Tafsir Surat ‘Abasa, Bagian ke-2: Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW
Pengarahan Allah SWT kepada Nabi SAW ketika Menghadapi Para Pembesar Quraisy dan Ibnu Ummi Maktum, dan Refleksi Para Sahabat dalam Mengimplementasikan Pelajaran darinya
۞  عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ﴿١﴾أَن جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ﴿٢﴾وَمَا يُدْرِيكَ  لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ﴿٣﴾أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنفَعَهُ الذِّكْرَىٰ﴿٤﴾أَمَّا  مَنِ اسْتَغْنَىٰ﴿٥﴾فَأَنتَ لَهُ تَصَدَّىٰ﴿٦﴾وَمَا عَلَيْكَ أَلَّا  يَزَّكَّىٰ﴿٧﴾وَأَمَّا مَن جَاءَكَ يَسْعَىٰ﴿٨﴾وَهُوَ يَخْشَىٰ﴿٩﴾فَأَنتَ  عَنْهُ تَلَهَّىٰ﴿١٠﴾كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ﴿١١﴾فَمَن شَاءَ  ذَكَرَهُ﴿١٢﴾فِي صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ﴿١٣﴾مَّرْفُوعَةٍ  مُّطَهَّرَةٍ﴿١٤﴾بِأَيْدِي سَفَرَةٍ﴿١٥﴾كِرَامٍ بَرَرَةٍ﴿١٦
Artinya:
- Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
- Karena telah datang seorang buta kepadanya.
- Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
- Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
- Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
- Maka kamu melayaninya.
- Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
- Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
- Sedang ia takut kepada (Allah).
- Maka kamu mengabaikannya.
- Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
- Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
- Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan,
- Yang ditinggikan lagi disucikan,
- Di tangan para penulis (malaikat),
- Yang mulia lagi berbakti.
                      (QS. ‘Abasa: 1-16)
dakwatuna.com -  Pengarahan yang turun berkenaan dengan peristiwa ini merupakan  persoalan sangat besar yang jauh lebih besar dari apa yang tampak di  luar. Sesungguhnya ini adalah mukjizat dan hakikat yang hendak  ditetapkan Allah di muka bumi, beserta dampak penetapan ini terhadap  perbuatan manusia di dalam kehidupan. Barangkali ia adalah mukjizat  Islam yang pertama dan sekaligus terbesar. Akan tetapi, pengarahan ini  datang sedemikian rupa, sebagai komentar atas peristiwa individual,  menurut metode Ilahi dalam Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa  perseorangan dan dalam konteks terbatas sebagai kesempatan untuk  menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang bakal diberlakukan.
Jika  tidak demikian, maka hakikat yang menjadi sasaran penetapan di sini  beserta dampak-dampak praktis yang ditimbulkannya di dalam kehidupan  umat Islam merupakan inti Islam. Itulah hakikat yang dikehendaki Islam dan semua risalah langit sebelumnya untuk ditanamkan di bumi.
Hakikat  ini bukan semata mata bagaimana seseorang bermuamalah dengan orang  lain, atau bagaimana sekelompok orang bergaul dengan kelompok lain  sebagaimana makna yang dekat dengan peristiwa beserta  komentarnya itu. Akan tetapi, hakikat benar-benar lebih jauh dan lebih  besar daripada ini. Ikatannya ialah bagaimana manusia menimbang semua  urusan kehidupan, dan dari sumber mana mereka mengembangkan dan  menentukan nilai-nilai yang mereka pergunakan untuk menimbang sesuatu.
Hakikat  yang menjadi sasaran penetapan ini ialah manusia di bumi harus  mengembangkan tata nilai dan tata norma mereka dengan semata-mata  berpedoman pada kalimat IIahi dari langit (wahyu). Mereka tidak terikat  oleh lingkungan-lingkungan bumi, tidak terikat dengan tempat-tempat  hidup mereka, serta tidak bersumber dari pemikiran-pemikiran mereka  yang sangat terikat dengan tempat-tempat dan lingkungan-lingkungan itu.  Ini adalah persoalan yang sangat besar, tetapi juga sangat sulit. Sulit  bagi manusia yang hidup di bumi, tetapi menggunakan norma-norma dan  nilai-nilai yang datang dari langit. Yakni, terlepas dari  pertimbangan-pertimbangan bumi, dan terbebas dari tekanan-tekanan  berbagai pertimbangan tersebut.
Kita mengetahui kebesaran dan  kesulitan persoalan ini ketika kita mengetahui besarnya realitas  manusia, perpindahannya kepada perasaan, dan tekanannya pada jiwa. Juga  sulitnya lepas dari lingkungan sekitar dan tekanan-tekanan yang timbul  dari realitas kehidupan masyarakat, yang bersumber dari kondisi-kondisi  penghidupan, ikatan-ikatan kehidupan, warisan budaya, sisa-sisa  sejarah, dan semua hal yang mengikat mereka erat-erat dengan bumi  (budaya, peradaban, lingkungan, situasi, kondisi, dan sebagainya).  Ditambah dengan tekanan-tekanan terhadap jiwa karena  pertimbangan-pertimbangan, tata norma, tata nilai, pandangan, dan  ideologi. Inilah satu-satunya nilai dan tolok ukur untuk menilai dan  mengukur berbobot ataukah tidaknya seorang manusia. Ini adalah norma  langit yang murni, tidak ada hubungannya dengan tempat, situasi, dan  lingkungan bumi.
