Rabu, 05 Juni 2013

Kumpulan Tafsir : Penafsiran Ma’iisyatan-Dhanka “Kehidupan yang Sempit”

Penafsiran Ma’iisyatan-Dhanka “Kehidupan yang Sempit”


Firman Allah SWT,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Waman a'radha 'an dzikrii fa-inna lahu ma'iisyatan dhankan wanahsyuruhu yaumal qiyaamati a'm(a)

“Maka, sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” (Thaahaa: 124)

Banyak salaful-ummah yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan sempit dalam ayat di atas adalah azab kubur. Dan mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil tentang adanya siksa kubur. Karena itulah Allah SWT berfirman,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Waman a'radha 'an dzikrii fa-inna lahu ma'iisyatan dhankan wanahsyuruhu yaumal qiyaamati a'm(a)

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا
Qaala rabbi lima hasyartanii a'ma waqad kuntu bashiiran


قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى
Qaala kadzalika atatka aayaatunaa fanasiitahaa wakadzalikal yauma tuns(a)

“Dan Kami akan menghimpunkannya pada hah kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia. ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat? Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada had ini kamu pun dilupakan.” (Thaahaa: 124-126) 

Artinya, ia akan dibiarkan menerima azab sebagaimana ia telah meninggalkan dan tidak menunaikan ayat-ayat-Nya. Selanjutnya Allah SWT menyebutkan siksa alam barzakh dan siksa di neraka Jahanam. Dan padanan ayat di atas adalah firman Allah SWT tentang azab-Nya kepada Fir’aun,
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Ghaafir: 46)
Yang dimaksud dalam ayat di atas adalah dalam azab barzakh. Kemudian Allah SWT melanjutkan firman-Nya,
“Dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), ‘Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Ghaafir: 46)
Ini adalah pada hari kiamat.
Di antara padanannya juga adalah,


وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
Waman azhlamu mimmaniiftara 'alallahi kadziban au qaala uuhiya ilai-ya walam yuuha ilaihi syayun waman qaala saunzilu mitsla maa anzalallahu walau tara idzizh-zhaalimuuna fii ghamaraatil mauti wal malaa-ikatu baasithuu aidiihim akhrijuu anfusakumul yauma tujzauna 'adzaabal huuni bimaa kuntum taquuluuna 'alallahi ghairal haqqi wakuntum 'an aayaatihi tastakbiruun(a)

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan sakaratul maut, sedangkan para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarlah nyawamul’ Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (al-An’aam: 93)

Jadi yang dimaksud dengan perkataan malaikat “Hari ini kamu disiksa dengan azab yang menghinakan ” dalam ayat di atas adalah azab alam barzakh yang dimulai dengan pencabutan nyawa dan kematian.
Ayat yang semisalnya juga adalah,


وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُوا الْمَلائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ
Walau tara idz yatawaffaal-ladziina kafaruul malaa-ikatu yadhribuuna wujuuhahum waadbaarahum wadzuuquu 'adzaabal hariiq(i)

“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata), ‘Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar,’ (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (al-Anfaal: 50)

Yang dimaksud dengan merasakan siksa dalam ayat ini adalah di alam barzakh, yang diawali dengan kematian. Sedangkan kata-kata malaikat, ‘Rasakanlah olehmusiksa neraka yang membakar,’ adalah di-’athaf-kan (dihubungkan) kepada firman-Nya, “Mereka memukul muka dan belakang mereka.” Kalimat ini termasuk ucapan yang obyeknya dihilangkan, karena maksud konteks kalimatnya sudah tersirat, sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat yang sepadan. Adapun kata-kata malaikat tersebut berlangsung pada waktu kematian seseorang.
Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa al-Barra’ bin Azib r.a. menafsirkan firman Allah SWT,

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Yutsabbitullahul-ladziina aamanuu bil qaulits-tsaabiti fiil hayaatiddunyaa wafii-aakhirati wayudhillullahuzh-zhaalimiina wayaf'alullahu maa yasyaa'u

“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat” (Ibrahim: 27)
 
Menurutnya, ayat ini adalah mengenai siksa kubur. Dan, hadits-hadits tentang siksa kubur sendiri hampir mencapai tingkat mutawatir.
Maksud dari firman Allah dalam surat Thaahaa ayat 124-126 adalah
pemberitahuan Allah SWT bahwa barangsiapa yang enggan mengikuti petunjuk-Nya, maka ia akan menjalani kehidupan yang sempit. Di sisi lain, Dia menjamin orang yang selalu mengikutinya akan mendapatkan kehidupan yang baik dan pahala di hari kemudian. Karena itu Allah berfirman,


مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Man 'amila shaalihan min dzakarin au untsa wahuwa mu'minun falanuhyiyannahu hayaatan thai-yibatan walanajziyannahum ajrahum biahsani maa kaanuu ya'maluun(a)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa-yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)

Dalam ayat di atas, Allah SWT memberitakan bahwa orang yang selalu mengkuti petunjuknya dalam segala perilakunya di dunia akan memperoleh kehidupan yang baik dan balasan yang lebih baik di akhirat. Hal ini merupakan kebalikan dari kehidupan yang sempit di dunia dan di alam barzakh, serta keadaan terlupakan nanti di akhirat. Allah SWT berfirman,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
Waman ya'syu 'an dzikrir-rahmani nuqai-yidh lahu syaithaanan fahuwa lahu qariinun


وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ
Wa-innahum layashudduunahum 'anissabiili wayahsabuuna annahum muhtaduun(a)

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka membawa petunjuk.” (az-Zukhruf: 36-37)

Dalam ayat di atas, Allah SWT memberitahukan bahwa orang yang menjadi korban syetan dan tersesat karenanya, adalah orang yang enggan mengikuti petunjuk yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Maka, Allah SWT menghukum orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya tersebut dengan menentukan satu syetan yang selalu mengikutinya, yang akan selalu menghalanginya dari jalan Tuhan dan jalan kebahagiaan. Sedangkan, orang tersebut mengira bahwa dirinya mendapat petunjukdari Tuhan-Nya. Ketika hari kiamat tiba, dan kebinasaan serta kerugiannya menjadi nyata ia berkata,


حَتَّى إِذَا جَاءَنَا قَالَ يَا لَيْتَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ بُعْدَ الْمَشْرِقَيْنِ فَبِئْسَ الْقَرِينُ
Hatta idzaa jaa-anaa qaala yaa laita bainii wabainaka bu'dal masyriqaini fabi-asal qariin(u)

“Sehingga apabila orang-orang yang berpaling itu datang kepada Kami (di hari kiamat) dia berkata, ‘Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masyrik dan maghrib, maka setan itu adalah sejahat-jahat teman (yang menyertai manusia).” (az-Zukhruuf: 38)

Setiap orang yang enggan mengikuti petunjuk-Nya, yaitu dzikrullah, maka pada hari kiamat ia akan mengucapkan kata-kata yang disebutkan dalam ayat di atas.
Jika dikatakan, “Apakah anggapan dari seseorang yang tersesat bahwa ia telah mengikuti petunjuk-Nya bisa menjadi alasan baginya untuk dimaafkan dari siksaan?” Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Mereka mengira bahwa mereka itu orang yang mendapat petunjuk.”
Maka, jawabannya, “Anggapan semacam ini dan semisalnya tidak bisa menjadi alasan untuk membenarkan kesesatan seseorang, yang kesesatannya itu dikarenakan keengganan mengikuti wahyu yang dibawa Rasul-Nya.”
Jika dia mengira bahwa dia mendapat petunjuk, maka pada kenyataannya dia enggan untuk mengikuti penyeru kepada petunjuk itu. Dan apabila dia sesat, maka itu karena keengganan dan keberpalingannya. Adapun ancaman dalam Al-Qur’an hanyalah untuk golongan yang pertama. Sedangkan, bagi golongan yang kedua ini, maka sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengazab seseorang hingga sampai kepadanya risalah dari-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya,


مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
Mani ihtada fa-innamaa yahtadii linafsihi waman dhalla fa-innamaa yadhillu 'alaihaa walaa taziru waaziratun wizra ukhra wamaa kunnaa mu'adz-dzibiina hatta nab'atsa rasuulaa

“Kami tidak akan menurunkan azab sebelum mengutus seorang rasul.” (al-lsraa:15)


رُسُلا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
Rusulaa mubasy-syiriina wamundziriina li-alaa yakuuna li-nnaasi 'alallahi hujjatun ba'darrusuli wakaanallahu 'aziizan hakiiman

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul.”(an-Nisaa”: 165)

Dan Allah SWT berfirman tentang penghuni neraka,


وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ
Wamaa zhalamnaahum walakin kaanuu humuzh-zhaalimiin(a)

“Dan Kami tidak menzalimi mereka, tetapi mereka itulah orang-orang yang zalim.” (az-Zukhruuf: 76)

Juga dalam firman-Nya,


أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ
An taquula nafsun yaa hasrataa 'ala maa farrathtu fii janbillahi wa-in kuntu laminass-aakhiriin(a)


أَوْ تَقُولَ لَوْ أَنَّ اللَّهَ هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Au taquula lau annallaha hadaanii lakuntu minal muttaqiin(a)


أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Au taquula hiina taral 'adzaaba lau anna lii karratan fa-akuuna minal muhsiniin(a)


بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Bala qad jaa-atka aayaatii fakadz-dzabta bihaa waastakbarta wakunta minal kaafiriin(a)

“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah).’ Atau supaya jangan ada yang berkata, ‘Kalau Allah member! petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.’ Atau supaya jangan ada yang berkata ketika melihat azab/Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik.’ (Bukan demikian) sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan dm dan adalah kamu termasuk orang-orang kafir.” (az-Zumar: 56-59)

Masih banyak ayat yang menerangkan tentang hal ini.


Miftah Ad Dar As Sa’adah – Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Kumpulan Tafsir : Maksud Berpaling dari Mengingat Allah dalam Ayat “A’radha ‘an Dzikri”

Maksud Berpaling dari Mengingat Allah dalam Ayat “A’radha ‘an Dzikri”


Allah SWT berfirman,


وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Waman a'radha 'an dzikrii fa-inna lahu ma'iisyatan dhankan wanahsyuruhu yaumal qiyaamati a'm(a)

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunnya pada harikiamat dalam keadaan buta.” (Thaahaa: 124)

Ketika Allah SWT memberitahukan tentang keadaan hamba yang mengikuti petunjuk-Nya ketika di dunia dan di akhirat, Dia juga memberitahukan keadaan orang yang berpaling dan enggan mengikuti petuntuk-Nya. Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” Artinya, berpaling dari peringatan yang Aku turunkan.
Kata dzikr di sini adalah kata benda yang disandarkan kepada faa ‘il (pelaku), seperti kata qiyaami (berdiriku) dan qiraa’ati (bacaanku). Kata benda tersebut bukan disandarkan kepada maf’ul (obyek), sehingga maknanya bukan, “Barangsiapa yang berpaling dari mengingat-Ku.”
Namun demikian, dalam ayat tersebut sudah pasti ada muatan makna tersebut.
Sedangkan untuk makna lainnya, akan kami sebutkan nanti. Akan tetapi, dalam ayat ini lebih tepat dikatakan bahwa kata dzikr tersebut disandarkan kepada kata ganti milik, bukan kepada maf’uul. Jadi maknanya adalah ‘Barangsiapa yang berpaling dari Kitab-Ku dan tidak mengikutinya’, karena Al-Qur  an juga disebut dzikr. Allah SWT berfirman,


وَهَذَا ذِكْرٌ مُبَارَكٌ أَنْزَلْنَاهُ أَفَأَنْتُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ
Wahadzaa dzikrun mubaarakun anzalnaahu afaantum lahu munkiruun(a)

“Dan Al-Qur’an itu adalah suatu kitab peringatan yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan.” (al-Anbiyaa: 50)



ذَلِكَ نَتْلُوهُ عَليْكَ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ
Dzalika natluuhu 'alaika minaaayaati wadz-dzikril hakiim(i)

“Demikialah kisah Isa, Kami membacanya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan membacakan Al-Qur’an yang penuh hikmah. ” (Ali ‘Imran: 58)


وَمَا هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
Wamaa huwa ilaa dzikrul(n)-lil'aalamiin(a)
“Dan Al-Qur’an itu tidak lain hanya peringatan bagi seluruh umat.” (al-Qalam: 52)


إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
Innal-ladziina kafaruu bidz-dzikri lammaa jaa-ahum wa-innahu lakitaabun 'aziizun
“Sesungguhnya orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, mereka itu pasti akan celaka dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41)


إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
Innamaa tundziru maniittaba'adz-dzikra wakhasyiyar-rahmana bil ghaibi fabasy-syirhu bimaghfiratin wa-ajrin kariimin

“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Allah.” (Yaasiin: 11)

Berdasarkan penjelasan ini, maka idhaafah (penyandaran) lafal dzikr adalah seperti penyandaran kata benda baku (jaamid) kepada kata ganti milik, bukannya penyandaran pelaku kepada obyeknya,
“Yang mengampuni dosa dan menerima tobat, lagi keras hukuman-Nya.” (Ghaafir: 3)
Beberapa idhaafah (penyandaran) dalam ayat ini tidak mempunyai makna berkesinambungan. Tetapi, maksud penyandaran itu adalah bahwa sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang tetap. Makna ini juga yang berlaku dalam sifat-sifat Allah SWT yang merupakan nama-nama-Nya. Allah SWT berfirman,
“Diturunkan kitab ini dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Yang mengampuni dosa dan menerima tobat lagi keras hukuman-Nya. Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nyalah tempat kembali.” (Ghaafir; 2-3)


Miftah Ad Dar As Sa’adah – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

Kumpulan Tafsir : Berlindung Dari Kebinasaan Ahlul Kitab

Berlindung Dari Kebinasaan Ahlul Kitab


Al Ustadz Abu Karimah Askary bin Jamaluddin Al Atsary Al Bugisy

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (Al Baqarah: 79)
Penjelasan Mufradat (Kosakata) Khusus
Para ulama berselisih pendapat dalam menafsirkan kata wail. Ada yang menafsirkannya dengan adzab (siksaan) atas mereka, sebagaimana terdapat dalam riwayat Ibnu Abbas. Ada pula yang mengatakan “lembah yang terdapat di dasar neraka, yang di dalamnya mengalir nanah”, dan ada pula yang menafsirkan lain. Sementara Asy Syaikh As Sa’dy mengatakan, wail adalah kerasnya siksaan dan penyesalan, yang di dalamnya mengandung ancaman yang sangat keras. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman hal. 56, dan lihat perselisihan ulama dalam menafsirkan kata ini dalam Tafsir Ath Thabary, 1/274, Ma’alim At Tanzil, 1/110).
“dengan tangan-tangan mereka”
Ada dua kemungkinan yang dimaksud dengan lafadz ini:
Pertama, sebagai ta’kid (penguat) dari kata “menulis”, sebab tidak mungkin seseorang dikatakan menulis kecuali dengan menggunakan tangan. Ini serupa dengan firman Allah yang lainnya:
“dan tidaklah burung terbang dengan sayapnya”
Dan juga firman-Nya:
“mereka berkata dengan mulut-mulut mereka”
Kedua, untuk menjelaskan dosa mereka dan menetapkan kelancangan mereka, karena orang yang melakukan (secara langsung) perbuatan tersebut lebih keji daripada orang yang bukan pelakunya (secara langsung) meski (perbuatan itu) merupakan buah pikirannya. (Al Qurthuby, 2/9)
Asal makna Al Kasbu adalah beramal. Maka setiap orang yang mengamalkan secara langsung dikatakan Al Kasib. (Ath Thabary 1/380)

Penjelasan Ayat
Berkata Al ‘Allamah (orang yang dalam ilmunya) Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy t: “Allah mengancam orang-orang yang melakukan perubahan terhadap Al Kitab, yaitu orang-orang yang mengatakan “Ini berasal dari sisi Allah” terhadap apa yang telah mereka rubah dan mereka tulis. Dan ini merupakan idzhar (penampakan) kebatilan dan menyembunyikan al haq (kebenaran). Mereka melakukan hal itu dalam keadaan berilmu, namun hendak menjualnya dengan harga yang sedikit dan dunia seluruhnya dari awal hingga akhir merupakan harga yang sedikit. Lalu mereka jadikan kebatilan itu sebagai umpan untuk mengambil apa-apa yang ada di tangan manusia.
Mereka telah mendzalimi manusia dari dua sisi, yaitu mengkaburkan agama dan di sisi lain mengambil harta manusia tanpa haq. Bahkan dengan cara paling batil, yang lebih batil dari orang-orang yang mengambil harta dengan cara pemaksaan, pencurian, dan semisalnya. Oleh karena itu Allah mengancam mereka dengan dua hal dengan firman-Nya: ‘Kecelakaan bagi mereka dengan apa yang mereka tulis oleh tangan-tangan mereka yang telah melakukan perubahan dan kebatilan’, dan ‘Kecelakaan bagi mereka dengan apa yang mereka peroleh dari harta’.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 56)
Berkata Al Allamah Ath Thabary dalam tafsirnya, yang dimaksud (ayat tersebut) adalah orang-orang yang mengubah-ubah kitab Allah dari kalangan Yahudi Bani Israil. Dan mereka menulis kitab berdasarkan apa yang telah mereka ubah dengan perubahan-perubahan yang menyelisihi apa yang diturunkan oleh Allah kepada . Lalu mereka menjualnya kepada kaum yang tidak mengetahui Nabi-Nya Musa perubahan tersebut dan tidak pula mengetahui isi kandungan Taurat (yang asli), disebabkan kejahilan mereka terhadap kandungan kitab-kitab Allah karena ingin mendapatkan dunia yang hina. (Ath Thabary, 1/278)
Al Qurthuby t ketika menafsirkan ayat ini mengatakan: “Tatkala perkara (al haq) telah hilang di tengah-tengah mereka hingga menyebabkan rusaknya mereka dan rusak pula tanggung jawab ulama mereka, lalu menenggelamkan diri-diri mereka kepada dunia karena sifat tamak dan rakusnya. Mereka pun mencari hal-hal yang bisa menyebabkan perhatian manusia tertuju kepada mereka. Maka mereka membuat perkara baru dalam syariatnya dan mengubahnya, lalu mereka sertakan ke dalam kitab Taurat sambil berkata kepada orang-orang bodoh dari mereka, “Ini berasal dari Allah”, agar mereka mau menerimanya, agar mereka kokoh jabatan kepemimpinan mereka dan mampu mengendalikan dunia serta memperoleh kotoran-kotorannya.” (Al Qurthuby, 2/7)
Penjelasan para ulama tentang ayat yang mulia ini menunjukkan, Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan beberapa penyimpangan ahlul kitab khususnya dari kalangan Yahudi, yang menyebabkan datangnya kemurkaan Allah atas mereka, di antaranya:

1. Melakukan perubahan terhadap kitab yang Allah turunkan kepada mereka;
2. Menyembunyikan al haq dan menolaknya;
3. Ulama yang jahat;
4. Menjual agama dan akhirat dengan memperoleh dunia yang hina;
5. Mendapatkan harta milik orang lain dengan cara-cara yang haram.


Semua pelanggaran yang dilakukan dan diamalkan oleh ahlul kitab tersebut tidak . Bahkan dengan melihat realita mustahil akan dialami pula oleh umat Rasulullah umat Islam saat ini, akan ditemukan berbagai pelanggaran itu. Tidaklah ini terjadi melainkan sebagai penegasan terhadap apa yang telah disabdakan : Rasulullah
“Kalian pasti akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jika (mereka) menempuh (masuk ke) lubang biawak kalian pun akan menempuhnya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah (mereka) Yahudi dan Nashara?” Jawab (Rasulullah): “Siapa lagi?”. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari 3/3270, Muslim 4/2669, dari hadits Abu Said Al Khudry radhiallahu ’anhu)
Jika dirinci lagi, pelanggaran-pelanggaran yang menjadi sebab kemurkaan Allah terhadap ahlul kitab adalah sebagai berikut:
a. Mengubah agama Allah dan menafsirkannya dengan penafsiran batil.
(Hal ini mengakibatkan) timbulnya berbagai macam kesesatan berupa syirik, bid’ah, serta berbagai bentuk penolakan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, lalu menghiasinya dengan label “Islam”, “Inilah yang benar”, dan yang lainnya dari berbagai bentuk propaganda. Ini merupakan tindakan perubahan terhadap syariat Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Berkata Ibnul Qayyim mencela orang-orang yang mengubah kitab-Nya dan orang awam (ahlult: “(Allah) kitab) yang mereka tidak memiliki ilmu kecuali sekedar membaca saja, dan orang-orang yang menulis kebatilan lalu berkata: “Inilah kebenaran dan ini berasal dari Allah.” Dan (Allah) mencela pula orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah berupa Al Kitab yang berisi penjelas dan petunjuk, dalam beberapa tempat di dalam Al Qur’an.
Keempat jenis perbuatan tercela ini ada pada orang-orang yang berpaling dari nash-nash wahyu dan menentangnya dengan menggunakan pendapat mereka sendiri, akal, dan hawa nafsu. Terkadang mereka menyembunyikan hadits dan ayat yang bertentangan dengan pendapat mereka. Di antara mereka pula, ada beberapa golongan yang memalsukan hadits-hadits untuk menyesuaikan madzhab dan hawa nafsu mereka, baik dalam perkara ushul maupun furu’ (cabang). Lalu berkata “Ini berasal dari Allah.” Dan terkadang mereka mengarang buku-buku dengan dasar akal pikiran, perasaan, dan khayalan-khayalan mereka, lalu mengklaim bahwa (kitab-kitab) itulah yang wajib mereka ikuti dan mendahulukannya di atas nash-nash wahyu. “(Ash Shawaiq Al Mursalah, Ibnul Qayyim, 3:1049-1050)
Lalu beliau (Ibnul Qayyim) t berkata lagi: “Sesungguhnya orang-orang yang menentang wahyu dengan akal mereka ada lima kelompok:
Golongan yang menentang wahyu dengan akal pikiran dan lebih mengutamakannya di atas wahyu. Mereka berkata kepada orang yang berpegang teguh dengan wahyu: “Milik kami akal dan milik kalian adalah naql (wahyu).”
Golongan yang menolak wahyu dengan pendapat-pendapat dan qiyas-qiyas (analogi) yang batil. Mereka berkata kepada ahlul hadits (yang berpegang teguh dengan hadits nabi): ”Milik kalian hadits dan milik kami adalah pendapat dan qiyas.”
Golongan yang menolak wahyu dengan ilmu hakikat dan perasaan. Mereka berkata: “Milik kalian syariat dan milik kami taubat.”
Golongan yang menolak wahyu dengan berbagai manuver politik. Mereka berkata: “Kalian pengamal syariat sedangkan kami adalah politikus.”
Golongan yang menolak wahyu dengan pentakwilan yang batil. Mereka berkata: “Kalian ahli dzahir (mengamalkan yang lahir) dan kami ahli bathin (mengamalkan syariat secara batin).”
Setiap pendapat dari kelompok-kelompok tersebut tidak mempunyai dasar sama sekali. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu, sebagaimana yang Allah firmankan:
“Bila mereka tidak menerima (ajakan)mu maka ketahuilah sesungguhnya mereka mengikuti hawa-hawa nafsu mereka.” (Al Qashas: 50)
“Dan berhukumlah di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al Maidah: 49)
(Ash Shawaiq Al Mursalah, 3/1051-1052)
Bandingkanlah apa yang disebutkan Ibnul Qayyim t dengan kondisi kelompok-kelompok Islam yang tersebar dewasa ini. Di antara mereka ada yang berkata:
“Islam tidaklah tegak kecuali dengan berdirinya khilafah Islamiyah.” Kemudian mereka menjadikan slogan tersebut sebagai inti dakwah dan melupakan pokok-pokok ajaran Islam yaitu menyebarkan tauhid dan Sunnah .Rasulullah
Ada lagi yang berkata: “Barangsiapa yang tidak mengenal imam zamannya, maka dia mati jahiliah”, lalu mewajibkan bai’at kepada para pengikutnya dan menganggap kafir orang yang tidak bergabung dengan kelompoknya.
Ada lagi yang berkata: “Umat ini tidak akan jaya kecuali dengan cara khuruj (keluar) di jalan Allah.” Mereka pun mengeluarkan para da’i jahil yang sangat minim ilmu agama kemudian berpindah dari masjid ke masjid.
Mereka semua mengatakan, amalan dan metode mereka berasal dari sisi Allah. Cukuplah kita mengatakan kepada mereka: “Datangkanlah dalil jika kalian orang-orang yang jujur.”


Sumber : http://www.Asysyariah.com

Kumpulan Tafsir : Kelancangan Ahlul Kitab Terhadap Kitab Suci-Nya


Kelancangan Ahlul Kitab Terhadap Kitab Suci-Nya


Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَإِنَّ مِنْهُمْ لَفَرِيْقًا يَلْوُوْنَ أَلْسِنَتَهُمْ بِالْكِتَابِ لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ وَمَا هُوَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya ada segolongan di antara mereka yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu mengira yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: ‘Ini (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah’, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78)

Penjelasan Mufradat Ayat
مِنْهُمْ
Di antara mereka, yaitu kaum Yahudi yang ada di sekitar kota Madinah. Sebab, kata ganti “mereka” di sini kembali ke firman Allah k sebelumnya yang menjelaskan tentang keadaan mereka. (Tafsir Ath-Thabari, 3/323)
يَلْوُوْنَ
Memutar-mutar lidahnya, yaitu mereka men-tahrif (mengubahnya), sebagaimana dinukil dari Mujahid, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Qatadah, dan Rabi’ bin Anas. Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas bahwa mereka mengubah dan menghilangkannya, dan tidak ada seorangpun dari makhluk Allah k mampu menghilangkan lafadz kitab dari kitab-kitab Allah. Namun mereka mengubah dan mentakwilnya bukan di atas penakwilan sebenarnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377, lihat pula Tafsir Ath-Thabari, 3/324)
Qatadah v berkata: “Mereka adalah Yahudi, musuh Allah k. Mereka mengubah kitab Allah k, membuat bid’ah di dalamnya, kemudian mengira bahwa itu dari sisi Allah k.” (Tafsir Ath-Thabari, 3/324)
Adapun dalam qira`ah (bacaan) Abu Ja’far dan Syaibah dibaca dengan “yulawwuun”, yang menunjukkan makna lebih sering dalam mengerjakan hal tersebut. (Tafsir Al-Qurthubi, 4/121)



Penjelasan Makna Ayat
Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di v berkata menjelaskan ayat ini: “Allah k mengabarkan bahwa di antara ahli kitab ada yang mempermainkan lisannya dengan Al-Kitab, yaitu memalingkan dan mengubah dari maksud sebenarnya. Dan ini mencakup mengubah lafadz dan maknanya. Padahal tujuan dari adanya Al-Kitab adalah untuk memelihara lafadznya dan tidak mengubahnya, serta memahami maksud dari ayat tersebut dan memahamkannya. Mereka justru bertolak belakang dengan hal ini. Mereka memahamkan selain apa yang diinginkan dari Al-Kitab, baik dengan sindiran maupun terang-terangan. Adapun secara sindiran terdapat pada firman-Nya

لِتَحْسَبُوْهُ مِنَ الْكِتَابِ
(agar kalian menyangkanya dari Al-Kitab) yaitu mereka memutar-mutar lisannya dan memberikan kesan kepadamu bahwa itulah maksud dari kitab Allah k. Padahal bukan itu yang dimaksud. Adapun yang secara terang-terangan, terdapat pada firman-Nya:
وَيَقُوْلُوْنَ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَمَا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Dan mereka mengatakan bahwa itu dari sisi Allah, padahal bukan dari sisi Allah. Mereka mengada-ada atas nama Allah dengan kedustaan dalam keadaan mereka mengetahui.”
Dan ini lebih besar dosanya daripada orang yang mengada-ada atas nama Allah k tanpa ilmu. Mereka ini berdusta atas nama Allah k, kemudian menggabungkan antara menghilangkan makna yang haq dan menetapkan makna yang batil, dan mendudukkan lafadz yang menunjukkan kebenaran untuk dibawa kepada makna yang batil, dalam keadaan mereka mengetahui.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 136)
Ibnu Katsir v berkata: “Allah v mengabarkan tentang Yahudi –laknat Allah atas mereka– bahwa di antara mereka ada suatu kelompok yang mengubah-ubah kalimat dari tempatnya dan mengganti firman Allah serta menghilangkannya dari maksud sebenarnya untuk memberi kesan kepada orang-orang jahil bahwa itu terdapat dalam kitab Allah. Mereka menisbahkannya kepada Allah. Mereka berdusta dalam keadaan mereka mengetahui dari diri mereka sendiri bahwa mereka berdusta dan mengada-adakan semua itu. Oleh karenanya Allah mengatakan: “dan mereka berdusta atas nama Allah dalam keadaan mereka mengetahui.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/377)
Ath-Thabari v berkata: “Allah jalla tsana`uhu memaksudkan bahwa di antara ahli kitab, yaitu kaum Yahudi dari Bani Israil yang ada di sekitar Rasulullah n di masanya, mempermainkan lisan mereka dengan Al-Kitab agar kalian menyangkanya dari kitab Allah dan yang diturunkan-Nya. Padahal apa yang lisan mereka permainkan adalah kitab Allah yang telah mereka ubah dan ada-adakan. Dan mereka kesankan bahwa apa yang telah mereka permainkan dengan lisan mereka dengan mengubah, berdusta, dan berbuat kebatilan, lalu mereka masukkan dalam kitab Allah, bahwa itu berasal dari sisi Allah. Padahal itu bukan dari apa yang diturunkan Allah kepada salah seorang dari nabinya. Namun hal tersebut merupakan sesuatu yang mereka ada-adakan dari diri mereka sendiri, dusta atas nama Allah. Mereka sengaja berdusta atas nama Allah, dan bersaksi atasnya dengan kebatilan dan menyertakan sesuatu yang tidak termasuk kitab Allah ke dalamnya, hanya karena mengharapkan kekuasaan dan kehidupan dunia yang rendah nilainya.” (Tafsir Ath-Thabari, dengan sedikit diringkas, 3/323-324)
Kitab Taurat dan Injil yang Telah Berubah1
Allah k berfirman:

فَوَيْلٌ لِلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُوْنَ
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Baqarah: 79)

يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُوْنَ لِقَوْمٍ آخَرِيْنَ لَمْ يَأْتُوْكَ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُوْلُوْنَ إِنْ أُوْتِيْتُمْ هَذَا فَخُذُوْهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا وَمَنْ يُرِدِ اللهُ فِتْنَتَهُ فَلَنْ تَمْلِكَ لَهُ مِنَ اللهِ شَيْئًا أُولَئِكَ الَّذِيْنَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوْبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
“Hai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: ‘Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.’ Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (Al-Maidah: 41)
Ayat-ayat Allah k yang mulia ini menjelaskan kepada kita, apa yang telah diperbuat Ahli Kitab terhadap kitab-kitab mereka berupa perubahan, penambahan, dan membawa makna-makna yang terdapat dalam kitab Allah tersebut kepada yang bukan pemahaman sebenarnya. Mereka melakukannya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan untuk mendapatkan sebagian kehidupan dunia yang hina. Mereka melakukannya dalam keadaan mengetahui kebenaran tersebut, namun menyembunyikan dan menampakkan sebaliknya di hadapan manusia. Allah k berfirman:

الَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُوْنَهُ كَمَا يَعْرِفُوْنَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيْقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Namun adanya perubahan tersebut bukan berarti bahwa semua yang terdapat dalam kitab Taurat ataukah Injil telah mengalami perubahan secara keseluruhan. Bahkan di dalam keduanya itu masih banyak terdapat ayat-ayat yang merupakan teks asli dari kitab Allah k, yang jika seseorang Nasrani atau Yahudi mengimani ayat-ayat tersebut dengan keimanan yang sebenar-benarnya, niscaya mereka akan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah n berupa wahyu Al-Qur`an Al-Karim. Hal ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v, beliau berkata:
“Demikian pula dikatakan: jika lafadz-lafadz khabar diubah sedikit, tidaklah mencegah bahwa kebanyakan lafadznya tidak terjadi perubahan. Apalagi jika di dalam Al-Kitab itu sendiri ada yang menunjukkan sesuatu yang telah diubah itu. Dan dikatakan pula bahwa apa-apa yang telah diubah dari lafadz-lafadz Taurat dan Injil, maka dalam Taurat dan Injil itu sendiri ada yang menjelaskan sesuatu yang telah berubah tersebut.”
Lalu beliau melanjutkan perkataannya: “Sesungguhnya, perubahan yang ada hanya sedikit dan kebanyakannya tidak berubah. Dan pada yang tidak berubah terdapat lafadz-lafadz yang jelas dan sangat nampak maksudnya yang menjelaskan kesalahan yang menyelisihinya, dan memiliki penguat-penguat yang banyak yang membenarkan sebagian terhadap sebagian yang lainnya. Berbeda dengan sesuatu yang telah berubah, sesungguhnya lafadznya sedikit dan nash-nash Al-Kitab membantahnya. Sehingga (Al-Kitab) ini berkedudukan seperti kitab-kitab hadits yang dinukil dari Nabi n, di mana terdapat beberapa hadits yang lemah di dalam Sunan Abu Dawud, At-Tirmidzi, atau selainnya. Maka dalam hadits-hadits shahih dari Nabi n ada yang menjelaskan lemahnya riwayat tersebut.
Bahkan di dalam Shahih Muslim terdapat sedikit lafadz yang keliru, yang mana hadits-hadits yang shahih bersama Al-Qur`an ada yang menjelaskan kekeliruan tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan bahwa Allah menciptakan bumi pada hari Sabtu dan menjadikan penciptaan makhluk dalam tempo tujuh hari, di mana hadits ini telah dijelaskan para imam ahli hadits seperti Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Bukhari dan selainnya bahwa hadits ini keliru, dan bahwa itu bukan dari perkataan Nabi n. Bahkan Al-Bukhari menjelaskan dalam Tarikh Kabir bahwa ini adalah perkataan Ka’b Al-Ahbar, sebagaimana telah dirinci pada pembahasannya. Dan Al-Qur`an juga menunjukkan kesalahan ini dan menjelaskan bahwa penciptaan terjadi selama enam hari. Dan telah terdapat dalam hadits shahih bahwa akhir penciptaan pada hari Jum’at, maka awal penciptaan terjadi pada hari Ahad.
Demikian pula yang diriwayatkan bahwa Rasulullah n shalat kusuf (gerhana) dengan dua atau tiga ruku’, maka sesungguhnya yang tsabit dan mutawatir dari Nabi n dalam dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya dari hadits ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Amr, dan yang lainnya bahwa beliau shalat pada satu rakaat dengan dua ruku’. Oleh karenanya Al-Imam Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits lain kecuali hadits ini.”
Lalu beliau berkata lagi: “Demikian pula jika terjadi perubahan pada sebagian lafadz kitab-kitab terdahulu, maka dalam kitab itu sendiri ada yang menjelaskan kekeliruannya. Dan telah kami jelaskan bahwa kaum muslimin tidaklah mengklaim bahwa seluruh salinan (Al-Kitab) yang ada di dunia dari zaman Nabi n dengan setiap bahasa dari Taurat, Injil, dan Zabur telah diubah lafadz-lafadznya. Sesungguhnya saya tidak mengetahui ada yang mengucapkan demikian baik dari ulama salaf, meskipun dari kalangan mutaakhirin (orang belakangan) bisa jadi ada yang mengatakannya. Sebagaimana di kalangan umat belakangan ada yang membolehkan ber-istinja (bersuci) dengan setiap salinan Taurat dan Injil yang ada di dunia. Maka ucapan ini dan yang semisalnya bukanlah ucapan pendahulu dan para imam umat ini.” (Daqa`iq At-Tafsir, 2/57-59. Lihat pula Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dinal Masih, 2/442-444)
Apa yang disebutkan Syaikhul Islam ini dibuktikan kebenarannya oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Al-Qur`an Al-Karim dalam banyak tempat banyak menjadikan isi Taurat dan Injil sebagai hujjah atas ahli kitab untuk membenarkan apa yang dibawa Rasulullah n. Silahkan baca surah Al-Ma`idah, mulai dari ayat 46-50. Demikian pula firman Allah k:

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلاًّ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ إِلاَّ مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيْلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوْهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar’.” (Ali Imran: 93)
Demikian pula yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar bahwa beberapa orang Yahudi datang kepada Nabi n dengan membawa seorang lelaki dari mereka dan seorang wanita yang keduanya telah berbuat zina. Maka Rasulullah n bertanya kepada mereka: “Apa yang kalian lakukan terhadap orang yang berzina di antara kalian?” Mereka menjawab: “Kami melumuri wajahnya dengan arang2 dan memukulnya.” Rasulullah n berkata: “Apakah kalian tidak menemukan hukum rajam dalam Taurat?” Mereka menjawab: “Kami tidak mendapati sedikitpun (tentang rajam).” Abdullah bin Sallam berkata kepada mereka: “Kalian telah berdusta, datangkanlah Taurat jika kalian jujur.” Salah seorang guru mereka yang mengajari mereka meletakkan telapak tangannya di atas ayat rajam (dengan maksud menutupinya, red.). Lalu diapun mulai membaca ayat yang sebelum dan sesudahnya, dan tidak membaca ayat rajam. (Abdullah bin Sallam) melepaskan tangannya dari ayat rajam dan bertanya: “(Ayat) apa ini?” Tatkala mereka melihat itu merekapun menjawab: “Itu ayat rajam.” Maka Rasulullah n memerintahkan agar keduanya dirajam3. Maka keduanya pun dirajam di dekat tempat jenazah yang ada di dekat masjid. Ibnu ‘Umar berkata: “Aku melihat (yang dirajam tersebut) berusaha menghindar, melindungi dirinya dari bebatuan (yang dilemparkan kepadanya hingga ia tewas).” (HR. Al-Bukhari, 8/4556 dan Muslim no. 1699)
Bagi siapa yang melihat kitab Injil sekarang ini, masih sangat banyak ajaran-ajaran asli yang berasal dari ajaran Nabi ‘Isa p, yang apabila mereka memahaminya dengan pemahaman yang jernih, niscaya akan membawa kepada keyakinan akan kebenaran Islam yang dibawa Rasulullah n.
Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam Injil, kitab Ulangan 6:4: “Dengarlah hai orang Israil, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu satu.”
Dan dalam kitab Yesaya 45:5-6: “Akulah Tuhan dan tidak ada yang lain.”
Demikian pula dalam Yohanes 17:3: “Inilah hidup yang kekal, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satu-Nya yang benar dan mengenal Yesus4 yang telah engkau utus.”
Demikian pula di dalam kitab Injil yang terdapat larangan membuat patung, dalam kitab keluaran 20:4-5: “Janganlah membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu.”
Bahkan anjuran untuk berkhitan pun disebutkan dalam Injil mereka, seperti yang disebutkan dalam Kitab Kejadian 17:13: “Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat,” lalu pada ayat ke-14 disebutkan: “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerah kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari tengah masyarakatnya. Ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”
Demikian pula dijelaskan bahwa Nabi ‘Isa p hanyalah diutus secara khusus untuk Bani Israil, dan tidak lebih dari itu. Seperti yang disebutkan dalam Matius 10:5-6: “Kedua belas murid itu diutus Yesus dan ia berpesan kepada mereka: ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria, melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” Dan dalam Matius 15:24 disebutkan: “Jawab Yesus: ‘Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israil’.”
Seluruh perkara ini dibenarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya n dalam banyak haditsnya. Oleh karenanya, setelah diutusnya Rasulullah n sebagai Nabi dan Rasul penghabisan, maka beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga tidak diperkenankan lagi bagi seorangpun dari kalangan umat ini untuk menjadikan petunjuk kecuali apa yang telah dibawa Muhammad bin Abdullah n. Sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Muslim dari hadits Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ لاَ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku seorangpun dari umat ini, apakah dia seorang Yahudi ataukah Nasrani, lalu dia mati dan tidak mengimani apa yang dengannya aku telah diutus, melainkan dia tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Wallahu’alam bish-shawab.
_______________________________________________
1 Adapun hukum membaca Taurat dan Injil, silakan lihat pembahasan Rubrik Hadits edisi ini.
2 Ada pula yang menafsirkannya: Kami menyiramnya dengan air panas. Dalam riwayat lain: Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk.
3 Dalam riwayat lain bahwa Rasulullah n berkata: “Sesungguhnya aku menghukuminya berdasarkan apa yang terdapat dalam Taurat.”
4 Maksudnya adalah Nabi ‘Isa p.


Sumber : http://www.Asysyariah.com

Kumpulan Tafsir : Ketenangan Hati Dengan Berdzikir

Ketenangan Hati Dengan Berdzikir


Al-Ustadz Jauhari, Lc
Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan:

اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, ﭮ artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kebutuhan makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman. Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Adh-Dhahhak berkata: ﭮ, yaitu mengulang kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: ﭮ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, ‘alaihimussalam.”
Kemudian Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa makna ﭮ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama kebalikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan agar kita paham apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan:


وَبِضِدِّهَا تَتَمَيَّزُ الْأَشْيَاءُ
“Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.”
Dalam masalah musik pun demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Orang yang Baik, Berakal, dan Beruntung

1. Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali-Imaran: 191)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan: “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan ini.”
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.

2. Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang beriman, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya, akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan ketentramannya.

أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.

3. Orang yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ
“Telah beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)
Maknaﭞ telah dijelaskan oleh para ulama.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Az-Zajjaj berkata, adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius, kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Sesungguhnya di sini maknanya adalah kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Ia (ﭞ) adalah seluruh kemaksiatan.”
Makna (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik kepadanya.
Inilah beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka selalu menjaga waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara yang membawa maslahat, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka selalu berdzikir dengan membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencari ketenangan dan ketentraman dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka pantas sekali bila mereka menjadi orang yang beruntung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Orang-Orang yang Tidak Terbimbing
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)
Kalimat ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ (berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir rahimahullahu, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi, orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarangnya.
Adapun ﯹ ﯺ (penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa adalah kehidupan yang sempit, seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas c. Ada juga yang menyatakan bahwa maknanya adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini marfu’ sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Bazzar rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hujairah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang sempit), beliau menjelaskan: “Kehidupan yang sempit yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan adalah bahwa orang tersebut akan disiksa dengan 99 ekor ular yang memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t.
Al-Bazzar rahimahullahu juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyatakan adalah adzab kubur. Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Walhasil, Ibnu Katsir rahimahullahu menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang Menyesatkannya
Termasuk hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan atas orang yang menjauh dari dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal ini– adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirim setan dan membiarkannya menyesatkan orang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Dzat Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf: 36)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: ﭦ ﭧ artinya, “dan barangsiapa yang berpaling dan menghalangi”, ﭨ ﭩ ﭪ yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan nikmat yang terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan beruntung mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang menjauh darinya atau menolaknya, maka dia telah gagal dan merugi, serta tidak akan berbahagia selamanya. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kirimkan kepadanya setan yang membangkang untuk menemani dan menyertainya, memberikan janji-janji dan angan-angan, serta mendorongnya berbuat maksiat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari hal ini.
Dari paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal tentunya akan memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu berdzikir, membaca Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik shalat maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa kebahagiaan ukhrawi. Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara ini telah mendarah daging pada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing kita kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut: 69)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberikan motivasi, bahwa ketika semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala juga lebih besar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib.” Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 110)

Wallahu a’lam.


Sumber : http://www.Asysyariah.com

Kumpulan Tafsir Halaman 2

<< terdahulu|


Arsip untuk kategori ‘Tafsir’

(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9)
Penjelasan Mufradat Ayat
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an.”
Al-Imam Al-Qurthubi (10/5), Ibnu Katsir (2/528), dan Ibnu Jarir Ath-Thabari (14/8) mengatakan bahwa makna ﮚ adalah Al-Qur’an.
As-Sa’di t mengatakan, “Maksudnya Al-Qur’an, yang mengandung peringatan terhadap segala sesuatu, berupa berbagai masalah dan dalil-dalil yang cukup jelas, serta mengingatkan orang yang menghendaki peringatan.”
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai kata ganti لَهُ. Ada yang berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada ﮚ yaitu Al-Qur’an. Ulama yang lain berpendapat bahwa kata ganti tersebut kembali kepada Nabi Muhammad n, sebagaimana dalam firman Allah l:
“Allah l memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67).
Akan tetapi, yang benar adalah pendapat pertama, yaitu kata ganti tersebut kembali kepada Al-Qur’an. Lihat tafsir Asy-Syinqithi (2/225) dan Ibnu Katsir (2/258).
Al-Qur’an Selalu Terpelihara Lafadz dan Maknanya
Asy-Syinqithi t (2/225) berkata, “Dalam ayat yang mulia ini Allah l menjelaskan bahwa Dia-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan memeliharanya dari penambahan, pengurangan, maupun pengubahan. Ayat lain yang semakna di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan1, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (Fushshilat: 42)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu (membaca) Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka itulah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (Al-Qiyamah: 16—19) Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَمَن لَّمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Penjelasan mufradat ayat:
الْكَافِرُوْنَ
Asal makna kufur adalah menutupi sesuatu.
Dikatakan petani itu “kafir” karena dia menutupi biji (dengan tanah) dan dinamakan malam dengan “kafir” karena ia menutupi segala sesuatu (dengan kegelapan). Pengertian kufur secara bahasa ini seperti yang terdapat dalam Surat Al-Hadid ayat 20.
Adapun makna secara istilah syar’i adalah bahwa kekafiran itu terbagi menjadi dua:
a. Kufur Akbar yaitu yang menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.
b. Kufur Ashgar yaitu kekafiran yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan ancaman tanpa dikekalkan (dalam neraka). (Al-Qaulul Mufid, 103)
Sebab Turunnya Ayat
Al-Imam Ahmad dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan beliau menyebutkan sebab turunnya ayat ini:
Allah Ta’ala menurunkan ayat ini berkenaan tentang dua kelompok di kalangan Yahudi di masa jahiliyyah, di mana salah satu kelompok telah menguasai yang lainnya sehingga mereka ridha. Mereka berdamai (mengikat perjanjian) dengan ketentuan bahwa bila ada orang dari kelompok yang mulia membunuh (seseorang) dari kelompok yang hina maka (dia) diharuskan membayar diyat sebesar 50 wisq (1 wisq kurang lebih 130 kg ,pen). Sementara bila ada orang dari kelompok yang hina membunuh (seseorang) dari kelompok yang mulia maka diyat-nya sebesar 100 wisq.
Mereka tetap memegangi hukum (perjanjian) ini sampai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tiba di Madinah. Kedua kelompok tersebut merasa hina dengan kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (padahal) beliau belum mengetahui di saat (mereka) melakukan perjanjian damai. (Suatu ketika) ada orang dari kelompok yang hina membunuh seseorang dari kelompok yang mulia. Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ. قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat denganku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengannya, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” Berkatalah Yusuf: “Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 54-55)
“Pucuk di cinta ulam tiba”, begitulah sebuah ungkapan yang terucap dari seorang yang merasa senang dan bahagia, atas tercapainya suatu dambaan yang selama ini dicari dan dicitakan, bahkan melebihi dari apa yang diduga dan dikira.
Adalah kesempatan emas, yang disenangi oleh banyak manusia, khususnya bagi para pengembara kursi (jabatan), tahta, dan dunia, tatkala dihadapkan pada sebuah tawaran, untuk duduk di atas kursi (jabatan).
Bisa jadi seseorang akan menanggapi dan berkata: “Ini namanya kejatuhan rezeki, susah dicari, dan untuk mendapatkannya sulit sekali. Belum tentu seumur hidup bisa ketemu sekali. Mengapa ditolak?” Atau mungkin…
“Betul, di dalamnya banyak penyimpangan dan pelanggaran. Akan tetapi, kalau bukan kita yang mengubah, lantas siapa lagi?”
“Kalau kursi jabatan diduduki oleh orang luar, siapa yang akan melakukan perubahan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan syariat Islam dan sistem kenegaraan yang bernuansa Islam?”
“Segala sesuatu itu apabila sudah dikuasai dan dipegang kepalanya, yang lain akan mudah dikendalikan dan dikuasai.” Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلاَ هُدًى وَلاَ كِتَابٍ مُنِيْرٍ. ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ لَهُ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَنُذِيْقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَذَابَ الْحَرِيْقِ. ذَلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ يَدَاكَ وَأَنَّ اللهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya dengan memalingkan lambungnya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan di hari kiamat. Kami merasakan kepadanya adzab neraka yang membakar. (Akan dikatakan kepadanya): ‘Yang demikian itu, adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya’.” (Al-Hajj: 8-10)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
ثَانِيَ عِطْفِهِ
“Memalingkan lambung atau lehernya.”
Ini merupakan gambaran bahwa dia tidak menerima dan berpaling dari sesuatu.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:
“Ia menyombongkan diri dari kebenaran jika diajak kepadanya.”
Mujahid, Qatadah, dan Malik dari Zaid bin Aslam mengatakan:
“Memalingkan lehernya, yaitu berpaling dari sesuatu yang dia diajak kepadanya dari kebenaran, karena sombong.” Seperti firman-Nya:

وَفِي مُوْسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِيْنٍ. فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُوْنٌ
“Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir’aun dengan membawa mukjizat yang nyata. Maka dia (Fir’aun) berpaling (dari keimanan) bersama tentaranya, dan berkata: ‘Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila’.” (Adz-Dzariyat: 38-39) Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِيْنَ. سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang halim (cerdik dan bijaksana). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

غُلاَمٍ حَلِيْمٍ
Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim ‘alaihissalam yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa shahabat, di antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجِّ عَمِيْقٍ. لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيْرَ. ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوْفُوا نُذُوْرَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Al-Hajj: 27-29)
Penjelasan Mufradat Ayat Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِي لاَ يُشْرِكُوْنَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa tetap kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
وَعَدَ
‘Allah telah berjanji ‘, maknanya adalah Allah k telah menjanjikan. Dan telah menjadi ketetapan Allah k bahwa Dia tidak akan mengingkari janji-Nya.

الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
‘Kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang shalih’, mereka adalah orang-orang yang tegak dengan keimanannya, yaitu keimanan yang harus dimiliki setiap muslim berupa tauhid dengan segala konsekuensinya dan juga beramal shalih. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa beramal dengan mengikuti petunjuk Rasulullah. Baca entri selengkapnya »

Penulis : Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al Bugisi

وَالَّذِيْنَ جاَهَدُوا فِيْناَ لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَناَ وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)
Penjelasan ayat

وَالَّذِيْنَ جاَهَدُوا فِيْناَ
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami”
Ada beberapa penafsiran para ulama tentang ayat ini:
1. Bahwa yang dimaksud adalah berjihad melawan kaum musyrikin untuk mencari keridhaan Kami (ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala), sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qurthubi, Al-Baghawi, dan Ath-Thabari rahimahumullah. Baca entri selengkapnya »

Abu Lahab adalah putranya Abdul Muththalib namanya Abdul ‘Uzza. Dinamakan Abu Lahab karena ia kelak akan masuk ke dalam neraka yang memiliki lahab (api yang bergejolak). Atas dasar inilah Allah subhanahu wata’ala menyebutnya dalam kitab-Nya Al Quran dengan kun-yahnya (yaitu nama/julukan yang diawali dengan Abu atau Ibnu, atau Ummu bagi perempuan), dan bukan dengan namanya.
Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa merahmati kita semua. Setiap insan tentu berharap dan mendambakan kehidupan yang bahagia di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak. Hal ini tidaklah bisa dicapai kecuali dengan menerima segala apa yang datang dari Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 71)
Dan demikian pula sebaliknya, segala bentuk kehinaan dan malapetaka bersumber dari sikap antipati dan berpaling dari peringatan Allah subhanahu wata’ala dan peringatan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adalah sunnatullah, tidak ada seorangpun yang menolak dan mendustakan ajaran yang dibawa oleh para nabi, kecuali ia akan hina dan binasa. Allah subhanahu wata’ala dengan tegas menyebutkan dalam firman-Nya (artinya): Baca entri selengkapnya »

Memetik Keagungan Surat Al Ikhlas


Penulis: Buletin Al Ilmu Jember

Surat Al Ikhlash termasuk diantara surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Surat ini sering kali dibaca dan diulang-ulang, hampir-hampir sudah menjadi bacaan harian bagi setiap muslim baik ketika sholat ataupun dzikir. Bukan karena surat ini pendek dan mudah di hafal. Namun memang demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keseharian beliau tidak lepas dari membaca surat yang mulia ini. Lebih dari itu surat yang mulia ini mengandung makna-makna yang penting dan mendalam. Oleh karena itu meski surat ini pendek tapi memiliki kedudukan yang tinggi dibanding surat-surat lainnya. Bahkan kedudukannya sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Surat Al Ikhlash termasuk diantara surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Surat ini sering kali dibaca dan diulang-ulang, hampir-hampir sudah menjadi bacaan harian bagi setiap muslim baik ketika sholat ataupun dzikir. Bukan karena surat ini pendek dan mudah di hafal. Namun memang demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keseharian beliau tidak lepas dari membaca surat yang mulia ini. Lebih dari itu surat yang mulia ini mengandung makna-makna yang penting dan mendalam. Oleh karena itu meski surat ini pendek tapi memiliki kedudukan yang tinggi dibanding surat-surat lainnya. Bahkan kedudukannya sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Para pembaca yang mulia, pada edisi kali ini kami sajikan tentang kandungan-kandungan penting dan mendalam dalam surat Al Ikhlash, agar menambah kekhusu’an kita dalam membaca surat ini dan bisa mengamalkan kandungan-kandungan penting tersebut dalam kehidupan kita. Baca entri selengkapnya »


<< terdahulu |

Kumpulan Tafsir : Memetik Keagungan Surat Al Ikhlas

Memetik Keagungan Surat Al Ikhlas


Penulis: Buletin Al Ilmu Jember

Surat Al Ikhlash termasuk diantara surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Surat ini sering kali dibaca dan diulang-ulang, hampir-hampir sudah menjadi bacaan harian bagi setiap muslim baik ketika sholat ataupun dzikir. Bukan karena surat ini pendek dan mudah di hafal. Namun memang demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keseharian beliau tidak lepas dari membaca surat yang mulia ini. Lebih dari itu surat yang mulia ini mengandung makna-makna yang penting dan mendalam. Oleh karena itu meski surat ini pendek tapi memiliki kedudukan yang tinggi dibanding surat-surat lainnya. Bahkan kedudukannya sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Surat Al Ikhlash termasuk diantara surat-surat pendek dalam Al Qur’an. Surat ini sering kali dibaca dan diulang-ulang, hampir-hampir sudah menjadi bacaan harian bagi setiap muslim baik ketika sholat ataupun dzikir. Bukan karena surat ini pendek dan mudah di hafal. Namun memang demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam keseharian beliau tidak lepas dari membaca surat yang mulia ini. Lebih dari itu surat yang mulia ini mengandung makna-makna yang penting dan mendalam. Oleh karena itu meski surat ini pendek tapi memiliki kedudukan yang tinggi dibanding surat-surat lainnya. Bahkan kedudukannya sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Para pembaca yang mulia, pada edisi kali ini kami sajikan tentang kandungan-kandungan penting dan mendalam dalam surat Al Ikhlash, agar menambah kekhusu’an kita dalam membaca surat ini dan bisa mengamalkan kandungan-kandungan penting tersebut dalam kehidupan kita.


Kedudukan Surat Al Ikhlas
Diriwiyatkan dalam shahih Al Bukhari dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ada seorang shahabat Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar tetangganya membaca berulang-ulang:

قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ
Kemudian di pagi harinya dia menemui Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan tentang perbuatan tetangganya tersebut. Seakan akan shahabat ini menganggap ringan kedudukan surat ini. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسي بِيَدِهِ إِنَّهُ لَتَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ
“Demi jiwaku yang ada ditangan-Nya. Sesungguhnya surat Al Ikhlas benar-benar menyamai sepertiga Al-Qur’an.” (HR Al-Bukhari Bab Fadhail Qur’an no. 5014)
Para ulama’ telah menjelaskan sebab kenapa surat Al Ikhlash ini menyamai sepertiga Al Qur’an. Karena di dalam Al Qur’an mengandung tiga pokok yang paling mendasar yaitu;
pertama: Tauhid,
Kedua: Kisah-kisah rasul dan umatnya,
Ketiga: Hukum-hukum syari’at.

Sedangkan surat Al Ikhlas ini, mengandung pokok-pokok dan kaidah-kaidah ilmu tauhid. Atas dasar inilah surat Al Ikhlash menyamai sepertiga Al-Qur’an.

Kandungan Surat Al-Ikhlas

Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Rabb yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tiada seorangpun yang setara dengan-Nya.”(QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Dalam ayat pertama:

قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (tunggal).”
Para pembaca yang mulia, dalam ayat pertama Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa dirinya memiliki nama Al Ahad yang mengandung sifat ahadiyyah yang bermakna esa atau tunggal. Dia-lah esa dalam segala nama-nama-Nya yang mulia dan esa pula dalam seluruh sifat-sifat-Nya yang sempurna. Dia-lah esa, tiada siapa pun yang semisal dan serupa dengan keagungan dan kemulian Allah subhanahu wata’ala.
Kalau kita memperhatikan penciptaan alam semesta ini dari bumi, langit, matahari, bulan, lautan, gunung-gunung, bukit-bukit, iklim/suhu dan seluruh makhluk yang di alam ini, semuanya tertata rapi dan serasi menunjukkan bahwa pencipta, pengatur, dan penguasa alam semesta ini adalah esa yaitu Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dia-lah Yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak akan melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat ada sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak akan menemukan sesuatu yang cacat,…” (Al Mulk: 2-3)
Dan juga firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Al Baqarah: 164)
Fitrah manusia yang suci pasti dalam hatinya akan menyakini keesaan Allah subhanahu wata’ala.

Sebagaimana perkataan penyair:

وَفِيْ كُلِّ شَيْءٍ لَهُ آيَةٌ
تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ اْلوَاحِدُ

Dan pada segala sesuatu terdapat tanda-tanda bagi-Nya
Yang semua itu menunjukkan bahwa Allah adalah Esa.
Kalau sekiranya yang menguasai dan mengatur bumi dan langit serta seluruh alam ini lebih dari satu niscaya bumi dan langit serta alam ini akan hancur berantakan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sekiranya ada di langit dan di bumi pengatur dan pencipta selain Allah tentulah keduanya telah rusak dan binasa.” (Al-Anbiya: 22)
Demikian pula Allah subhanahu wata’ala adalah esa dalam peribadahan. Bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali hanya Allah subhanahu wata’ala dan sesembahan-sesembahan selain Allah subhanahu wata’ala itu adalah batil.
Sehingga termasuk kandungan dari ayat pertama, yaitu bahwa Allah subhanahu wata’ala adalah esa (tunggal) dalam penciptaan, pengaturan dan pengusaan alam semesta ini, maka seharusnya Dia-lah Allah subhanahu wata’ala pula adalah esa (tunggal) dalam peribadahan. Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Hai manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa, (karena) Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap, dan Dia yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian; Karena itu janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahuinya.” (Al Baqarah: 21-22)
Bahkan sesungguhnya kitab suci Al-Qur’an dan semua risalah yang dibawa oleh para Nabi tidaklah datang melainkan dalam rangka menjelaskan tentang keesaan Allah subhanahu wata’ala yaitu bahwa tidak ada yang berhak didibadahi kecuali Allah subhanahu wata’ala semata. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah kamu sekalian kepada-Ku”. (Al-Anbiya’: 25)

Dalam ayat yang kedua Allah subhanahu wata’ala berfirman:

اللَّهُ الصَّمَدُ
“Allah adalah (Rabb) yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mengkhabarkan kepada kita salah satu nama-Nya pula adalah Ash Shomad. Yang mengandung makna bahwa Dia-lah Rabb satu-satunya tempat bergantung dari seluruh makhluk. Dia-lah yang memenuhi seluruh kebutuhan makhluk-Nya. Karena Dia-lah Yang Maha Kaya dengan kekayaan yang tiada batas dan Dia pula Yang Maha Kuasa dengan kekuasaan yang tiada tara. Tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudharat kecuali hanya Allah subhanahu wata’ala semata. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya …” (Yunus: 107)

Rasulllah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.” (HR. Al Bukhari)
Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menegaskan bahwa makhluk itu lemah dan tidak punya daya dan kekuatan. Oleh karena itulah Allah subhanahu wata’ala sebagai tempat satu-satunya untuk bergantung dari seluruh makhluknya.
Lalu pantaskah seorang hamba bergantung kepada selain Allah subhanahu wata’ala? Atau berdo’a, meminta pertolongan, meminta barokah, mempersembahkan sesembelihan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Pantaskan seorang hamba menyembelih sesembelihan diperuntukan sang penunggu pohon, gunung, laut, kuburan atau selainnya. Tentu hal itu sangat tidak pantas, karena Allah subhanahu wata’ala adalah Al Ahad yang maha esa dalam penciptaan dan pengaturan, Dia-lah pula yang maha esa dalam peribadahan. Dan Dia subhanahu wata’ala juga adalah Ash Shomad, tempat satu-satuya bergantung dari seluruh makhluk-Nya, sehingga Dia-lah pula yang berhak untuk diibadahi semata.

Dalam ayat ketiga Allah subhanahu wata’ala berfirman:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan.”
Ayat ini menunjukkan akan kesempurnaan Allah subhanahu wata’ala, Dia tidak memiliki anak dan tidak pula diperanakkan serta Dia pun tidak meliki istri. Sehingga Dia-lah esa dalam segala sifat-sifat-Nya yang tiada setara dengan-Nya. Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya:
“Dia pencipta langit dan bumi, Maka bagaimana mungkin Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (Al-An’am: 101)
Sehingga tidak benar perkataan Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah subhanahu wata’ala, tidak bernar pula perkataan Nasrani bahwa Isa adalah Allah subhanahu wata’ala ataupun keyakinan trinitas, tidak benar pula perkataan orang-orang musyrikin Quraisy bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah. Subhanallah (Maha Suci Allah) dari apa yang mereka katakan.
Dalam ayat terakhir, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dan tiada seorangpun yang setara dengan-Nya.”
Allah subhanahu wata’ala menutup surat Al Ikhlash ini dengan penegasan bahwa tidak ada yang siapa pun yang setara dan serupa dengan sifat-sifat Allah yang maha mulia dan sempurna. Sebagaimana juga ditegaskan dalam ayat-ayat lainnya, diantaranya;
“Dan Katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (Al Isra’: 111)

Keutamaan surat Al Ikhlas
Di antara keutamaan surat Al-Ikhlash adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan kecintaan Allah subhanahu wata’ala
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang shahabat dalam sebuah pertempuran. Lalu dia mengimami sholat dan selalu membaca surat Al Ikhlas. Tatkala mereka kembali dari pertempuran mereka adukan hal tersebut kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda: “Tanyakan kepadanya apa yang melatarbelakangi dia berbuat seperti itu, merekapun menanyakannya. Lalu Dia pun menjawab: “Karena sesungguhnya surat Al Ikhlas itu mengandung sifat yang dimiliki oleh Ar Rahman (Allah) dan aku suka untuk membacanya. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kabarkan kepadanya bahwa Allah subhanahu wata’ala mencintainya” (HR. Al-Bukhari no. 7375)

2. Mendapatkan Jannah
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku pernah bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan disaat itu beliau mendengar seseorang membaca:

قُلْ هُوَاللهُ أَحَدٌ
Lalu beliau bersabda: “Dia telah mendapatkan”, Abu Hurairah bertanya: “Mendapatkan apa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Al Jannah (surga).”(HR. At Tirmidzi)
Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Kecintaanmu terhadap surat Al Ikhlas memasukkanmu ke dalam al jannah.” (HR. Al-Bukhari)

3. Do’a yang tidak tertolak
Dari Buraidah bin Khusaib radhiallahu ‘anhu, beiau berkata: “Aku pernah masuk masjid bersama Nabi, tiba-tiba ada seorang shahabat shalat dan membaca dalam do’anya:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَ لُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ اْللأَ حَدُ ألصَّمَدُ اَّّلذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Lalu beliau bersabda: “Demi jiwaku yang ada ditangan-Nya. Sungguh dia telah meminta dengan nama-Nya yang mulia, yang jika ia meminta dengan nama tersebut, Allah akan memberinya dan jika dia berdo’a dengannya, diterima.”(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

__________________________________________________________________________________
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=tafsir=2
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU