Sabtu, 30 Maret 2013

SHOLAT DHUHA : Makna Dhuha dalam AI-Qur'an

Makna Dhuha dalam AI-Qur'an

Makna Dhua Dalam Al Qur'an
Istilah dhuha dapat ditemukan pada beberapa tempat dalam Al-Qur'an. Kita dapat menemukan istilah dhuha kurang lebih pada tujuh tempat. Di satu tempat (QS Thaha [20]:59; AI-'Araf [7]:98; An-Nazi'at [79]:46), kata dhuha diartikan sebagai "pagi hari" atau sebagai "panas sinar matahari" di tempat lainnya (QS Thaha [20:119]). Istilah dhuha juga bisa mencakup kedua makna itu sehingga diartikan "sinar matahari di pagi hari" (QS As-Syams [91]:1).

Pada tempat lain (QS An-Nazi'at [79]:29), kata dhuha diartikan sebagai Siang yang terang. Namun, makna dhuha ini barangkali tidak merujuk pada keadaan terangnya siang di tengah hari yaitu waktu dzuhur.
Barangkali, dalam pengertian inilah kata dhuha diartikan  sebagai saat matahari naik sepenggalan (QS Adh-Dhuha [93]:1). Oleh karena itu, kata dhuha dipahami sebagian ulama, berdasarkan Surat Adh-Dhuha dan As-Syams, sebagai cahaya matahari secara umum, atau khususnya kehangatan cahaya matahari.

Makna kata dhuha ini, dapat kita temukan jugs dalam kamus Bahasa Arab. Dhuha diartikan sebagai forenoon, yakni pagi hari atau sebelum tengah hari, atau diartikan dalam bentuk kata kerjanya sebagai become appear/visible, menjadi tampak atau terlihat.

Jika kita perhatikan pemakaian istilah dhuha dalam Al-Qur'an, kita akan menemukan kata itu diasosiasikan antara lain dengan "saat manusia bermain" (QS Al-'Araf [7]:98). Dalam AI-Qur'an, istilah bermain (yal'ab) mengingatkan kita pada kata "permainan" (bentuk kata Benda dari kata kerja yal'ab) yang secara erat diasosiasikan dengan kehidupan dunia. “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sendau gurau” (QS Al-An'am [6]:32). Pemahaman ini barangkali terlalu sederhana atau menyederhanakan persoalan yang sebenarnya lebih dalam. Namun, hal ini ada benarnya juga. Saat-saat dhuha adalah saat kebanyakan kita pada umumnya tengah sibuk "bermain-main" dengan kehidupan dunia.

Selanjutnya, istilah dhuha dalam Al-Qur'an juga diasosiasikan dengan saat-saat atau keadaan-keadaan di mana manusia dituntut untuk waspada dan hati-hati. Istilah itu, misalnya, dimaknai sebagai "keadaan tertimpa panas matahari" dalam perbandingannya dengan keadaan surga-yang di dalamnya tidak ada pangs matahari semacam itu (QS Thaha [2o]:119)--sekalipun kondisi saat dhuha lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan getirnya hari Kiamat (QS An-Nazi'at [79]:46).

Istilah dhuha juga diasosiasikan Al-Qur'an dengan saat-saat di mana azab Tuhan sangat mungkin terjadi; yakni di saat-saat manusia "bermain" dan merasa aman dari malapetaka (QS Al-'Araf [7]:98). Saat-saat sibuk dengan kehidupan dunia adalah saat manusia sangat rentan untuk tenggelam dalam asyiknya urusan dunia dan lalai akan zikrullah. Nah, dalam kondisi-kondisi seperti inilah manusia dituntut untuk tidak lengah dan tetap waspada.

Selain itu, istilah dhuha juga dikaitkan dengan saat-saat terjadinya pertarungan atau persaingan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat sebagaimana disimbolkan oleh Nabi Musa dan pasukan Fir'aun (QS Thaha [20]:59). Bahkan, istilah dhuha ini digunakan Allah sebagai kata sumpah-Nya tentang sungguh-sungguh terjadinya pertarungan antara kekuatan jahat dan baik itu pada tataran internal (batin) diri manusia. (QS As-Syams [91]:1,10).

Tentu saja, waktu dhuha bukanlah satu-satunya keadaan ketika pertarungan itu terjadi, karena pertarungan serupa bisa terjadi selain pada waktu dhuha. Itulah sebabnya, Allah menggunakan kata-kata sumpah lainnya saat menegaskan waktu-waktu atau keadaan-keadaan saat pertarungan itu terjadi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا
Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
  1 
وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا
dan bulan apabila mengiringinya,
  2 
وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا
dan siang apabila menampakkannya,
  3 
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا
dan malam apabila menutupinya,
  4 
وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا
dan langit serta pembinaannya,
  5 
وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا
dan bumi serta penghamparannya,
  6 
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
  7 
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
  8 
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
  9 
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
"Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari,
Demi bulan apabila mengiringinya,
Demi siang apabila menampakkannya,
Demi malam apabila menutupinya,
Demi langit serta pembinaannya,
Demi bumi serta penghamparannya,
Demi jiwa Berta penyempurnaannya,
maka Dia mengilhamkan kepadanya kejahatan dan ketakwaannya,
Sungguh beruntung orang yang menyucikannya,
Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya".
(QS As-Syams [91]:1-10)

Dalam konteks waktu atau keadaan, kalimat-kalimat sumpah ini bisa diterjemahkan secara bebas menjadi: "demi ketika matahari memancarkan sinar dhuha", yakni saat pagi hari; "demi ketika bulan mengiringi matahari", yakni saat malam yang terang; "demi ketika siang menampakkan matahari," yakni saat tengah hari; "demi ketika malam menutupi matahari," yakni saat gelap gulita; "demi ketika langit dibangun," yakni saat langit terasa tinggi dan luas dalam cakrawala pemandangan terbuka; "demi ketika bumi dihamparkan," yakni saat bumi dihamparkan dalam bentangan alam terbuka; dan, "demi ketika jiwa dijadikan sempurna," yakni saat peniupan ruh.

Pada saat-saat seperti itulah kecenderungan  (jiwa) pada kejahatan dan kecenderugan (ruh) pada kebaikan bertarung dalam diri manusia. Sungguh, beruntunglah orang-orang yang kecenderungan jahat jiwanya terkalahkah oleh kecenderungan baik ruhnya dan sungguh rugilah orang-orang yang kecenderungan buruk (jiwa)nya mengalahkan kecenderungan baik
(ruh)nya.

Namun demikian, hal yang membuat kita heran adalah mengapa Allah menempatkan kata "dhuha" (sinar matahari) atau "saat matahari bersinar di waktu dhuha"dalam urutan pertama di antara kata-kata sumpah lainnya (QS As-Syams [91]:1-9)?

Urutan penempatan kata-kata sumpah ini, tentunya, bukanlah sekadar kebetulan. Sebab, kata-kata sumpah tersebut tidak mungkin Allah lontarkan begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa saat-saat dhuha merupakan saat-saat kita harus berhati-hati dan waspada agar bisa memenangkan pertarungan dan terselamatkan dari ancaman-ancama kekuatan jahat, baik internal maupun eksternal, dari kelengahan zikrullah dan seterusnya.

Sampai di sini, kita bisa mengetahui makna penting shalat Dhuha. Dalam konteks seperti inilah, pelaksanaan shalat Dhuha bisa dipandang sebagai sarana kehati-hatian, kewaspadaan, keterbimbingan, dan keterlindungan dalam menghadapi rentannya waktu dhuha yang sarat dengan berbagai kemungkinan kejadian yang merugikan manusia. Hanya mereka yang ada dalam bimbingan dan lindungan Allah-lah yang bisa selamat dalam melewati waktu dhuha dengan mendapat keuntungan dan kepuasan. Dalam Al-Qur'an, Nabi Musa (dalam surat Al-‘Araf) dan Muhammad (QSAdh-Dhuha [931:4) merupakan figur-figur yang memperoleh penyelamatan itu.

Uraian tentang kata dhuha di atas hanyalah sekelumit cara kita dalam upaya menyingkapkan sebagian kecil makna yang terkandung dalam kata tersebut. Masih banyak rahasia-rahasia lain dari kata dhuha ini.

Berangkat di pagi hari atau sore hari pada jalan Allah (berjihad) adalah lebih baik dari dunia dan semua isinya. (HR Bukhari).
Sumber: Buku The Power of Shlat Dhuha


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU