Oleh KH MA Sahal Mahfud
Manusia
sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di
antara semua makhlukNya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan
pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan
rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini justru sengaja
dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk
menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk
kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syekh Ahmad bin Ruslan al-Syafi'i mengemukakan, "Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma'rifatullah dengan keyakinan".
Bahwa sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa tidak mesti mengenal
terlebih dulu siapa yang berhak disembah, untuk kemudian segala proses
dan komponen ibadah kepadaNya tercerminkan di bawah ma'rifatullah.
Sebab, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan
mungkin sah tanpa ma'rifatullah.
Di balik itu, tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan
Allah di hari pembalasan nanti, seperti diungkapkan al-Ghazali dalam
Ihya' Ulumuddin.
Dengan demikian ada dua hal yang menjadi agenda manusia di hadapan
Tuhannya. Ketika seseorang pertama kali ingin memasuki "daerah" Allah,
maka ia diwajibkan ma'rifatullah terlebih dahulu. Dan ketika seorang
telah mencapai titik final perjalanannya, maka satu-satunya hal yang
patut dicita-citakan dan diharapkan adalah hanya liqaullah (bertemu
dengan Allah). Rentang antara liqaullah dan ma'rifatullah inilah yang
kemudian melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi sekaligus
keterkaitan erat dari dan oleh manusia sendiri.
***
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 57, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (mau'idhah) dari Tuhanmu dan penyembuh/obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifa'uh lima fi al-shudur) dan petunjuk (wa hudan) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (wa rahmatan li al-mu'minin)".
Ayat ini dalam tafsir Ruhul Ma'ani diinterpretasikan sebagai
jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barangsiapa yang
berpegang teguh dengan al-Qur'an -sebagai mau'idhah- secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut.
Lebih jauh lagi, Imam Junaedi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis munculnya klasifikasi syaritat, thariqat, haqiqat
dan ma'rifat. Dari kalimat mau'idhah yang mengandung nasihat-nasihat
untuk meninggalkan segala hal yang dilarang dan menjalankan
perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari'at yang kemudian berisi
pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlaq al-mazmumah (perilaku tidak baik) yang dapat dilihat orang lain.
Sedangkan kalimat "syifa'un lima fii al-shudur" memuat
segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit ruhani sehingga
seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan
hatinya dari akidah-akidah yang sesat dan tabiat-tabiat yang hina dan
tercela. Ini merupakan filosofi munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat "wa hudan " mengisyaratkan kesempurnnan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan Allah.
Tingkatan ini menggambarkan adanya keadaan jiwa manusia yang telah
terhiasi oleh akidah dan akhlak yang baik dan mulia, sehingga seseorang
dapat meraih "dhuhur al-haq fi qulubi al-shiddiqin", yakni terlihatnya Allah yang Maha Haq di dalam hati para shiddiqin (orang-orang yang tingkat keimanannya setaraf dengan Abu Bakar Shiddiq). Adapun kalimat "wa rahmatan li al-mu'minin" memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma'rifat, bahwa seseorang telah meraih "tajalla anwar al-uluhiyah" (terpancarnya cahaya ketuhanan) yang abadi. Dengan "al-anw'ar al-uluhiyah" ini seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu'min lainnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar al-Makky punya pendapat yang
intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya
ketiga hal syari'at, thariqat dan haqiqat.
Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi
haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar
menggambarkan ketiga hal itu dengan pendapatnya yang lain:
''Syari'at itu seperti sebuah perahu, sedangkan thariqat adalah
lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar laut".
Adapun tasawuf (sufisme) oleh banyak ulama masih diperdebatkan
definisinya dengan seribu pendapat. Salah satu definisi tersebut adalah
seperti yang dikemukakan Abu Zakariya al-Anshari:
"Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah".
Sehingga dengan definisi ini dapat diambil pengertian, tasawuf adalah
refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung dan suci terhadap
segala pelaksannan ketiga (atau keempat) hal di atas.
***
Abad XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban
tinggi. Orang tak lagi membicarakan atau merisaukan hal-hal yang masih
bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kocenderungan yang
ada hanyalah dominasi sikap ingin serba praktis, mengenakkan dan lebih
mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil produksi teknologi
mutakhir yang mampu membikin manusia sebagai makhluk "serba manja".
Bersamaan dengan itu, persaingan masalah-masalah sosial dan
pelaku-pelaku sosial itu sendiri, muncul sebagai efek lain dari
modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari berjalannya
kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai
spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola
perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistis akan
menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif,
sehingga pada gilirannya manusia justru acuh tak acuh terhadap
lingkungannya sendiri.
Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari
mencari. "dunia lain" yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman.
Maka agama pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengubah
keresahan tersebut, meskipun demikian hal itu tidak bisa dipahami
sebagai suatu justifikasi tentang adanya asumsi bahwa agama adalah
kompensasi kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman.
Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan 'uzlah
ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja
tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud oleh para ulama
didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta
benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorancg
zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak kumanthil di dalam hati.
Begitu juga 'uzlah yang oleh Abu Bakar didefinisikan sebagai, "al-tafarrud 'an al-khalq"
(memisahkan diri dari makhluk lain). Sikap ini terhitung sangat
dianjurkan untuk diamalkan, ketika zaman dilanda pergeseran nilai-nilai
Islam dan segala aturan normatifnya. Ketika seseorang khawatir terhadap
fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamannnya berkurang
intensitasnya, 'uzlah adalah salah satu sikap yang dapat menjawab tantangan itu.
Akan tetapi, apabila segala kekhawatiran tersebut tidak terlalu
memprihatinkan, zuhud justru dipraktikkan dengan berkumpul dan
bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk `amar ma'ruf nahi munkar.
Lebih jauh lagi, para ulama sepakat, zuhud atau 'uzlah dapat
dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga meskipun
seseorang -misalnya- sedang berada di tengah keramaian sebuah pasar,
akan tetapi dalam hatinya ia merasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.
***
SUFISME memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus
dilalui untuk menuju akhirat. Dalam ajaran sufisme ditemui adanya
anjuran-anjuran untuk mempertinggi etos kerja. Seseorang yang mendalami
tasawuf juga diperintahkan untuk bekerja mencari penghasilan bagi
kehidupan sehari-harinya. Seseorang sama sekali tidak diperkenankan
berpasrah diri dan tawakal kepada Allah SWT, sembari rajin mengerjakan
shalat sunnah dan banyak berzikir, sebelum ia memenubi
kewajiban-kewajibannya sebagai -misalnya- seorang kepala rumah tangga,
mencari nafkah.
Akan tetapi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api di mana
mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan
bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya.
Dalam hal ini mereka berkata:
"Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi
kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi
secara berlebihan".
Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata: "Semua harta benda
dunia adalah battu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka,
sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah, kecuali jika pengumpulannya
dengan niat yang baik untuk akherat. Maka bila dalam pentasharufannya
telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia iu pun akan menjadi harta
akherat."
Dengan demikian, sufisme serta segala komponen ajarannya merupakan
pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme
seperti zuhud akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup
konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di tengah dunia
modern. Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk
tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman.
Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat
saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang
jelas, sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak berimplikasi
langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bukan hadir sebagai
trend, mode dan semacamnya.
*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)
Minggu, 01 Juni 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar