Kisah Nabi Nuh AS
Setelah
 beberapa tahun dari kematian Nabi Adam. Bunga-bunga berguguran di 
sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan tampak tidak 
bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan hukum 
umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang 
dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali 
ini terulang secara berbeda.
Sebelum
 lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang saleh dari kakek-kakek 
kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman kemudian mereka mati. 
Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr. Setelah 
kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka, dalam 
rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka. 
Kemudian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu 
mati. Lalu datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan 
datanglah cucu-cucu mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan 
khurafat yang membelenggu akal manusia di mana disebutkan bahwa 
patung-patung itu memiliki kekuatan khusus.
Di
 sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia membisikkan kepada 
manusia bahwa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang dapat 
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga akhirnya manusia 
menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang 
terpecaya berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan
 terhadap berhala dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang
 tidak pernah berubah ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. 
Dalam situasi seperti itu, kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia
 akan kalah, serta akan meningkatnya kezaliman dan banyaknya orang-orang
 yang teraniaya. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 
Alhasil, kehidupan manusia semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim. 
Situasi demikian ini pasti terjadi ketika manusia menyembah selain Allah
 SWT, baik yang disembah itu berhala dari batu, anak sapi dari emas, 
penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem, mazhab dari berbagai
 mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang menjamin 
persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah 
SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat 
undang-undang bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada 
seorang yang mengklaim, atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang
 ketuhanan maka manusia akan binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka 
sepenuhnya.
Penyembahan
 kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai sebuah tragedi yang dapat 
menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya dapat merembet ke akal 
manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT menciptakan manusia 
agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai permata yang 
bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting adalah 
kesadaran bahwa Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya adalah
 makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada 
sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.
Ketika
 akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling ke selain Allah SWT 
maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang mengalami 
kemajuan secara materi karena ia berhasil melalui jalan-jalan kemajuan, 
meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini 
yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi 
siksa yang lebih keras daripada siksaan apa pun, karena ia pada akhirnya
 akan menghancurkan manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain
 Allah SWT maka akan meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran 
manusia. Terdapat hubungan kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran 
mereka, serta tidak berimannya mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
وَلَوْ
 أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ 
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ 
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Walau anna ahlal qura aamanuu waattaqau lafatahnaa 
'alaihim barakaatin minassamaa-i wal ardhi walakin kadz-dzabuu 
faakhadznaahum bimaa kaanuu yaksibuun(a)
"Seandainya
 penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan 
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. " (QS. al-A'raf: 
96)
Demikianlah,
 bahwa kufur kepada Allah SWT atau syirik kepada-Nya akan menyebabkan 
hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta meningkatnya kefakiran, 
serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam situasi seperti 
ini, Allah SWT mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada kaumnya. 
Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh polusi
 kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya 
Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.
Nuh
 membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak kemuliaan dan 
kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia bukan seorang 
raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan juga 
orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui bahwa kebesaran
 tidak selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga
 hal tersebut biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun 
kebesaran terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan 
akal untuk mengubah kehidupan di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua 
itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh adalah manusia yang mengingat 
dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam dan anak-anaknya, 
ketika Dia menciptakan mereka di alam atom. Berdasarkan fitrah, ia 
beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada manusia. Dan semua 
nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka 
ada yang "mencari" Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara 
mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, 
seperti Nabi Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah 
kepada-Nya dan menyendiri di gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.
Terdapat
 sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh. Ketika ia bangun, 
tidur, makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk atau keluar, ia 
selalu bersyukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya, serta mengingat 
nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT 
berkata tentang Nuh:
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
Dzurrii-yata man hamalnaa ma'a nuuhin innahu kaana 'abdan syakuuran
"Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur." (QS. al-Isra': 3)
Allah
 SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan mengutusnya sebagai nabi pada 
kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan memulai dakwahnya:
لَقَدْ
 أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ 
مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ
 عَظِيمٍ
Laqad arsalnaa nuuhan ila qaumihi faqaala yaa 
qaumii'buduullaha maa lakum min ilahin ghairuhu innii akhaafu 'alaikum 
'adzaaba yaumin 'azhiimin
"Wahai
 kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
 Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan 
ditimpa azab hari yang besar. " (QS. al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh meletakkan
 hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana 
hanya ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian,
 kemudian kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di 
dalamnya terdapat siksaan yang besar.
Nabi
 Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahwa mustahil terdapat selain Allah 
Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian kepada mereka, 
bahwa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya untuk 
menghentikan tipuan ini. Nuh menyampaikan kepada mereka, bahwa Allah SWT
 telah memuliakan manusia: Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka 
rezeki, dan menganugerahi akal kepada mereka. Manusia mendengarkan 
dakwahnya dengan penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan 
jiwa mereka. Laksana tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada 
seorang yang tertidur dan engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. 
Barangkali ia akan takut dan ia marah meskipun engkau bertujuan untuk 
menyelamatkannya.
Akar-akar
 kejahatan yang ada di bumi mendengar dan merasakan ketakutan. 
Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta ini yang dibawa oleh Nabi 
Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah menjadi dua 
kelompok: Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir, dan orang-orang
 yang menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah Nabi 
Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya, 
orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah 
Nabi Nuh dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai 
kesempatan, mereka mulai melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. 
Mula-mula mereka menuduh bahwa Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti 
mereka:
فَقَالَ
 الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا 
مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا 
بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ 
نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Faqaalal malal-ladziina kafaruu min qaumihi maa 
naraaka ilaa basyaran mitslanaa wamaa naraakaattaba'aka ilaal-ladziina 
hum araadzilunaa baadiyarra'yi wamaa nara lakum 'alainaa min fadhlin bal
 nazhunnukum kaadzibiin(a)
"Maka berkatalah, pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak
 melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa), seperti 
kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan 
orang-orang yang hina dina, di antara kami, yang lekas percaya saja, dan
 kami tidak melihatkamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, 
bahkan kami yakin, bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta'." – 
(QS.Hud:27)
Dalam
 tafsir al-Quturbi disebutkan: "Masyarakat yang menentang dakwahnya 
adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al-Mala' karena 
mereka seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh: 
"Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa." Padahal Nabi Nuh juga 
mengatakan bahwa ia memang manusia biasa. Allah SWT mengutus seorang 
rasul dari manusia ke bumi karena bumi dihuni oleh manusia. Seandainya 
bumi dihuni oleh para malaikat niscaya Allah SWT mengutus seorang rasul 
dari malaikat.
Berlanjutlah
 peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh. Mula-mula, rezim 
penguasa menganggap bahwa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan sendirinya, 
namun ketika mereka melihat bahwa dakwahnya menarik perhatian 
orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan pekerja-pekerja sederhana, 
mereka mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya 
melalui pengikutnya dan mereka berkata kepadanya: "Tiada yang 
mengikutimu selain orang-orang fakir dan orang-orang lemah serta 
orang-orang hina."
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ
Walaqad arsalnaa nuuhan ila qaumihi innii lakum nadziirun mubiinun
أَنْ لا تَعْبُدُوا إِلا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ
An laa ta'buduu ilaallaha innii akhaafu 'alaikum 'adzaaba yaumin aliimin
فَقَالَ
 الْمَلأ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلا بَشَرًا 
مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا 
بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ 
نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Faqaalal malal-ladziina kafaruu min qaumihi maa 
naraaka ilaa basyaran mitslanaa wamaa naraakaattaba'aka ilaal-ladziina 
hum araadzilunaa baadiyarra'yi wamaa nara lakum 'alainaa min fadhlin bal
 nazhunnukum kaadzibiin(a)
"Dan
 sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): 
'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar 
kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan 
ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah 
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, 
melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak
 melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina 
dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu
 memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa 
kamu adalah orang-orang yang berdusta. " (QS. Hud: 25-27)
قَالَ
 يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي 
وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ 
أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ
Qaala yaa qaumi ara-aitum in kuntu 'ala bai-yinatin
 min rabbii waaataanii rahmatan min 'indihi fa'ummiyat 'alaikum 
anulzimukumuuhaa wa-antum lahaa kaarihuun(a)
وَيَا
 قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ 
وَمَا أَنَا بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ 
وَلَكِنِّي أَرَاكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ
Wayaa qaumi laa asalukum 'alaihi maaalan in ajriya 
ilaa 'alallahi wamaa anaa bithaaridil-ladziina aamanuu innahum mulaaquu 
rabbihim walakinnii araakum qauman tajhaluun(a)
وَيَا قَوْمِ مَنْ يَنْصُرُنِي مِنَ اللَّهِ إِنْ طَرَدْتُهُمْ أَفَلا تَذَكَّرُونَ
Wayaa qaumi man yanshurunii minallahi in tharadtuhum afalaa tadzakkaruun(a)
وَلا
 أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا 
أَقُولُ إِنِّي مَلَكٌ وَلا أَقُولُ لِلَّذِينَ تَزْدَرِي أَعْيُنُكُمْ 
لَنْ يُؤْتِيَهُمُ اللَّهُ خَيْرًا اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا فِي 
أَنْفُسِهِمْ إِنِّي إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Walaa aquulu lakum 'indii khazaa-inullahi walaa 
a'lamul ghaiba walaa aquulu innii malakun walaa aquulu lil-ladziina 
tazdarii a'yunukum lan yu'tiyahumullahu khairan allahu a'lamu bimaa fii 
anfusihim innii idzan laminazh-zhaalimiin(a)
Demikianlah
 telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh dan para bangsawan dari 
kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih persamaan dan 
mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Dengarkan wahai Nuh, jika engkau ingin 
kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang yang beriman kepadamu. 
Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang 
fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang kaya di 
antara mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka 
dalam satu dakwah (majelis)." Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan 
oleh orang-orang kafir dari kaumnya. la mengetahui bahwa mereka 
menentang. Meskipun demikian, ia menjawabnya dengan baik. Ia 
memberitahukan kepada kaumnya bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang 
mukmin, karena mereka bukanlah tamu-tamunya namun mereka adalah 
tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam rumahnya di mana masuk 
di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan  terusir darinya 
orang-orang yang dikehendakinya,  tetapi rahmat terletak dalam rumah 
Allah SWT di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di 
dalamnya. Allah SWT berfirman:
"Berkata
 Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku mempunyai bukti yang 
nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi 
rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu 
menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai 
kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi 
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan 
mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan 
bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang 
tidak mengetahui.' Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, siapakah yang dapat 
menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkan 
kamu mengambil pelajaran?' Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa):
 'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku 
tidak mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan: 
'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku mengatakan kepada
 orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali Allah 
tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui 
apa yang ada pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar 
termasuk orang-orang yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)
Nuh
 mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan logika para nabi 
yang mulia. Yaitu, logika pemikiran yang sunyi dari kesombongan pribadi 
dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka bahwa
 Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan 
mereka tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. 
Selanjutnya, ia tidak memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang 
disampaikannya saat mereka membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain 
Allah) tidak dapat dipaksakan atas seseorang. Ia memberitahukan kepada 
mereka bahwa ia tidak meminta imbalan dari mereka atas dakwahnya. Ia 
tidak meminta harta dari mereka sehingga memberatkan mereka. 
Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah SWT. 
Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada 
mereka bahwa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada 
Allah SWT. Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan 
keterbatasan itu adalah tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir 
orang-orang yang beriman karena dua alasan. Bahwa mereka akan bertemu 
dengan Alllah SWT dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka bagaimana ia 
akan mengusir orang yang beriman kepada Allah SWT, kemudian seandainya 
ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di hadapan Allah SWT. 
Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas keimanan mereka 
dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka. Maka siapakah yang 
dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah SWT seandainya ia mengusir 
mereka?
Demikianlah
 Nabi Nuh menunjukkan bahwa permintaan kaumnya agar ia mengusir 
orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka. Nabi Nuh kembali 
menyatakan bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di luar 
wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan 
kepatuhannya kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang 
merupakan bagian dari kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya 
kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu 
gaib, karena ilmu gaib hanya khusus dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga 
memberitahukan kepada mereka bahwa ia bukan seorang raja, yakni 
kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat. Sebagian ulama 
berargumentasi dari ayat ini bahwa para malaikat lebih utama dari pada 
para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi
 Nuh berkata kepada mereka: "Sesungguhnya orang-orang yang kalian 
pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang mukmin yang 
kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan 
tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh
 Allah SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka. Dialah 
yang membalas amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri 
seandainya aku mengatakan bahwa Allah tidak memberikan kebaikan kepada 
mereka."
Kemudian
 rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang disampaikan oleh Nabi 
Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi Nuh dalam 
flrman-Nya:
قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Qaaluuu yaa nuuhu qad jaadaltanaa fa-aktsarta jidaalanaa fa'tinaa bimaa ta'idunaa in kunta minash-shaadiqiin(a)
قَالَ إِنَّمَا يَأْتِيكُمْ بِهِ اللَّهُ إِنْ شَاءَ وَمَا أَنْتُمْ بِمُعْجِزِينَ
Qaala innamaa ya'tiikum bihillahu in syaa-a wamaa antum bimu'jiziin(a)
وَلا
 يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ 
اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Walaa yanfa'ukum nushhii in aradtu an anshaha lakum in kaanallahu yuriidu an yughwiyakum huwa rabbukum wa-ilaihi turja'uun(a)
"Mereka
 berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan 
kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah 
kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk 
orang-orang yang benar.' Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah yang akan 
mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu 
sekali-kali tidak dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat 
kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, 
sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan 
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. " (QS. Hud: 32-34)
Nabi
 Nuh menambahkan bahwa mereka tersesat dari jalan Allah SWT. Allahlah 
yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka memperoleh 
kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta 
keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
Qaala fabimaa aghwaitanii aq'udanna lahum shiraathakal mustaqiim(a)
"Iblis menjawab: 'Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya 
benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang 
lurus," – (QS. al-A'raf: 16)
Secara
 zahir tampak bahwa makna ungkapan itu berarti Allahlah yang 
menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahwa Allah SWT telah 
memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta 
pertanggungjawabannya. Kita tidak sependapat dengan pandangan 
al-Qadhariyah, al-Mu'tazilah, dan Imamiyah. Mereka berpendapat bahwa 
keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk melakukan perbuatannya, 
baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. Karena bagi mereka, manusia 
adalah pencipta perbuatannya. Dalam hal itu, ia tidak membutuhkan 
Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami 
berpendapat bahwa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia 
membutuhkan bantuan Tuhannya dalam melakukannya[1].
Alhasil,
 Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai dengan arah penciptaannya, 
baik pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan. Ini termasuk 
kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan kebebasannya kemudian Allah
 SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis memilih jalan 
kesesatan maka Allah SWT mengerahkan jalan kesesatan itu padanya, 
sedangkan orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan yang sama 
maka Allah pun mengerahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan
 pun berlanjut, dan perdebatan antara orang-orang kafir dan Nabi Nuh 
semakin melebar, sehingga ketika argumentasi-argumentasi mereka 
terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan sesuatu yang pantas, 
mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani mengejek Nabi 
Allah.
قَالَ الْمَلأ مِنْ قَوْمِهِ إِنَّا لَنَرَاكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Qaalal malaa min qaumihi innaa lanaraaka fii dhalalin mubiinin
"Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: 'Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata." (QS. al-A'raf: 60)
Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para nabi yang agung.
قَالَ يَا قَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلالَةٌ وَلَكِنِّي رَسُولٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Qaala yaa qaumi laisa bii dhalaalatun walakinnii rasuulun min rabbil 'aalamiin(a)
أُبَلِّغُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَأَنْصَحُ لَكُمْ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Uballighukum risalaati rabbii waanshahu lakum waa'lamu minallahi maa laa ta'lamuun(a)
"Nuh
 menjawab: 'Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku 
adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu 
amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku 
mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-A'raf: 
61-62)
Nabi
 Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya, waktu demi 
waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah masa yang 
panjang itu, namun Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya. Nabi Nuh berdakwah 
kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan,
 bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia menjelaskan 
kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di 
dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, 
mereka lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT 
mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga
 mereka dan mereka menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT
 menceritakan apa yang dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا
Qaala rabbi innii da'autu qaumii lailaa wanahaaran
فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلا فِرَارًا
Falam yazidhum du'aa-ii ilaa firaaran
وَإِنِّي
 كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي 
آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا 
اسْتِكْبَارًا
Wa-innii kullamaa da'autuhum litaghfira lahum 
ja'aluu ashaabi'ahum fii aadzaanihim waastaghsyau tsiyaabahum 
wa-asharruu waastakbaruuus-tikbaaran
ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا
Tsumma innii da'autuhum jihaaran
ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
Tsumma innii a'lantu lahum wa-asrartu lahum israaran
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
Faqultuustaghfiruu rabbakum innahu kaana ghaffaaran
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
Yursilissamaa-a 'alaikum midraaran
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Wayumdidkum biamwaalin wabaniina wayaj'al lakum jannaatin wayaj'al lakum anhaaran
"Nuh
 berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan 
siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).
 Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni 
mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan 
menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan 
menyombongkan diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah 
menyeru mereka dengan cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru 
mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku 
katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia
 adalah Maha Pengampun. Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan 
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu 
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.'" 
(QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawaban kaumnya?
قَالَ نُوحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلا خَسَارًا
Qaala nuuhun rabbi innahum 'ashaunii waattaba'uu man lam yazidhu maaluhu wawaladuhu ilaa khasaaran
وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا
Wamakaruu makran kubbaaran
وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلا سُوَاعًا وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Waqaaluuu laa tadzarunna aalihatakum walaa tadzarunna waddan walaa suwaa'an walaa yaghuutsa waya'uuqa wanasran
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلا ضَلالا
Waqad adhalluu katsiiran walaa tazidizh-zhaalimiina ilaa dhalaalan
"Nuh
 berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan 
telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah 
kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan tipu-daya 
yang amat besar. Dan mereka berkata: 'Janganlah sekali-kali kamu 
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali 
meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan 
sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah 
Engkau tambahkan bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'" (QS. 
Nuh: 21-24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ
 أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلا 
خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ
Walaqad arsalnaa nuuhan ila qaumihi falabitsa 
fiihim alfa sanatin ilaa khamsiina 'aaman fa-akhadzahumuth-thuufaanu 
wahum zhaalimuun(a)
"Dan
 sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di
 antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. " (QS. Al-Ankabut: 
14)
Sayangnya,
 jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan jumlah kaum kafir justru 
bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak sampai kehilangan 
harapan. la senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka. 
Namun kaumnya selalu menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan 
penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak 
sampai berputus asa. la tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak 
bahwa usia manusia sebelum datangnya topan cukup panjang. Dan barangkali
 usia panjang bagi Nabi Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.
Datanglah
 hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa orang-orang 
yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi. Allah SWT 
mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka. Maka 
pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la 
berkata:
وَقَالَ نُوحٌ رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الأرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا
Waqaala nuuhun rabbi laa tadzar 'alal ardhi minal kaafiriina dai-yaaran
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi." (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan do'anya dengan alasan:
إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلا يَلِدُوا إِلا فَاجِرًا كَفَّارًا
Innaka in tadzarhum yudhilluu 'ibaadaka walaa yaliduu ilaa faajiran kaffaaran
 
"Sesungguhnya
 jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan 
hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang 
berbuat maksiat dan kafir. " (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
وَأُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Wa-uuhiya ila nuuhin annahu lan yu'mina min qaumika ilaa man qad aamana falaa tabta-is bimaa kaanuu yaf'aluun(a)
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
Waashna'il fulka bia'yuninaa wawahyinaa walaa tukhaathibnii fiil-ladziina zhalamuu innahum mughraquun(a)
"Dan
 diwahyukan kepada Nuh, bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di 
antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman saja, karena itu 
janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan. 
Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan 
janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu. 
Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian
 Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang kafir, yaitu datangnya 
angin topan. Allah SWT memberitahu Nuh, bahwa ia akan membuat perahu ini
 dengan "pengawasan Kami dan wahyu kami," yakni dengan ilmu Allah SWT 
dan pengajaran-Nya, serta sesuai dengan pengarahan-Nya dan bantuan para 
malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
Waashna'il fulka bia'yuninaa wawahyinaa walaa tukhaathibnii fiil-ladziina zhalamuu innahum mughraquun(a)
 
"Dan
 janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu.
 Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 37)
Allah
 SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun kedudukan mereka dan
 apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang Nabi-Nya untuk
 berdialog dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh mulai 
menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun, 
kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya,
 jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.
Para
 mufasir berbeda pendapat tentang besarnya perahu itu, bentuknya, masa 
pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan dengan hal 
tersebut Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah bahwa pembahasan ini tidak 
menarik bagiku karena ia merupakan hal-hal yang tidak perlu 
diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan 
manfaat yang sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi 
yang menyatakan kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui 
hakikat perahu ini, kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada 
kita tentang hal itu. Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, 
berapa panjangnya atau lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui 
selain tempat yang ditujunya setelah ia berlabuh.
Allah
 SWT tidak memberikan keterangan secara detail berkenaan dengan hal 
tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan cerita dan 
tujuannya yang penting. Nabi Nuh mulai membangun perahu, lalu 
orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat
 perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak 
terdapat sungai atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar
 wahai Nuh? Apakah ia akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang 
memungkinkan bagi perahumu untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! 
Orang-orang kafir semakin tertawa terbahak-bahak dan semakin mengejek 
Nabi Nuh.
Puncak
 pertentangan dalam kisah Nabi Nuh tampak dalam masa ini. Kebatilan 
mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran. Mereka 
menganggap bahwa dunia adalah milik mereka dan bahwa mereka akan selalu 
mendapatkan keamanan dan bahwa siksa tidak akan terjadi. Namun anggapan 
mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin topan menjungkirbalikkan 
semua perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin mengejek balik 
orang-orang kafir dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT 
berfirman:
وَيَصْنَعُ
 الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلأ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ 
قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا 
تَسْخَرُونَ
Wayashna'ul fulka wakullamaa marra 'alaihi malaa 
min qaumihi sakhiruu minhu qaala in taskharuu minnaa fa-innaa naskharu 
minkum kamaa taskharuun(a)
فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Fasaufa ta'lamuuna man ya'tiihi 'adzaabun yukhziihi wayahillu 'alaihi 'adzaabun muqiimun
"Dan
 mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap kali pemimpin kaumnya 
berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: 'Jika kamu 
mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana 
kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan 
ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang 
kekal." (QS. Hud: 38-39)
Selesailah
 pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah Allah SWT. Allah SWT 
mewahyukan kepada Nabi Nuh bahwa jika ada yang mempunyai dapur, maka ini
 sebagai tanda dimulainya angin topan. Di sebutkan bahwa tafsiran dari 
at-Tannur ialah oven (alat untuk memanggang roti) yang ada di dalam 
rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu merupakan 
perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu 
mulai menunjukkan tanda-tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi 
Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk 
menaikinya. Jibril turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang 
buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan 
lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi Nuh telah membuat kandang binatang 
buas.
Jibril
 menggiring setiap dua binatang yang berpasangan agar setiap spesies 
binatang tidak punah dari muka bumi. Ini berarti bahwa angin topan telah
 menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak demikian maka buat apa ia 
harus mengangkut jenis binatang-binatang itu. Binatang-binatang mulai 
menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya. Jumlah
 orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:
حَتَّى
 إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ 
كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ 
الْقَوْلُ وَمَنْ آمَنَ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلا قَلِيلٌ
Hatta idzaa jaa-a amrunaa wafaarattannuuru 
qulnaaahmil fiihaa min kullin zaujainiitsnaini wa-ahlaka ilaa man sabaqa
 'alaihil qaulu waman aamana wamaa aamana ma'ahu ilaa qaliilun
 
"Hingga
 apabila perintah Kami datang dan tannur telah memancarkan air, Kami 
berfirman: 'Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang 
sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang 
terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang yang 
beriman.' Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. " (QS. Hud:
 40)
Istri Nabi Nuh
 tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak ikut menaiki perahu, dan 
salah satu anaknya menyembunyikan kekafirannya dengan menampakkan 
keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya. Mayoritas 
manusia saat itu tidak beriman sehingga mereka tidak turut berlayar. 
Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas 
berkata: "Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman 
kepadanya."
Air
 mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi. Tiada satu celah pun 
di bumi kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit turunlah hujan
 yang sangat deras yang belum pernah turun hujan dengan curah seperti 
itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu sesudahnya. Lautan 
semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi. Perut 
bumi bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi untuk 
pertama kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah 
SWT berfirman:
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ
Fafatahnaa abwaabassamaa-i bimaa-in munhamirin
وَفَجَّرْنَا الأرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ
Wafajjarnaal ardha 'uyuunan fal taqal maa-u 'ala amrin qad qudir(a)
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
Wahamalnaahu 'ala dzaati alwaahin wadusurin
"Maka
 Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. 
Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah 
air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami 
angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. (QS. 
al-Qamar: 11-13)
Air
 meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui ketinggian pohon, 
bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti dengan air. 
Ketika mula-mula datang topan, Nabi Nuh memanggil-manggil putranya. 
Putranya itu berdiri agak jauh darinya. Nabi Nuh memanggilnya dan 
berkata:
وَهِيَ
 تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ 
فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
Wahiya tajrii bihim fii maujin kal jibaali wanaada 
nuuhun abnahu wakaana fii ma'zilin yaa bunai-yaarkab ma'anaa walaa takun
 ma'al kaafiriin(a)
 
"Dan bahtera itu berlayar membawa mereka, dalam gelombang (yang 
tingginya), laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu 
berada di tempat, yang jauh terpencil: 'Hai anakku, naiklah (ke kapal) 
bersama kami, dan janganlah kamu, berada bersama orang-orang yang 
kafir'." –  (QS. Hud: 42)
Percakapan Nabi Nuh dan  anaknya seperti tertuang dalam firman Alloh :
قَالَ
 سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لا عَاصِمَ 
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا 
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Qaala saaawii ila jabalin ya'shimunii minal maa-i 
qaala laa 'aashimal yauma min amrillahi ilaa man rahima wahaala 
bainahumaal mauju fakaana minal mughraqiin(a)
 
Perhatikanlah
 ungkapan AI-Qur'an al-Karim: Dan gelombang menjadi penghalang antara 
keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dialog mereka. Nabi Nuh mencari, 
namun ia tidak mendapati anaknya. Ia tidak menemukan selain gunung 
ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh 
ddak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT 
berkehendak—sebagai rahmat dari-Nya—untuk menenggelamkan si anak jauh 
dari penglihatan si ayah. Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si 
ayah. Anak Nabi Nuh mengira bahwa gunung akan mencegahnya dari kejaran 
air namun ia pun terkejar dan tenggelam. Angin topan terus berlanjut dan
 terus membawa perahu Nabi Nuh. Setelah berlalu beberapa saat, 
pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah sehingga tiada 
kehidupan kecuali sebagian kayu yang darinya Nabi Nuh membuat perahu di 
mana ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga berbagai binatang 
yang ikut bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita untuk 
membayangkan kedahsyatan topan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan
 Pencipta. Perahu itu berlayar dengan mereka dalam ombak yang laksana 
gunung. Sebagian ilmuwan meyakini bahwa terpisahnya beberapa benua dan 
terbentuknya bumi dalam rupa seperti sekarang adalah sebagai akibat dari
 topan yang dahulu.
Topan
 yang dialami oleh Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman di 
mana kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah 
Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar bumi tetap tenang dan 
menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di al-Judi, yaitu 
nama suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah 
gunung yang terletak di Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi 
kembali menjadi tenang dan air menjadi surut. Topan telah menyucikan 
bumi dan membasuhnya. Allah SWT berfirman:
وَقِيلَ
 يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ 
وَقُضِيَ الأمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا 
لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Waqiila yaa ardhuubla'ii maa-aki wayaa samaa-u 
aqli'ii waghiidhal maa-u waqudhiyal amru waastawat 'alal juudii-yi 
waqiila bu'dal(n)-lilqaumizh-zhaalimiin(a)
 
"Dan
 difirmankan: 'Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) 
berhentilah,' dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan 
bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan: 'Binasalah 
orang-orang yang lalim. " (QS. Hud: 44)
Dan
 air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali ke celah-celah 
bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah hancur 
sepenuhnya. Dikatakan bahwa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita 
selama empat puluh tahun sebelum datangnya topan, karena itu tidak ada 
yang terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.
Firman-Nya:
 Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, yakni ia berlabuh di 
atasnya. Di sebutkan bahwa hari itu bertepatan dengan hari Asyura' (hari
 kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa dan memerintahkan
 orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa juga.
Dikatakan:
 'Binasalah orang-orang yang lalim, 'yakni kehancuran bagi mereka. Topan
 menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya. Lenyaplah peristiwa 
yang mengerikan dengan lenyapnya topan. Dan berpindahlah pergulatan dari
 ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam. Nabi Nuh 
tidak mengetahui saat itu bahwa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap 
bahwa anaknya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan 
diri dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri 
percakapan keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak 
mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu 
bergeraklah naluri kasih sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT 
berfirman:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
Wanaada nuuhun rabbahu faqaala rabbi innaabnii min ahlii wa-inna wa'dakal haqqu wa-anta ahkamul haakimiin(a)
 
"Dan
 Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya 
anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang 
benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. " (QS. Hud: 45)
Nuh
 ingin berkata kepada Allah SWT bahwa anaknya termasuk dari keluarganya 
yang beriman dan Dia menjanjikan untuk menyelamatkan keluarganya yang 
beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan kepada Nuh keadaan sebenarnya
 yang ada pada anaknya:
قَالَ
 يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ 
فَلا تَسْأَلْنِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ 
تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
Qaala yaa nuuhu innahu laisa min ahlika innahu 
'amalun ghairu shaalihin falaa tasalnii maa laisa laka bihi 'ilmun innii
 a'izhuka an takuuna minal jaahiliin(a)
"Hai
 Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan 
akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, 
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui 
(hakikatnya). Aku memperingatkan kepa-damu supaya kamu jangan termasuk 
orang-orang yang tidak berpengetahuan.'" (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi
 berkata—menukil dari guru-gurunya dari kalangan ulama—ini adalah 
pendapat yang kami dukung: "Anaknya berada di sisinya (yakni bersama 
Nabi Nuh dan dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak berkata 
kepada Tuhannya: "Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku," kecuali 
karena ia memang menampakkan hal yang demikian kepadanya. Sebab, 
mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir kemudian ia meminta 
agar sebagian mereka diselamatkan."
Anaknya
 menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan. Lalu Allah SWT 
memberitahukan kepada Nuh ilmu gaib yang khusus dimiliki-Nya. Yakni 
Allah SWT memberitahunya keadaan sebenarnya dari anaknya. Allah SWT 
ketika menasihatinya agar jangan sampai ia menjadi orang-orang yang 
tidak mengerti. Dia ingin menghilangkan darinya anggapan bahwa anaknya 
beriman kemudian mati bersama orang-orang kafir.
Di
 sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang 
mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh bersama anaknya. Allah SWT 
ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia bahwa anaknya bukan termasuk 
keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah 
bukanlah hubungan hakiki di antara manusia. Anak seorang nabi adalah 
anaknya yang meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan nabi, dan 
bukan anaknya yang menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika 
demikian seorang mukmin harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini 
juga harus di teguhkan hubungan sesama akidah di antara orang-orang 
mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan sesama mereka dibangun 
berdasarkan darah, ras, warna kulit, atau tempat tinggal.
Nabi
 Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat kepada-Nya. Kemudian 
Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk turun dari perahu 
dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT dan 
penjagaan-Nya:
قَالَ
 رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ 
وَإِلا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Qaala rabbi innii a'uudzu bika an asalaka maa laisa lii bihi 'ilmun wa-ilaa taghfir lii watarhamnii akun minal khaasiriin(a)
قِيلَ
 يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ 
مِمَّنْ مَعَكَ وَأُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِنَّا عَذَابٌ
 أَلِيمٌ
Qiila yaa nuuhu ihbith bisalaamin minnaa 
wabarakaatin 'alaika wa'ala umamin mimman ma'aka wa-umamun 
sanumatti'uhum tsumma yamassuhum minnaa 'adzaabun aliimun
"Nuh
 berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari 
memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikatnya). 
Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh 
mbelas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang 
merugi. " (QS. Hud: 47) "Difirmankan: 'Hai Nuh, turunlah dengan selamat 
dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) 
dari orang-orang yang bersamamu.'" (QS. Hud: 48)
Nabi
 Nuh turun dari perahunya dan ia melepaskan burung-burung dan 
binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke bumi. Setelah itu, 
orangorang mukmin juga tumn. Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas tanah 
dan bersujud. Saat itu bumi masih basah karena pengaruh topan. Nabi Nuh 
bangkit setelah salatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat 
ibadah yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan 
api dan duduk-duduk di sekelilinginya. Menyalakan api sebelumnya di 
larang di dalam perahu karena dikhawatirkan api akan menyentuh 
kayu-kayunya dan membakarnya. Tak seorang pun di antara mereka yang 
memakan makanan yang hangat selama masa topan.
Berlalulah
 hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an tidak lagi 
menceritakan kisah Nabi Nuh setelah topan sehingga kita tidak mengetahui
 bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh bersama kaumnya. Yang kita 
ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahwa Nabi Nuh mewasiatkan kepada 
putra-putranya saat ia meninggal agar mereka hanya menyembah Allah SWT.
Demikian kisah  Nabi Nuh AS  semoga bermanfaat.
_________________________________________
 Sumber  : Al Qur'anul Karim Surah Nuh,Hud,Al-Qamardan Al-A'raaf
 








 
 
 



Tidak ada komentar:
Posting Komentar