Hak Istri dalam Islam
Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali 
diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik 
dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh 
pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan 
suami?
Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi 
rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri 
memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus
 dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi,
 3/82)
Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku senang 
berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, 
karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila 
para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami 
mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan 
istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan 
memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi 
Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata 
dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh 
suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap 
suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan 
masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf 
(yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri 
masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” 
(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, 
Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، 
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي 
الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri 
pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, 
jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali 
di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh
 Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau 
adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ 
عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ 
فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ 
تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ
 فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan 
mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka 
adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai 
untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan 
orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak 
mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam 
hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu 
Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam 
Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa 
dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang 
harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama 
ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya 
dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang 
seimbang.
Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat 
pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum
 tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah
 selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak 
suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, 
kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, 
memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri 
bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah 
ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam
 memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan 
tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak 
suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:
1. Mendapat mahar
Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita 
yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah 
Subhanahu wa Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu 
ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang 
shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki 
harta:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ
“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, 
walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim 
no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya)
 telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” 
(Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan 
memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. 
Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau 
selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si 
wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ 
إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ
 بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri 
yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di 
antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian
 mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian 
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan 
menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى 
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak 
menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai 
sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 
(An-Nisa`: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik 
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap 
istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam 
surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian 
terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan 
kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) 
berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah
 Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya 
(istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian 
terhadap keluarga (istri)-ku.”
Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat 
baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa 
berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, 
bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal 
nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah 
mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), 
dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” 
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para 
istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para
 istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga 
terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. 
Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau 
pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau 
meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah 
shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah 
dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna 
menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaian
Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian
 kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ 
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا 
آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai 
dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah
 ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” 
(Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam 
surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib
 bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang 
melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu 
sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa 
diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan
 dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan 
kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa 
hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah 
kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, 
ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu 
Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ 
يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ 
لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak 
memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku 
mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah
 Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar 
yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” 
(HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada 
beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” 
(Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah
 di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa 
Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ 
عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ 
أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ 
فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ 
مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، 
أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ 
حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ 
تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، 
أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ 
كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita 
(para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian.
 Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali
 bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka 
melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah 
mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati 
kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, 
kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki 
hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak 
boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani 
kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk 
masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah 
kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan 
mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan 
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban 
sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada 
istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain 
ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ 
(kesepakatan ulama).
Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ 
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا 
آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan 
kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia 
memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal
Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)
adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. 
Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat 
tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang
 tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta 
memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana 
layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai
 kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri
Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk 
berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, 
memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku 
adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ 
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا 
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau 
empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara 
para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan 
budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat 
bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah 
radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
 wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara 
lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat 
nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347,
 Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
 dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang 
suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. 
Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara
 istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti
 dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian 
giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami 
dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak 
berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib.
 Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu.
 (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314)
Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ 
حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا 
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ 
غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara 
istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, 
karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian 
cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” 
(An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara 
para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang 
disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita 
tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati 
dan cinta.
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu 
berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di 
antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada 
mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati 
kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. 
Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di 
bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di 
antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian 
terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri 
yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada 
istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka 
dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf.
 Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung,
 yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga 
menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)
Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, 
karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga 
tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara 
istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang 
istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun 
Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk 
syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk 
menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agama
Seorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih 
lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, 
dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah 
yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau 
membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan 
keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan 
batu….” (At-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah 
dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu 
mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melarang 
mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari 
keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan 
diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 
138/780,781)
Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil 
pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda 
yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh 
malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 
seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, 
beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama 
berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka 
cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau 
bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah 
mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari 
no. 630 dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si 
istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri 
dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai 
wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. 
Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ
 سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ 
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ 
الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ 
رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku
 lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi
 yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang 
berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan 
orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang 
miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
 wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan 
sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanya
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan 
perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan 
istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan 
sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian 
atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan 
memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat
 mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku
 akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya 
(yang tumpul)11.”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih
 cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. 
Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam 
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam 
Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا 
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ 
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian 
mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian 
mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima 
persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat
 yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha 
istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan 
empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi 
sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”
Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar 
apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”
Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau 
mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia 
tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu 
masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada 
seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut
 karena cemburunya yang sangat.”
Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa 
ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan 
tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
1. Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ 
الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ 
أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا 
رَحِيْمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta 
wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab 
mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka 
untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga 
mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” 
(Al-Ahzab: 59)
2. Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ 
فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka 
menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan 
mereka…’.” (An-Nur: 31)
3. Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ 
آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ 
أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ 
أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ 
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ 
الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ 
النِّسَاءِ
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang 
biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka 
menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka 
tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau 
ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di 
hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di 
hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki 
mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka,
 atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, 
atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak 
laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 
31)
4. Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat 
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau
 menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 
5638)
5. Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian 
meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan 
yang rusak.
Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia 
dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada 
si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci 
makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau 
yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah 
‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi 
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah
 Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku 
datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut 
untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si 
wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan
 apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.
Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah
 aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu
 untuk dijadikan mahar?”
“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah 
kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” 
titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya 
berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah 
bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu 
berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari 
besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya 
sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak 
memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat 
engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak 
mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai 
berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”
Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau 
menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di 
hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?”
 “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” 
jawabnya.
“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, 
–pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” 
jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si 
wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan 
kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat 
banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam 
seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama 
suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk 
anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara
 mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat 
melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih 
mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang 
lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”
7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna 
ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan 
terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk 
suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan 
suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian 
pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul
 dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang 
dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, 
tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi 
pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar
 daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan
 fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar 
biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya 
tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda 
halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).
Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain 
ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini 
merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si 
wanita dan tidak disifati dengan maut.
Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, 
keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta 
selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami).
 Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan 
dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri 
saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk 
disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan ajnabi. (Al-Minhaj, 
14/378)
Sumber : www. Asysyariah.com