1. Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat
 Maka jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah (hadits) Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam,
 wajib bagi menerimanya dan bersegera untuk menerapkannya dengan 
melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Oleh karena itu dahulu 
para salaf rahimahumullah berjalan mengikuti nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia mengikuti atsar.[1]
Maka jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah (hadits) Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam,
 wajib bagi menerimanya dan bersegera untuk menerapkannya dengan 
melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Oleh karena itu dahulu 
para salaf rahimahumullah berjalan mengikuti nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia mengikuti atsar.[1]Zuhri berkata, “Risalah datangnya dari Allah, kewajiban Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerimanya.”[2]
Ketika menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Telapak kaki Islam tidak akan tegak kecuali di atas permukaan menerima dan pasrah.” Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya.”[3]
2. Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i dan memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya
Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”[4]Asy-Syathibi berkata, “Setiap orang yang mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam beban-beban syariat (ibadah-pen), berarti dia telah menyelisihi syariat. Dan setiap orang yang menyelisihi syariat, amalan dia di dalam penyelisihan itu adalah batil (sia-sia). Maka barangsiapa mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam beban-beban syariat, berarti amalannya juga batil.”[5]
Alangkah indahnya perkataan seorang khalifah yang lurus, Ali radhiallahu’anhu, ketika dia berkata, “Janganlah kalian mengikuti sunnahnya orang-orang (yang masih hidup –pen). Karena sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli surga kemudian dia berbalik lalu melakukan amalan ahli neraka sehingga dia mati dan termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya ada seseorang yang melakukan amalan ahli neraka kemudian dia berbalik – karena Allah mengetahui tentangnya – lalu dia melakukan amalan ahli surga sehingga dia mati dan termasuk ahli surga. Dan jika kalian memang harus melakukannya (mengikuti suatu sunnah –pen), maka hendaknya terhadap orang-orang yang telah wafat, bukan yang masih hidup.” Beliau mengisyaratkan kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau yang mulia.[6]
Dan juga perkataan Abu Zinad, “Sesungguhnya sunnah-sunnah dan sisi-sisi kebenaran banyak yang datang menyelisihi akal. Maka mau tidak mau kaum muslimin harus mengikutinya. Di antaranya, bahwa seorang wanita haidh mengganti puasa namun tidak mengganti shalat.”[7]
3. Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan segala ajaran yang beliau bawa
Baik yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah Ta’ala kepada beliau, maupun berupa perintah maupun larangan, dan juga mengamalkan sunnah yang suci. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang
 semisalnya. Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan
 yang semisalnya.”[8]‘Atha berkata, “Mentaati Rasul adalah dengan mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah.”[9]
Al-‘allamah As-Sa’di berkata, “Sesungguhnya wajib bagi seluruh hamba untuk berpegang dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak halal menyelisihinya. Dan sesungguhnya pernyataan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sama dengan pernyataan Allah Ta’ala di dalam memberikan hukum. Maka tidak ada keringanan ataupun alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh mendahulukan perkataan seseorang atas perkataan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.”[10]
4. Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan tidak beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman beliau, maka melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah sunnah
Seperti perayaan maulid Nabi, menghidupkan malam Isra’ Mi’raj, merayakan tahun baru hijrah serta yang semisalnya. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”[11]Imam Malik rahimahullah berkata, “Apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.”[12]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Meninggalkan sesuatu secara terus-menerus adalah sunnah, sebagaimana perbuatan yang terus-menerus adalah sunnah.”[13]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Adapun ahlussunnah wal jama’ah, mereka berkata bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak tetap dari para sahabat radhiallahu’anhum adalah bid’ah. Karena seandainya baik, tentunya mereka telah mendahului kita melakukannya.”[14]
5. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang berupa ibadah dan muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam masalah politik atau ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah menjelaskan dan menerangkannya
Allah Ta’ala berfirman.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan telah Kami turunkan suatu kitab kepadamu sebagai penjelas 
terhadap segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi
 kaum muslimin.” (QS. An-Nahl: 89)Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku
 cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama.” (QS. Al-Maidah: 3)Seorang dari kaum musyrikin berkata kepada Salman Al-Farisi, “Apakah Nabimu mengajarkan segala sesuatu kepada kalian sampai pun pada masalah buang air?” Maka Salman menjawab, “Benar, beliau telah melarang kami dari menghadap kiblat ketika buang air besar maupun kecil … – sampai akhir hadits.”[15]
6. Ittiba’ tidak akan terwujud kecuali jika amalan sesuai dengan syariat di dalam enam perkara yaitu:
- Sebab. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, menghidupkan malam ke duapuluh tujuh bulan Rajab dengan shalat tahajjud, dengan anggapan bahwa malam itu adalah malam isra’ mi’raj.[16] Maka shalat tahajjud pada asalnya adalah ibadah, namun ketika dikaitkan dengan sebab ini, maka menjadi bid’ah karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara syar’i.
- Jenis. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
- Ukuran. Seandainya ada seseorang yang ingin menambah satu shalat sebagai shalat wajib atau menambah satu raka’at dalam shalat wajib, maka amalannya ini adalah bid’ah dan tertolak. Karena amalan (shalat) itu menyelisihi syari’at di dalam ukuran dan bilangannya.
- Tata cara. Jika seseorang membolak-balik wudhu dan shalat, maka wudhu dan shalatnya tidak akan sah. Karena amalannya menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
- Waktu. Seandainya seseorang menyembelih hewan kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
- Tempat. Jika seseorang melakukan i’tikaf di rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi syari’at di dalam tempat.[17]
7. Asal di dalam ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud (merendahkan diri dan tunduk –pen) dan imtitsal (mewujudkan ketaatan –pen) tanpa melihat kepada hikmah-hikmah atau amalan-amalan yang dikandungnya, meskipun kadang nampak jelas pada sebagian banyak darinya
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata menetapkan hal ini, “Wajib kita ketahui bahwa hikmah adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam, maka kita wajib menerimanya. Jika ada seseorang yang bertanya kepada kita tentang hikmah di dalam suatu perkara, kita jawab bahwa sesungguhnya hikmah adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Dalilnya dari al-Qur’an al-Karim adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Tidak pantas bagi seorang laki-laki atau perempuan yang beriman memiliki pilihan di dalam urusan mereka jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan satu urusan.” (QS. Al-Ahzaab: 36) Aisyah radhiallahu’anha pernah ditanya, kenapa seorang wanita yang haidh mengganti puasanya tetapi tidak mengganti shalat? Maka beliaupun menjawab, “Dahulu hal itu juga menimpa kita, lalu kami diperintah untuk mengganti puasa tapi tidak diperintah untuk mengganti shalat.[18] Maka beliau berdalil dengan sunnah dan tidak menyebutkan ‘illah (alasannya). Inilah hakikat taslim dan ibadah, yaitu menerima perintah Allah dan Rasul-Nya baik diketahui hikmahnya ataupun tidak. Jika seseorang tidak mau beriman terhadap sesuatu kecuali jika dia mengetahui hikmahnya, kita katakan, sesungguhnya engkau adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, engkau tidak mau melaksanakan ketaatan kecuali jika nampak bagimu bahwa hal itu adalah baik.”[4] Alangkah menakjubkan Al-Faruq Umar radhiallahu’anhu ketika berkata, “Kenapa tetap berlari-lari kecil dan membuka bahu kanan (yakni ketika thawaf dalam haji dan umrah –pen) padahal Allah telah mengokohkan Islam, menghilangkan kekafiran dan orang-orangnya? Meskipun demikian kita tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dulu kita lakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.”[19] Akan tetapi, dari penjelasan yang telah lalu, tidak boleh dipahami oleh seorang pun bahwa tidak ada tuntutan untuk membahas tentang hikmah dan makna yang terkandung di dalam ibadah-ibadah yang ditunjukkan oleh beberapa indikasi. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam telah menyebutkan sebagian darinya. Misalnya, firman Allah Ta’ala,
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Agar kalian berfikir”
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Agar kalian beruntung”
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertakwa” Dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.”[20] Akan
 tetapi, yang dimaksudkan adalah untuk memberi peringatan agar tidak 
berlebih-lebihan di dalam membahasnya dan agar tidak menggantungkan 
pelaksanaan suatu ibadah dengan pengetahuan terhadap hikmahnya. 
Adapun kaidah di dalam masalah adat, kebiasaan dan mu’amalah, adalah 
melihat dan menyelidiki hikmah-hikmah dan makna-maknanya, meskipun 
kadang tidak nampak jelas pada sebagian darinya.[21]8. Kesusahan bukanlah tujuan syariat
Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada seorang tua yang dipapah oleh kedua anaknya karena telah bernadzar untuk berjalan,
(( إِنَّ اللهَ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ ))
“Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada penyiksaan orang ini terhadap dirinya.”[22] Al-‘Izz
 bin Abdis Salaam menguatkan hal ini, “Tidak benar mendekatkan diri 
(kepada Allah) dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Karena seluruh 
pendekatan diri kepada Allah adalah pengagungan terhadap-Nya, sedangkan 
perkara-perkara yang menyusahkan itu bukanlah suatu pengagungan atau 
penghormatan.”[23] Dan yang dituntut dari seorang hamba adalah menjauhi 
larangan dan melaksanakan perintah sesuai dengan batas kemampuan. Dengan
 dalil sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
(( فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَ أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ))
“Jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah. Dan jika aku
 perintahkan kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”[24] Dasar dan landasan syariat adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesusahan dari hamba-hamba. Dalilnya firman Allah,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menghendaki membuat kesusahan kepada kalian.” (QS.
 Al-Maidah: 6) Oleh karena itu, perbedaan pahala dan balasan mengikuti 
tingkatan amal dan ukuran kemuliaannya, baik besar ataupun kecil tingkat
 kesusahannya.[25] Tapi tidak diragukan bahwa kesusahan – yang bukan 
merupakan tujuan – yang didapati oleh seorang mukallaf karena melaksanakan amalan yang disyariatkan, akan menambah pahala baginya. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ 
ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَطَئُونَ
 مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً 
إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kesusahan, 
kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu
 tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan
 suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan suatu amal shalih bagi
 mereka dengan sebab yang demikian itu.” (QS. At-Taubah: 120) Dari Jabir radhiallahu’anhu berkata,
 “Dahulu, rumah-rumah kami jauh dari masjid. Maka kami berniat menjual 
rumah-rumah kami dan mendekat menuju masjid. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami dan bersabda,
(( إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ خُطْوَةٍ دَرَجَةً ))
“Sesungguhnya kalian mendapatkan satu derajat pada setiap langkah.”[26] Ketika Aisyah radhiallahu’anha berkata,
 “Wahai Rasulullah, orang-orang keluar untuk melakukan dua ibadah 
sekaligus (haji dan umrah –pen), sedangkan aku hanya melakukan satu 
ibadah (haji –pen)?” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya,
(( انتظري فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم فأهلي ثم ائْتِنَا بمكان كذا ، ولكنها على قدر نفقتك أو نصبك ))
“Tunggulah, jika engkau telah suci maka pergilah ke Tan’im lalu 
serukan talbiyah, kemudian datangilah kami di tempat anu. Akan tetapi 
hal itu sesuai dengan harta atau tenagamu.”[27] Al-‘Izz bin Abdis 
Salaam berkata tentang hal ini di dalam perkataan yang berharga, “Jika 
ditanyakan, apa ketentuan dari amalan susah yang diberi balasan lebih 
banyak dari amalan yang ringan? Aku katakan, jika ada dua perbuatan yang
 memiliki kesamaan di dalam kemuliaan, syarat-syarat, sandaran dan 
rukun-rukunnya, sedangkan salah satunya adalah amalan yang berat, maka 
pahala kedua amalan itu sama saja, karena keduanya memiliki kesamaan di 
dalam seluruh ketentuannya. Hanya saja yang satu berbeda dari yang lain 
karena ada penahanan diri terhadap perkara yang susah karena Allah Ta’ala, sehingga diberi pahala karena menahan perkara yang susah itu, bukan karena dzat kesusahan itu sendiri.”[28]___
Catatan Kaki
1 Lihat perkataan Ibnu Sirin yang semisal dengan ini di dalam sunan Ad-Darimi no. 140.
2 Shahih Bukhari, Fathul Bari (13/504).
3 Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah (1/219).
4 Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718.
5 Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (2/358).
6 Al-Muwafaqaat (2/333).
7 Riwayat al-Bukhari, lihat Fathul Bari (4/192).
 Ibnu Hajar berkata, “Dan perkataan Abu Zinad, ‘sesungguhnya 
sunnah-sunnah banyak yang datang menyelisihi akal’, seakan-akan beliau 
mengisyaratkan kepada perkataan Ali, ‘seandainya agama ini (bersandar) 
dengan akal, tentunya bagian bawah sepatu lebih berhak untuk diusap dari
 pada bagian atasnya.’ Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad (1267), Abu 
Daud (162), Ad-Daruquthni (1/199) dan para perawinya adalah tsiqaat 
(orang-orang yang terpercaya). Dan banyak yang semakna dengan ini di 
dalam Asy-Syar’iyat”.
8 Riwayat Ahmad (4/131) dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (1/516) no: 2643.
9 Riwayat Ad-Darimi (1/77) no: 223.
10 Tafsir as-Sa’di (7/333).
11 Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718.
12 Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (1/49).
13 Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (26/172).
14 Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (4/156).
15 Riwayat Muslim (1/223) no. 262, lihat Tafsir As-Sa’di (4/230, 231)
16 Penetapan malam isra’ mi’raj telah dipeselisihkan 
oleh para ulama dan muncul lebih dari sepuluh pendapat. Lihat Fathul 
Bari karya Ibnu Hajar (7/203). Dan Syaikh Ibnu Baaz memiliki perkataan 
yang berharga tentang hal ini. Beliau berkata, “Malam terjadinya isra’ 
dan mi’raj ini tidak ada penentuannya di dalam hadits-hadits yang 
shahih. Semua riwayat yang datang tentang penentuannya, tidak ada yang 
shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menurut ulama 
ahli hadits. Dan Allah memiliki hikmah yang dalam dimana Allah 
menjadikan manusia lupa terhadapnya. Seandainya penentuan malam itu 
benar, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan 
suatu ibadah apapun dan mereka tidak boleh merayakannya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
 para sahabat beliau tidak merayakannya dan tidak mengkhususkannya 
dengan sesuatu apapun. Seandainya perayaan itu adalah perkara yang 
disyariatkan, tentunya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
 menjelaskannya kepada umat ini dengan perkataan dan perbuatan. Dan 
seandainya hal itu terjadi, tentunya telah diketahui, dikenal dan para 
sahabat tentunya telah menukilkannya kepada kita. Sesungguhnya mereka 
telah menukilkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam segala 
sesuatu yang dibutuhkan umat ini dan mereka tidak akan meremehkan 
sesuatupun dari agama ini. Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama
 kali menuju kebaikan. Maka seandainya perayaan malam ini disyariatkan, 
pasti mereka adalah orang-orang yang paling pertama melakukannya. Dan 
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang yang paling 
menghendaki kebaikan bagi manusia. Beliau telah menyampaikan risalah 
dengan sungguh-sungguh dan telah menunaikan amanah. Maka seandainya 
pengagungan terhadap malam ini termasuk di dalam agama Islam, tentunya 
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak akan lalai atau 
menyembunyikannya. Maka tatkala hal ini tidak terjadi sama sekali, 
diketahuilah bahwa perayaan dan pengagungan terhadap malam itu bukan 
dari agama Islam sama sekali.” (Lihat Fatwa Lajnah Daimah, 3/65).
16 Lihat Al-Ibda’ fii Bayaani Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtida’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin halaman 21, 22.
17 Lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (1/501) no. 321.
18 Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ (4/165, 166).
19 Sunan Abi Daud no. 1887. Al-Albani berkata di dalam Shahih Sunan Abi Daud no. 2662, “Hasan Shahih.”
20 Sunan Abi Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth di dalam takhrijnya terhadap Jami’ul Ushul no. 1505.
21 Lihat pembahasan Imam Asy-Syathibi tentang hal ini di dalam Al-Muwafaqaat (2/300-310).
22 Riwayat Muslim (3/1263) no. 1642.
23 Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30).
24 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (13/264) no. 7288.
25 Lihat Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/29, 30).
26 Riwayat Muslim (1/461) no. 664.
27 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (13/264) no. 7288.
28 Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30).
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: http://muslim.or.id
 








 
 
 



Tidak ada komentar:
Posting Komentar