Ya, yang demikian ini saja rasanya sudah cukup.  Karena, kebesaran, ketinggian, dan keluhuran jiwa yang menjadikan urusan  yang hendak dicapainya sampai membutuhkan peringatan dan pengarahan  itu, merupakan urusan yang lebih besar daripada kebesaran itu sendiri,  dan lebih tinggi daripada ketinggiannya itu. Inilah hakikat persoalan  itu, yang menjadi tujuan pengarahan IIahi untuk menetapkan dan  memantapkannya di muka bumi, melalui peristiwa unik ini. Yakni, agar  manusia mengabaikan norma-norma dan timbangan-timbangan mereka kepada  norma-norma dan pertimbangan-pertimbangan dari langit, terlepas dari  nilai-nilai dan timbangan-timbangan bumi yang bersumber dari realitas  (budaya, tradisi, lingkungan) mereka. Inilah persoalan yang besar dan  agung itu. Kita juga mengetahui besarnya hakikat urusan ini dan  kesulitannya ketika kita mengetahui bahwa jiwa Muhammad bin Abdullah  saw. sangat memerlukan agar sampai kepadanya pengarahan dari Tuhannya.  Bahkan, memerlukan celaan keras ini, yang sampai batas keheranan  terhadap tindakannya. Dengan demikian, untuk menggambarkan besarnya  suatu urusan di dunia ini, cukup kiranya kalau dikatakan bahwa jiwa  Muhammad bin Abdullah saw. Sangat membutuhkan peringatan dan pengarahan. Sesungguhnya timbangan yang diturunkan Allah bersama para rasul untuk meluruskan semua tata nilai itu adalah,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.“ (a1-Hujuraat: 13)
Akan  tetapi, manusia hidup di bumi serta berhubungan dan berinteraksi  dengan sesamanya dengan berbagai macam hubungan yang mempunyai  timbangan, bobot, dan daya tarik terhadap kehidupannya. Mereka bergaul  dan bermuamalah dengan nilai-nilai lain seperti nasab (keturunan),  kekuatan (kekuasaan), dan harta benda (kekayaan). Termasuk juga  nilai-nilai yang timbul dari hubungan kerja, perekonomian ataupun non  perekonomian. Dalam semua hal itu, pertimbangan sebagian manusia  berbeda dengan sebagian yang lain. Sehingga, yang sebagian lebih unggul  dalam timbangan-timbangan bumi.   ,.
Kemudian Islam datang untuk mengatakan, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. “Lalu,  ditutupnya lembaran yang berisi nilai-nilai yang berat timbangannya  dalam kehidupan manusia, keras tekanannya terhadap perasaan mereka, dan  kuat daya tariknya ke bumi. Semuanya diganti dengan nilai-nilai yang  bersumber langsung dari langit, yang hanya ini saja yang diakui dalam  timbangan langit.
Kemudian datanglah peristiwa ini untuk  menetapkan nilai itu dalam sebuah peristiwa yang terbatas. Juga untuk  menetapkan prinsip dasar bahwa “timbangan yang sebenarnya adalah  timbangan langit, dan nilai yang sebenarnya adalah nilai langit. Umat  Islam harus meninggalkan semua tradisi yang menjadi kebiasaan manusia;  dan harus meninggalkan segala sesuatu yang bersumber dari ikatan-ikatan  bumi seperti tata nilai, pandangan hidup, ideologi, norma-norma, dan  pemikiran-pemikiran. Sehingga, mereka hanya berpegang pada nilai-nilai  dari langit saja dan menimbangnya dengan timbangan langit saja”.
Datanglah  seorang tuna netra yang miskin, bernama Ibnu Ummi Maktum, kepada  Rasulullah saw yang sedang sibuk mengurusi sejumlah pembesar Quraisy,  yaitu Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal Amr bin Hisyam,  Umayyah bin Khalaf, dan Al-Walid ibnul-Mughirah, bersama Abbas bin Abdul  Muthalib. Waktu itu Rasulullah saw. sedang mengajak mereka memeluk  Islam. Beliau berharap bahwa masuk Islamnya mereka akan membawa kebaikan  bagi Islam yang selama ini dipersulit dan ditekan di Mekah.
Mereka  itulah yang biasa menghambat jalan Islam dengan menggunakan harta,  kedudukan, dan kekuatannya. Mereka menghalang-halangi manusia dari  Islam, dan melakukan berbagai macam tipu daya untuk membekukan Islam di  Mekah. Sedangkan, yang lainnya melakukan penghalangan dan penghambatan  di luar Mekah. Mereka tidak mau menerima dakwah yang disampaikan oleh  orang yang paling dekat persahabatannya dengan mereka dan paling kuat  ikatan kekeluargaannya. Pasalnya, mereka hidup di dalam lingkungan  jahiliah yang sarat dengan fanatisme kabilah, yang menjadikan sikap  kabilah sebagai pusat nilai dan pemikiran.
Lelaki tuna netra yang  fakir ini datang kepada Rasulullah saw. ketika beliau sedang sibuk  mengurusi pemuka-pemuka Quraisy. Beliau sedang mengurusi sesuatu bukan  untuk dirinya dan kepentingannya sendiri, melainkan untuk Islam dan  kepentingan Islam. Karena seandainya mereka masuk Islam, maka akan  tersingkirkanlah hambatan-hambatan yang sulit dan duri-duri yang tajam  dari jalan dakwah di Mekah. Sehingga, Islam tentu akan berkembang di  sekitarnya, sesudah masuk Islamnya tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar  tersebut
Lelaki ini datang, lalu berkata kepada Rasulullah saw,  “Wahai Rasulullah, tolong bacakan dan ajarkan kepadaku apa yang telah  diajarkan Allah kepadamu!” Ia mengulang-ulang perkataan ini padahal ia  mengetahui kesibukan Rasulullah saw. dalam menghadapi urusan ini. Maka,  Rasulullah saw. tidak senang kalau pembicaraan dan perhatian beliau  terhadap tokoh-tokoh Quraisy itu terputus. Ketidaksenangan beliau  tampak di wajahnya, yang sudah tentu tidak terlihat oleh lelaki tuna  netra itu, yaitu beliau bermuka masam dan berpaling. Berpaling dari  lelaki fakir yang sendirian tetapi dapat mengganggunya dari urusan yang  sangat penting ini. Yakni, urusan yang di belakangnya terdapat harapan  yang banyak bagi dakwah dan agamanya. Atau, urusan yang didorong oleh  keinginannya untuk membela agamanya, ketulusannya terhadap urusan  dakwahnya, kecintaannya terhadap kemaslahatan Islam, dan keinginannya  terhadap perkembangan dan penyebarannya.
Di sinilah langit campur  tangan untuk mengatakan kata pasti dalam urusan ini, untuk menaruh  rambu-rambu dan semua petunjuk jalan, dan untuk menetapkan timbangan  untuk menimbang semua norma dan nilai, tanpa menghiraukan semua jenis  lingkungan dan pemikiran. Termasuk pemikiran tentang kemaslahatan dakwah  menurut pandangan manusia, bahkan menurut pandangan penghulu semua  manusia yakni Nabi Muhammad saw.
Datanglah celaan dari Allah Yang Mahatinggi lagi Maha luhur kepada Nabi-Nya yang mulia, pemilik akhlaq yang luhur, dengan uslub yang keras dan tegas. Hanya satu kali ini saja di dalam seluruh Al-Qur’an dikatakan kepada Rasul tercinta dan dekat dengan Allah suatu perkataan, ‘sekali-kali jangan!, yaitu perkataan untuk membentak Hal itu disebabkan besarnya urusan yang kepadanya agama ini bertumpu.
”Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang seseorang tuna netra kepadanya.” (‘Abasa: 1-2).
Uslub yang dipergunakan Al-Qur’an di dalam menyampaikan celaan IIahi ini merupakan uslub yang  tidak mungkin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa tulis manusia.  Karena, bahasa tulis itu memiliki ikatan-ikatan, aturan-aturan, dan  tradisi-tradisi, yang menurunkan suhu pengarahan dalam bentuknya yang  hidup secara langsung. Uslub Qur’ani ini juga unik dengan  kemampuan pemaparannya dalam bentuk ini dalam sentuhan-sentuhan sekilas,  kalimat-kalimat yang terputus-putus, dan ungkapan-ungkapan yang  seakan-akan berupa kesan-kesan, dengan intonasi-intonasi,  sifat-sifat,  dan kilasan-kilasan  yang hidup. Ayat ini menggunakan bentuk cerita tentang gang ketiga yang bukan lawan bicara. Di dalam uslub ‘metode’  ini terdapat isyarat yang mengesankan bahwa persoalan ini menjadi topik  pembicaraan yang disertai ketidaksenangan di sisi Allah. Dia tidak suka  mengarahkan secara langsung perkataan ini kepada Nabi-Nya dan  kekasih-Nya, karena kasih sayang-Nya dan untuk menghormatinya. Sehingga,  tidak diucapkan langsung sesuatu yang tidak menyenangkan ini  kepadanya.
Kemudian diputarlah pernyataan ini, sesudah ditutupnya  perbuatan yang menyebabkan datangnya celaan ini, kepada celaan kepada  lawan bicara. Maka, dimulailah celaan ini dengan sedikit tenang,
‘Tahukah kamu tahu barangkali ia ingin membersihkan diri (dari dosa), atau dia ingin mendapatkan pengajaran, atau pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?” (`Abasa: 3-4)
Tahukah  kamu, barangkali akan terealisir kebaikan yang besar ini? Yaitu,  lelaki tuna netra yang datang kepadamu karena mengharapkan kebaikan dari  sisimu ini ingin membersihkan dirinya, menyadarkan hatinya, dan  mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat baginya? Tahukah  kamu barangkali hatinya akan bersinar dengan secercah cahaya dari  Allah, karena tidak mungkin mercusuar di bumi menerima cahaya langit?
Ini  adalah suatu hal yang dapat terwujud apabila hati sudah terbuka  terhadap petunjuk, dan hakikat iman sudah sempurna di dalamnya. Ini  adalah persoalan besar dan berat dalam timbangan Allah.
Kemudian  intonasi celaannya naik lagi, nadanya keras, dan beralih kepada sikap  keheranan terhadap tindakan itu, yang menggantikan celaan,
‘Adapun orang yang merasa dirinya  serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu  kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang  kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut (kepada Allah), maka kamu mengabaikannya. ” (‘Abasa: 5-10)
Tentang  orang yang sudah menampakkan ketidakbutuhannya kepada dirimu, agamamu,  petunjuk, kebaikan, cahaya, dan kesucian yang ada di sisimu; kamu  layani dia, perhatikan urusannya, serius untuk menunjukkannya, dan  hadapi dia, sedang dia berpaling darimu! “Apakah kerugianmu kalau dia tidak membersihkan dirinya (beriman)?”Apakah kerugianmu  kalau dia tetap di dalam kekotoran dan kejorokannya? Toh kamu tidak  akan dimintai pertanggungjawaban tentang dosanya. Kamu tidak dapat  ditolong olehnya, dan kamu juga tidak berkewajiban melaksanakan  urusannya.
‘Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) “yang datang dengan penuh kepatuhan dan kesadaran, “serta takut (kepada Allah)”dan berusaha menjaga dirinya, “maka kamu mengabaikannya”. Sikap mengabaikan orang yang beriman dan menginginkan kebaikan serta bertaqwa itu, disebut dengan “talahhiy ” sebagai sifat yang keras dan kasar.
Kemudian  tekanan celaan ditinggikan lagi hingga menjadi bentakan dan gertakan,  “‘sekali-kali jangan demikian’.” Jangan sekali-kali begitu! Suatu  pernyataan yang menarik perhatian dalam hal ini.
Lalu  dijelaskanlah hakikat dakwah ini beserta kemuliaan, keagungan,  ketinggiannya, dan ketidakbutuhannya kepada seorang pun dan sandaran  apa pun. Juga pemfokusan perhatiannya kepada orang yang menginginkan  dakwah itu, apa pun kedudukan dan timbangannya dalam timbangan-timbangan  dunia,
“Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya  ajaran ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Barangsiapa yang  menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang  dimuliakan dan ditinggikan serta disucikan, di tangan para penulis  (malaikat) yang mulia lagi berbakti.” (‘Abasa.: 11-16)
Peringatan  itu sangat mulia kalimat dan lembaran nya (kitabnya), ditinggikan,  disucikan, dan diserahkan kepada para utusan dari kalangan makhluk  tertinggi untuk menyampaikannya kepada orang-orang pilihan di muka  bumi, agar disampaikan lagi kepada umat manusia. Di samping itu para  utusan (malaikat) tersebut adalah mulia dan sangat berbakti. Karena itu,  peringatan (wahyu Allah) itu adalah mulia dan suci mengenai segala  sesuatu yang berkaitan dengannya, dan sesuatu yang bersentuhan  dengannya, dari dekat ataupun jauh. Ia adalah terhormat, tidak pantas  digunakan melayani orang-orang yang berpaling dan menampakkan  ketidakbutuhannya kepadanya. Maka, peringatan (dakwah, Al-Qur’an) ini  hanya untuk orang yang mengenal kemuliaannya dan mencari penyucian diri  dengannya.
Inilah timbangan Allah, yang dipergunakan untuk  menimbang semua tata nilai dan pemikiran, untuk mengukur manusia dan  semua peraturan. Inilah kalimat Allah yang menjadi muara semua  perkataan, hukum, dan keputusan.
Di manakah dia berada? Kapan? Di  Mekah, dakwah dilakukan dengan mengendap-endap, dan jumlah kaum  muslimin minoritas. Adapun melayani pembesar-pembesar Quraisy yang  dilakukan Nabi saw. itu bukan didorong oleh kepentingan pribadi, dan  sikap tidak menghiraukan lelaki tuna netra yang fakir itu juga tidak  dimotivasi oleh pertimbangan pribadi, melainkan untuk kepentingan dakwah  sejak awal hingga akhir. Akan tetapi, dakwah ini sendiri merupakan  timbangan dan nilai. Ia datang untuk  menetapkan timbangan dan nilai ini di dalam kehidupan manusia. Maka, ia  tidak akan menjadi kokoh dan kuat, serta memperoleh kemenangan kecuali  dengan ditetapkannya timbangan dan nilai-nilai ini.
Sesungguhnya  urusan ini, sebagaimana sudah dikemukakan, lebih agung dan lebih  kompleks daripada peristiwa personal dan persoalan langsungnya. Akan  tetapi, ia hendak menyampaikan kepada manusia timbangan-timbangan dan  nilai-nilai serta kalimat-kalimat langit, bukan dari bumi. Yaitu,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa. “
Orang  yang paling bertaqwa di sisi Allah ialah orang yang berhak mendapatkan  perlindungan dan perhatian, meskipun ia lepas dari semua unsur dan  pemikiran-pemikiran lain, yang dikenal manusia di bawah tekanan realitas  bumi (duniawi) dan kesepakatan-kesepakatan mereka. Nasab (keturunan),  kekuatan, harta, dan semua tata nilai tidak ada bobotnya apabila lepas  dari iman dan takwa. Satu-satunya hal yang layak mendapatkan timbangan  dan penilaian ialah apabila diperhitungkan dengan perhitungan iman dan  takwa.
Inilah hakikat besar yang menjadi sasaran pengarahan Ilahi  yang ditetapkan dalam konteks ini. Pengarahan itu berdasarkan metode  Al-Qur’an dalam menjadikan peristiwa personal dan dalam konteks  terbatas, sebagai sarana untuk menetapkan hakikat yang mutlak dan manhaj yang berlaku.
Jiwa Rasulullah saw. sangat terkesan oleh pengarahan dan celaan ini. Ia  memperoleh kesan yang kuat dan hangat juga termotivasi untuk menetapkan  hakikat ini di dalam seluruh kehidupan beliau dan kehidupan masyarakat  Islam, dengan menyifatinya sebagai hakikat Islam yang pertama.
Maka,  aktivitas pertama yang dilakukan Rasulullah saw. ialah mengumumkan  pengarahan dan celaan yang turun berkenaan dengan peristiwa tersebut.  Pengumuman ini merupakan sesuatu yang besar dan luar biasa serta tidak  dapat dilakukan kecuali oleh seorang Rasulullah, dari sisi mana pun  kita melihatnya.
Ya, tidak ada seorang pun yang mampu kecuali  Rasulullah untuk mengumumkan kepada manusia bahwa, dia dicela demikian  keras dengan bentuk yang unik ini karena suatu kekeliruan yang  dilakukannya. Cukuplah bagi orang besar mana pun, selain Rasulullah,  untuk mengakui kesalahan ini dan memperbaikinya pada masa yang akan  datang. Akan tetapi, ini adalah persoalan nubuwwah ‘kenabian’, persoalan yang lain, dan ufuk yang lain pula.
Tidak  ada yang mampu selain Rasulullah untuk menyampaikan hal ini sedemikian  rupa di hadapan pembesar-pembesar Quraisy dalam kondisi seperti itu.  Yakni, dalam rangka dakwah terhadap orang-orang yang  membangga-banggakan nasab, harta, dan kekuatannya, dalam suatu  lingkungan yang tidak ada tempat padanya selain pemikiran-pemikiran  ini. Sehingga, pada batas di mana mengenai Muhammad bin Abdullah bin  Abdul Muthalib bin Hasyim ini mereka mengatakan,
”Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dan salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)” (Az-Zukhruf: 31)
Itulah  nasab beliau di antara mereka. Secara pribadi, beliau tidak memiliki  kedudukan apa-apa di kalangan mereka sebelum menjadi rasul.
Kemudian, tidak mungkin hal ini terjadi di lingkungan seperti ini kecuali karena wahyu dari langit. Ini tidak mungkin bersumber dari bumi ini, apalagi pada masa itu.
Itu  adalah kekuatan langit yang mendorong urusan seperti itu berjalan di  jalannya. Itu tembus dari celah jiwa Rasulullah saw. kepada lingkungan  di sekitarnya. Kemudian ia menetap padanya secara dalam, kuat, dan  mantap, serta berlaku sepanjang masa di dalam kehidupan umat Islam.
Sungguh  ini merupakan kelahiran baru bagi kemanusiaan seperti lahirnya manusia  dengan tabiatnya. Adapun yang lebih besar lagi nilainya ialah  terimbasnya manusia secara hakiki, dalam perasaan dan realitas, dari  semua tata nilai yang sudah dikenal dan diberlakukan di muka bumi.  Mereka beralih kepada nilai-nilai lain yang turun dari langit dengan  terlepas dari semua tata nilai, pertimbangan-pertimbangan, pandangan,  pola pikir, lingkungan kerja,  dan ikatan realitas yang memiliki daya  tekan yang berat dan hubungan-hubungan daging, darah, urat saraf dan  perasaan yang ada di bumi.
Kemudian nilai-nilai baru itu dipahami  dan dicerna oleh semua orang. Maka, berubahlah urusan besar yang untuk  menyampaikannya ini. Jiwa nabi Muhammad saw. memerlukan peringatan dan  pengarahan. Berubahlah sesuatu yang besar ini menjadi terang-benderang  di dalam hati nurani orang muslim, menjadi syariat masyarakat Islam,  dan menjadi hakikat kehidupan yang utama di dalam kehidupan masyarakat Islam sepanjang masa.
Sesungguhnya  kita hampir tidak mengerti hakikat kelahiran baru itu. Karena, kita  tidak pernah membayangkan di dalam hati kita hakikat keterbebasan dari  semua tata nilai, timbangan-timbangan, dan norma-norma serta  pemikiran-pemikiran yang dilahirkan oleh tatanan dunia dan  hubungan-hubungannya yang memiliki daya tekan yang besar sehingga  menimbulkan persepsi sebagian pengikut mazhab progresif’, bahwa salah  satu sisi sistem duniawi, yaitu sistem ekonomi itulah yang menentukan  tempat kembalinya manusia beserta aqidah, kebudayaan, peradaban,  perundang-undangan, tradisi, dan pandangannya terhadap kehidupan.  Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab tafsir materi terhadap sejarah  dengan sempitnya wawasan dan kebodohan yang berlebihan terhadap hakikat  kehidupan.
Sungguh apa yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah ini  suatu mukjizat kelahiran baru bagi manusia di tangan Islam pada masa  itu.
Sejak kelahiran itu dominanlah nilai-nilai yang menyertai  peristiwa besar dunia. Akan tetapi, masalahnya tidak ringan dan tidak  mudah di lingkungan bangsa Arab, bahkan di dalam jiwa kaum muslimin  sendiri. Hanya saja Rasulullah saw. dengan iradah Allah beserta  tindakan-tindakan dan pengarahan pengarahan-Nya yang menimbulkan respon  yang hangat dari jiwa Rasulullah, dapat menanamkan hakikat ini di dalam  hati nurani dan di dalam kehidupan. Beliau mampu menjaga dan  memeliharanya, hingga akar-akarnya kuat, cabang-cabangnya berkembang,  dan menaungi kehidupan umat Islam dalam kurun waktu yang panjang,  meskipun golongan-golongan lain menentangnya. Setelah peristiwa ini,  Rasulullah saw. senantiasa bersikap lunak kepada Ibnu Ummi Maktum.  Setiap kali berjumpa dengannya, beliau berkata, “Selamat bertemu orang  yang karenanya aku dicela oleh Tuhanku.” Bahkan, beliau menjadikannya  pengganti beliau dua kali setelah hijrah di Madinah.
Untuk  menggugurkan timbangan-timbangan lingkungan dan tata nilainya yang  bersumber dari pengakuan dan tradisi-tradisi dunia, Rasulullah saw.  mengawinkan putri bibi beliau Zainab binti Jahsy al-Asadiyah dengan  mantan budak beliau yang bernama Zaid bin Haritsah. Masalah perkawinan  dan persemendaan (periparan) merupakan masalah yang sangat sensitif di  lingkungan bangsa Arab khususnya. Sebelumnya, ketika Rasulullah saw.  mempersaudarakan antar kaum muslimin pada masa-masa permulaan hijrah,  beliau mempersaudarakan paman beliau Hamzah dengan mantan budak beliau  Zaid. Juga mempersaudarakan Khalid bin Ruwaihah al-Khats’ami dengan  Bilal bin Rabah.
Rasulullah saw. mengangkat Zaid sebagai panglima  perang Mu’tah, yaitu sebagai panglima pertama disusul dengan Ja’far bin  Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah, untuk memimpin tiga ribu pasukan  Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Khalid bin Walid.
Rasulullah  saw. sendiri juga keluar mengiringkan mereka. Dalam perang ini, ketiga  panglima tersebut gugur sebagai syuhada. Mudah-mudahan Allah meridhai  mereka. Tindakan terakhir yang dilakukan Rasulullah saw ialah mengangkat  Usamah bin Zaid menjadi panglima perang dalam menghadapi pasukan  Romawi. Dalam pasukan Islam ini, banyak kalangan Muhajirin dan Anshar  yang ikut Di antaranya Abu Bakar dan Umar yang merupakan dua orang wazir  dan sahabat Rasul serta khalifah sepeninggal beliau berdasarkan  kesepakatan kaum muslimin. Di antaranya lagi adalah Sa’ad bin Abi  Waqqash yang merupakan orang dekat Rasulullah saw. dan termasuk golongan  Quraisy angkatan pemula yang masuk Islam.
Sebagian orang merasa  kurang pas dengan kepemimpinan Usamah karena masih terlalu muda.  Mengenai hal ini, dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi  disebutkan bahwa Ibnu Umar RA berkata, “Rasulullah saw. mengirim para  pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid RA, maka sebagian orang  mencela kepemimpinan Usamah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Jika kamu  mencela kepemimpinannya, maka sesungguhnya kamu telah mencela  kepemimpinan bapaknya sebelumnya. Demi Allah, sesungguhnya dia layak  menjadi pemimpin, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang paling saya  cintai, sesungguhnya dia termasuk orang yang saya cintai.”‘
Dalam  hadits riwayat ath-Thabrani dan al-Hakim disebutkan bahwa ketika banyak  orang berceloteh mengenai Salman al-Farisi dan mempersoalkan kebangsaan  Persia dan kebangsaan Arab, sesuai dengan hukum nasionalisme yang  sempit, maka Rasulullah saw. membuat pukulan telak dalam persoalan ini  seraya bersabda, “Salman itu termasuk keluarga kami.”
Maka,  dilampauilah dengan sabda beliau ini dengan nilai-nilai langit dan  timbangan-timbangannya semua dataran nasab yang mereka bangga  banggakan, dan semua batas nasionalisme sempit yang mereka  agung-agungkan. Beliau menganggap Salman (yang bukan berkebangsaan Arab)  ini sebagai keluarga beliau.
Ketika terjadi peristiwa antara Abu  Dzar al-Ghiffari RA dan Bilal bin Rabah RA sehingga dari mulut Abu Dzar  terlontar perkataan, “Wahai anak wanita hitam,” maka Rasulullah saw.  sangat marah terhadap ucapan itu. Beliau mengecam Abu Dzar dengan keras  dan menakutkan dengan sabdanya,
Sebuah kalimat nabawiyah dengan segala kehangatannya, ”Hai Abu Dar, telah dikurangi takaran dan tidak ada keutamaan bagi anak wanita yang berkulit putih dari anak wanita yang berkulit hitam.” (HR Ibnul Mubarak)
Maka,  dibedakanlah urusan ini menurut akarnya yang jauh. Adapun Islam adalah  nilai-nilai dan timbangan-timbangan langit, sedangkan jahiliah adalah  nilai-nilai dan timbangan-timbangan bumi!
Ini meresap ke dalam  hati Abu Dzar yang sensitif. Ia sangat terkesan olehnya, dan ia letakkan  pipinya ke tanah seraya bersumpah bahwa ia tidak akan mengangkatnya  sebelum diinjak oleh Bilal, untuk menebus perkataannya yang besar  implikasinya.
Timbangan yang mengangkat derajat Bilal ialah  timbangan langit Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, disebutkan  bahwa Abu Hurairah RA berkata, “Rasulullah saw bersabda,
”Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amalan yang engkau kerjakan dalam  Islam yang lebih diharapkan manfaatnya bagimu. Karena saya mendengar  semalam (ketika mi’raj) bunyi sandalmu di hadapan saya di surga.’ Bilal  menjawab, Tidaklah saya kerjakan suatu amalan di dalam Islam yang lebih  kuharapkan manfaatnya daripada aku bersuci baik pada waktu malam maupun  siang. Setelah selesai bersuci itu saya kerjakan shalat (Zhuhur atau  shalat sunnah sesudah berwudhu) sesuai yang ditentukan untuknya.”‘
Dalam  hadits riwayat at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda  tentang Ammar bin Yasir yang meminta izin kepada beliau, ‘Berilah izin kepada Ammar. Selamat datang bagi orang dan bagus‘ Aku tidak mengetahui berapa lama lagi aku tinggal di antara kamu. Karena itu, ikutilah dua orang sesudahku.”
Beliau juga bersabda tentang Ammar ini ‘Ammar dipenuhi keimanan hingga ke dalam jiwanya. ” (HR an-Nasa’i)
Ibnu  Mas’ud dikira keluarga Rasulullah oleh orang luar Madinah. Dalam  riwayat Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi, disebutkan bahwa Abu Musa RA  berkata, “Aku datang dari Yaman bersama saudaraku, kemudian kami  tinggal di sana beberapa lama. Maka, kami tidak menganggap Ibnu Mas’ud  dan ibunya melainkan dari keluarga Rasulullah saw. karena seringnya  mereka masuk menemui Rasulullah saw. dan berada di sana.”
Ahmad dalam Musnad-nya  meriwayatkan bahwa Anas RA berkata, “Ketika Rasulullah saw. meminang  seorang wanita untuk dikawinkan dengan Julaibib, seorang lali-laki  mantan budak, maka kedua orang tua anak wanita itu berkata, ‘Apakah  kalian hendak menolak urusan Rasulullah saw.? Jika beliau telah  merelakannya untuk kalian, maka kawinkanlah dia.’ Kedua orang tua wanita  itu lantas merelakan, kemudian dikawinkannyalah wanita itu dengan  lelaki tersebut.”‘
Tidak lama setelah perkawinannya itu Rasulullah  saw. kehilangan Julaibib dalam suatu peperangan karena gugur sebagai  syahid. Muslim meriwayatkan bahwa Abu Burzah al-Aslami RA berkata,  “Rasulullah saw. berada dalam suatu peperangan, lalu Allah memberikan  rampasan atas kemenangan ini. Kemudian beliau berkata kepada para  sahabat, ‘Apakah kamu kehilangan seseorang.?’ Mereka menjawab, ‘Ya,  si fulan, si fulan, dan si fulan.’ Kemudian bertanya lagi, ‘Apakah kamu  kehilangan seseorang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, si fulan, si fulan, dan si  fulan.’ Kemudian beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu kehilangan  seseorang?’ Mereka menjawab, Tidak.’ Lalu beliau bersabda, ‘Akan tetapi,  saya kehilangan Julaibib.”
Mereka lalu mencarinya, dan mereka  mendapati Julaibib berada di sisi tujuh orang (musuh) yang telah  dibunuhnya. Kemudian Nabi saw. datang dan berdiri di sampingnya, lalu  bersabda, ‘Ia telah membunuh tujuh orang, lalu mereka membunuhnya. Dia  ini bagian dariku dan aku bagian darinya.’ Kemudian beliau meletakkannya  di atas kedua lengan beliau tanpa alas kecuali kedua lengan beliau itu.  Kemudian digalikan lubang, lalu beliau memasukkannya ke dalam kuburnya,  dan tidak menyebut-nyebut mandi.” Dengan pengarahan Ilahi dan petunjuk  nabawi ini, terjadilah kelahiran baru bagi kemanusiaan dengan cara yang  unik ini, dan lahirlah masyarakat Rabbani (yang patuh kepada  Tuhan) yang menerima tata nilai dan tata normanya dari langit, yang  lepas dari ikatan-ikatan bumi, meskipun mereka sendiri hidup di atas  bumi. Ini merupakan mukjizat yang sangat besar bagi Islam. Mukjizat yang  tidak akan terwujud kecuali dengan iradah IIahi, dan dengan amal  Rasulullah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa agama Islam berasal  dari sisi Allah dan yang membawanya kepada manusia adalah seorang rasul.
Di  antara skenario Allah dalam mengatur urusan ini adalah diserahkannya  tongkat estafet tugas dakwah ini sepeninggal Rasulullah saw. kepada  sahabat pertama beliau Abu Bakar dan sahabat kedua Umar. Dua orang  manusia yang lebih mengerti tabiat urusan ini, yang intens  penghayatannya terhadap petunjuk Rasulullah, yang paling dalam  kecintaannya kepada Rasulullah, dan yang paling antusias  mengimplementasikan kecintaannya dan mengikuti jejak langkah beliau.
Abu  Bakar RA selalu menjaga apa yang dikehendaki oleh sahabatnya,  Rasulullah saw., mengenai Usamah. Maka, tindakan pertama yang  dilakukannya setelah dia diangkat menjadi khalifah ialah melaksanakan  penugasan Usamah untuk menjadi pemimpin pasukan sebagaimana yang sudah  disiapkan Rasulullah saw. Ia mengantarkan sendiri Usamah ke luar  Madinah. Usamah naik kendaraan, sedang Abu Bakar yang khalifah itu  berjalan kaki. Maka, Usamah yang masih muda belia itu merasa malu naik kendaraan  sedangkan khalifah berjalan kaki, lalu dia berkata, “Wahai khalifah  Rasulullah, silakan engkau naik dan saya akan turun.” Tetapi, Khalifah  Abu Bakar menjawab dengan bersumpah, “Demi Allah, engkau tidak boleh  turun, dan demi Allah aku tidak akan naik. Apakah kerugianku seandainya  kakiku berlumuran debu di jalan Allah barang sesaat?” Kemudian Abu  Bakar merasa mempunyai keperluan kepadaUmar, karena memikul tugas  kekhalifahan yang berat itu. Akan tetapi, Umar hanya seorang anggota  pasukan Usamah, sedang Usamah adalah komandan. Karena itu, ia meminta  izin kepada Usamah. Tiba-tiba Khalifah Abu Bakar berkata, “Jika engkau  memandang perlu membantuku dengan Umar, silakan.” Ya Allah, sungguh  luar biasa. Khalifah Abu Bakar berkata kepada Usamah, “Jika engkau  memandang perlu membantuku dengan Umar, silakan.” Sungguh sangat luas  cakrawala hati dan pikiran Abu Bakar. Sungguh ini adalah ufuk tinggi  yang tidak mungkin dicapai oleh manusia kecuali dengan iradah dan  bimbingan dari Allah, di bawah bimbingan tangan Rasulullah.
Kemudian  roda zaman pun terus berputar. Maka, kita lihat Umar ibnul-Khaththab  yang menjadi khalifah (kedua) itu mengangkat Ammar bin Yasir menjadi  gubernur di Kufah.
Di depan pintu Umar, telah berdiri Suhail bin  Amr bin al-Harits bin Hisyam, Abu Sufyan bin Harb, dan sejumlah pembesar  Quraisy. Akan tetapi, Umar terlebih dahulu mengizinkan Suhaib dan  Bilal untuk masuk, karena mereka termasuk orang yang terdahulu memeluk  Islam dan termasuk peserta Perang Badar. Maka, tersenyumlah Abu Sufyan,  dan ia berkata dengan sentimen jahiliah, “Selama ini aku belum pernah  melihat kejadian seperti hari ini, di mana budak-budak itu diizinkan  masuk sedangkan kami dibiarkan menunggu di depan pintu.”
Kemudian  sahabatnya yang telah merasakan kebenaran Islam, berkata, “Wahai kaum,  demi Allah, sesungguhnya saya melihat gejolak yang terjadi pada wajah  kalian. Jika kalian marah, maka marahlah kepada diri kalian. Masyarakat  telah diseru untuk memeluk Islam, demikian juga kalian, maka mereka  segera memeluk Islam sedang kalian enggan melakukannya. Maka, bagaimana  keadaan kalian apabila mereka telah dipanggil pada hari Kiamat sedang  kalian dibiarkan saja?”
Dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa  Umar memberikan bagian kepada Usamah bin Zaid lebih besar daripada  bagian Abdullah bin Umar, sehingga Abdullah menanyakan kepada Umar  tentang sebab tindakannya itu. Maka, Umar berkata kepadanya, “Wahai  anakku, Zaid itu lebih dicintai oleh Rasulullah saw. daripada ayahmu,  dan Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada engkau. Oleh karena itu,  aku lebih mengutamakan orang yang dicintai Rasulullah dari orang yang  kucintai.”
Umar mengucapkan perkataan ini karena ia mengetahui bahwa kecintaan Rasulullah saw. itu menjadi ukuran timbangan langit.”
Umar  pernah menugaskan Ammar untuk memeriksa Khalid ibnul Walid, seorang  panglima perang yang selalu mendapatkan kemenangan yang gemilang dan  memiliki nasab yang terhormat (di kalangan kaumnya). Lalu, Ammar  mengikatnya dengan selendangnya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa  Ammar mengikatnya dengan kain surbannya hingga selesai pemeriksaan.  Maka, setelah terbukti bahwa Khalid tidak bersalah, Ammar lantas  melepaskan ikatan itu dengan tangannya. Khalid tidak menganggap apa-apa  terhadap semua tindakan Ammar ini. Hal itu karena Khalid adalah seorang  sahabat yang lebih dahulu memeluk Islam sebagaimana dikatakan oleh  Rasulullah saw.
Umar pulalah yang berkata tentang Abu Bakar RA,  “Dia adalah tuan kita yang telah memerdekakan tuan kita pula yakni  Bilal, yang dahulu adalah budak Umayyah bin Khalaf. Bilal disiksa dengan  siksaan yang pedih, hingga ia dibeli oleh Abu Bakar dan  dimerdekakannya.” Umar menyebut Bilal ini dengan “sayyidina’ tuan kita’.
Umar  pula yang berkata, “Seandainya Salim mantan budak Hudzaifah itu masih  hidup, niscaya kujadikan dia penggantiku.” la menggantikannya kepada  Utsman, Ali, Thalhah, dan az-Zubair. Umar tidak mengangkat seorang pun  untuk menggantikannya menjadi khalifah, tetapi hal itu diserahkan kepada  hasil musyawarah enam orang (formatur) sepeninggalnya. Dalam riwayat  Bukhari disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib mengutus Ammar dan Hasan bin  Ali RA kepada penduduk Kufah untuk meminta bantuan kepada mereka  mengenai urusan yang terjadi antara dia dan Aisyah RA. Lalu, Ammar  berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa ia (Aisyah) adalah istri  Nabi kamu saw. di dunia dan di akhirat. Hanya saja Allah menguji kamu  untuk mengikuti Ali atau mengikuti Aisyah.” Maka, orang-orang pun  mendengarkannya mengenai urusan Aisyah, Ummul Mukminin dan putri Abu  Bakar ash-Shiddiq RA.
Bilal bin Rabah diminta oleh saudaranya  sesama muslim Abu Ruwaihah al-Khats’ami untuk menjadi mediator dalam  perkawinannya dengan orang Yaman, lalu Bilal berkata kepada mereka, “Aku  adalah Bilal bin Rabah, dan ini saudaraku Abu Ruwaihah. Ia seorang  lelaki yang jelek akhlaq dan agamanya. Jika Anda man mengawinkan dia,  silakan mengawinkannya; dan jika hendak meninggalkannya, silakan  tinggalkan.”
Bilal tidak memanipulasi dan menutup-nutupi  kekurangan saudaranya itu. Ia tidak menyebut dirinya sebagai mediator  dan tidak melupakan bahwa dirinya akan ditanya di hadapan Allah tentang  apa yang dikatakannya. Maka, mereka merasa tenteram dengan kejujurannya  itu, dan mereka kawinkan saudara Bilal ini. Mereka merasa tersanjung,  padahal mereka dari kalangan bangsawan Arab, karena Bilal yang mantan  budak ini menjadi mediatornya. yang sedikit jumlahnya, penuh kepastian,  dan agung ini.
Hakikat besar itu telah mantap di kalangan  masyarakat Islam, dan sesudah itu ia tetap mantap dalam masa yang  panjang meskipun banyak keburukan. “Abdullah bin Abbas sangat populer,  demikian pula mantan budaknya, Ikrimah. Abdullah Ibnu Umar juga sangat  populer, demikian pula mantan budak nya, Nafi’. Begitu juga Anas bin  Malik dan mantan budaknya, Ibnu Sirin. Abu Hurairah bersama mantan  budaknya, Abdurrahman bin Hormuz. Di Bashrah terdapat al-Hasan  al-Bashri, di Mekah terdapat Mujahid bin Jabar, Atha’ bin Rabah, dan  Thawus bin Kisan sebagai fuqaha-fuqaha ternama Di Mesir yang memiliki  wewenang memberi fatwa adalah Yazid bin Abu Habib, pada masa  pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, padahal Yazid ini adalah mantan budak  Aswad dari Danqilah.
Timbangan langit menguatkan ahli takwa,  meskipun mereka terlepas dari nilai-nilai (kedudukan) bumi (duniawi)  menurut anggapan mereka sendiri dan menurut orang-orang di sekitar  mereka. Timbangan ini tidak pernah naik dari bumi kecuali hanya  sebentar sesudah kejahiliyahan merajalela di seluruh penjuru dunia, dan  orang-orang mengintai dolar. Amerika yang menjadi pemimpin negara-negara  Barat, serta seluruh manusia tidak lebih dari sekadar alat dalam mazhab  materialisme yang dominan di Rusia sebagai pemimpin bangsa-bangsa  Timur. Sedangkan, tanah air kaum muslimin sendiri sudah dikuasai oleh  kejahiliyahan kuno yang dulu Islam datang untuk menghapus dan  menghancurkannya, dan dalam beberapa masa Islam memang dapat  melibasnya. Tata nilai Ilahi sudah dihancurkan, dan mereka kembali  kepada nilai-nilai jahiliah yang tidak berharga dan tidak ada hubungan  sama sekali dengan imam dan takwa.
Nah, di sana tidak ada sesuatu  lagi kecuali harapan terhadap dakwah Islam untuk menyelamatkan  kemanusiaan pada kali lain dari kejahiliyahan. Juga untuk membidani  lahirnya kembali kemanusiaan seperti kelahirannya yang sudah  disaksikannya pada kali pertama. Yakni, kelahiran pertama yang untuk itu  datanglah peristiwa yang diceritakan oleh permulaan surah ini, untuk  diumumkan lewat ayat-ayat.
 








 


 
 



Tidak ada komentar:
Posting Komentar