Selasa, 26 Maret 2013

Isyarat Jari Telunjuk Saat Tasyahud


Dengan Menggerak-gerakkannya

Oleh: Al Ustadz Kholid bin Syamhudi bin Saman bin Sahal Al-Bantani

Assalamu’alaikum,
Ustadz pada hadits Wa`il bin Hujr (menggerak-gerakan jari telunjuk) terdapat perawi bernama Za`idah bin Qudamah yaitu seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya.
  • Pendapat pertama : Za`idah bin Qudamah telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan)

  • Pendapat kedua : bahwa seorang perawi tsiqqoh tidak boleh dituduh keliru atau salah, kecuali dengan bukti yang kuat. Sedangkan tidak ada seorang ahli haditspun sejauh yang menuduh Za`idah melakukan kesalahan dan melakukan idraj (penyisipan) lafazh dalam hadits ini, tidak ada pertentangan antara hadits tambahan Za`idah dengan 20 riwayat dari perawi lainnya. Bahkan, bisa kita katakan bahwa ziyadah (tambahan) dari Za`idah adalah tambahan ilmu dan hifzh (hafalan) dari Za`idah. Wallohu a’lam
Pertanyaannya :
Mana yang rojih dari kedua pendapat ini Ustadz..?
Jazakumullah Khair.
Aslam ibnu romadhon

Ustadz Kholid menjawab :
Wa’alaikum salam
Memang dalam permasalahan ini kami pandang termasuk permasalahan yang agak rumit. Masalah ini kembali kepada manhaj para ulama dalam menyikapi tambahan perawi tsiqah (Ziyadah ats-Tsiqah) apakah diterima atau tidak.
Sebagian ulama memandang hukum masalah ini kembali kepada setiap kasus dan memandang tambahan kalimat yang disampaikan Zaaidah bin Qudamah sebagai tambahan yang SYADZ (menyelisihi yang lebih kuat). Sebab beliau menyelisihi sejumlah besar para tsiqat. Mereka mengadu ketsiqahan Zaaidah dengan kekuatan orang yang menyelisihinya. Kalau demikian jelas Zaaidah kalah dalam kekuatan dan tambahan beliau dinyatakan lemah dan tidak diterima. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muqbil bin Hadi –Rahimahullahu- dan para murid beliau.
Sebagian lagi memandang perlunya mengkompromikan dahulu seluruh riwayat yang ada. Mereka memandang tambahan dalam riwayat Zaaidah tidak bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah lainnya. Bila tidak bertentangan maka seharusnya di kompromikan dengan menyatakan bahwa riwayat Zaaidah adalah penjelas dari keumuman isyarat dengan telunjuk yang disampaikan dalam riwayat lainnya. Sehingga tambahan ini diterima dan diamalkan. Konsekwensinya disunnahkan menggerakkan jari telunjuk dalam tasyahud. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –Rahimahullah- dan para murid beliau.
Yang rojih –wallahu a’lam- dalam pandangan kami adalah pendapat kedua. Sebab mengamalkan seluruh riwayat yang ada lebih utama dari menolak sebagiannya. Demikian juga sikap yang dijelaskan imam Ibnu Hajar –Rahimahullahu- dalam kitab Nukhbat al-Fikaar dalam menyikapi masalah Ziyaadah ats-Tsiqah. Beliau menyatakan:
وَزِيَادَةُ رَاوِيهِمَا مَقْبُوْلَةٌ ، مَا لَمْ تَقَعْ مُنَافِيَةً لِمَنْ هُوَ أوْثَقُ
Tambahan perowi Shohih dan hasan diterima selama tidak meniadakan (kontradiktif) terhadap (riwayat) yang lebih tsiqah darinya.
Hal ini ditambah dengan tambahan pengetahuan yang dimiliki Zaaidah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan isyarat tersebut adlah menggerakkan jemari telunjuknya dalam tasyahud.
Wallahu a’lam.

Dzikir Setelah Sholat


Dzikir Setelah Sholat

Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz kepada seluruh orang yang melihat tulisan ini dari kalangan kaum muslimin
“Merupakan dari perbuatan sunnah, seorang muslim mengucapkan setelah setiap shalat fardu membaca  astaghfirullahuASTAGHFIRULLAH tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan:
dzikir01
ALLAHUMMA ANTAS SALAAM WA MINKAS SALAAM TABAARAKTA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR, WALAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLA BILLAH
dzikir02
LAA ILAAHA ILLALLAHU, WALAA NA’BUDU ILLA IYYAHU, LAHUN NI’MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA-UL HASAN, LAA ILAAHA ILLALLAHU, MUKHLISHIINA LAHUDDINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUN, ALLAHUMMA LAA MAA NI’A LIMAA A’THOITA, WA LAA MU’TIYA LIMAA MANA’TA, WALAA YANFA’  DZAL JADDI MINKAL JADDU.
Khusus setelah shalat subuh dan maghrib, bacalah zikir yang dibawah ini sepuluh kali setelah mengucapkan zikir yang di atas:
dzikir05
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU YUHYII WAYUMIIT WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR
Kemudian membaca:  subhanallahu001SUBHAANALLAH tigapuluh tiga kali,  alhamdulillah001ALHAMDULILLAH tigapuluh tiga kali;  allahuakbarALLAHU AKBAR tigapuluh tiga kali; untuk melengkapi bilangan menjadi seratus bacalah:
dzikir05
LAA ILAAHA ILLALLAHU WAHDAHU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR
Kemudian membaca ayat kursi, kemudian surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas, kalau seandainya setelah shalat subuh dan maghrib dibaca tiga kali.
Inilah yang lebih baik (afdhal) dan semoga Allah menganugerahkan shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan atas keluarga beliau dan sahabat-sahabatnya serta yang mengikutinya dengan baik sampai hari pembalasan.

DUDUK DI DALAM SHALAT

DUDUK DI DALAM SHALAT

Pendapat Pertama: Duduk Dalam sholat Adalah Mutlak Iftirasy, Baik Duduk Diantara Dua Sujud, Tasyahud Awal, Maupun Tasyahud Akhir

Yaitu pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir
Pendapatnya ini berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr
”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal: ”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya ditegakkannya.” (Sunan Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yang senada, menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.



Pendapat Kedua: Duduk Dalam Shalat Adalah Tawaruk, Baik Pada Tasyahud Awal, Atau Akhir, Maupun Diantara Dua Sujud

Adalah pendapat Imam Malik, dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua sujud
Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar :
”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!” (Shahih al-Bukhari no.793, bersama Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud :
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.”
Katanya lagi,
”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian atas paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Naji)

Pendapat Ketiga: Duduk Akhir Didalam Shalat Yang Memiliki Satu Tasyahud, Yakni Duduk Iftirasy dan Jika Memiliki Dua Tasyahud, Tasyahud Awal Dengan Iftirasy dan Yang Akhir Dengan Tawaruk

Pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).
Pendapat Hambali. ”Tidak boleh duduk tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal)
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengisahkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan takbir dan membaca dengan ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’. Bila beliau rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya, namun antara keduanya. Bila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau tidak langsung sujud hingga tegak lurus. Apabila beliau bangun dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi hingga duduk sempurna. Serta tiap dua rekaat, beliau mengucapkan tahiyat dan duduk iftirasy.” (HR. Muslim)
Jadi pendapat yang rajih (kuat), wallahu a’lam bish shawab, adalah tahiyat akhir untuk sholat yang memiliki satu tasyahud dilakukan dengan iftirasy.

Pendapat Keempat: Duduk Yang Bukan Duduk Akhir Adalah Iftirasy, Sedangkan Duduk Yang Dilakukan Pada Tasyahud Akhir Dengan Tawaruk

Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud.
Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafi’i berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.” (Al-Hawi al-Kabir hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafi’i, ”Pada tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara pada tasyahud akhir mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid hal.261).
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’.
Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat. Kami membincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba Abu Humaid al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus (i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).” (Shahih al-Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshari al-Ausi disebutkan,
”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan salam”.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban,
”(Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya.” (Fathul Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat dengan redaksi:
“Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”
Kiranya menurut pendapat keempat ini, yaitu mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud. Kesimpulan ini juga pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.” (Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Berbeda dengan pendapat dari pihak yang condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhususkan bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang kedua.
Jawabannya: Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di muka:
Pertama: Berkata Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Berkata Abu Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.
Ketiga: Di antara al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits Abu Humaid tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.” (Sunan Abu Dawud no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafal ”Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain” bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat” alias rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir”, dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad (mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka.
Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iq’a, atau bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim, hal.438). Wallahu a’lam.

Dikutip dari: ibnuramadan.wordpress.com dari: Majalah Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429, dengan beberapa perubahan redaksi.


TUNTUNAN SHOLAT LENGKAP



Tata Cara Bersuci Dan Shalat Bagi Orang Yang Sakit

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, meminta petunjuk-Nya, meminta ampunan-Nya dan meminta perlindungan-Nya dari kejelekan-kejelekan jiwa kita dan keburukan amalan-amalan kita. Barangsiapa diberi petunjuk-Nya maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang sesat niscaya tidak akan mendapat hidayah-Nya.
Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Shalawat dan salam teruntuk beliau, para sahabat, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’du.
Inilah risalah singkat tentang kewajiban bersuci dan shalat bagi orang-orang yang sakit. Karena orang sakit mempunyai hukum tersendiri tentang hal ini. Syariat Islam begitu memperhatikan hal ini karena Allah mengutus Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan aturan yang lurus dan lapang yang dibangun atas dasar kemudahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [Al-Hajj : 78]
“Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
“Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu” [At-Taghabun : 16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya din ini mudah” [1]
Beliau juga bersabda.: “Jika saya perintahkan kalian dengan suatu urusan maka kerjakanlah semampu kalian” [2]
Berdasar kaidah dasar ini maka Allah memeberi keringanan bagi orang yang mempunyai udzur dalam masalah ibadah mereka sesuai dengan tingkat udzur yang mereka alami, agar mereka dapat beribadah kepada Allah tanpa kesulitan, dan segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
TATA CARA BERSUCI BAGI ORANG YANG SAKIT
  1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats kecil dan mandi jika berhadats besar.
  2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya bertambah, atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.
  3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang suci sekali pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak tangannya.
  4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan orang lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila tidak kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan orang lain.
  5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap dibasuh dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya tangannya dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka juga membahayakan maka ia bisa bertayamum.
  6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap balutan tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
  7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan tanah seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika cat itu mengandung debu.
  8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu tangan lalu bertayamum darinya.
  9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat berikutnya maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang tayamum, karena ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
  10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
  11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis ia harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal itu tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
  12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila tidak memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
  13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian melakukan shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya atau tempatnya ada najis yang tidak mampu membersihkannya.
TATA CARA SHALAT ORANG SAKIT
  1. Orang yang sakit harus melakukan shalat wajib dengan berdiri meskipun tidak tegak, atau bersandar pada dinding, atau betumpu pada tongkat.
  2. Bila sudah tidak mampu berdiri maka hendaknya shalat dengan duduk. Yang lebih utama yaitu dengan posisi kaki menyilang di bawah paha saat berdiri dan ruku.
  3. Bila sudah tidak mampu duduk maka hendaknya ia shalat berbaring miring dengan bertumpu pada sisi tubuhnya dengan menghadap kiblat, dan sisi tubuh sebelah kanan lebih utama sebagai tumpuan. Bila tidak memungkinkan meghadap kiblat maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, dan shalatnya sah, tidak usah mengulanginya lagi.
  4. Bila tidak bisa shalat miring maka ia shalat terlentang dengan kaki menuju arah kiblat. Yang lebih utama kepalanya agak ditinggikan sedikit agar bisa menghadap kiblat. Bila tidak mampu yang demikian itu maka ia bisa shalat dengan batas kemampuannya dan nantinya tidak usah mengulang lagi.
  5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku dan sujud dalam shalatnya. Bila tidak mampu maka bisa dengan isyarat anggukan kepala. Dengan cara untuk sujud anggukannya lebih ke bawah ketimbang ruku. Bila masih mampu ruku namun tidak bisa sujud maka ia ruku seperti biasa dan menundukkan kepalanya untuk mengganti sujud. Begitupula jika mampu sujud namun tidak bisa ruku, maka ia sujud seperti biasa saat sujud dan menundukkan kepala saat ruku.
  6. Apabila dalam ruku dan sujud tidak mampu lagi menundukkan kepalanya maka menggunakan isyarat matanya. Ia pejamkan matanya sedikit untuk ruku dan memejamkan lebih banyak sebagai isyarat sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk yang dilakukan sebagian orang yang sakit maka saya tidak mengetahuinya hal itu berasal dari kitab, sunnah dan perkataan para ulama.
  7. Jika dengan anggukan dan isyarat mata juga sudah tidak mampu maka hendaknya ia shalat dengan hatinya. Jadi ia takbir, membaca surat, niat ruku, sujud, berdiri dan duduk dengan hatinya (dan setiap orang mendapatkan sesuai yang diniatkannya).
  8. Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat. Hendaklah ia kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak dengan shalat diantara waktu akhir dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau bisa dengan jama taqdim yaitu dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan shalat isya ke waktu maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat dzuhur ke waktu ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi yang memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak kepada yang sebelumnya atau ke yang sesudahnya.
  9. Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka ia mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat dzuhur, ashar dan isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke negerinya kembali baik perjalanannya lama ataupun sebentar.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penerjemah Furqan Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note.
[1]. HR Bukhari, Kitab Iman, bab Dien itu mudah (39)
[2]. HR Bukhari, Kitab I’tisham, bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (7288), Muslim, Kitab Fadhail, bab menghormati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jangan banyak bertanya tentang hal yang tidak terlalu penting (1337)

TUNTUNAN SHALAT Berdasarkan As-Sunnah As-Shohihah

Sholat


BERDIRI
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah : 238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas kendaraannya. Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat khauf dengan berjalan kaki atau berkendaraan.

“Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut).” (QS. Al Baqarah : 238).

MENGHADAP KA’BAH
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka’bah. Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang sholatnya salah:

“Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah.”
(HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115:
“Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah Allah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah:
“Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka’bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di Quba’ kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya,
“Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka’bah. Oleh karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana.” Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat). (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa’ad. Baca Kitab Al Irwa’, hadits No. 290).

MENGHADAP SUTRAH
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat menjadi keharusan imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid besar, demikian pendapat Ibnu Hani’ dalam Kitab Masa’il, dari Imam Ahmad.Beliau mengatakan, “Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, ‘Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!’ Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah.”Syaikh Al Albani mengatakan, “Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya.”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan.”
(HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
“Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya.”
(HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta.”
(HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

NIAT
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada Allah Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati.Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya.”
(HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa’, hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, “Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.” (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu’ al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, “Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir.”
Asy Syafi’i berkata, “Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.” (Lihat al Amr bi al Itbaa’ wa al Nahy ‘an al Ibtidaa’).

TAKBIRATUL IHROM
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu memulai sholatnya (dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar (allahuakbar.gif) di awal sholat dan beliau pun pernah memerintahkan seperti itu kepada orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda kepada orang itu:

“Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu’ dan melakukan wudhu’ sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu’mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut.”
An Nawawi berkata, “…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz tabir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Qur-an, takbir, membaca tasbih ketika ruku’, tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…” beliau melanjutkan, “Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi’i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi’i berkata dalam al Umm, ‘Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.’.” (al Majmuu’ III/295).

MENGANGKAT KEDUA TANGAN
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya,

takbiratulikhram1.gif
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku’ dan setiap kali bangkit dari ruku’nya.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga,
takbiratulikhram2.gif
berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat).”
(HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).

BERSEDEKAP
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:

“Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya’ dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya
meletakkan.gif
berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya,
menggenggam.gif
berdasarkan hadits Nasa’i dan Daraquthni:
“Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya.”
(sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits:
“Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya.”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa’il, halaman 222 berkata: “Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku’. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya.” Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi ‘Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I’lam, beliau berkata: “Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada.”

MEMANDANG TEMPAT SUJUD
Pada saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menundukkan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat).”
(HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.”
(HR. Muslim, Nasa’i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda:
“Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri.”
(HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma’aad ( I/248 ) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, “Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.

MEMBACA DO’A ISTIFTAH
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah.Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah melakukan sholatnya dengan sabdanya:

“Tidak sempurna sholat seseorang sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa istiftah), dan membaca ayat-ayat al Qur-an yang dihafalnya…” (HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diantaranya adalah:
iftitah-1.gif
“ALLAHUUMMA BA’ID BAINII WA BAINA KHATHAAYAAYA KAMAA BAA’ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHATHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANAS. ALLAAHUMMAGHSILNII MIN KHATHAAYAAYA BIL MAA’I WATS TSALJI WAL BARADI”
artinya:
“Ya, Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya, Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya, Allah cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah).
Atau kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membaca dalam sholat fardhu:
wajjahtu.gif
“WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA HANIIFAN [MUSLIMAN] WA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHOLATII WANUSUKII WAMAHYAAYA WAMAMAATII LILLAHI RABBIL ‘ALAMIIN. LAA SYARIIKALAHU WABIDZALIKA UMIRTU WA ANA AWWALUL MUSLIMIIN. ALLAHUMMA ANTAL MALIKU, LAA ILAAHA ILLA ANTA [SUBHAANAKA WA BIHAMDIKA] ANTA RABBII WA ANA ‘ABDUKA, DHALAMTU NAFSII, WA’TARAFTU BIDZAMBI, FAGHFIRLII DZAMBI JAMII’AN, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA. WAHDINII LI AHSANIL AKHLAAQI LAA YAHDII LI AHSANIHAA ILLA ANTA, WASHRIF ‘ANNII SAYYI-AHAA LAA YASHRIFU ‘ANNII SAYYI-AHAA ILLA ANTA LABBAIKA WA SA’DAIKA, WAL KHAIRU KULLUHU FII YADAIKA. WASY SYARRULAISA ILAIKA. [WAL MAHDIYYU MAN HADAITA]. ANA BIKA WA ILAIKA [LAA MANJAA WALAA MALJA-A MINKA ILLA ILAIKA. TABAARAKTA WA TA'AALAITA ASTAGHFIRUKA WAATUUBU ILAIKA"
yang artinya:
"Aku hadapkan wajahku kepada Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim. Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada Ilah selain Engkau semata-mata. [Engkau Mahasuci dan Mahaterpuji], Engkaulah Rabbku dan aku hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling baik, karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan jauhkanlah diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu, sedang segala keburukan tidak datang dari-Mu. [Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beri petunjuk]. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, [tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata]. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Muslim dan Ibnu Abi Syaibah)

MEMBACA TA’AWWUDZ
Membaca doa ta’awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka’at, sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (An Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu’ III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca ta’awwudz yang berbunyi:
taawudz1.gif
“A’UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq).”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
taawudz2.gif
“A’UUZUBILLAHIS SAMII’IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM…”
artinya:
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk…”
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).

MEMBACA AL FATIHAH
Hukum Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):

“Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah”
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jama’ah: yakni Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna”
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca Surat Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (munfarid) maka wajib untuk membaca Al-Fatihah, begitu pun pada sholat jama’ah ketika imam membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur, ‘Ashr, satu roka’at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka’at terakhir sholat ‘Isyak, maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…?
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al-Fatihah:
“Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian?” Kami menjawab: “Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah.” Berkata Rasul: “Kalian tidak boleh melakuka

MEMBACA AMIN
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.

Dari Abu hurairah, dia berkata: “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin.”
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)
“Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan suara keras dan panjang.”
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyari’atkan para imam untuk mengeraskan bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al-Imam Al-Bukhari, As-Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al-Bukhari membuat suatu bab dengan judul ‘baab jahr al-imaan bi al-ta-miin’ (artinya: bab tentang imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Didalamnya dinukil perkataan (atsar) bahwa Ibnu Al-Zubair membaca amin bersama para makmum sampai seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi’ (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal itu.”
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin.”
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy-Syaukani. Namun hukum wajib itu tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca amiin ketika imam juga membacanya. Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
“Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi ‘alaihim waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: “(apabila imam mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin) barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: “bila seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan malaikat dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa-i dan Ad-Darimi)
Syaikh Al-Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
“Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)

BACAAN SURAT SETELAH AL FATIHAH
Membaca surat Al Qur-an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan tidak membacanya. Membaca surat Al-Qur-an ini dilakukan pada dua roka’at pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang itu.

Panjang pendeknya surat yang dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk, sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).Rasulullah berkata:
“Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena tangis bayi itu.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Cara membaca surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua roka’at, kadang pula surat yang sama dibaca pada roka’at pertama dan kedua. (berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad dan Abu Ya’la, juga hadits shahih yang dikeluarkan oleh Al-Imam Abu Dawud dan Al-Baihaqi atau riwayat dari Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, disahkan oleh Al-Hakim disetujui oleh Ad-Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam satu roka’at.(Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, dinyatakan oleh At-Tirmidzi sebagai hadits shahih)
Tata cara bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan jumlah ayat yang berimbang antara roka’at pertama dengan roka’at kedua. (berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya di-jahr-kan Nabi membaca dengan keras dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada roka’at ketiga ataupun dua roka’at terakhir sholat isya’ Nabi membacanya dengan lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering membaca suatu surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka’at) ruku’ dan sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dan ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Untuk setiap satu surat (dibaca) dalam satu roka’at.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Nashr dan At-Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani: “Seyogyanya kalian membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka’at sehingga roka’at tersebut memperoleh haknya dengan sempurna.” Perintah dalam hadits tersebut bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al-Qur-an Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa (tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru:
“Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
“Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur-an].”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
“Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an.”
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

RUKU’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai membaca surat dari Al-Qur-an kemudian berhenti sejenak, terus mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun telinga) kemudian rukuk (merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala lurus sejajar lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya adalah:

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’ ….”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku’
> Bila Rasulullah ruku’ maka beliau meletakkan telapak tangannya pada lututnya, demikian beliau juga memerintahkan kepada para shahabatnya.
“Bahwasanya shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika ruku’) meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
> Menekankan tangannya pada lututnya.
“Jika kamu ruku’ maka letakkan kedua tanganmu pada kedua lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta tekankan tangan untuk ruku’.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
> Merenggangkan jari-jemarinya.
ruku2.gif
“Beliau merenggangkan jari-jarinya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Hakim dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi dan At-Thayalisi menyetujuinya)
> Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.
“Beliau bila ruku’, meluruskan dan membentangkan punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut tidak akan bergerak.”
(Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani, ‘Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
> Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut.
ruku1.gif
“Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya.”
(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Bukhari)
“Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku’ dan sujud dengan meluruskan punggungnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu ‘Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni)
> Thuma-ninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku’ dengan tidak sempurna dan sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: “Kalau orang ini mati dalam keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad [sholatnya seperti gagak mematuk makanan] sebagaimana orang ruku’ tidak sempurna dan sujudnya cepat seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang tidak mengenyangkan.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya’la, Al-Ajiri, Al-Baihaqi, Adh-Dhiya’ dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
> Memperlama Ruku’
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku’
Do’a yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini kadang yang lain.
1. SUBHAANA RABBIYAL ‘ADHZIM 3 kali atau lebih (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
ruku01.gif
Yang artinya:
“Maha Suci Rabbku, lagi Maha Agung.”
2. SUBHAANA RABBIYAL ‘ADHZIMI WA BIHAMDIH 3 kali (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud, Ad-Daroquthni dan Al-Baihaqi).
ruku02.gif
Yang artinya:
“Maha Suci Rabbku lagi Maha Agung dan segenap pujian bagi-Nya.”
3. SUBBUUHUN QUDDUUSUN RABBUL MALA-IKATI WAR RUUH (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).
ruku03.gif
Yang artinya:
“Maha Suci, Maha Suci Rabb para malaikat dan ruh.”
4. SUBHAANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII
ruku04.gif
Yang artinya:
“Maha Suci Engkau ya, Allah, dan dengan memuji-Mu Ya, Allah ampunilah aku.”
Berdasarkan hadits dari ‘A-isyah, bahwasanya dia berkata:
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca Subhanakallahumma Wa Bihamdika Allahummaghfirlii dalam ruku’nya dan sujudnya, beliau mentakwilkan Al-Qur-an.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim).
Do’a ini yang paling sering dibaca. Dikatakan bahwa ada riwayat dari ‘A-isyah yang menunjukkan bahwa Rasulullah sejak turunnya surat An-Nashr -yang artinya: “Hendaklah engkau mengucapkan tasbih dengan memuji Rabbmu dan memohon ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” (TQS. An-Nashr 110:3)-, waktu ruku’ dan sujud beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membaca do’a ini hingga wafatnya.
5. Dan lain-lain sesuai dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang Dilarang Ketika Ruku’
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah bahwa sewaktu ruku’ kita tidak boleh membaca Al-Qur-an. Berdasarkan hadits:
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membaca Al-Qur-an dalam ruku’ dan sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah)
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku’ dan sujud…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).

I’TIDAL DARI RUKU’
Cara i’tidal dari ruku’
Setelah ruku’ dengan sempurna dan selesai membaca do’a, maka kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal). Waktu bangkit tersebut membaca bacaan-itidal.gif (SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana waktu takbiratul ihrom. Hal ini berdasarkan keterangan beberapa hadits, diantaranya:

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya, hal itu dilakukan ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit ) dari ruku’ sambil mengucapkan SAMI’ALLAAHU LIMAN HAMIDAH…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika I’tidal dari Ruku’
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat kepala) dari ruku’ itu membaca: bacaan-itidal.gif (SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut dengan bacaan:
itidal01.gif
RABBANAA LAKAL HAMD (Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
itidal02.gif
RABBANAA WA LAKAL HAMD (Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
atau
itidal03.gif
ALLAAHUMMA RABBANAA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku, segala puji kepada-Mu)
atau
itidal04.gif
ALLAAHUMMA RABBANAA WA LAKAL HAMD (Ya, Allah, Rabbku dan segala puji kepada-Mu)
Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah:
“Apabila imam mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah oleh kalian ALLAHUMMA RABBANA WA LAKALHAMD, barangsiapa yang ucapannya tadi bertepatan dengan ucapan para malaikat diampunkan dosa-dosanya yang telah lewat.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Ztirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan Malik)
Kadang ditambah dengan bacaan:
tambahanitidal.gif
MIL-ASSAMAAWAATI, WA MIL-ALARDHL, WA MIL-A MAA SYI-TA MIN SYAI-IN BA’D
(Mencakup seluruh langit dan seluruh bumi dan segenap yang Engkau kehendaki selain dari itu)
berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah.
Dan Do’a lain-lain
Cara I’tidal
Adapun dalam tata cara i’tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. Tapi yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua tidak mengapa.
Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri.
itidal.gif
Hal ini berdasarkan nash dibawah ini:
Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya: “Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa’d ia berkata: “Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat.” Komentar Abu Hazm: “Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Komentar dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah ‘Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI): “Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku’ meletakkan kedua telapak tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari’atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku’ maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: “asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya” -per.)
Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada riwayat An-Nasa-i dengan sanad yang shahih: Bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam sholat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
Wallaahu a’lamu bishshawab.
Thuma-ninah dan Memperlama Dalam I’tidal
“Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, As-Syafi’i dan Ahmad)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: “Dia telah lupa” [karena saking lamanya berdiri].
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

SUJUD
Sujud dilakukan setelah i’tidal thuma-ninah dan jawab tasmi’ (Rabbana Lakal Hamd…dst).
Caranya
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan (setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir, badan turun condong kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu

turunsujud1.gif
baru kemudian meletakkan kedua tangan. (abu zalfa: Dalam hal ini ada perbedaan pendapat, Lihat disini)
turunsujud2.gif
pada tempat kepala diletakkan dan kemudian meletakkan kepala kepala dengan menyentuhkan/menekankan hidung dan jidat/kening/dahi ke lantai (tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga).
Dari Wail bin Hujr, berkat, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua tangan sebelum kedua lututnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ad-Daarimy)
“Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa’i dan Daraquthni)
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi)
“Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan bahunya”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
“Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun telinganya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An-Nasa’i)
Cara Sujud
> Bersujud pada 7 anggota badan,
sujud1.gif
yakni jidat/kening/dahi dan hidung (1), dua telapak tangan (3), dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal ini berdasar hadits:
Dari Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku diperintah untuk bersujud (dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak lengan baju dan rambut kepala.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama’ah)
> Dilakukan dengan menekan
“Apabila kamu sujud, sujudlah dengan menekan.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya dan bagian depan telapak kaki ke tanah.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi)
> Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat dan dijauhkan dari sisi rusuk/lambung.
Dari Abu Humaid As-Sa’diy, bahwasanya Nabi shalallau ‘alaihi wasallam bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya ditaruh sebanding dua bahu beliau.”
(Diriwayatkan oleh Al Imam At-Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau ‘alaihi wasallam bersabda:
“Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya.”
(Diriwayatkan oleh Al-Jama’ah kecuali Al Imam An-Nasa-i, lafadhz ini bagi Al Imam Al-Bukhari)
“Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari belakang”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
> Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
> Merapatkan jari-jemari
Dari Wa-il, bahwasanya Nabi shalallau ‘alaihi wasallam jika sujud maka merapatkan jari-jemarinya.
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim)
> Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara dua tumit
Berkata ‘A-isyah isteri Nabi shalallau ‘alaihi wasallam: “Aku kehilangan Rasulullah shalallau ‘alaihi wasallam padahal beliau tadi tidur bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku dengar…”
(Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Ibnu Huzaimah)
> Thuma-ninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan thuma-ninah. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau bersujud baiasanya lama.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ruku’, berdiri setelah ruku’ dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama lamanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah atau Boleh Di Atas Alas
“Para shahabat sholat berjama’ah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang tidak sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan kainnya kemudian sujud di atasnya”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
sujud01.gif
SUBHAANA RABBIYAL A’LAA 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dll)
atau kadang-kadang membaca
sujud02.gif
SUBHAANA RABBIYAL A’LAA WA BIHAMDIH, 3 kali
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dll)
atau
sujud04.gif
SUBHAANAKALLAAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAAHUMMAGHFIRLII
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim)
Bacaan Yang Dilarang Selama Sujud
“Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al-Qur-an sewaktu ruku’ dan sujud…”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu ‘Awwanah).

BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama -dimana dalam setiap roka’at ada dua sujud- maka kemudian bangun untuk melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan takbir dan kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya seraya bertakbir”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim)

DUDUK ANTARA DUA SUJUD
Duduk ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada roka’at pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan)

duduk1.gif
dan duduk iq’ak (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan duduk diatas tumit). Hal ini berdasar hadits:
Dari ‘A-isyah berkata: “Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya syaithan.”
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
*Komentar Syaikh Al-Albani: duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan dilantai.
Dari Rifa’ah bin Rafi’ -dalam haditsnya- dan berkata Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau bangun duduklah di atas pahamu yang kiri.”
(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang duduk iq’ak, yakni [duduk dengan menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya].
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Waktu duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan ke kiblat:
Beliau menegakkan kaki kanannya (Al-Bukhari)
Menghadapkan jari-jemarinya ke kiblat (An-Nasa-i)
Bacaannya
duasujud02.gif
RABBIGHFIRLII, RABBIGHFIRLII
Dari Hudzaifah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan dalam sujudnya (dengan do’a): Rabighfirlii, Rabbighfirlii.
(Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan lafadhz Ibnu Majah)
duasujud03.gif
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WA ‘AAFINII WAHDINII WARZUQNII
(Abu Dawud)
duasujud04.gif
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WARZUQNII WARFA’NII
(Ibnu Majah)
duasujud05.gif
ALLAAHUMMAGHFIRLII WARHAMNII WAJBURNII WAHDINII WARZUQNII
(At-Tirmidzi)
Thuma-ninah dan Lama
Lihat tata cara ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sholat.

MENUJU ROKA’AT BERIKUTNYA
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu bangkit menuju roka’at berikut dari posisi sujud kedua -pada akhir roka’at pertama dan ketiga- dan bangkit dari posisi duduk tasyahhud awal -pada roka’at kedua.> Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir roka’at pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan. Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau bisa juga bertumpu pada pahanya.

Tangan bertumpu pada satu pahanya
Dari Wail bin Hujr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,berkata (Wa-il); “Maka tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum meletakkan kedua tangannya; Berkata (Wa-il): Bila sujud maka …..dan apabila bangkit dia bangkit atas kedua lututnya dengan bertumpu pada satu paha.”
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Tangan bertumpu pada lantai (tempat sujud)
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertumpu pada lantai ketika bangkit ke roka’at kedua.
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
Diselai duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka’at yang ganjil tidaklah beliau bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
> Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari roka’at kedua) dengan mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada takbiratul ihram.
Mengangkat tangan ketika takbir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian berdiri
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Ya’la)

DUDUK TASYAHHUD AWWAL DAN TASYAHHUD AKHIR
Tasyahhud awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat

Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya pada sholat yang jumlah roka’atnya lebih dari dua (2), pada sholat wajib dilakukan pada roka’at yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud akhir dilakukan pada roka’at yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud yang kedua.
Cara duduk tasyahhud awwal dan tasyahhud akhir
Waktu tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri)
duduk1.gif
sedang pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan kesamping kanan dan duduk diatas lantai),
tahiyatakhir.giftahiyat04.gif
pada masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan.
Dari Abi Humaid As-Sa’idiy tentang sifat sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkat, “Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dalam dua roka’at (-tasyahhud awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila duduk dalam roka’at yang akhir (-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya dan duduk di tempat kedudukannya (lantai dll).”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya, sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri.
tahiyatakhir2.gif
Dari Ibnu ‘Umar berkata Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila duduk didalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya yang kiri, beliau hamparkan padanya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir, berisyarat dengan telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat digerakkan pada sholat lain boleh juga tidak digerak-gerakkan.
“Kemudian beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri dan ujung sikunya diatas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran kemudian mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak-gerakkannya berdo’a dengannya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa-i).
“Dari Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak menggerakannya.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).
Membaca do’a At-Tahiyyaat dan As-Sholawaat
Do’a tahiyyat ini ada beberapa versi, untuk hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah satu contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut:
Berkata Abdullah : “Kami apabila shalat di belakang nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keselamatan atas jibril dan mikail keselamatan atas si fulan dan si fulan maka rasulullah berpaling kepada kami. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : sesungguhnya Allah itu As-salam maka apabila shalat hendaklah kalian itu mengucapkan:
tahiyat01.gif
“AT-TAHIYYAATU LILLAHI WAS SHOLAWATU WAT THAYYIBAAT, AS-SALAMU’ALAIKA AYYUHAN NABIY WA RAHMATULLAHI WA BARAKATUHU, AS-SALAAMU ‘ALAINA WA ‘ALAA ‘IBAADILLAHIS SHALIHIN. ASYHADU ALLAA ILAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUHU”
artinya: segala kehormaatan, shalawat dann kebaikan kepunyaan Allah, semoga keselamatan terlimpah atasmu wahai Nabi dan juga rahmat Allah dan barakah-Nya. Kiranya keselamatan tetap atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih; -karena sesungguhnya apabila kalian mengucapkan sudah mengenai semua hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi- Aku bersaksi bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammmad itu hamba daan utusan-Nya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari).
Dari Ka’ab bin Ujrah berkata : “Maukah aku hadiahkan kepadamu sesuatu ? Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami, maka kami berkata : ‘Ya Rasulullah kami sudah tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, lantas bagaimana kami harus bershalawat kepadamu? Beliau berkata : ucapkanlah:
shalawat.gif
“ALLAAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHALLAITA ‘ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID. ALLAAHUMMA BAARIK ‘ALAA MUHAMMAD WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BARAKTA ‘ALAA AALI IBRAHIIM, INNAKA HAMIIDUM MAJIID.”
artinya: “Ya Allah berikanlah Shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada keluarga Ibarahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung.”
Berdo’a berlindung dari empat (4) hal.
Hal ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
…..Apabila kamu telah selesai bertasyahhud akhir maka…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Agar tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam- ini maka dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai membaca sholawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ta’awudz (berlindung dari 4 hal) ini dibaca hanya ketika tasyahhud akhir.
Dari Abu Hurairah berkata; berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila kamu telah selesai bertasyahhud maka hendaklah berlindung kepada Allah dari empat (4) hal, dia berkata:
doabadashalawat.gif
“ALLAAHUMMA INNII A’UUDZUBIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAMA WA MIN ‘ADZAABIL QABRI WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAAL.”
artinya: “Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnahnya hidup dan mati serta fitnahnya Al-Masiihid Dajjaal.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafadhz Muslim)
Berdo’a dengan do’a/permohonan lainnya
…kemudian (supaya) dia memilih do’a yang dia kagumi/senangi…
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Al-Bukhari)

SALAM
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam posisi duduk tasyahhud akhir setelah membaca do’a minta perlindungan dari 4 fitnah atau tambahan do’a lainnya.

“Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam.”
(Hadits dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
Caranya
Dengan menolehkan wajah ke kanan seraya mengucapkan do’a salam kemudian ke kiri.
Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari bapaknya berkata: Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi salam ke sebelah kanan dan sebelah kirinya hingga terlihat putih pipinya.
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim dan An-Nasa-i serta ibnu Majah)
Dari ‘Alqomah bin Wa-il, dari bapaknya, ia berkata: Aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau membaca salam ke sebelah kanan (menoleh ke kanan): “As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.” Dan kesebelah kiri: “As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi.”
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud)
Macam-macam Bacaan Salam
Kadang-kadang beliau membaca:
salam01.gif
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh
atau
salam02.gif
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
atau
salam03.gif
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
atau
salam04.gif
As Salamu’alaikum Wa Rahmatullahi— As Salamu’alaikum
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan An-Nasa-i)
atau
salam05.gif
As Salamu’alaikum dengan sedikit menoleh ke kanan tanpa menoleh ke kiri
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)
Gerak yang dilarang
Sering terlihat orang yang mengucapkan salam ketika menoleh ke-kanan dibarengai dengan gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini dilarang oleh shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya.” [Ketika mereka sholat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi]. (Pada riwayat lain disebutkan: “Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri).
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani).
Diantara gerakkan bid’ah yang dilakukan saat salam adalah gerakkan yang dilakukan oleh orang syi’ah dengan menepukkan kedua tangannya di atas paha tiga kali, sebagai pengganti salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hal seperti ini dilakukan oleh syi’ah Iran dan sekitarnya. Maksud dari gerakan itu adalah melaknat malaikat Jibril karena mereka mengatakan Jibril telah salah menyampaikan wahyu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU