Rabu, 11 Juni 2014

Meluruskan Sejarah

Meluruskan SejarahSejarah perlu dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang hanya dengan membaca potongan-potongan fragmen, sementara sebagian fragmen telah dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman menyimpang. Tidak hanya itu, bahkan bisa memutarbalikkan fakta dalam peristiwa. Hal itu terjadi di tengah bangsa ini dalam memahami sejarah pemberontakan PKI.

Dalam pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI hanya dianggap membuat maneuver hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya diakui, sebab peristiwa berdarah  itu dianggap hanya manuver TNI Angkatan Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan petualangan politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan ormas Islam anti PKI seperti NU dll.

Pemberontakan PKI pertama kali dilakukan tahun 1926, kemudian dilanjutkan dengan Pemberontakan Madian 1948 dan dilanjutkan kembali pada tahun 1965 adalah suatu kesatuan sejarah yang saling terkait. Para pelakunya saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah bagaimana mengkomuniskan Indonesia dengan mengorbankan para ulama dan aparat negara.

Pemberontakan Madiun 1948  yang dilakukan PKI beserta Pesindo dan organ kiri lainnya menelan ribuan korban baik dari kalangan santri, para ulama, pemimpin tarekat, yang dibantai secara keji. Selain itu berbagai aset mereka seperti masjid, pesantren dan madrasah dibakar. Demikian juga kalangan aparat negara baik para birokrat, aparat keamanan, poliisi dan TNI banyak yang mereka bantai saat mereka menguasai Madiun dan sektarnya yang meliputi kawasan startegis Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Anehnya, PKI menuduh pembantaian yang mereka lakukan itu hanya sebagai manuver Hatta. Padahal jelas-jelas Bung Karno Sendiri yang berkuasa saat itu bersama Hatta mengatakan pada Rakyat bahwa Pemberontakan PKI di Madiun yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin itu sebuah kudeta untuk menikam republik dari Belakang, karena itu harus dihancurkan. Korban yang begitu besar itu ditutupi oleh PKI, karena itu tidak lama akemudian Aidit menerbitkan buku Putih yang memutarbalikkan Fakta pembantaian Madiun itu. Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi Aidit itu. Tetapi rakyat, para ulama dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri.

Karena peristiwa itu dilupakan maka PKI melakukan agitasi dan propaganda intensif sejak dimulainya kampanye Pemilu 1955, sehingga suasana politik tidak hanya panas, tetapi penuh dengan ketegangan dan konflik. Berbagai aksi teror dilakukan PKI. Para kiai dianggap sebagai salah satu dari setan desa yang harus dibabat. Kehidupan kiai dan kaum santri sangat terteror, sehingga mereka selalu berjaga dari serangan PKI.

Fitnah, penghinaan serta pembunuhan dilakukan PKI di berbagai tempat, sehingga terjadi konflik sosial yang bersifat horisontal antara pengikut PKI dan kelompok Islam terutama NU. Serang menyerang terjadi di berbagai tempat ibadah, pengrusakan pesantren dan masjid dilakukan termasuk perampasan tanah para kiai. Bahkan pembunuhan pun dilakukan. Saat itu NU melakukan siaga penuh yang kemudian dibantu oleh GP Ansor dengan Banser sebagai pasukan khusus yang melindungi mereka. Lagi-lagi Kekejaman yang dilakukan PKI terhadap santri dan kiai dan kalangan TNI itu dianggap hanya manuver TNI AD.

Sejarah dibalik. Yang selama ini PKI bertindak sebagai pelaku kekejaman, diubah menjadi pihak yang menjadi korban kekejaman para ulama dan TNI. Lalu mereka membuat berbagai maneuver melalui amnesti internasional dan mahkamah internasional, termasuk Komnas HAM. Karena mereka pada umumnya tidak tahu sejarah, maka dengan mudah mempercayai pemalsuan sejarah seperti itu. Akhirnya kalangan TNI, pemerintah dan NU yang membela diri dan membela agama serta membela ideologi negara itu dipaksa minta maaf, karena dianggap melakukan kekejaman pada PKI.

PKI telah menciptakan suasana  sedemikian tegang ,sehingga sampai pada situasi to kill or to be killed (membunuh atau dibunuh), dalam sebuah  perang saudara. Oleh karena itu kalau diperlukan perdamaian maka keduanya bisa saling member maaf, bukan permintaan maaf sepihak sebagaimana mereka tuntut, karena justeru kesalahan ada pada mereka dengan melakukan agitasi serta teror bahkan pembantaian.

Pemahaman sejarah yang menyimpang ini harus diluruskan karena telah menyebar luas. Bahkan tidak sedikit kader NU yang berpandangan demikian, karena itu harus diluruskan, karena ini menyangkut peran politik NU ke depan.

Demi membangun Indonesia ke depan yang utuh dan tanpa diskriminasi NU bersedia memaafkan PKI sejauh mereka minta maaf. NU boleh memaafkan PKI tetapi sama sekali tidak boleh melupakan semua petualangan PKI, agar tidak terjerumus dalam lubang sejarah untuk ketiga kali. Dengan demikian bisa bersikap proporsional, bersahabat, bekerjasama dengan semua pihak, namun tetap menjaga keberadaan agama, keutuhan wilayah, komitmen ideologi serta keamanan negara.

Jakarta, 1 Oktober 2012


H As’ad Said Ali
Wakil Ketua Umum PBNU

Visi NU 2013

Visi NU 2013Berangkat dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak beberapa tahun yang lalu, maka mulai awal tahun 2013 ini hingga beberapa tahun sesudahnya diharapkan ada kemajuan yang berarti bagi bangsa ini baik di bidang sosial-politik, bidang ekonomi dan bidang kebudayaan.
Oleh sebab itu, NU kembali mengajak seluruh komponen bangsa baik pemerintah, kalangan TNI, partai politik, kalangan bisnis, kelompok profesional, kalangan Ormas, lembaga swadaya masyarakat dan tidak ketinggalan pula kalangan agamawan agar bersatu padu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat dan bangsa ini dengan menggunakan cara dan sarana yang dimiliki oleh bangsa ini sendiri.

Ke depan, kita ingin mencari soluasi yang tepat dan relevan, karena itu kita harus memulai berani dan percaya diri mencari solusi dari khazanah filsafat dan budaya kita sendiri serta menerapkan strategi yang diwariskan oleh bangsa ini dalam menata masyarakat, bangsa dan negara. Dalam kenyataannya sistem sosial, sistem politik ketetanegaraan kita, sistem ekonomi dan gerak budaya kita telah menyimpang dari tata nilai banagsa ini. Karena itu, harus diluruskan kembali.

I.Bidang Politik Ketatanegaraan

Sejak masa reformasi, sistem politik ketatanegaraan kita dibangun berdasarkan falsafah liberalism dan individualism. Demikian hanya struktur politik juga dibentuk berdasarkan liberalism itu. Dipermukaan memang menunjukkan kemajuan, tetapi secara subtantif banyak menimbulkan persoalan. Demokrasi yang dikembangkan berdasarkan hak dan kebebasan tanpa batas telah memicu terjadinya konflik antarkelompok. Karena itu, sistem sosial dan politik perlu ditata kembali berdasarkan falsafah dan tradisi bangsa ini.

Tahun-tahun mendatang, bangsa ini akan dihadapkan pada situasi yang sangat politis. Karena itu, semua pihak yang berkompetisi meraih kekuasaan di tahun 2014 hendaklah bisa menahan diri dan tetap menjaga norma dan aturan main serta fatsun politik agar masyarakat tetap rukun dan bangsa ini utuh dan aman.

Penataan kembali struktur politik dan dibarengi dengan perbaikan mental dan perilaku para pelaku politik ini diharapkan akan merupaklan dasar dari pemerintahan yang bersih dari korupsi dan diharapkan mampu memberikan kesejahateraan rakyat dan mampu menjaga keutuhan dan kewibawaan negara. Kembali pada semangat revolusi dan kesetiaan pada nilai-nilai luhur Pancasila haruslah menjadi titik tolak dari semua gerak dan langkah politik ini.

II. Bidang Ekonomi

Liberalisasi di bidang ekonomi yang lebih mengutamakan kepentingan usaha besar dan kepentingan asing dengan mengabaikan usaha rakyat serta usaha nasional telah meruntuhkan fundasi ekonomi nasional yang beroroientasi kerakyatan. Apalagi setelah pemerintah menjalankan agenda WTO secara menyeluruh melalui proses importasi yang tanpa batas, menjadikan negara ni dibanjiri oleh produk asing. Tidak hanya barang industri, tetapi juga bahan pertanian, khususnya pangan, sehingga menghancurkan usaha pertanian rakyat.

Pertumbuhan ekonomi makro nasional yang diklaim sebesar antara 6 hingga 7 persen, bukanlah pertumbuhan yang riil ada di masyarakat. Itu hanya pertumbuhan di kalangan skala kecil penguasaha yang sebagaian besar juga dikuasai asing. Sementara ekonomi rakyat  semakin terupuk, ketika tidak mendapatkan subsidi, serta tidak mendapat perlindungan pemerintah dari serbuan produk asing. KUR yang selama ini dipropagandakan, hingga kini belum menyentuh pada rakyat yang membutuhkannya. Karena itu, PBNU berharap agar pemerintah segera mengubah orientasi dan kebijakan ekonominya, menjadi ekonomi yang memperkuat ekonomi nasional khususnya ekonomi rakyat, agar rakyat sejahtera dan negara terbebas dari jerat utang. Bantuan produktif di sektor pertanian baik berupa teknik dan proteksi serta fasilitas pasar, akan jauh lebih berarti dan lebih dibutuhkan rakyat, ketimbang bantuan langsung tunai (BLT) yang konsumtif  yang membuat rakyat pasif. Ekonomi akan tumbuh bila rakyat bertindak kreatif dan ini perlu fasilitas dan insentif  yang memadai.

III. Bidang Kebudayaan

Bangsa Indonesia dan bangsa Timur lainnya memiliki budaya tradisi yang adat serta norma yang sesuai dengan kondisi ketimuran. Tetapi dengan hadirnya globalisme yang mempropagandakan budaya Barat bahkan dipaksakan melalui pelbagai sarana dan media seperti lembaga pendidikan, media massa, seni budaya, ternyata telah mengubah perilaku dan adat istiadat masyarakat. Semuanya ini telah mengakibatkan terjadinya “kaget budaya”. Kekagetan budaya ini mengakibatkan masyarakat mengalami split moral. Maka perlu adanya penataan di bidang seni budaya, pendidikan dan media massa. Semuanya harus diarahkan untuk membentuk karakter dan menanamkan moralitas serta kreativitas. 
1. Dalam masyarakat Timur yang mengenal falsafah mikul duwur mendem jero, yaitu menjunjung tinggi moralitas dan menjaga kerahasiaan, telah diubah manjadi masyarakat transparan sehingga dengan alasan untuk memperoleh kebebasan informasi maka setiap individu bisa dikorek informasinya dengan tanpa menghormati batas privasi seseorang. Setiap orang yang berperkara diungkap dengan sedetil-detilnya. Hal itu tidak hanya terbukanya aib seseorang, tetapi lebih berbahaya lagi adalah kejahatan tersebut disosialisasikan sehingga ditiru oleh pihak lain. Demikian juga dalam produksi seni budaya baik dalam film, tari, musik serta berbagai talkshow telah mempertontonkan adegan erotis di depan umum seperti berpelukan antara pria-wanita yang bukan muhrim, membuka aurat dan gerakan erotis lainnya, telah mewarnai dunia pertunjukan di negeri ini dan disebarkan melalui TV dan internet sehingga mengubah perilaku remaja. Padahal perilaku semacam itu bertentangan dengan norma ketimuran dan agama Islam.

2. Pendidikan nasional haruslah dikembalikan pada filosofi dasar dan tujuan awalnya, yaitu untuk memanusiakan manusia. Dengan demikian, pendidikan perlu dijuahkan dari unsur bisnis, karena hal yang demikian akan menjauhkan masyarakat dari pendidikan. Pendidikan haruslah dikembalikan sebagai pusat pembudayaan, penanaman nilai budaya dan pusat pengembangan budaya. Di situlah pentingnya menempatkan lembaga pendidikan di segala strata sebagi pusat pemebentukan karakter. Ketika bangsa Indonesia mulai mengalami memudar karakternya, maka dunia pendidikan yang mengemban tugas pembentukan  karakter bangsa ini dengan menggali, mengaktualisasi budaya nasional yang ada, sehingga masyarakat bangga terhadap budaya sendiri.

3. Mesdia massa merupakan sarana penting untuk penyebaran informasi dan pendidikan masal. Karena itu, media harus dikembalikan pada tujuan awal, yaitu menanamkan nilai-nilai, yang dalam hal ini adalah nilai keagamaan dan adat  ketimuran. Kebebasan memperoleh informasi hendaklah tidak digunakan untuk membongkar aib seseorang. Demikian juga kebebasan memperoleh informasi janganlah digunakan untuk membongkar rahasia negara sehingga mengancam kepentingan negara. Dalam pemberintaan media massa hendaklah tetap berpegang pada norma agama, norma susila serta menjaga keamanan dan kerukunan nasional.

Penutup

Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU berharap agar bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan berperadaban tinggi setara dengan peradaban yang lain. Kemajuan ini hanya bisa diperoleh bila bangsa ini memiliki rasa percaya diri dan bangga dengan tradisi dan budaya sendiri. Untuk menjadi bangsa yang bangga terhadap budaya sendiri, perlu usaha pembinaan dan pembentukan karakter. Lembaga negara, lembaga pendidikan, lembaga kesenian, termasuk lembaga ekonomi, dan media masa, perlu digunakan sepenuh-penuhnya dan seluruhnya untuk membangun karakter bangsa ini. Dan sekaligus sebagai sarana memajukan bangsa.

Jakarta, 9 Januari 2013

KH Said Aqil Siroj
Ketua Umum PBNU

* Disampaikan dalam kegiatan Refleksi Awal Tahun 2013 di Kantor PBNU Jakarta, Rabu (9/1).

Taushiyah KH SAID AQIL SIROJ

Sambutan "Tokoh Perubahan Republika 2012"


بِسْمِ الله، الْحَمْدُ ِلله، وَالصَّلاَةُ
Sambutan وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّد رَسُوْلِ الله، وَعَلَى ألِهِ وَصَحَابَتِهِ وَمَنْ تَبِعَ سُنَّتَهُ وَجَمَاعَتَه، مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ وَالنَّهْضَة

Hadirin yang saya hormati,

Saya hanyalah manusia biasa yang tidak punya kontribusi apapun baik terhadap umat maupun bangsa ini. Namun pada malam hari ini Republika memberikan anugerah kepada saya sebagai salah satu tokoh perubahan 2012. Saya ucapkan terima kasih yang tiada terhingga atas pemberian anugerah ini, semoga bisa menjadi pemicu bagi saya agar bisa berbuat lebih untuk umat dan bangsa ini.

Tentu, masih banyak tokoh yang lebih berhak dan pantas menerima penghargaan ini. Akan tetapi, pertanyaan mendasarnya mungkin bukan terletak pada siapakah yang berhak dianugerahi penghargaan, namun benarkah sudah terjadi perubahan?

Ini merupakan pertanyaan yang tidak menuntut retorika jawaban, apalagi diuraikan dalam sebuah pidato sambutan. Ini ialah pertanyaan yang hanya bisa dijawab melalui kesungguhan usaha dan ikhtiar, yang hanya bisa dirasakan dalam kenyataan dan keseharian.

Sekian lama dan sekian banyak tempat yang saya singgahi di penjuru Nusantara, melihat kenyataan yang ada, di mana-mana pertanyaan ihwal "perubahan" tetap sama. Perubahan ke arah yang bermartabat, menuju derajat manusia paripurna, insan kamil. Apakah kita sudah atau sedang benar-benar berubah?
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apapun yang ada pada diri mereka." (QS Ar Ra'du 11)

Islam hadir dan mengajarkan kita untuk berubah dan firman Allah tadi tentunya bisa mendorong kita untuk berubah menjadi lebih baik.

Hingga hari ini impian saya adalah menyaksikan Indonesia yang hidup dan menyadari fitrahnya. Indonesia yang dihidupi manusia-manusia unggul yang tahu betul apa arti kerukunan, keutuhan, dan keselamatan bangsa ini. Itu impian saya, saya belum menyaksikannya. Apakah kita sudah atau sedang benar-benar berubah?

Islam adalah agama yang membawa rahmat, peradaban, budaya, dan moral. Dalam suasana dimana formalisme jadi candu pikiran, memahami Islam sebagai agama kemanusiaan bukanlah perkara mudah, kadang malah dianggap kesesatan. Dalam suasana dimana formalisme jadi candu pikiran, agama lebih gampang dianggap sebagai doktrin yang beku dan instan.

Artinya: "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS Al Anbiya: 107)

Pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak segenap warga bangsa Indonesia, termasuk saya sendiri di dalamnya, untuk menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan yang ada di antara kita. Yakni perbedaan agama, suku, ras, dan lain sebagainya. Perbedaan ini merupakan anugerah dari Allah untuk kita, dan oleh karenanya saya berharap perbedaan itu justru bisa menyatukan kita. Perbedaan bukan hanya menyatukan, tapi juga memudahkan terjadinya perubahan.

Demikian yang dapat saya utarakan. Sekali lagi mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih atas penghargaan Republika yang "menambah beban" ini. Semoga apa yang kita kerjakan ini punya nilai manfaat dan keberkahan. Amin.

Jakarta, 30 April 2013

KETUA UMUM PBNU

 Makna Kembali ke Pesantren

Makna Kembali ke PesantrenTiga puluh tahun yang lalu yakni tahun 1984 tepatnya di Situbondo, NU mencanangkan gerakan "Kembali ke Khittah 1926". Langkah strategis itu telah membawa kemajuan yang sangat berarti bagi NU, sehingga menjadi organisasi yang besar, kuat dan disegani. Pada hakekatnya kembali ke Khittah adalah kembali pada spirit, pola pikir serta nilai luhur pesantren.
Karena itulah pada periode ini NU mencanangkan gagasan besar Kembali Ke Pesantren, sebagai realisasi mengembalikan Khittah serta jati diri NU yang lahir dan besar di Pesantren. Maka sudah selayaknya dalam usianya yang ke-90 tahun ini NU menegaskan kembali gagasan mulia tersebut.

Pesantren merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman Kapitayan, sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam. Pertemuan dengan agama besar tersebut pesantren mengalamai perubahan bentuk dan isi sesuai dengan karakter masing-masing agama, tetapi misi dan risalahnya tidak pernah berubah, yaitu memberikan muatan nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, baik dalam kegiatan sosial, ekonomi maupun kenegaraan.

Sejak awal pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat mulai dari bidang agama, kanuragan (bela diri), kesenian, pereonomian dan ketatanegaraan. Karena itulah para calon pimpinan agama, para pujangga bahkan para pangeran calon raja dan sultan semuanya didik dalam dunia pesantren atau padepokan. Para pandita, panembahan atau Kiai yang mengasuh para murid, cantrika atau santri dlam belajar sehari hari.

Zaman Islam terutama pada masa Walisongo, pesantren yang semula bernuansa Hindu-Budha mulai mendapatkan nuansa Islam, sejalan dengan tersebarnya agama baru ini. Dari pesantren itulah agama diajarkan secara luas di tengah masyarakat. Dan diajarkan secara mendalam, dengan mempelajari berbagai kitab babon, sehingga melahirkan ulama atau kiai besar yang menjadi penerus perjuangan para wali. Berbagai kitab yang diajarkan di pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya semuanya berasal dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Metode itulah yang terbukti berhasil melahirkan berbagai ulama dan pujangga serta sultan yang berpengaruh dalam sejaha Islam Nusantara. Paku Buwono VI dan Panageran Sambernyowo (Mangkunegoro I) juga Pangeran Diponegoro tokoh besar yang piawai dalam politik dan lihai dalam perang, tak pernah terkalahkan dalam perang, semuanya murni hasil pendidikan politik pesantren.

Baru ketika kolonial datang dengan kebijakan Politik Etisnya tahun 1900, memperkenalkan pendidikan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah terjadi dualisme pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semua terpadu mulai dipisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena pendidikan Barat tidak mengenal ilmu agama, hanya mengenal ilmu umum sementara pendidikan pesantren saat itu mengintegrasikan keduanya.

Hadirnya pendidikan kolonial yang diperkenalkan secara persuasip maupun represi itu, menjadikan sekolah menjadi pendidikan tunggal yang menggeser posisi pesantren. Ketika politik diarahkan pada paradigma Barat, sehingga belajar hukum dan politik harus ke Sekolah Barat bukan lagi ke pesantren seperti para sultan sebelumnya. Sementara pesantren yang menjalankan politik anti tasyabuh atau non kooperasi total, menolak segala bentuk budaya Belanda. Pesantren terus berjalan dengan paradigmanya sendiri, namun demikian tetap melahirkan tokoh besar yang tak terkalahkan. Hampir seluruh perlawanan terhadap penjah dilakukan oleh pimpinan pesantren. Kalaupun dilakukan oleh Kraton, tentu melibatkan para kiai dan santri dari pesantren.

Para tokoh besar Islam seperti KH Ahmad Rifai, KH Hasyim Asy'ari, adalah tokoh pergerakan nasional yang mampu menggoncangkan kekuasaan Belanda, walau tak sekejappun merasakan pendidikan sekolah Belanda. Demikian juga KH Wahab Hasbullah, KH Wahid Hasyim, yang piawai dalam politik, sehingga sejak tahun 1943-an telah menjadi Pimpinan Shumubu (Menteri Agama) dan ketua Masyumi, mewakili KH Hasyim Asy'ari. Dan pada Sidang BPUPKI Menjadi anggota perumus Pancasila dasar negara dan perumus Mukadimah UUD 1945, sehingga konsep filosofis itu menjadi sangat religius ketika mendapatkan muatan nilai pesantren. Kiai Wahab sendiri yang merupakan politik ulung mitra Bung Karno, terutama dalam menghadapi persoalan kenegaraan, padahal hanyalah murni dididik di Pesantren. Justeru dengan keilmuan pesantren itulah bisa melengkapi politik Barat yang dianut oleh Bung Karno.

Ketika Konstituante mengalami jalan buntu, para kiai dari Pesantren justeru memberikan jalan keluar yang kreatif, sehingga Bung Karno dengan mudah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, Kembali ke UUD 1945, setelah berkonsultasi dengan NU, terutama dalam menempatkan Piagam Jakarta secara proporsional. Tidak ditetapkan secara formal, tetapi juga tidak diabaikan perannya, tetapi ditempatkan sebagai jiwa bagi UUD 1945. Walaupun politik sering dituduh anti moral, tetapi seburuk-buruk politik apapun maih membutuhkan moral, agar relasi antar pelaku bisa berjalan. NU menawarkan gagasan moral atau akhalakul karimah dalam politik, karena itu NU bisa ambil peran.

Deideologisai serta depolitisasi pesantren yang dilakukan rezim orde baru telah mengarah pada deNUnisai, kebijakan itu berakibat menjauhkan peran NU dan pesantren dalam politik. Apalagi sejak zaman reformasi ketika gelombang globalisasi dan liberalisasi melanda seluruh dunia termasuk negari ini, maka nilai moral dalam kehidupan sosial, gotong royong semakin memudar, dalam bidang seni budaya etika telah ditinggalkan digantikan dengan estetika yang hanya mengumbar nafsu dan kemewahan dunia. Dalam bidang ekonomi terjadi persaingan bebas saling memangsa. Sementara dalam bidang politik etika atau fatsoen politik diangap sebagai doktrin lama yang harus ditinggalkan.


Makna Kembali ke Pesantren

Mengingat suasana kehidupan pasca Reformasi yang diwarnai dengan globalisasi dan liberalisasi yang melanda seluruh sektor kehidupan itu tidak ada cara lain bagi NU kecuali kembali ke pesantren, untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat sejalan dengan tradisi dan etika. Kembali kepesantren memiliki dua pengertian baik secara fisik maupun secara nilai dan tradisi, yang merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dari satu sistem pesantren yang sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.

Pertama, kembali ke pesantren dalam arti fisik berarti mengembalikan keseluruhan kegiatan NU mulai dari rapat pleno, konferensi, rapat kerja, Munas hingga Muktamar, kembali dipusatkan di pesantren yang menjadikan pesantren. Dengan segala keterbatasannya terbukti pesantren mampu menyedaikan suasana yang jauh kondusif ketimbang tempat lain sehingga keakraban dan keseriusan serta kesederhanaan bisa tercipta. Ketika langkah kembali ke pesantren dilakukan terbukti berhasil kembali mendekatkan NU dengan tradisi pesantren norma serta moralnya, dan sekaligus memperkuat kembali institusi pesantren sebagai pusat perubahan pengembangan masyarakat. Peran pesantren kembali dilihat dan diperhitungkan orang.

Kedua, kembali ke pesantren dalam arti tata nilai, dalam arti pesantren selalu menekankan pada nilai kejujuran, kesederhanaan, kebersamaan dan pengabdian yang mendalam dan tanpa batas. Dari nilai-nilai tersebut tumbuh etos, rasa saling percaya, budaya gotong royong, kecintaan pada ilmu dan profesi tanpa batas, sebagi bentuk pengabdian pada Allah, yang ditasarufkan sebesar-besarnya pada kemaslahatan umat manusia. Langkah ini sebenarnya biasa saja. Tetapi karena dijalankan di tengah maraknya individualisme bahkan egoisme persaingan bebas tanpa belas kasihan, maka langkah Kembali Ke Pesantren ini terasa radikal dan kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena ini berarti menentang arus yang sedang berjalan, yaitu individualisme, pragmatisme yang melanda dunai saat ini, yang seolah menjadi nilai kehidupan tertinggi.

Pendidikan pesantren diberikan oleh seorang ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangkan ilmunya telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan demikian otentisitas sanad (mata rantai) keilmuannya menjadi jelas, sehingga pemahamnnaya bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu segala ilmu dan amalan diajarkan secara bertahap dan thuluz zaman (dalam waktu yang lama). Ilmu dan amal yang dikerjakan menjadi sangat hakiki dan mendalam. Sang kiai atau sang panembahan merupakan guru pembimbing yang menjadi contoh teladan bagi santri dalam kehidupan.

Pendidikan pesantren diselenggarakan secara tertib, memakan waktu yang lama, agar memperoleh pemahaman hakekat segala sesuatu secara mendalam, sehinga memudahkan membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Dimensi kedalaman ini sangat ditekankan di pesantren mengingat firman Allah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ

Artinya: "Wahai manusia sesungguhnya janji Allah itu benar, maka janganlah kehidupan dunia menipumu, dan jangan kamu terkecoh oleh tipuan yang mengatas namakan Allah." (QS: Al Fathir: 5)

Hal itu terbukti, sekarang ini banyak kesalehan yang ditampakkan secara lahiriah, bahkan sikap ketaatan dan kedisplinan beribdah begitu tinggi dan kesemarakan yang kompak. Tetapi pada saat yang bersamaan pelanggaran terhadap norma-norma agama terjadi pada orang yang bersangkutan. Bahklan tingkat kejahatannya melebihi orang tidak mengenal agama. Padahal semua perilaku mereka dan kelompoknya atas nama agama. Ini tidak lain karena pendidikan atau tarbiyah yang dijalankan serba instan. Hanya mengutamakan kedisiplinan fisik. Tidak diisi dengan kerohanian yang mendalam. Agama yang diajarkan secara instan dan dangkal serta sepintas, hanya menjadi kedok, mudah menjadi alat manipulasi.

Padahal perbuatan yang memamerkan amal tetapi tanpa isi seperti itu menurut Allah merupakan kedurhakaan, sebagai difirmankan,

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Artinya: "Kami akan memberi tahu kamu tentang orang yang amalnya paling merugi; yaitu orang yang sia-sia amalnya di dunia ini, padahala mereka menyangka dirinya telah beramal baik." (QS: Al-Kahfi 103-104)

Dalam amaliah sehari-hari termasuk dalam ibadah, terdapat perbedaan yang tipis antara yang benar dan yang salah, karena itu para ulama pesantren menjaga agar para santri berhati-hati dengan jebakan tersebut. Bimbingan seorang guru, mursyid atau kiai pada umat menjadi sangat penting untuk menghindari pengerjaan amalan yang sia-sia seperti itu. Aktivitas berkedok agama tetapi untuk tujuan duniawi semata.

Di sinilah pentingnya kembali ke pesantren untuk kembali menegakkan moralitas dan nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarah Nusantara. Ajaran dan hikmah yang diamalkan para ulam terdahulu itu sangat penting justeru dalam situasi globalisasi yang serba tidak menentu saat ini.

Kembali ke Pesantren, Kembali ke Budaya Nusantara

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pesantren merupakan budaya asli Nusantara, yang mengembangkan nilai kenusantaraan lestari hingga sekarang. Antara sultan dengan wali (ulama) merupakan satu kesatuan, hal itu secara kelembagaan berarti menyatunya antara kesultanan atau keraton dengan dunia pesantren yang terjalin mulai Samudera Pasai di Aceh, Di Jawa hingga Ternate Todeore di Maluku dan Papua.

Secara berangsur hubungan itu renggang bahkan terpisah, berdiri sendiri tanpa saling mengisi, bermula sejak zaman Belanda dan berlangsung hingga zaman orde baru. Padahal mulanya mereka sekeluarga. Dalam keterpisahan itu keduanya mengalami kemerosotan. Tetapi pihak kesultananlah yang paling merasakan akibatnya. Bisa dibuktikan, sekarang ini hanya tingga dua atau tiga kesultanan yang masih hidup dan berkuasa, yang lain tinggal nama, ataupun dihidupkan kembali tetapi tidak punya rakyat, tidak punya tentara. Bayangkan dengan dunia pesantren, ketika ditindas Belanda dan direpresi orde baru, tetapi masih terus hidup. Saat ini umumnya pesantren yang jumlahnya ribuan itu ada yang memiliki santri dua ribu hingga lima ribu orang. Bahkan organisasi kepesantrenan masih memiliki kekuatan para-militer terlatih yang jumlahnya bisa ribuan orang. Hal yang sama tidak dimiliki oleh Kraton atau kesultanan manapun di Nusantara.

Belakangan ini keraton baru menyadari kelemahan tersebut, bersamaan dengan kunjungan Para Sultan Nusantara mereka mengatakan, selama ini mereka mengalami kelumpuhan ketika para Sultan berjalan tanpa Wali, sehingga posisi mereka semakin terpuruk tidak ada yang bisa menolong. Menurut mereka walinya Republik Indonesia saat ini adalah pesantren yang dipimpin oleh NU. Karena itu mereka mulai merasa pentingnya kerjasama dengan organisasi kepesantrenan seperti NU, sebagai upaya mengembalikan wibawa kesultanan sebagaimana dahulu kala.

Sejak ditaklukkan Belanda kesultanan sebenarnya telah ditundukkan secara moral dan intelekual. Akhirnya mereka sepenuhnya berkiblat ke barat ketika berpolitik. Apalagi sejak awal mereka mendapatkan hak istimewa untuk bisa sekolah Belanda, yang menjadikan mereka semakin menjadi westernis, yang semakin menjadikan mereka terpuruk. Nilai kenusantaraan terutama nilai keagamaan semakin mereka tinggalkan, apalagi pesantren yang dulu mendampingi, membimbing dan mengarahkan mereka telah diganti dengan penasehat dari Belanda dan Eropa lainnya maka Kesultanan semakin jauh dari rakyatnya. Karena itulah masa kemerdekaan mereka dihancurkan bersama hancurnya kolonialisme. Sementara kaum santri bergabung dengan kaum Republiken yang dengan aktif mendirikan Republik ini.

Munculnya resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeliarkan KH Hasyim Asyari merupakan keterlibatan pesantren dalam mendirikan Repuiblik ini. Kalangan ulama pesantren lebih sigap dalam membaca perubahan saat itu, sementara kesultanan masih terikat oleh berbagai perjanjian dengan Belanda sehingga mereka ketingalan langkah dalam mengambil kepemimpininan di negeri ini, saat menjelang berdirinya Republik ini.

Dengan ketemunya kembali dua elemen penting Nusantara yaitu antara kesultanan dan pesantren diharapkan Indonesaia bisa menemukan jatidirinya kembali. Karena keduanya sebenarnya pemangku utama budaya Nusantara yang berpegang teguh pada nilai tradisi dan norma agama, yang ini telah tertanam dan terjalin sejak berabad yang lalu yang telah dirintis oleh para wali sejak datangnya Islam di Nusantara. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri, kembali pada nilai-nilai Nusantara menjadi sangat mendesak saat ini, sebab apa yang dirumuskan dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita seperti Pancasila adalah merupakan produk dari falsafah dan budaya Nusantara. Karena itu nilai kenusantaraan dan kepesantrenan perlu terus digali bersamaan dengan proses menemukan jati diri bangsa ini.

Bersamaan dengan derasnya gelombang globalisasi yang membawa arus leiberalisasi, telah melonggarkana seluruh ikatan keluarga, ikatan sosial bahkan ikatan agama. Padahal tanpa ikatan agama, tanpa ikatan keluarga dan tanpa ikatan sosial, maka norma dan moralitas sulit dijalankan. Karena pada dasarnya agama, lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat merupakan persemaian berbagai norma dan etika. Kembali ke pesantren diartikan sebagai kembali pada norma kelluarga, norma sosial, karena dalam lingkungan itulah norma agama ditumbuhkan dan diinternalisasi menjadi perilaku dalam kehidupan.


Melahirkan Sosok Ideal

Setiap gagasan besar atau perkumpulan besar selalu membutuhkan tipe ideal atau sosok ideal bagimana kira-kira gagasan atau cita-cita perkumpulan tersebut dicitrakan dan diwujudkan di alam nyata dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah kita munculnya tokoh yang diidealkan itu sangat lazim. Sosok ideal gagasan tentang Indonesia antara lain adalah Soekarno, Hatta dan sebagainya. Sosok Ideal NU misalnya KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, di Muhammadiyah terdapat sosok yang diidolakan seperti KH. Ahmad Dahlan. Dalam Sarekat Islam terdapat HOS Tjokroaminoto. Sosok semacam itu tidak hanya memiliki daya pikat, tetapi sekaligus memiliki daya ikat, sehingga mampu menjaga kohesivitas ide yang masih abstrak atau cita-cita perkumpulan atau organisasi yang masih utopis. Di dunia sana juga sama dalam Swadesi ada Gandhi, dalam Pan Islam ada Al Afghani. Para Nabi sendiri merupakan sosok ideal dari setiap agama yang mereka bawa.

Sosok semacam itu dianggap contoh paripurna dalam sebuah idea atau perkumpulan. Seringkali mereka ditempatkan sebagai makhluk supra manusiawi, sosok yang tidak pernah salah, paling banter hanya khilaf dan itupun sangat dimaklumi dan segera dimaafkan oleh pendukungnya. Dengan demikian mereka menjadi panutan, pemberi inspirasi, memberikan rasa bangga dan rasa percaya diri, memberi harapan dan bahkan memberikan rasa aman bagi para pendukungnya. Kelebihan mereka adalah tidak hanya bisa memberikan mauidloh hasanah (nasihat yang baik) tetapi mampu memberikan uswatun hasanah (teladan yang baik). Keteladanan itulah kunci utama bagi sosok idel tersebut.

Dalam masyarakat dan bangsa ini muncul keprihatinan yang mendalam tentang tidak hadirnya sosok ideal yang diharapkan itu. Apalagi dalam masyarakat yang percaya akan datangnya Ratu Adil, Imam Mahdi atau Mesias itu sering merasa kecewa. Setiap muncul sosok yang dianggap akan menjadi sosok ideal apakah itu dari kalangan ilmuwan, politisi, seniman dan bahkan agamawan yang menjadi panutan dan dielu-elukan, tetapi tiba-tiba sang idola terjebak berbagai kasus pelanggaran moral. Pengalaman seperti ini yang selalu membuat masyarakat frustrasi. Munculnya para aktivis terutama kalangan muda di panggung politik, yang diharapkan mampu membawa perbaikan, ternyata tidak memberikan harapan, malah terjerumus dalam praktek politik yang mengabaikan norma dan etika.

Untuk mengatasi rasa frustrasi dan memberikan kepercayaan serta harapan bagi masyarakat saat tidak hadirnya sosok ideal yang berupa manusia yang ditokohkan, maka orang harus mulai realistis dan memahami gerak zaman terjadi. Dengan tidak adanya sosok ideal masyarakat tidak perlu kehilangan arah, kehilangan tuntunan dan juga lepas kendali, karena masih ada yang bisa dijadikan pegangan bukan orang per orang melainkan berpegang pada ide, wahyu dan termasuk organisasi atau jamaah, yang kemurniannya terus dijaga oleh pendukungya.

Dalam kondisi seperti ini dimana pribadi yang seperti Nabi atau Rasul tidak ada, maka uswah atau teladan kita bukan orang, tetapi cita ideal jamaah atau organiasai yang berpegang teguh pada cita-cita dan tata nilai. Karena jamaah merupakan cerminan dari ajaran Allah dan Rasulnya sebagaimana difirmankan.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

"Apabila terjadi perselisihan, maka kembalilah kepada Allah dan rasulnya". (QS. An-Nisa':59)

Kita kembali ke sana karena keduanya merupakan simbol kebenaran mutlak, untuk itulah para ulama yang merupakan amna'ul ummat (kepercayaan umat) menjadi panutan karena mampu memahamkan umat dan mendekatkan pada kebenaran. Sebagai langkah untuk mewujudkan Islam ideal sebagai rahmatan lil alamin, sebagaimana tercermin dalam Al-Quran dan Hadis yang masih ijmal (umum) itu bisa terapkan maka diperlukan upaya pemahaman kreatif secara kolektif (ijma') atau secara individual (qiyas).

Upaya pemahaman manusia terhadap realitas selain menggunakan bayan ilahi (pemahaman Ilahi) yaitu al-Quran dan Sunnah juga dilakukan dengan menggunakan bayanul aqli (pemahaman akal) yaitu ijma' dan qiyas, maka lahirkan ilmu fikih, sehingga masyarakat mampu menjalankan agama dengan terinci dan operasional. Tentang cara menjalankan sembahyang, kapan waktunya dan bagaimana syarat rukunnya. Tata cara zakat, puasa haji dan lain sebagainya. Agar gugusan moral yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah itu dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari, dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan tatakrama. Dengan adanya ilmu fikih dan ushul fikih itu pemahaman agama menjadi dinamis. Sejalan dengan prinsip taghaiyirul ahkam bi taghyiril azman (hukum fikih selau berubah sejalan dengan perbahan zaman). Setiap zaman memerlukan rumusan hukum tersendiri.

Kontekstualisai ajaran Islam agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama NU terus melakukan reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh dengan kerendahan, dalam menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan ilhaq (penyamaan) atau istiqrai (survai). Sementara untuk menghindarkan istilah ijtihad yang terlalu besar digunakan istilah ijma (yang berarti ijtihad secara kolektif). Dengan menggunakan Ilmu ushul fikih (metode pengambilan hukum) itulah Al-Quran dan Sunnah bisa dipahami. Karena itu kebenaran fikih itu bersifat relatif, berbeda dengan Al-Quran dan Sunnah kebenarannya adalah mutlak, karena itu fikih bisa dikritik dan direvisi demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara eksklusif, karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua pihak.

Agar kemaslahatan umat terus terjaga maka perlu dilakukan berbagai langkah konkret, sebagai masyarakat beragama yang telah memiliki berbagai instrumen agama untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah, maka instrumen keagamaan itu yang digunakan terutama yang sudah dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah. Berbeda dengan logika Aristotelian yang bersifat abstrak dan spekulatif, logika yang dibagun ilmu fikih dalam kaidah fiqhiyah merupakan instrumen praktis sebagai sarana penyelesaian masalah. Misalnya prinsip dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mencari kebaikan). Ini untuk mencegah terjadinya perubahan yang asal berubah, karena tidak akan membawa maslahah. Perubahan perlu direncanakan secara rapi dan terinci serta hati-hati.

Begitu pula dalam menghadapi budaya dari luar terdapat prinsip al-muhafadzatu 'alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Mengingat tujuan pengambilan dan pengembangan budaya adalah untuk perbaikan maka pengambilan tradisi lain dibolehkan asal lebih baik, sehingga diharapkan akan menjadi modal bagi pengembangan budaya yang ada. Begitu pula dalam mencapai kemaslahatan tidak boleh dengan menggunakan kemaksiatan. Sebagaimana hukum logika, penyimpangan yang dijalankan terus menerus akan melahirkan penyimpangan dalam bentuk lain yang lebih jauh, yang tidak mungkin melahirkan kebajikan.

Dalam khidmahnya selama 90 ini NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dipimpin oleh para ulama berusaha keras untuk mewujudkan terwujudnya masyarakat ideal. Satu dasawarsa mendatang kiprah NU telah genap 100 tahun. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini menurut NU adalah bentuk ideal dari sebuah negara. Hanya saja negeri ini masih dilanda berbagai krisis, baik krisis budaya termasuk krisis moral. Prinsip akhlakul karimah dalam semua aspek kehidupan perlu ditegakkan kembali agar bentuk dan dasar negara yang ideal ini menjadi semakin ideal. Diharapkan dalam usianya yang seabad itu NU memapu mewujudkan cita-cita sosial dan cita-cita kebangsaan ini secara penuh. Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi dengan sendirinya peran NU ini juga memberikan manfaat sebesar-besarnya pada semua elemen bangsa yang majemuk ini, baik majemuk dari segi agama, etnis, bahasa dan budaya.

Dalam kondisi kelangkaan kepemimpinan ideal seperti yang diprihatinkan selama ini maka menciptakan lingkungan yang ideal menjadi sangat penting. Usaha ini ibarat mengolah lahan agar muncul pemimpin ideal sebagaiman yang dicita-citakan. Seorang pemimpin adalah produk masyarakat dan produk zamannya. Lingkungan masyarakat yang berbudaya rendah akan melahirkan pemimpin yang berkepribadian rendah. Sebaliknya lingkungan masyarakat yang berkebudayan tinggi akan melahirkan pemimpin yang berbudaya dan berintegritas tinggi. Memang seorang pemimpin tidak jatuh dari langit, melainkan diproses ditempa di tengah masyarakat. Pemimpin yang baik akan muncul di antara sekian banyak tokoh yang paling unggul di antara tokoh yang ada. Dengan langkah seperti itulah NU berusaha mengembalikan lagi spirit pesantren dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam pergaulan sosial, ekonomi serta kenegaraan.



Jakarta 16 Rajab 1434/27 Mei 2013

DR. KH Said Aqil Siroj, MA. Ketua Umum PBNU

NU Setia Menjaga NKRI

NU Setia Menjaga NKRINusantara sebagai sebuah kesatuan geografis, kesatuan budaya, kesatuan politik dan kesatuan ekonomi terbentuk melalui proses berabad-abad, setidaknya mulai wangsa Sanjaya Mataram, Sriwijaya yang terus berkembang zaman Kahuripan, Daha, Singasari, Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram Baru hingga Republik Indonesia saat ini. Kehadiran penjajah Spanyol, Belanda, Inggris, selama ratusan tahun itu gagal memecah-belah kesatuan yang telah kokoh itu.
Ketika Indonesia merdeka kesatuan itu segera dikukuhkan kembali sebagai sebuah negara kesatuan berdasarkan ideologi Pancasila, yang merupakan warisan leluhur bangsa ini. Itulah sebabnya Pancasila diterima oleh bangsa ini dengan tangan terbuka karena memang sebelumnya telah hidup dan berkembang sebagai falsafah hidup bagi bangsa ini, sehingga walaupun berbeda budaya, berbeda suku dan berbeda agama, tetapi bisa hidup rukun dan bersatu saling tolong-menolong satu sama lain.
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa kesatuan Indonesia ini bukan sesuatu yang sekali jadi melainkan terus berkembang dalam proses, karena itulah kesatuan NKRI dan keutuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara harus dijaga dan dipertahankan. Tidak sedikit kelompok yang dengan menawarkan ideologi tertentu mencoba untuk menolak Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dan berusaha memecah belah sebagai serta berusaha memutus pengikatnya yaitu Pancasila sebagai ideologi negara.
Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari budaya Islam Nusantara dan berkembang dalam budaya Nusantara dengan segala gelombang yang terjadi di atasnya, ketika Nusantara dalam penjajahan NU dengan gigih mempertahankan identitas kenusantaraannya dan berjuang penuh melawan penjajah yang ingin melenyapkan kenusantaraan menjadi kebelandaan. Pesantren berhasil menjaga tradisi Islam Nusantara dan dari situlah 88 tahun yang lalu NU Lahir. Dalam keterjajahan itu NU mengobarkan semangat revolusi dan perjuangan, karena itu ketika Nusantara merdeka menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak ragu lagi NU menjadi penjaga dan sekaligus penyangga serta perekat persatuan Indonesia, dalam menghadapi berbagai subversi, gerakan separatis dan pemberontakan yang menodai negeri ini.
Hadirnya Reformasi dengan semangat liberalisme yang tanpa batas menjadikan upaya merombak NKRI serta mengganti atau merevisi Pancasila terus berjalan, dengan menawarkan ideologi lain yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Dari situlah ketegangan nasional mulai terjadi antara kelompok pembela NKRI dan pendukung Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dengan kelompok yang ingin merombaknya. Berkat kegigihan pendukung NKRI dan Pancasila ini kedua hal tersebut tidak diubah.
Dengan tidak diubahnya konsep NKRI dan Pancasila tersebut tidak dengan sendirinya NKRI tetap ada dan lestari. Secara geografis sejak reformasi hingga sekarang memang masih utuh, maraknya gerakan separatisme beberapa waktu yang lalau tidak mampu memecah kesatuan geografis negeri ini. Tetapi apabila ditinjau dari segi kesatuan politik, dengan diterapkannya otonomi yang tanpa batas, kesatuan Indonesia sebagai kesatuan politik mulai pudar. Mulai banyak pejabat daerah yang tidak setia pada pemerintah di atasnya atau bahkan pemerintah pusat.
Dilihat dari sudut pertahanan (militer), nampaknya integritas NKRI juga sudah mulai mengendor, terbukti dengan terjadinya pelanggaran wilayah oleh pasukan asing yang tidak sepenuhnya bisa diatasi oleh tentara Indonesia. Sementara, setiap upaya peningkatan sistem pertahanan selalu mendapat serangan dari kelompok tertentu dari bangsa sendiri, sehingga kedaulatan Republik ini dengan mudah diganggu dan dinodai masuknya kekuatan asing yang ingin memecah belah negeri ini.
Dari segi kesatuan ekonomi, sejak dilakukan liberalisasi perdagangan, dengan dibebaskannya investasi asing masuk ke seluruh sektor strategis, maka bisa dilihat bahwa saat ini ekonomi nasional tidak lagi di bawah kendali bangsa sendiri, melainkan telah dikuasai asing. Mulai dari sektor pertambangan, sektor perbankan, sektor pertanian, sektor industri, sektor properti, telekomunikasi, yang penguasaan asing rata-rata di atas 50%, bahkan terakhir di sektor bandara yang bisa mencapai 100 persen. Akibatnya terjadi ketimpangan ekonomi yang sangat tajam yang belum pernah terjadi di Indonesia ini selama ini.
Kemudian di sektor kebudayaan, pengaruh asing mulai menerobos hingga ke sektor privat, dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara informasi dari dunia internasional yang dikendalikan oleh kapitalisme global yang berpandangan hidup liberal, tetaplah begitu jauh mempengaruhi cara berpikir, sikap dan tindakan masyarakat negeri ini. Dengan demikian nilai-nilai agama budaya dan tradisi, termasuk nilai-nilai Pancasila akan sulit diterapkan. Karena propaganda liberal disebarkan sedemikian gencar dengan peralatan teknologi dan strategi yang sangat canggih.
Inilah yang menjadi keprihatinan NU dan yang menjadi tekad NU untuk selalu setia menjaga keutuhan NKRI di saat pihak lain banyak yang mulai meragukan pentingnya NKRI. Karena itu bersamaan dengan peringatan Hari Lahir NU yang ke-88 tahun 2014 ini, NU berikrar bahkan bertekad bahwa keutuhan NKRI dan kejayaan Pancasila harus dijaga. Keutuhan NKRI harus tetap dijaga, tidak hanya secara geografis, tetapi secara politik, ekonomi dan budaya ini Indonesia kembali menjadi negara yang berdaulat, sebagaimana yang diperjuangkan para ulama NU terdahulu bersama elemen bangsa lainnya.
Untuk menjaga keutuhan NKRI ini sarana yang paling tepat adalah Pancasila, karena Pancasila dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, merupakan tali pengikat keragaman bangsa ini. Kemampuan Pancasila dalam merekat keutuhan bangsa ini telah terbukti selama bertahun-tahun. Maka NU tidak mau ambil risiko dengan adanya kelompok lain  yang ingin mengganti Pancasila, sebab tanpa Pancasila NKRI tidak akan bisa dipertahankan.
Sebagaimana NKRI, saat ini Pancasila secara formal memang masih ada, tetapi harap diketahui, Pancasila oleh liberalisme tidak lagi dijadikan sumber nilai, baik dalam merumuskan undang-undang, dalam menentukan kebijakan politik, termasuk dalam kebijakan ekonomi dan kebudayaan. Semuanya mengacu pada berbagai konvensi internasional yang berfalsafah liberal yang jauh dari nilai agama dan tradisi.
Bagi NU membela NKRI dan Pancasila merupakan keharusan politik, untuk menjaga kesatuan dan kedamaian negeri ini. Dan sekaligus merupakan kewajiban syar’i, karena membela negara wajib hukumnya menurut agama.  Sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Situbondo bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila bagi umat Islam Indonesia sama dengan menjalankan syariat Islam. Sebagai konsekwensinya NU berkewajiban menjaga dan mengamankan Pancasila.
Komitmen atau kesetiaan ini perlu terus ditegaskan sehingga ketika NU genap berusia satu abad tahun 2026 nanti, sekitar 12 tahun lagi, kita berharap NKRI tetap utuh dan Pancasila tetap jaya. Penegasan ini menunjukkan bahwa NU bukan hanya untuk pada Nahdliyin, tetapi untuk bangsa secara keseluruhan dan bahkan untuk sekalian umat manusia. Karena itu berangkat dari Harlah NU yang 88 ini, tekad dan kesetiaan tersebut kita ikrarkan, di tengah Indonesia dengan NKRI dan Pancasila sedang menghadapi tantangan.

KH Said Aqil Siroj
Ketua Umum PBNU

* Disampaikan dalam acara peringatan hari lahir atau Harlah ke-88 NU di Jakarta, 31 Januari 2014.

Politik NU sebagai Siyasah 'Aliyah Samiyah

Politik NU sebagai Siyasah 'Aliyah SamiyahSebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan جمعيّة دينيّة إجتماعيّة (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman أهل السّنّة والجماعة di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.
Tugas ini tidaklah sederhana, di tengah-tengah era keterbukaan yang memberi peluang masuknya aliran-aliran dan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung memanfaatkan kebebasan untuk mencaci maki dan menyesat-nyesatkan (تضليل), bahkan menkafir-kafirkan (تكفير) terhadap pihak lain yang berbeda pemahaman keagamaan dengan dirinya. Padahal seharusnyalah era keterbukaan dan kebebasan membuat setiap kelompok semakin memantapkan sikap toleran (تسامح­) dalam menyikapi perbedaan.
Alangkah dalamnya makna ungkapan Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kaitan ini:

مذهبنا صواب يحتمل الخطأ, و مذهب غيرنا خطأ يحتمل الصواب

(Pendapat saya benar namun mungkin memuat kesalahan, pendapat orang lain salah namun mungkin juga ada benarnya: Red)

Menghadapi kenyataan yang tidak menggembirakan tersebut, menjadi tugas PBNU untuk menggerakkan secara optimal perangkat organisasi yang terkait dengan fungsi menjaga, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam ASWAJA, seperti mendorong optimalisasi peran dan kinerja Lembaga Dakwah NU (LDNU), Lembaga Takmir Masjid NU (LTMNU) dan Lajnatut-Ta’lif wan-Nasyr NU (LTNNU). Dengan pendekatanحكمة dan وعظة حسنة dapat dipelihara kelangsungan ajaran ASWAJA, tanpa harus terlibat dalam tindakan-tindakan anarkhis yang sangat merugikan citra paham ASWAJA sebagai representasi ajaran Islam رحمة للعالمين
Sebagai organisasi sosial (جمعيّة إجتماعيّة), NU harus mencurahkan perhatiannya secara serius pada bidang sosial, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa.
Hal ini perlu diingatkan, menjelang tahun 2014 yang merupakan tahun politik bangsa kita, karena dikhawatirkan tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ), yang bergerak pada tataran politik praktis alias politik kekuasaan.
Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/سياسة سافلة) adalah porsi  partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/سياسة عالية سامية ), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.

Politik kebangsaan berarti NU harus إستقامة dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.
Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU (أخوّة نهضيّة) dapat terpelihara. Sebaliknya,manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, أخوّة نهضيّة akan tercabik-cabik, karenanya نعوذ بالله من ذلك!
Oleh karena itu, sinyalemen adanya Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah di beberapa daerah yang dicalegkan dan lain sebagainya, wajib mendapatkan respons yang sungguh-sungguh dari Rapat Pleno ini, sesuai dengan ketentuan AD/ART tentang larangan rangkap jabatan.

Kiranya inilah pesan dan arahan yang perlu kami sampaikan.
DR. KH. M. A. SAHAL MAHFUDH
Rais ‘Aam PBNU

Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja

Oleh KH MA Sahal Mahfudh
Aktualisasi Nilai-nilai Aswaja
Aswaja atau Ahlus Sunnah wa Jama'ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini—sebagai identitas—ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstremitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep 'ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqayadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqah) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menurut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.

Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.

Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.

Dalam konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.

Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.

Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.

Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada "untung-rugi" secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.

Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama 'ibadatullah yang kedua 'imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa'adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.

Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.

Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.

Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.

Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.

Kebutuhan akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.

Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.

Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.

Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.

Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadhim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.

Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.

Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap israf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun muamalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu'amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.



*) Dikutip dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan pada seminar Pengembangan Sumber Daya Manusia NU Wilayah Sumatera Selatan, 16 Januari 1989 di Palembang.

Dicari: Keunggulan Budaya

Dicari: Keunggulan BudayaOleh KH Abdurrahman Wahid

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala yu’la alaihi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan memandang peradaban lain lebih rendah.

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Selain alasan tersebut itu tidak diperkenankan menggunakan kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.

***

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat di mana-mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari- hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan seorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Pengislaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi yang berbeda satu dari yang lain.

***

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, kaum muslimin harus mengusahakan agar Islam -sebagai agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat “teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civilizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.

***

Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shimbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri muslim.


*) Dikutip dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di harian Duta Masyarakat, 5 Juli 2003.

Jumat, 06 Juni 2014

Islam untuk Perdamaian dan Peradaban

Oleh Raja Yordania Abdullah II
 
Islam untuk Perdamaian dan PeradabanBismillah ar-Rahman ar-Rahim
Assalamu Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh
“Terima Kasih”. Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mendukung Nahdlatul Ulama dalam tugasnya berdakwah. Kepada Anda semua-komunitas muslim Indonesia yang hebat, untuk seluruh sahabat dari berbagai keyakinan, dan kepada seluruh bangsa Indonesia, saya sampaikan salam Yordania dan salam dari seluruh rakyatnya.

Perkenankan saya menyampaikan rasa duka cita yang mendalam di tahun ini atas wafatnya seorang anak bangsa dan tokoh umat yang terkenal, Yang Terhormat Rais Aam PBNU KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh.

Dan juga saya menyampaikan rasa simpati mendalam kepada para korban bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Kami berdoa agar segala sesuatunya kembali pulih dengan cepat dan menyeluruh.

Yang Terhormat  Bapak Ketua, Yang Terhormat para Tokoh Masyarakat, Yang Mulia para Duta Besar, Saudara-saudara dan Saudari-saudariku

Jauh sebelum modernisasi mendunia, terdapat suatu umat; masyarakat muslim dunia. Dan jauh sebelum adanya teknologi-teknologi modern yang mendekatkan budaya-budaya yang saling berjauhan, Islam telah mengajarkan kerukunan antarmanusia dan kesamaan martabat bagi semua orang.

Ini adalah pesan dari Islam yang tradisional, bertoleransi, beragam, dan berdasarkan pada mazhab. Pesan itu dipersembahkan untuk rasa cinta pada Allah, mengikuti Nabi Muhammad SAW, berusaha untuk hidup dalam kebajikan, dan memperlakukan orang lain dengan kebaikan dan keadilan.

Semangat Islam dan nilai-nilai sosialnya sangat penting untuk masa depan bumi. Setiap muslim mempunyai peranan terutama para pemuda dan pemudi untuk membantu mengarahkan masa depan kemanusiaan. Dan juga untuk bekerja sama dengan yang lain dalam memecahkan segala masalah, menghadapi segala tantangan, dan menangkap setiap peluang.

Yang memprihatinkan saat ini, ada kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik kembali kemajuan ini dengan menghasut agama dan konflik etnis.  Pada krisis Syria, kita melihat adanya eksploitasi perpecahan sekte untuk membenarkan tindak kekerasan dan mempertahankan kekuasaan. Tapi kawasan kita tidak sendiri. Bahaya akibat konflik agama mengancam seluruh umat, bahkan lebih dalam lagi, seluruh kemanusiaan. Dan kita harus menanggapinya.

Dimulai dengan menyuarakan lebih kuat untuk Islam yang tradisional dan moderat. Saya mengetahui banyak dari Anda dan banyak juga di seluruh Asia yang sedang berusaha mencapai tujuan ini. Ini juga merupakan tujuan dari “Amman Massage” (Pesan Amman), yang dengan bangga kami resmikan sepuluh tahun lalu. Inisiatif ini menegaskan kembali ajaran-ajaran Islam dalam hal toleransi, kekhusyukan kepada Allah, belas kasih dan perdamaian antarmanusia.

Kita melaksanakan Amman Message dengan jangkauan secara global. Saya bersyukur kepada bangsa Indonesia yang telah menjadi rekan kami dalam usaha ini. Hasilnya merupakan kesepakatan bersejarah dari para cendekiawan muslim di seluruh dunia-yang pertama terjadi dalam 1400 tahun-menyepakati siapa muslim sungguhan, melarang pengafiran pihak lain, dan secara terang-terangan mengakui keabsahan delapan mazhab dalam Islam yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Ja’fari, Zaidi, Abadhi, dan Zhahiri.

Tiga pasal dari Amman Massage mengulas mengenai klaim palsu dari orang-orang yang ingin mengeksploitasi agama untuk memecah-belah kita.  Seperti firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Quran; bismillah arrahman arrahim. Innamal Mukminuna Ikhwatun. Fa ashlihu baina akhawaikum. Wattaqullaha la’allakum tuflihun. Shadaqallahul azhim.

***

Saudara-saudara dan Saudari-saudariku,

Pada musim panas lalu, para pemimpin dan cendekiawan muslim dari seluruh dunia bertemu di Amman, dan dengan tegas mengutuk para penghasut yang menyebabkan konflik (fitnah) antara pengikut sekte Sunni-Syiah. Para pemimpin mengakui bahwa prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai Demokrasi dapat saling melengkapi satu sama lain. Dan bahwa contoh yang paling layak dari negara Islam yang dapat hidup terus dan berkelanjutan adalah negara yang mengabdi pada rakyatnya, didirikan di atas lembaga-lembaga yang mengutamakan musyawarah dan keadilan. Negara-negara tersebut menekankan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan, dan kesucian darah manusia.

Tergantung pada kita untuk mengenalkan pengetahuan ini ke sekolah-sekolah, perguruan tinggi, masjid, media, dan lain sebagainya. Kita harus terus bekerja sama-seperti yang sedang kita lakukan di sini hari ini-untuk memajukan ajaran-ajaran Islam yang kita cintai;  untuk merangkul yang lain; dan menyatukan yang terpecah-belah.

Bersama-sama, kita juga memiliki peran langsung dalam mengatasi krisis di Syiria.  Seperti di masa lampau, Yordania telah bertindak dengan belas kasih untuk menolong ratusan ribu keluarga-keluarga. Sesungguhnya, sampai hari ini negara kami sudah menampung lebih dari 600,000 pengungsi Syiria. Beban kemanusiaan ini membutuhkan pertolongan global.

Sebagai anggota dari Organisasi Kerja Sama Islam, kita harus bekerja sama dengan komunitas internasional untuk memberikan bantuan kemanusiaan, mengakhiri pertumpahan darah, dan membantu semua pihak mencapai solusi politik yang damai antara lain menjaga kesatuan Syiria dan keutuhan wilayahnya; dan mencapai aspirasi rakyat Syria.

Dan yang tetap penting adalah kita mampu menyelesaikan krisis kawasan saya yang telah berlangsung lama yaitu konflik Palestina-Israel. Ekstremisme semakin berkembang dengan memanipulasi penderitaan dan keputusasaan. Suara bersama dari dunia muslim dan Organisasi Kerja Sama Islam, memberikan pesan alternatif. Yordania, Indonesia, dan 55 anggota OKI lainnya dengan suara bulat telah mengadopsi Inisiatif Perdamaian Arab, untuk penyelesaian akhir, menyelesaikan semua masalah-masalah terakhir, berdasarkan solusi dua-negara. Bersama-sama, kita tidak boleh menyerah dalam mencari negosiasi menuju masa depan yang damai dan adil, dengan negara Palestina yang berdaulat, merdeka dan berkelanjutan, merujuk pada kesepakatan batas wilayah 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.

***

Sahabat-sahabatku,

Masyarakat dunia memiliki kesamaan dalam hal kemanusiaan. Semboyan negara Indonesia "Bhinneka Tunggal Ika” berlaku bagi kita semua. Kita diimbau untuk bersungguh-sungguh mengenai dialog global dan pemahamannya. Allah berfirman dalam kitab suci Al-Quran; Bismillah arrahman arrahim. Ya ayyuhannasu inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa. Wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba’ila lita’arafu. Inna akramakum indallahi atqakum. Innallahu alimun khabir. Sadaqallahul azhim.

***

Saudara-saudara dan Saudari-saudariku,

Konferensi Anda hari ini merupakan suatu perayaan dari pentingnya saling pengertian. Yordania juga merasa ini sebagai tanggung jawab khusus. Dari rumah kami yang merupakan tanah suci dari tiga agama, kami telah menjangkau dunia.

Inisiatif “A Common Word" (Kalimatun Sawa’) yang telah menyatukan umat Kristen dan muslim secara berkelanjutan, mencerminkan pengakuan bersama dari firman-firman emas kedua agama: untuk mencintai Allah dan mencintai sesama. Ada juga banyak inisiatif lain antaragama di mana kami diberi kehormatan untuk  menjadi pelopor baik di Yordania, di kawasan dan dunia termasuk konferensi kami di musim panas lalu tentang Arab Kristen, forum Katolik-Muslim dunia, Taman Nasional untuk situs pembaptisan Yesus Kristus AS, dan banyak lagi.

Resolusi Yordania untuk "World Interfaith Harmony Week" (Minggu Harmonisasi Antariman Dunia) dengan suara bulat disahkan Majelis Umum PBB. Tahun ini, insya Allah, saya akan menyerahkan sebuah penghargaan baru untuk acara terbaik pada World Interfaith Harmony.

Kami melakukan hal-hal ini dan inisiatif lainnya, tidak hanya merupakan tugas kami sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW dan juga sebagai penjaga situs-situs suci muslim dan umat Kristen di Yerussalem, tetapi juga sebagai bakti kami untuk umat, mengutip istilah fardu kifayah.

***

Sahabat-sahabatku,

Saat kita dan yang lainnya mencapai suatu kesepakatan bersama dan rasa saling hormat, kita sedang membangun masa depan yang layak untuk anak-anak kita.

Di mana ada konflik, dialog dapat membawa perdamaian. Di mana ada damai, dialog dapat membawa harmoni. Di mana ada harmoni, dialog dapat membawa persahabatan. Dan di mana ada persahabatan, dialog dapat membawa tindakan bersama yang menguntungkan.

Ini adalah tugas Anda di sini hari ini, dan juga adalah tugas kita bersama di hari-hari mendatang. Yordania berdiri bersama Anda, untuk kebenaran, toleransi, dan rasa saling menghormati. Wallahu waliyyut taufiq. Wassalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.




*) Diterima dari staf Duta Besar Yordania di Gedung Jakarta Convention Center (JCC) dalam bentuk terjemahan bahasa Indonesia. Raja Abdullah bin Al-Hussein (Abdullah II) menyampaikan teks pidato ini dalam bahasa Inggris di hadapan sedikitnya 500 hadirin saat pembukaan Multaqa Sufi yang diselenggarakan PBNU di JCC, Rabu 26 Februari 2014.

Seruan Syuriyah PBNU Terkait Bencana Alam di Indonesia

بسم الله الرحمن الرحيم. ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Seruan Syuriyah PBNU Terkait Bencana Alam di Indonesia 
Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri, agar supaya mereka merasakan akibat sebagian dari apa-apa yang mereka perbuat, semoga mereka kembali ke jalan yang benar (QS/Rum [30]: 41)

1. Memperhatikan bertubi-tubi dan meratanya bencana alam (seperti: banjir, kebakaran, dan letusan gunung), dengan segala akibat yang diderita, terutama oleh mereka rakyat lemah di lapis bawah;
2. Memperhatikan berbagai bencana sosial (seperti: intoleransi dan kebencian antar kelompok, kekerasan dan sadisme) dan puncaknya berupa kejahatan korupsi dan kesewenang-wenangan oleh para pemegang amanat, di hampir semua sektor dan semua lini;
3. Mengingat bahwa pada dasarnya masyarakat dan  bangsa Indonesia adalah manusia-manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta;
4. Memperhatikan bahwa, seperti difirmankan Allah dalam kitab suci-Nya, bahwa ”Segala kerusakan yang muncul di bumi ini merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari ulah tangan manusia-manusianya sendiri” (QS/Rum [30] /41).

Maka Kami Menyerukan;
Kepada segenap warga bangsa Indonesia, terutama para pemimpinnya di semua sektor dan tingkatan, untuk:
1. Mengingatkan dan menyadarkan diri masing-masing, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara; semua kita akan dipanggil kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan setiap ucapan dan amal perbuatan kita, sesuai niat dan akibat-akibat yang ditimbulkannya;
2. Bahwa semua kekayaan dan kekuasaan yang kita raih di dunia, akan disidik dan dimintai pertanggunggjawaban; dengan cara apa dan bagaimana diperoleh, serta untuk kepentingan apa dan siapa dimanfaatkan;
3. Bahwa setiap amal-perbuatan yang kita lakukan selama hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya; sekecil apa pun kecurangan yang kita lakukan, dan sekecil apa pun kebajikan yang kita perbuat, akan kita lihat dan rasakan balasannya.
4. Bahwa dosa yang kita perbuat terhadap sesama (seperti: kesombongan, fitnah, penganiayaan, kesewenang-wenangan,  korupsi, serta pengrusakan alam lingkungan), adalah dosa yang Tuhan sendiri tidak akan mengampuninya, selama pihak-pihak atau masyarakat yang dirugikan  dan menjadi korbannya belum memaafkan terlebih dahulu.
5. Karena itu, selagi masih ada kesempatan, dan tidak seorang pun tahu kapan ajal tiba, segeralah kita bertobat; menyesali dan menghentikan segala kecurangan dan dosa kita, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia dan lingkungan alam kita.
6. Selagi masih ada kesempatan, marilah kita melakukan perubahan, dengan berjanji kepada diri kita masing-masing untuk tidak mengulangi lagi dosa dan kesalahan kita, terhadap sesama warga bangsa dan kepada Allah Tuhan yang Maha Pencipta.
7. Marilah, dengan penuh kesadaran dan tekad yang kuat, kita melakukan perubahan menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih beradab, lebih bertanggungjawab, dengan mengutamakan kemaslahatan dan kejayaan bagi sesama warga bangsa dan segenap umat manusia.
8. Tidak ada bangsa yang dianugerahi bumi dan lingkungan alam sedemikian luas, kaya dan indah seperti kita bangsa Indonesia. Marilah setiap dan semua kita mensyukurinya dengan berbuat yang terbaik untuk kemakmuran dan kelestariannya; jauhkan setiap tindakan yang dapat merusaknya, demi kemaslahatan dan kejayaan kita dan anak cucuk kita semuanya, esok dan seterusnya - dalam bimbingna hidayah dan ridlo-Nya.
9. Kepada warga Nahdliyyin khususnya dan umat Islam Indonesia umumnya, diminta untuk memperbanyak istighfâr dan istighâtsah; memohon ampunan, bimbingan serta pertolongan Allah SWT. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang merahmati dan melindungi kita, bangsa, dan negara kita; menolong kita untuk segera bangkit dari keterpurukan, menuju kejayaan yang dicita-citakan oleh para pendiri negara dan rakyatnya. Semoga Allah SWT tidak menguasakan atas kita, karena dosa-dosa kita, kepada mereka yang tidak takut kepada-Nya dan tidak mempunyai belas kasihan kepada kita. Amin!



Jakarta; 3 Maret 2014 M/1 Jumadal Ula 1435 H



DR. KH. A. Mustofa Bisri                         DR. KH. A. Malik Madaniy, MA
Pj. Rois Aam                                     Katib Aam

Selasa, 03 Juni 2014

Islam dan Politik

Islam dan PolitikOleh KH MA Sahal Mahfudh

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

***

Syari'ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.

Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.

Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.

Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.

Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.

Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.

***

Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.

Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.

Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.

Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.

Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.

Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

***

Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.

Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.

Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi di Kendal, 4 Maret 1989.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU