalan niat ini sebuah kewajiban. Berikutnya meratakan tubuh dengan air. Segala permukaan dan lipatan di tubuh mesti secara rata terbasuh air baik berbentuk bulu, kuku, maupun kulit. Perataan air ini tidak terkait sama sekali dengan sabun. Yang penting rata dengan air.

Bagaimana kalau sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin mengatakan seperti di bawah ini.


ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها، قال الماوردي: إن كان الماء وصل أصلها، أجزأه، وإلا لزمه إيصاله إليه. وفي فتاوى ابن الصباغ: يجب غسل ما ظهر، وهو الأصح. وفي البيان وجهان. أحدهما يجب. والثاني لا، لفوات ما يجب غسله، كمن توضأ وترك رجله فقطعت. والله أعلم.

“Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.”

Jadi seseorang yang junub tidak perlu berpikir meskipun sekali untuk menyisir rambut karena takut rontok, memotong kuku, atau membersihkan bulu lainnya. Ia pun tidak perlu mengumpulkan rambut rontok dan potongan kukunya untuk dimandikan wajib bersama. Tetapi ada baiknya kalau ia menyisir atau memotong rambut, dan menggunting kuku setelah mandi wajib. Wallahu A’lam.



______________________________
Sumber : http://www.nu.or.id
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU