
Alhamdulillah,
 segala puji bagi Allah yang telah memuliakan agama Islam dan umatnya 
serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. Dan
 adalah suatu kepastian bahwa umat Islam akan berjaya di bawah naungan 
al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari 
kiamat.  Walaupun orang-orang kafir dan musyrik membencinya.
Berbagai syubhat dan tuduhan buruk telah banyak dilontarkan oleh 
orang-orang kafir dan orientalis dari kalangan Nasrani atau Kristen. Dan
 ikut pula digembar-gemborkan oleh para murtaddin (orang-orang murtad) 
yang begitu bangga dengan kemurtadannya seperti nampak pada 
website-website mereka. Mereka melontarkan syubhat baik dengan cara 
halus dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an dan membawanya kepada 
makna-makna yang mereka kehendaki ataupun cara kasar dengan cacian dan 
terang-terangan menjelek-jelekan Islam dan pembawa risalahnya yaitu 
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun yang membuat takjub, justru lontaran syubhat-syubhat tersebut 
bagaikan menggosok emas yang menyebabkan Islam semakin tampak kemilau 
dan membuka mata orang-orang yang lalai akan keagungannya. Semakin 
terpatri dalam dada apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya 
(agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak 
menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang 
kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32)
Tentu tidak mengherankan jika mereka tidak takut akibat buruk menimpa
 mereka seandainya mereka menghayati ayat ini. Bagaimana akan takut, 
bahkan memang mereka tidak beriman terhadap Allah, al-Qur’an dan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barangkali tidak asing bagi sebagian kita, terutama pengguna 
internet, forum, milis dan email, bagaimana begitu banyak dan gigih 
syubhat dan tuduhan buruk terhadap Islam dan Rasulullah shalallahu 
‘alaihi wa sallam oleh orang-orang kafir untuk memalingkan kaum muslimin
 dari keyakinan agama mereka. Terutama tuduhan buruk terhadap al-Qur’an 
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah 
Islam, karena dengan dirusakkannya kehormatan beliau, otomatis batal 
pula ajaran yang beliau bawa. Di antara syubhat mereka adalah bahwa 
al-Qur’an adalah buatan Muhammad shallallau ‘alaihi wa sallam, beliau 
dituduh berakhlak bejat,  al-Qur’an banyak memiliki kontradiksi, 
bertentangan dengan ilmu dan fakta alam serta berbagai tuduhan lainnya.
Berikut ini adalah jawaban-jawaban terhadap berbagai syubhat yang bantahan ini disampaikan oleh 
Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dari 
situs Majalah Qiblati.
 Beliau menjawab berbagai pertanyaan dan tuduhan yang ditujukan kepada 
Qiblati. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan 
harap bersabar membacanya karena sangat panjang dimana pada situs 
aslinya terbagi dalam 7 seri. Ditata ulang seperlunya menyesuaikan 
format penulisan di blog ini.**
_
Bagian 1
Syubhat: Assalamu’alaikum, syaikh mamduh yang ana 
muliakan, ana dapat syubhat dari orang Nasrani, kenapa di dalam 
al-Qur’an ada ayat yang menggunakan kata-kata “KAMI”; orang pertama 
dalam bentuk jamak bukan tunggal, berarti benarlah Tuhannya orang 
Nasrani tentang TRINITAS, Tuhan bapak, anak dan roh kudus? Mohon dijawab
 agar umat Islam mengetahui jawaban syubhat ini. Jazakallahu khairan. 
+628***541****
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Sesungguhnya, termasuk permasalahan terbesar pada syubhat para 
pendeta Nasrani yang mereka tanamkan kepada akal para pengikutnya adalah
 bahwa mereka jahil (bodoh) terhadap bahasa Arab. Lalu mereka 
menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang mulia kepada bahasa mereka 
kemudian mengeluarkan hukum jahil mereka berdasarkan bahasa mereka, 
bukan berdasarkan kekhususan bahasa, dan lisan Arab. Kemudian 
orang-orang awam Nasrani menukil kebodohan tersebut dari pendeta-pendeta
 mereka.
Kata [نَحْنُ], nahnu (kami), dalam bahasa Arab tidak harus bermakna 
lebih dari satu, karena itu adalah bentuk penghormatan menurut bangsa 
Arab dalam bahasa mereka. Para Raja dan panglima, saat mereka menetapkan
 keputusan, maka mereka akan menetapkan keputusan tersebut dengan 
menyebut kata nahnu (kami), padahal dia hanya satu orang. Akan tetapi 
kata itu digunakan untuk mengungkapkan pengagungan dan kedudukan tinggi.
 Hal tersebut terus berlangsung hingga hari ini pada sebagian pemimpin 
bangsa Arab. Oleh karena itu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala 
menurunkan al-Qur’an yang mulia, Dia menurunkannya dengan lisan Arab 
hingga bangsa Arab kala itu tidak pernah memprotes satu kata atau ayat 
pun, karena mereka tahu maksud dari al-Qur’an yang mulia. Mereka hanya 
menuduh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan tuduhan-tuduhan, 
diantaranya adalah tukang sihir atau gila. Akan tetapi tidak ada seorang
 pun yang berani menuduhnya tentang ayat-ayat al-Qur’an, karena 
pengetahuan mereka bahwa ayat-ayat tersebut sesuai dengan bahasa dan 
lisan mereka.
Jika bangsa Arab menggunakan lafazh nahnu (kami) karena mengagungkan 
urusan mereka, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak 
dengan pengagungan itu dan lebih layak dengannya dari setiap orang. Oleh
 karena itu, kata nahnu (kami) adalah untuk pengagungan dalam ayat-ayat 
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada manusia, bukan untuk 
penggandaan.
Di antara perkara yang menolak kerancuan pemahaman tersebut adalah 
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal terhadap hak 
Dzat-Nya secara nyata dan berfirman kepada manusia dengan firmanNya 
Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2): 163)
Dan firmanNya:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlash (112): 1)
Maka yang demikian itu menunjukkan akan kebatilan keyakinan Trinitas,
 berbeda dengan klaim mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah 
kepada mereka.
Oleh karena itu, sesungguhnya saya menasihatkan kepada setiap orang 
Nasrani yang mencari kebenaran untuk mempelajari kekhususan bahasa dan 
lisan Bangsa Arab yang mereka itu tidak pernah mengingkari perbedaan 
bentuk pembicaraan dalam al-Qur’an yang mulia, dimana kadang datang 
dengan bentuk jamak (plural), dan kadang dalam bentuk mufrad (tunggal). 
Jika para pembesar yang ahli bahasa, fasih dalam berbicara dan bersya’ir
 di zaman turunnya al-Qur’an tidak pernah walaupun sekali mengingkari 
(memprotes) macam-macam penggunaan bentuk pembicaraan dalam al-Qur`an 
yang mulia, maka bagaimana mungkin selain mereka, yang bukan bangsa 
Arab, juga bukan dari kaum muslimin pada zaman ini mengingkari ragam 
bentuk pembicaraan al-Qur’an yang mulia?!*
_
Syubhat: Assalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Saya pembaca majalah Qiblati dan rubrik yang paling saya sukai adalah
 yang berkenaan dengan masalah kristenisasi, berhubung saya juga adalah 
pengajar kristologi di sebuah tadrib ad-duaat di Makassar yang 
senantiasa mengirim dai-dainya ke daerah misi di wilayah Timur 
Indonesia.
Saya sering menerima pertanyaan dari pendeta, khususnya mengenai 
syubhat-syubhat mereka terhadap al-Qur`an. Sementara ini saya sedang 
menulis buku menjawab pertanyaan para misionaris mengenai keraguan 
mereka akan ajaran Islam. Ada satu hal yang belum bisa saya jelaskan 
yakni mereka mengatakan bahwa dalam al-Qur`an juga terdapat pertentangan
 ayat. Mereka mencontohkan dalam QS. As-Sajadah: 5
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu 
naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu 
tahun menurut perhitunganmu”
Menurut misionaris ini bertentangan dengan QS.Al-Maarij: 4
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
Dalam ayat 5 QS. As-Sajadah kadar urusan naik ke langit disebutkan 
sama dengan 1000 tahun sementara dalam ayat 4 QS. Al-Maarij disebutkan 
50.000 tahun. Maka bagaimanakah jawabannya? Saftani Muhammad 
<*******@yahoo.co.id>
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu
Pertama, saya sampaikan salam kepada Anda dan para saudara yang 
bersama Anda atas peran Anda dalam memberikan hidayah kepada manusia dan
 menghadapi usaha pemurtadan para misionaris. Mudah-mudahan Allah 
membalas Anda dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya dua ayat tersebut menjelaskan bahwa ukuran sehari di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam.
Macam yang pertama, maka ayat pada surat al-Ma’arij (70) tersebut 
berbicara tentang kejadian hari kiamat dan kedahsyatannya. Ayat-ayat 
tersebut berbicara tentang hari kiamat dan kedahsyatannya, dan apa yang 
terjadi padanya dari kejadian-kejadian besar, dan tanda-tanda kekuasaan 
yang jelas. Termasuk bagian dari kedahsyatannya adalah panjangnya hari 
tersebut yang menyamai lima puluh ribu tahun dari tahun dunia. Dan ayat 
tersebut adalah ayat keempat dari surat al-Ma’arij (70), dimana Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ 
(١) لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (٢) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ 
(٣) تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ 
مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا (٥) 
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (٦) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (٧) يَوْمَ تَكُونُ 
السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ (٨) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ (٩) وَلا 
يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا (١٠
“Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa, 
orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (yang datang)
 dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan 
Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima 
puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. 
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan 
Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). Pada hari ketika langit 
menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu 
(yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan 
temannya,..” (QS. Al-Ma’arij: 1-10)
Dan yang menunjukkan atasnya adalah hadits Abu Hurairah Radiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
« مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا 
فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ 
الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا 
فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ ، 
كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ 
خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى 
سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ »
“Tidak ada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan darinya 
haknya, kecuali jika pada hari kiamat akan dilempengkan untuknya 
lempengan-lempengan dari api neraka, lalu dia dipanggang di atas api 
neraka Jahannam, kemudian dicoskan ke lambungnya, kening dan 
punggungnya. Setiap kali menjadi dingin, maka dikembalikan lagi, pada 
satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun. Hingga diputuskan 
antara para hamba lalu dia melihat jalannya, apakah ke sorga ataukah ke 
neraka.” (HR. Muslim (987))
Ibnu ‘Abbas Radiallahu Anhuma berkata, ‘Ini adalah hari kiamat, Allah
 menjadikannya atas orang-orang kafir seukuran lima puluh ribu tahun.’ 
(Diriwayatkan at-Thobariy di Jami’ul Bayan (23/602))
Macam yang kedua; yaitu ayat-ayat yang tidak berbicara tentang 
panjangnya hari kiamat, akan tetapi berbicara tentang panjangnya 
hari-hari yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ukurannya 
dibandingkan dengan hari-hari dunia yang kita menghitungnya adalah 
hari-hari yang Allah mengadakan makhluk dan mengaturnya, maka Allah 
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa satu hari disisi-Nya setara dengan
 seribu tahun dari hari-hari kita ini. Hal itu juga datang dalam surat 
al-Hajj (22), pada ayat ke 47, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala 
berfirman:
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ 
وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ
 سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal 
Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di
 sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Juga datang pada surat as-Sajdah (32), pada ayat kelima, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
دَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ 
إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ 
أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ – ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ 
وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu 
naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
 perhitunganmu yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib 
dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah (32): 5-6)
Dan tampak dengan jelas pada bentuk kedua ayat tersebut bahwa 
pembicaraan di dalamnya adalah tentang hari-hari Allah yang di dalamnya 
terdapat penciptaan dan pengaturan-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala 
menyifatinya dengan menyatakan bahwa ukurannya mencapai seribu tahun 
dari hari-hari dunia.
Dengan ini, menjadi jelaslah kedua macam bentuk yang lalu dari 
ayat-ayat tersebut hanyalah berbicara tentang hari-hari yang berbeda, 
bukan hari-hari yang satu. Maka hari yang ada pada ayat al-Ma’arij (70) 
adalah hari pada hari kiamat, dan ukurannya adalah lima puluh ribu 
tahun, adapun hari pada dua ayat surat al-Hajj (22) dan as-Sajdah (32) 
adalah hari di sisi Allah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurusi 
berbagai perkara di dalamnya, dan ukurannya adalah seribu tahun.
Dari sini jelas, bahwa tidak ditemukan kontradiksi di antara 
ayat-ayat tersebut, akan tetapi kontradiksi itu ada pada akal-akal para 
pendeta Nasrani yang menyangka bahwa al-Qur’an yang mulia seperti 
kitab-kitab suci mereka yang harus ada kontradiksi sebagian terhadap 
sebagian yang lain.*
_
Syubhat: Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya 
adakah hukum di kristen tentang larangan makan babi, saya pernah dengar 
katannya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan kristen, dia 
selalu tanya “kenapa kalian tidak boleh makan babi”. Dan “katanya nabimu
 dulu senang makan babi sehinga kalian sekarang gak boleh makan,” mohon 
bantu jawab fitnah ini… wassalamu ‘alaikum. wr. wb. (IVAN, Batam)
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah 
mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan 
itu najis, tidak halal bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ 
إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً 
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan 
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, 
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging 
babi, karena sesungguhnya semua itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145)
Tidak disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain firman-Nya: 
“Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya 
dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157)
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah 
buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini 
adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan 
manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui 
rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang 
penemuan-penemuan modern yang menemukan bahwa pada babi terdapat 
faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan. 
Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan 
melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi 
(T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh 
darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa 
mematikan.] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di 
dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat
 cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging 
manusia dengan bentuk yang kedokteran hingga hari ini belum mampu 
membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu 
akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine 
[footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi. Diketahui 
bahwa Babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit: 1. influenza (flu 
babi) 2. Balantidium Dysentery 3. Fasciolopsis Buski 4. Taenia Solium 
(cacing pita) 5. Ascaris (ular perut) 6. Trichinella Spiralis 
7. Zoonoses], dari sini tampaklah hikmah pengharaman daging babi dalam 
Islam.
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse 
Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine) 
akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot, 
terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya 
akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama 
bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan 
pengharaman, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan 
penyakit ini pada babi akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian
 hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan
 diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan bahwa 
pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis 
pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu 
memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at 
itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa 
terdapat madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu 
pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi 
dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada 
waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia, 
maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru 
bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di 
seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan 
menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah kedustaan yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum, 
sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya 
babi ini:
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi 
sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: 
“Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami 
memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah 
roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang 
kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau 
dan mati lemas di dalamnya.’
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing 
dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan 
diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa 
yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi 
kembali lagi ke kubangannya.”
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8) 
Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of 
them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but
 divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because 
he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you. 
And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he 
is unclean unto you.  And the swine, though he divide the hoof, and be 
clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their
 flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are 
unclean to you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan 
pada edisi Terjemahan Resmi: 
‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu 
makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena 
memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga 
pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram 
itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak 
berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan,
 karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi 
tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu 
janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram 
semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8)
Terjemahan inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari: 
‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*
_
Syubhat: Qiblati memang “HEBAT” tolong kupas tuntas 
agama NASRANI biar dia gak nyari-nyari kelemahan agama kita dan kasih 
kisah muallaf. Maju terus pantang mundur..!! Faturahman, Madinah
Jawab: Kami berterima kasih kepada Anda atas nasihat
 ini, dan kami berada di atas jalan kami untuk merealisasikan permintaan
 tersebut Insya Allah, bersamaan dengan kebutuhan kami terhadap do’a 
Anda agar Allah memudahkan kepentingan kita ini, sebagaimana kita tidak 
lupa untuk berdo’a kepada orang Nasrani agar mendapatkan hidayah. Kita 
sangat berambisi atas hidayah mereka. Kami adalah pembawa rahmat bagi 
para hamba-Nya, dan kami mendakwahi manusia dengan cara yang terbaik, 
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita. [*]
_
Bagian 2
Syubhat: Mengapa shalat pada agama Anda dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham kecuali bahasa Arab?
Jawab: Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda 
yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui jawabannya. Anda 
harus mengetahui bahwa menurut kaum muslimin, di dalam shalat terdapat 
tiga perkara:
Pertama, membaca al-Qur’an, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan saya jelaskan nanti sebabnya apa.
Kedua, lafazh-lafazh dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat 
tauqifiy (paten), tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.
Ketiga, do’a, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau 
tidak hafal doa yang berhasa Arab) untuk berdo’a dengan bahasanya, 
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memahami seluruh bahasa. Dialah yang 
menciptakannya dan Dialah yang mengadakannya (tetapi tetap diajurkan 
untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang ada dalam al-Quran dan Sunnah).
Dari sini kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun 
dalam do’a di dalam shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui 
bahasa Arab. Ada pun membaca al-Qur`an, maka tidak boleh kecuali dengan 
bahasa Arab, sama saja apakah di dalam shalat atau pun di luar shalat, 
karena sebab berikut:
1. Karena al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan 
tidak boleh bagi kami untuk mengubah atau mengganti firman itu walaupun 
satu huruf.
2. Karena membaca setiap huruf al-Qur`an adalah bernilai satu 
kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya 
al-Qur`an diterjemahkan, maka pastilah jumlahnya akan bertambah atau 
berkurang.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya (al-Qur’an) dari
 penggantian dan perubahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bagi setiap orang 
untuk membaca al-Qur’an dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal 
itu akan menjadikan perubahan al-Qur’an seperti yang terjadi pada Taurat
 dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga 
al-Qur’an dari pengubahan dengan bahasa Arab.
4. Bolehnya membaca al-Qur’an dengan sejumlah bahasa itu akan membawa
 kepada kerancuan besar dalam makna al-Qur’an, karena manusia akan 
berbeda dalam menerjemahkan. Masing-masing orang akan mengklaim bahwa 
terjemahannyalah yang benar, yang kemudian terpecahbelahlah kaum 
muslimin.
Terakhir, saya ingin Anda memahami bahwa asal syubhat ini adalah 
kedengkian yang disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani  
terhadap keunggulan bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri 
Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan 
kekuasaan kepada kaum muslimin di negeri Andalusia, mereka mendirikan 
satu peradaban yang menyinari seluruh negeri Eropa, dan menyebarkan 
agama Islam serta bahasa Arab di antara putra-putra Andalus. Bersamaan 
dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar orang-orang awam di Eropa 
kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di Universitas 
Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum muslimin yang telah menyalakan 
lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu 
dan karya-karya mereka.
Adalah para pemuda dan pencari ilmu serta orang-orang terpelajar di 
Eropa melahap bahasa Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa 
penakluk yang dengan kekuatan pedangnya menguasai pendidikan, akan 
tetapi karena bahasa itu adalah bahasa peradaban yang tegak, maka tidak 
ada jalan untuk bisa mendapatkannya kecuali dengan menguasainya.
Bahkan Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam 
bahasa Arab. Orang-orang Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa 
membacanya. Sebagaimana  Bapa Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa 
itu melihat kepada para pemuda Eropa yang keluar dengan diam-diam dari 
peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya meletakkan kepalanya di 
antara dua tapak tangannya, seperti orang-orang lain yang fanatik 
terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan perjalanan
 peradaban. Dia menulis:
“Sesungguhnya orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait sya’ir Arab 
dan periwayatan mereka. Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan 
filosof Arab. Bukan dengan tujuan untuk mendebat mereka, akan tetapi 
untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan anggun. Di manakah 
orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan bahasa Latin? 
Atau mempelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci? Duhai 
ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca 
buku-buku berbahaa Arab, dan mempelajarinya dengan penuh semangat. 
Mereka mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak 
menghargai pendidikan keNasranian yang keberadannya sudah tidak layak 
untuk dipentingkan. Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa, 
hingga kepada bahasa mereka sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan 
sulit mendapatkan satu orang saja yang bisa menulis surat kepada 
temannya dengan bahasa latin.” (Tarikh Andalus (123))
Ya, orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai
 orang-orang Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila 
dibandingkan dengan orang yang mengesakan Allah dan masuk Islam telah 
memilih bahasa Arab yang tidak diwajibkan atas mereka. Inilah yang 
diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di atas.
Sekarang, marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam 
mempergauli selain muslim dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang 
Katolik saat Granada jatuh, dimana mereka mengharamkan kaum muslimin 
untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu mereka mewajibkan bahasa mereka
 dengan paksa. Barangsiapa ditemukan membawa buku berbahasa Arab, maka 
dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka pun membakar ribuan
 buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama), termasuk ilmu 
duniawi.
Ini semua menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan 
perbedaan Islam dengan Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber 
kebencian terhadap bahasa Arab?*
_
Syubhat: Anda mengklaim bahwa ajaran Islam yang 
pokok adalah “Tauhid.”  Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah dan 
hanya kepada Dialah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan” 
(QS.1 Al-Fatihah 5).  Apakah kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai 
dengan konsep Tauhid?
Jawab: Ya, sesuai dengan konsep tauhid. Karena 
berkumpulnya kaum muslimin di sekitar satu rumah yaitu Baitullah, dan 
menghadapnya mereka dengan satu kiblat yang sama yaitu Ka’bah, dan 
bacaan mereka hanya kepada satu kitab yaitu al-Qur’an, semua itu turut 
andil dalam menjaga persatuan kaum muslimin agar tidak terpecah belah 
dan berselisih.
Ka’bah tidak lain hanyalah kiblat, yang kaum muslimin menghadap 
kepadanya dalam shalat mereka atas perintah Allah. Itu seperti pandangan
 persatuan mereka, serta kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya, 
serta thawaf di sekitarnya adalah demi menjalankan perintah Allah. Kaum 
Muslimin mengetahui bahwa itu hanyalah batu, yang tidak mendatangkan 
madharat, tidak juga memberi manfaat, akan tetapi kaum muslimin 
melaksanakan perintah Allah sekalipun belum mengetahui hikmah di 
belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari 
“hanya beribadah kepada Allah pencipta alam semesta”.
Tidaklah Islam itu mengajak kecuali hanya menyembah, beribadah dan 
taat kepada Allah saja, serta mencabut segala peribadatan kepada 
selain-Nya, manusia atau pun batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ 
آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ 
لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا 
حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk
 disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan 
mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu 
kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu 
kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak
 (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*
_
Syubhat: Sesungguhnya saya tidak mendapatkan 
seseorang dari para ulama dan da’i kaum muslimin yang kami temui di 
Perancis yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak 
menyulitkan mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal 
aslinya adalah anggur yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka 
selalu berputar sekitar perubahan kondisi anggur, karena dengan 
menjadikannya khomer, maka itu memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin 
filsafat tersebut, saya ingin mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam 
rincian; bagaimana sesuatu yang diturunkan dari anggur atau apel bisa 
menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi Anda untuk menjawab kami? 
(Marcell, Perancis)
Jawab: Pertama, izinkanlah saya untuk menghaturkan 
terima kasih kepada setiap ulama dan para da’i yang telah menjawab Anda.
 Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala 
membalas mereka dengan kebaikan. Ada pun berkaitan dengan pertanyaan 
Anda, maka sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka 
janganlah Anda menyangka bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu 
adalah pengaburan yang dilakukan oleh syetan kepada Anda. Dari jawaban 
saya, Anda akan yakin dengan kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab, 
saya katakan bahwa dengan logika aneh seperti itu, yang Anda ingin 
memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan mengalami kekalahan dalam 
pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk berani mengakui 
kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda ingin 
memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri 
Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu 
adalah dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat saya jawab 
dengan logika yang sama, maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya 
pernikahan bapak-bapak dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini 
menjadi semakin kuat atas kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi 
Anda.* [Alhilyahblog: 
Iyas bin Mu'awiyah al-Muzzani dengan kecerdasannya juga pernah menjawab pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan ini]
_
Syubhat: Mengapa saat kaum muslimin berhijrah dari 
Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya orang-orang 
Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir 
orang-orang Yahudi, Muhammad -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan 
hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari 
Baitul Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?
Jawab: Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah kiblat 
untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi
 kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah 
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul 
Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk 
menolak masuk Islam, dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan 
mereka bahwa pengarahan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang
 yang bersamanya ke kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa 
agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan kiblat mereka 
adalah kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang 
benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi 
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama 
mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka 
untuk masuk Islam.
Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin 
bangsa Arab yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk 
mengagungkan Baitul Haram dan menjadikannya sebagai Ka’bah dan kiblat 
mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit saat mereka mendengar dari 
orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan perkara ini dan 
menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah Rasulullah
 Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke
 langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, 
sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang 
diridhai-Nya. Kemudian turunlah al-Qur’an mengabulkan apa yang ada di 
dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah 
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu dengan firman-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ 
وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ 
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ 
وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka 
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. 
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu 
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ketika kaum muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari 
mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan
 wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan 
menyempurnakan shalat mereka ke arah kiblat yang baru.
Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang 
membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau dari kiblat 
mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan 
kebanggaan mereka kepadanya.
Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada 
kaum muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya 
kiblat dari Ka’bah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini 
adalah sebuah kejadian besar di hati mereka dan memiliki pengaruh besar 
dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas siapa yang 
mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan siapa yang membelot. 
Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka.
 Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin 
membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan 
kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan 
segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah 
secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan, 
maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah baitul haram yang 
kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah masjidil Aqsha,
 demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu 
yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi tampak siapa yang 
mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas dan siapa 
yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan
 dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.
Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam, maka pasrahlah kaum muslimin dan menghadap ke arah 
kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu
 wa Ta’ala turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum 
muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu bahwa rumah 
tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima 
Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.*
_
Bagian 3
Syubhat: Mengapa kaum muslimin menyembah batu hitam 
(hajar aswad), dan ini jelas dari perbuatan mereka yang selalu 
menciuminya dan sujud ke arahnya.
Jawab: Sesungguhnya pertanyaan Anda tersebut adalah 
bukti nyata bagi penipuan dan pembodohan yang dilakukan oleh sebagian 
pendeta, karena kaum muslimin tidak sujud kepada hajar aswad, dan tidak 
pula menyembahnya. Jadi, darimana para pendeta yang menyimpang itu 
mendapatkan pemahaman yang salah ini? Jawabannya tidak lepas dari dua 
kemungkinan: bisa jadi mereka itu adalah orang-orang yang bodoh terhadap
 agama Islam, kemudian mereka tularkan kebodohan mereka kepada Anda; 
atau bisa jadi mereka sengaja berdusta dan menipu demi menolong 
kebatilan mereka agar Anda tetap berada di atas agama mereka, meskipun 
dengan cara dusta.
Sesungguhnya hajar aswad adalah dari bebatuan sorga. Saat Allah 
Subhanahu wa Ta’ala memerintah Ibrahim ‘Alaihi Sallam untuk membangun 
Ka’bah, maka dia pun bergegas untuk meninggikan pondasi bangunan Ka’bah.
 Kemudian Ibrahim ‘Alaihi Sallam meminta putranya, Isma’il ‘Alaihi 
Sallam mencarikan sebuah batu yang nantinya akan menjadi tanda awal 
thawaf. Maka saat Isma’il mulai mencari, dia tidak menemukan. Lalu dia 
kembali kepada ayahandanya tanpa membawa batu. Maka Allah Subhanahu wa 
Ta’ala turunkan bersama Jibril ‘Alaihi Sallam sebuah batu dari sorga 
yang sekarang berada pada tempatnya hingga hari ini.
Hajar aswad terdapat di rukun (pojok Ka’bah) sebelah selatan timur di
 bagian luar Ka’bah. Keberadaannya sebagai tanda dimulai dan berakhirnya
 sebuah putaran thawaf, dan dengannyalah putaran thawaf menjadi 
sempurna.
Kaum muslimin saat mencium hajar aswad, mereka melakukannya hanya 
karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah 
memerintahkan kita untuk mencontoh manasik hajinya, bukan karena 
menyembah hajar aswad, dan tidak pula sujud kepadanya, sebagaimana Anda 
klaim. Kaum muslimin tidak menjadikan satu perantara pun antara mereka 
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mereka tidak beranggapan bahwa ada
 sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk mendatangkan madharat (bahaya) 
dan manfaat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menafikan (menolak)
 adanya kekuasaan makhluk apa pun, sebagaimana mereka beranggapan bahwa 
hubungan ibadah antara makhluk dan sang Pencipta adalah hubungan 
langsung tanpa perantara. Dan bahwa para hamba tidak membutuhkan 
perantara yang bisa memberikan pertolongan hingga mereka menuju dan 
mendekat kepadanya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan mereka 
mengaggapnya sebagai perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah)  yang 
mengeluarkannya dari agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa segenap 
ibadah, tidak boleh diarahkan atau ditujukan kepada makhluk mana pun, 
apakah makhluk itu seorang malaikat yang dekat kepada Allah, atau 
seorang Nabi yang diutus oleh Allah, lebih-lebih lagi sebuah batu yang 
tidak bisa mendatangkan madharat dan memberikan manfaat.
Sesungguhnya mencium hajar aswad bukanlah  sebuah syarat, tidak pula 
sebuah kewajiban atas kaum muslimin. Cukuplah Anda ketahui bahwa 
Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, termasuk murid utama 
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat dia thawaf di sekitar Ka’bah 
dan datang pada hajar aswad, dia berkata,
إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكِ حَجَرٌ لاَ
 تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ 
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ
“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalau sebuah batu yang tidak
 bisa mendatangkan madharat, dan tidak bisa memberikan manfaat, 
seandainya saja aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 
menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu.”
Sesungguhnya perkataan khalifah ini adalah sebuah ketetapan yang 
menguatkan sebuah aqidah (keyakinan) yang sangat penting, yaitu bahwa 
kami tidak menyembah batu dan kami tidak menyentuhnya agar mengangkat 
madharat atau memberikan manfaat, tidak juga berdo’a memohon kepadanya. 
Akan tetapi kami menciumnya hanya karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi 
wa Sallam menciumnya. Ini adalah sebuah penjelasan dari Khalifah Umar 
Radhiallahu ‘Anhu kepada umat Islam, serta sebagai pelajaran sekaligus 
nasihat yang dalam dari pelajaran aqidah yang shahih, dan sebagai bentuk
 ittiba’ (mengikut) Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.*
_
Syubhat: Apakah bisa kami fahami, bahwa kaum 
muslimin dengan shalat mereka menghadap ke Ka’bah, berarti mereka itu 
menyembah Ka’bah selain Allah? Apakah Ka’bah itu adalah rumah Allah? 
Apakah kalian berkeyakinan bahwa Allah bertempat tinggal di dalam sebuah
 rumah di Makkah?
Jawab: Dulunya, kami berharap agar ada salah seorang
 pendeta yang mau ikut dalam dialog damai ini di majalah Qiblati, 
daripada mereka menanamkan tipu muslihat atas agama Islam ini kepada 
akal Anda. Namun biar bagaimana pun, saya akan menjawab Anda. Saya 
katakan: sesungguhnya Ka’bah tidaklah disembah selain Allah, akan tetapi
 kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat dan thawaf 
mengelilinginya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan 
mereka untuk melakuklan yang demikian. Maka kaum muslimin, dengan 
perbuatan tersebut adalah sekedar mentaati perintah Rabb (TUHAN) mereka,
 bukan menyembah Ka’bah. Inilah ibadah yang benar, yaitu mentaati Allah 
Subhanahu wa Ta’ala. Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu, 
jika ada seorang muadzdzin (tukang adzan) ingin adzan, maka dia menaiki 
Ka’bah dengan kedua kakinya, kemudian mengeraskan suara adzan di atas 
atap Ka’bah. Maka apakah bisa diterima oleh akal, bahwa sesuatu yang 
disembah kemudian dinaiki/diinjak dengan kedua kakinya?!!
Kemudian, istilah 
baitullah (rumah Allah) tidaklah mesti 
bermakna bahwa Allah bertempat tinggal di dalamnya, karena 
setiap masjid  di manapun berada di dunia ini adalah disebut baitullah 
(rumah-rumah Allah). Dinamakan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
 disembah di dalamnya, bukan karena Allah tinggal di dalamnya. Bahkan 
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kehormatan darah
 seorang muslim lebih agung di sisi-Nya daripada kehormatan Ka’bah yang 
dimuliankan oleh Allah. Suatu hari, Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah
 melihat ke Ka’bah seraya berkata, ‘Betapa agungnya engkau, betapa 
agungnya kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya 
daripadamu.’ (HR. at-Turmudzi (1955), Shahih at-Turmudzi (2032))
Tidaklah kehormatan darah dalam syariat Islam terbatas atas pemeluk 
Islam saja, tetpi juga berlaku bagi non muslim.  Allah telah menjadikan 
Islam menjaga darah, sebagaimana ia juga menjaga harta dan kehormatan. 
Di antara orang-orang yang aman darah mereka (tidak boleh diganggu) 
adalah orang-orang yang datang ke negeri Islam, maka mereka masuk di 
bawah perjanjian dengan kaum muslimin dan suaka mereka. Jadi mereka 
adalah orang-orang yang terlindung darah mereka. Hal ini ditetapkan 
berdasarkan teks-teks syariat dan kesepakatan umat Islam.*
_
Syubhat: Telah lewat bahwa Anda telah mengatakan pada salah satu 
jawaban Anda terhadap Surat Wanita Nasrani,
 bahwa anjing adalah najis, dan bahwa malaikat tidak mau turun dengan 
kehadiran anjing. Ini adalah ucapan dari Anda tanpa dalil akal (logika) 
yang bisa menjadikan non muslim puas dengannya. Kami tidak menginginkan 
sebuah dalil pun dari al-Qur’an, atau ucapan Nabi Anda, karena kami 
tidak mengakuinya. Akan tetapi kami menginginkan dalil penafian 
keberkahan dari anjing, dan ini adalah mustahil, karena anjing adalah 
hewan yang diciptakan oleh Allah, jadi dia itu diberkahi. Kami pun juga 
bisa mengatakan bahwa domba-domba yang Anda pelihara adalah hewan-hewan 
najis, dan tidak diberkahi. Akan tetapi kami berkeyakinan bahwa anjing 
dan kambing memiliki manfaat besar terhadap manusia, dan Allah telah 
menjadikannya diberkahi agar seluruh manusia bisa mengambil faidah 
darinya. Saya mohon Anda menetapkan ucapan Anda dengan logika, jika 
tidak, maka ucapan Anda tidak ada gunanya bagi kami.
Jawab: Sesungguhnya saat saya menjawab dari 
al-Qur’an dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penyebabnya
 adalah karena penanya yang Nasrani tersebut menuduh kaum muslimin bahwa
 para malaikat lari dari anjing (takut anjing). Maka untuk membuktikan 
ketidakbenaran tuduhan tersebut saya haruslah berdalil dengan al-Qur’an 
dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun berkaitan 
dengan permintaan Anda akan sebuah dalil logika akan kenajisan anjing 
dan tidak adanya keberkahan padanya, maka saya jawab sebagai berikut:
Berkenaan dengan kenajisan anjing, maka tidak membutuhkan dalil 
logika. Ilmu modern telah membuktikan bahwa anjing membawa penyakit 
dalam. Dimana dia membawa lima puluh virus. Dan kebanyakan ditemukan di 
air liurnya. Sebagaimana telah ditetapkan oleh ilmu modern bahwa air 
liur anjing berbeda dengan air liur hewan lain. Anda bisa dengan mudah 
mengecek kebenaran pernyataan ini, karena hal itu telah masyhur dan 
diketahui oleh para ilmuwan Nasrani dan selain mereka.
Adapun klaim Anda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan 
keberkahan pada
 anjing, maka ini adalah sebuah ucapan tanpa bukti (dan berkata atas 
nama Allah secara dusta). Maka di sini saya yang meminta Anda untuk 
mendatangkan dalil logika untuk menetapkan kebenaran klaim Anda. Saya 
yakin, Anda tidak akan bisa  menetapkannya, dan saya akan menetapkan 
tidak adanya keberkahan pada anjing sepanjang Anda bertanya kepada saya.
Pertama, bukanlah menjadi sebuah syarat bahwa setiap makhluk yang 
dicipatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diberkahi. Jika tidak 
demikian, maka syaitan yang terkutuk pun adalah makhluk ciptaan Allah, 
dan sungguh mustahil dia diberkahi.
Adapun tercapainya keberkahan bagi anjing, maka saya akan membuat 
perumpamaan yang terdiri dari sejumlah pertanyaan, dan jawabannya akan 
menghantarkan Anda kepada kebenaran masalah ini:
Berapa kali anjing hamil dalam setahun? Yang dikenal adalah dia hamil 3 hingga 4 kali.
Berapa kali kambing hamil dalam setahun? Yang diketahui adalah sekali atau dua kali.
Berapa anjing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah sekitar enam hingga delapan anjing.
Berapa kambing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah satu, dan jarang sekali dua.
Maka kita akan menemukan dengan bahasan angka bahwa anjing lebih 
banyak perkembangbiakannya daripada kambing. Akan tetapi kenyataannya 
bahwa jumlah kambing jauh lebih banyak daripada jumlah anjing.
Saya bertanya kepada Anda, mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya 
jawabannya adalah karena sebab keberkahan yang dijadikan oleh Allah 
Subhanahu wa Ta’ala pada kambing-kambing. Dan tidak menjadikannya pada 
anjing. Disini lah saya berjanji dan meminta kepada setiap muslim dan 
muslimah yang membaca ucapan ini untuk berkata Allahu Akbar.
Saya juga ingin Anda mengetahui perkara penting lain, yaitu bahwa 
kami bisa mengambil manfaat dari segala sesuatu yang berasal dari 
kambing; kulit, daging, tulang, dan tanduknya, (bahkan juga kotorannya 
untuk pupuk). Adapun anjing, maka jika dia mati maka tidak bisa diambil 
darinya sesuatu pun. Sebagaimana Anda juga jangan lupa bahwa setiap Nabi
 adalah penggembala kambing (bukan pemelihara anjing). Akan tetapi 
mustahil bagi seseorang untuk berbangga, apapun agamanya, bahwa dia 
adalah seorang penggembala anjing.
Saya berharap Anda tidak fanatik kepada anjing, setelah saya menjawab
 Anda akan najisnya anjing dengan dalil logika yang Anda inginkan, serta
 ketidak berkahannya. Dan kambinglah yang membawa keberkahan. Dan terima
 kasih bagi Anda.
_
Syubhat: Anda kaum muslimin menolak ilmu modern, dan ini jelas dengan penafian kalian akan berputarnya bumi.
Jawab: Syubhat ini menunjukkan akan kelemahan Anda 
yang amat sangat. Ketika Anda tidak menemukan sesuatu pun yang bisa Anda
 pegang untuk mengalahkan kaum muslimin, maka Anda pun mencari-cari pada
 catatan kuno Anda, barangkali Anda mendapatkan sesuatu yang merugikan 
kami. Biar bagaimanapun, permasalahan rotasi bumi bukanlah termasuk ilmu
 syar’i. Akan tetapi itu adalah permasalahan ilmu dunia. Sebagian besar 
agama, termasuk diantaranya adalah Nasrani, semuanya menafikan rotasi 
bumi, sebagai bentuk tertinggalnya keilmuan ratusan tahun lalu yang 
manusia hidup di dalamnya, bila dibandingkan dengan keadaan kita pada 
hari ini. Bahkan Bibel telah pergi lebih jauh dari hal tersebut. Bibel 
bahkan menganggap bahwa bumi ini persegi empat, dan ini adalah ucapan 
yang lebih buruk dari penafian rotasi bumi. Disebutkan dalam (Yehezkiel 
7: 2),
 حزقيال 7 : 2 (قَدْ جَاءَتِ النِّهَايَةُ عَلَى زَوَايَا الأَرْضِ 
الأَرْبَعِ)
 “ akhirnya bisa datang ke empat penjuru (pojok) bumi.”
Agar saya bersikap obyektif dan amanah, maka dalam jawaban ini saya 
juga katakan bahwa ada sebagian ulama muslim yang menafikan rotasi bumi 
karena keyakinan mereka bawa bumi ini datar, bukan bulat. Kemudian 
setelah mereka, datanglah sejumlah penuntut ilmu yang taklid kepada 
mereka dan menukil dari mereka tanpa pemahaman. Akan tetapi wajib bagi 
kita untuk perhatian terhadap satu perkara penting, yaitu bahwa terdapat
 satu perbedaan besar antara pemahaman yang salah dengan penyebutan 
Bibel bahwa bumi ini persegi empat. Dan sebaliknya kita temukan bahwa 
al-Qur’an telah mensifati bumi dengan bentuk bola.
Setelah kemajuan ilmu yang dialami oleh manusia, maka pandangan 
ilmiah pun berubah pada mayoritas muslim dan Nasrani serta selain 
mereka. Kemudian mereka pun berkeyakinan akan rotasi bumi. Kemudian 
tetap tersisa sejumlah kecil dari seluruh agama yang tetap bersikukuh 
dengan pendapatnya yang lahir dari para pendahulunya, yaitu bahwa bumi 
tidak berotasi. Ini adalah buah dari kekurangan besar dalam memahami 
masalah rotasi bumi. Mereka menyangka dengan pemikiran sederhana bahwa 
rotasi bumi tidak bisa dirasakan. Sebagaimana mereka menyangka bahwa 
seandainya terjadi rotasi bumi, maka termasuk perkara yang mustahil kita
 bisa tetap tegak di permukaannya. Ini adalah sebuah ungkapan yang 
menunjukkan ketiadaan penguasaan teori ilmiah dan ilmu falak.
Yang wajib Anda fahami adalah bahwa al-Qur’an tidak menafikan rotasi 
bumi. Lihatlah apa yang dikatakan oleh salah satu ulama besar kaum 
muslimin zaman ini, yaitu Syaikh al-Albani rahimahullah. Dia berkata, 
‘Kami, pada dasarnya tidak meragukan bahwa masalah rotasi bumi adalah 
sebuah hakikat ilmiah yang tidak menerima perdebatan. Pada waktu yang 
kita berkeyakinan bahwa bukan termasuk profesi syariat secara umum dan 
al-Qur’an secara khusus berbicara tentang ilmu falak, dan rincian ilmu 
falak… (Kaset no. I/497)
Perlu diketahui bahwa ahli falak kaum muslimin, dulu adalah orang 
yang pertama kali menetapkan rotasi bumi beratus tahun yang lalu, 
kemudian diikuti oleh sejumlah ulama syariat.
Sekalipun masalah rotasi bumi ini bukan masalah aqidah, tetapi 
terdapat sebagian ulama Islam yang menafikan rotasi bumi dan banyak juga
 ulama kaum muslimin yang mengatakan rotasi bumi. Dari sinilah kami 
memahami bahwa syubhat tersebut tidak memiliki nilai sama sekali dalam 
dialog antara kami dengan Anda. Terutama bahwa saya termasuk orang yang 
menetapkan rotasi bumi. Boleh bagi Anda untuk melihat kembali pada 
pembahasan saya dalam majalah ini dari edisi 11 tahun II hingga edisi 09
 tahun III. Dan sesungguhnya orang yang menafikan rotasi bumi tidak akan
 masuk neraka sebagaimana orang yang menetapkan rotasi bumi juga tidak 
masuk sorga (karenanya). Maka barangsiapa mati di atas keyakinan ini 
atau itu, maka dia tidak akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. Oleh 
karena itulah, kami menginginkan agar dialog diantara kita adalah dalam 
permasalahan aqidah agama yang keyakinan terhadapnya bisa menghantarkan 
ke sorga atau berakibat neraka.
Sebagai penutup, saya selalu menyambut Anda sebagai seorang tamu di 
majalah Qiblati, termasuk seluruh pembaca Nasrani. Anda sekalian 
memiliki hak untuk bertanya sesuka Anda, maka hati kami terbuka untuk 
semuanya.*
_
Bagian 4
Terima kasih atas jawaban Syeikh Mamduh  dalam edisi Nopember 2010 
mengenai “jawaban syubhat kristiani dan syiah.” Selanjutnya saya masih 
butuh penjelasan atas dua hal yang sering dituduhkan oleh umat kristiani
 terhadap Al-Quran yang mulia. Saya memperoleh pertanyaan dari 
misionaris mengenai Al-Quran:
Syubhat (1): Penyebutan Maryam ibu Yesus sebagai 
saudara perempuan Harun dan anak kandung Imran (QS.19:28) [footnote: 
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
  يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ 
أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
 "
Hai saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam: 28)]
Mereka menganggap Allah Subhanahu wa Ta’ala mengira Maryam saudara 
perempuan Musa dan Harun yang adalah anak Imran. Padahal antara keduanya
 ada selisih waktu sekitar 1400 tahun. Mengapa Maryam disebut saudara 
perempuan Harun? Menurut misionaris, ini adalah kesalahan penulisan 
Sejarah dalam al-Qur’an.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya orang-orang yang membuat keragu-raguan tentang al-Qur’an tidak mengetahui kalau penyebutan 
ukhtu Harun (saudari
 Harun) bukanlah penamaan pertama kali oleh al-Qur’an, melainkan 
al-Qur’an hanya mengisahkan apa yang pernah terjadi, yaitu apa yang 
dikatakan oleh kaum Maryam kepadanya, dan panggilan yang mereka 
lontarkan kepadanya saat dia mengandung ‘Isa ‘Alaihi Sallam. Mereka 
mengingkari kehamilan tersebut, lalu menuduh kehormatan, kemuliaan, dan 
kesuciannya. Maka mereka berbicara dengannya dengan panggilan 
ya ukhta Harun (Wahai
 saudari Harun), maksudnya adalah ‘Engkau dari keluarga baik-baik, suci,
 lagi dikenal keshalihan, ibadah dan kezuhudannya, maka bagaimana hal 
ini bisa terjadi pada dirimu?’
Sekalipun telah pasti bahwa orang-orang Yahudi berbicara dengannya dengan panggilan 
wahai saudari Harun,
 tetapi para ulama ahli tafsir telah berselisih pendapat akan penentuan 
pribadi tersebut. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia adalah 
Nabi Harun, saudara Musa ‘Alaihi Sallam. Di antara mereka ada yang 
menyebut bahwa dia adalah seorang laki-laki shalih dari kaumnya pada 
masa itu di mana Maryam ‘Alaiha Salam mencontohnya dan menyerupainya 
dalam kezuhudan, ketaatan, dan ibadah. Maka dia pun dinisbatkan 
kepadanya. Maka jadilah maksud mereka dalam pembicaraan itu adalah, 
‘Wahai orang yang serupa, dan meniru laki-laki shalih itu, tidaklah 
ayahmu seorang keji, tidak juga ibumu seorang pelacur, maka darimana 
anak di perutmu itu?’
Perlu diketahui pula bahwa kala itu banyak tersebar nama Harun di tengah Bani Israil hingga hari ini.
Apakah yang dimaksud itu adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam atau Harun 
lain yaitu seorang shalih kala itu, maka bagi kami hal ini tidak 
penting, karena al-Qur’an hanyalah menceritakan dan menukil apa yang 
terjadi kala itu.
Jika kita mengambil kemungkinan pertama, yaitu bahwa yang dimaksud 
adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam, maka yang dimaksud oleh orang-orang 
Yahudi adalah bahwa dia termasuk dari keturunannya. Kemudian saya akan 
membuat satu contoh dari Bibel. Dan itu adalah sebuah pukulan 
menyakitkan bagi para pembuat keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut,
 sebuah pukulan telak yang membantah syubhat tersebut.
Bibel telah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi menyebut Yesus 
dengan Putra Dawud: “Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, 
dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: 
“Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” (Matius (9:27))
Maka apakah Yesus benar-benar Anak Dawud? Tentu saja tidak, lalu 
 mengapa ucapan mereka ini tidak diingkari dengan mengatakan ini adalah 
kesalahan penulisan sejarah dalam Bibel?!!
Sekarang, terjerumuslah orang-orang bodoh itu ke dalam kuburan yang 
mereka gali, jatuh ke dalam keburukan amal-amal mereka. Dengan logika 
sama yang mereka inginkan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an yang 
mulia karena mengisahkan sebutan ucapan Yahudi ‘Wahai saudari Harun’, 
maka kita temukan bahwa Bibel menyebut Yesus dengan sebutan Putra 
Dawud!!
Sesungguhnya kita merasa malu untuk menuduh penyimpangan Bibel dengan
 sebab ini, karena Bibel telah pasti penyimpangannya dengan dalil yang 
lebih besar dan terang benderang. Cukuplah dengan banyaknya ragam Bibel,
 perselisihan dan pertentangannya sebagai bukti. Sementara mereka tidak 
malu menuduh al-Qur’an salah menulis sejarah hanya dengan syubhat yang 
tertolak ini. Ini adalah sebuah bukti akan kelemahan mereka dalam 
menetapkan penyimpangan al-Qur’an.
Di sini kami bertanya kepada orang-orang yang meragukan keabsahan 
al-Qur’an yang mulia, ‘Bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud, 
sementara jarak antara dia dan Dawud ‘Alaihi Salam lebih dari jarak 
antara Maryam dan Harun’Alaihi Salam? Bahkan bagaimana mungkin Yesus 
adalah anak Dawud, sementara dia datang dari jalan Roh Kudus?!!
Sesungguhnya perkara yang wajib diketahui oleh para pembuat keraguan 
terhadap al-Qur’an tersebut bahwa penisbatan seorang manusia kepada 
manusia lain yang memiliki kedudukan di antara kaumnya (seperti Dawud) 
adalah dalam rangka pemuliaan. Oleh karena itulah kita temukan bahwa 
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku adalah seorang Nabi, 
tidak ada kedustaan, aku adalah Putra Abdul Muthallib.’ Padahal beliau 
adalah Muhammad Putra ‘Abdullah Putra ‘Abdul Muththallib. Akan tetapi 
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuliakan nasabnya kepada 
kakeknya.
Sesungguhnya saya mampu untuk membuat keragu-raguan pada akal 
orang-orang Nasrani  yang awam, dan menyesatkan mereka dengan kedustaan,
 sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pendeta terhadap orang-orang 
awam kaum mulimin. Kemudian saya klaim bahwa Bibel telah menguatkan 
al-Qur’an yang menyebut Maryam sebagai Saudari Harun. Telah disebutkan 
dalam Keluaran (15:20-21): “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan 
Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan 
mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam 
memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda 
dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.”
Akan tetapi karena saya percaya diri dan beriman bahwa jalan hidayah 
dan jalan sorga tidak akan ada kecuali dengan keikhlasan dan kejujuran 
bersama Allah, oleh karenanya saya tidak berdalil akan penyimpangan 
Bibel dengan dalil ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang suka 
mempermainkan ayat. Karena Maryam yang dimaksud di situ bukanlah Maryam 
Ibu Isa ‘Alaihi Sallam.
Saya berangan-angan, daripada sibuk menafikan persaudaraan antara 
Maryam dan Harun, hendaknya para pendeta itu menyibukkan diri mereka 
dengan menjelaskan sebab yang menjadikan Bibel menulis tuduhan zina 
terhadap Maryam tanpa memberikan pembelaan dan pensucian. Dan yang wajib
 mereka lakukan, jika mereka jujur, adalah memuji al-Qur’an dan 
meninggikan urusannya, karena al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci 
yang membela Maryam ‘Alaiha Salam, serta mensucikannya dan mengumumkan 
kesuciannya, serta meninggikan urusan dan kehormatannya.
Cukuplah al-Qur’an dengan menasabkan al-Masih ‘Alaihi Salam kepada 
ibunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘al-Masih Putra 
Maryam’, ‘Isa Putra Maryam’, sementara Bibel telah menasabkan al-Masih 
kepada Yusuf an-Najjar!!
‘Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata 
yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak 
Yusuf?” (Lukas; 4:22)
‘Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah 
menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para 
nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yohannes 1:45)
‘Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan
 saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?’ (Matius 13:55)
Bahkan Bibel menjadikan al-Masih memiliki saudara: ‘Bukankah Ia ini 
tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan 
bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu 
mereka kecewa dan menolak Dia.’ (Markus 6:3)
Maka Kitab yang manakah yang telah diubah-ubah, al-Qur`an yang mulia ataukah Bibel? Kami menunggu jawabnnya.
_
Syubhat (2): Kontradiksi ayat menurut mereka dalam 
Al-Quran seperti dalam hal berapa hari penciptaan Jagad Raya?Pertama: 
Bumi dan langit diciptakan dalam 6 masa. Hal ini terdapat dalam surah 
QS. 7:54 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 إِنَّ 
رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ 
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ 
يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ 
بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ 
الْعَالَمِينَ  
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah 
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
 ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan 
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang 
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan 
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf: 54)]
“
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan 
langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di atas‘Arsy. Dia 
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan 
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang”. Juga 
dalam QS.10:3 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 إِنَّ 
رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ 
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن 
شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ 
فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ  
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah 
Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia 
bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun 
yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.(Dzat) yang 
demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu 
tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan 
bumi dalam ENAM MASA, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk 
mengatur segala urusan.”
Kedua, dalam QS. 41: 9 – 12 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ 
بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا 
ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن 
فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ 
أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ(10
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء 
وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا
 قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ 
فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا 
السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ 
الْعَلِيمِ (12
“Katakanlah: “Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang 
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? 
(yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan Dia 
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia 
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan 
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi 
orang-orang yang bertanya. kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit 
dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan 
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka 
hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. 
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada 
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan 
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan 
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha 
mengetahui.” (QS. Fushshilat: 9-12)] ternyata disebutkan dalam 8 
masa (2 + 4 + 2) bukan enam masa,“Katakanlah Sesungguhnya patutkah kamu 
kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam DUA MASA ……… Dan dia 
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia 
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan 
(penghuni)nya dalam EMPAT MASA. ……Maka Dia menjadikannya tujuh langit 
dalam DUA MASA”.
Bagaimana menjelaskan hal ini?
Semoga dapat segera dijawab karena pertanyaan-pertanyaan ini menyebar
 di berbagai brosur dan literatur kristen berwajah Islam  sebagai upaya 
mengguncang keyakinan kaum muslimin terhadap al-Quran. Tidak lupa saya 
ucapkan Terima kasih atas perhatian dan penjelasannya, saya sangat 
berharap jawaban nantinya dibaca juga oleh umat Kristiani yang 
senantiasa melontarkan syubhat-syubhat terhadap Al-Quran tanpa ilmu. 
Sukses untuk MAJALAH QIBLATI.
Jawab: Tidak ada pertentangan dan kontradiksi dalam 
ayat-ayat tersebut. Pertentangan dan kontradiksi itu hanyalah ada pada 
akal-akal mereka saja. Dikarenakan empat pada hari-hari yang pertama 
adalah hasil dari dua ditambah dua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah 
menciptakan bumi pertama kali pada dua hari, kemudian menjadikan di 
dalamnya pasak, yaitu gunung-gunung, kemudian menjadikan keberkahan di 
dalamnya dari air dan tanam-tanaman. Dan berbagai rizqi yang disimpan di
 dalamnya dalam dua hari berikutnya, maka jadilah penciptaan bumi dan 
segala isinya itu dalam empat hari. Maka firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala:
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ
 مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي 
أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ
“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di 
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar 
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai 
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fushshilat: 10)
Keempat hari itu adalah hasil dari dua hari pertama dan dua hari yang
 lain, maka jadilah totalnya empat hari, yaitu memasukkan dua hari yang 
telah disebutkan pada ayat sebelumnya:
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang 
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? 
(yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (QS. Fushshilat: 9)
Maka tidaklah keempat hari itu berdiri sendiri dari dua hari yang 
pertama. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dalam dua
 hari, jadi totalnya adalah enam hari, dengan menambahkan empat dan dua.
Sesungguhnya saya bertanya kepada orang-orang yang membuat 
keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut, yang ingin menetapkan bahwa 
al-Qur’an merupakan karya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah
 Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bodoh tidak tahu bahwa 2+4+2 sama 
dengan 8? Apakah hilang dari beliau bahwa penciptaan langit dan bumi 
dalam ayat lain adalah pada enam hari?
Kemudian bagaimana mungkin perkara ini hilang dari orang-orang Kafir 
Arab yang cerdas dalam berniaga, serta orang-orang yang menolak dakwah 
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berhujjah dengan kesalahan ini,
 agar mereka bisa menegaskan dan menetapkan bahwa al-Qur`an adalah 
bikinan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Terutama bahwa ayat-ayat
 al-Qur’an dulunya turun secara terpisah-pisah, yaitu satu, dua atau 
tiga ayat bersamaan? Artinya sangat mudah untuk menyingkap kesalahan 
tersebut. Akan tetapi ini tidak pernah terjadi, sementara sekarang 
datang kepada kita orang yang tidak faham bahasa Arab, lantas 
berkeinginan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an dengan syubhat 
tersebut.
Maka apakah seorang berakal itu bisa membayangkan bahwa orang yang 
bisa memalsu Kitab Mulia seperti al-Qur’an itu mungkin bisa berbuat 
salah dengan kesalahan yang seorang anak SD saja tidak mungkin salah 
karenanya?
Kami memuji Allah, serta bersyukur kepada-Nya akan karunia akal ini. *
_
Bagian 5
Syubhat: Al-Qur’an telah menyebutkan kebatilan agama Islam di dalam ayat:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (QS.
 al-Maidah: 68), kami mendapati bahwa ayat tersebut menyebutkan Taurat 
dan Injil dengan jelas, ini mengharuskan untuk berpegang teguh kepadanya
 bukan berpegang teguh dengan al-Qur’an. Ini adalah sebuah dalil akan 
kebatilan agama Islam.
Jawab: Saya tidak tahu apa gunanya kedustaan dan 
tipu muslihat dalam menetapkan keyakinan agama yang wajib diimani oleh 
seorang manusia dengan jujur dan ikhlas, sehingga dia jujur terhadap 
dirinya sendiri dan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anda telah 
memangkas ayat tersebut dan tidak menyempurnakannya, padahal lanjutan 
ayat di atas berbunyi:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ
“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama 
sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan 
al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu’. (QS. al-Maidah: 68)
Sesungguhnya maksud ayat 
dengan apa yang diturunkan dari Tuhan kalian adalah
 al-Qur’an. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan setelah 
Taurat dan Injil selain al-Qur’an. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala 
melalui ayat tersebut justru memerintahkan ahlul kitab untuk menjadi 
muslim dan beriman dengan al-Qur’an yang mulia.
Saya berharap sekali lagi, jujurlah kepada Allah dan kepada diri Anda
 sendiri. Saya bisa memaklumi Anda, karena mungkin saja Anda menukil 
syubhat ini tanpa meyakinkan diri terlebih dahulu. Di sini, saya kira 
Anda telah membongkar sendiri tipu muslihat para pendeta terhadap Anda 
dan kepada banyak orang Nasrani yang tertipu oleh mereka. Saya 
memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Syubhat: Bagaimana Anda menginginkan dari kami untuk
 beriman dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai nabi, 
sementara al-Qur’an meminta kami untuk bershalawat kepadanya dan 
mendoakan rahmat baginya sebagaimana datang dalam ayat 
bershalawat dan salamlah kalian atasnya,
 seharusnya kamilah yang lebih butuh kepada rahmat Allah, ternyata kami 
mendapati nabi kalian Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa perlu untuk 
didoakan.
Jawab: Wajib bagi Anda untuk mengetahui bahwa Nabi 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh kami bershalawat kepadanya, 
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memulai ayat dengan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا 
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk 
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan 
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan diri-Nya sendiri untuk 
bershalawat kepada beliau, lalu para malaikat-Nya. Seandainya Allah 
Subhanahu wa Ta’ala saja yang bershalawat kepada beliau, tanpa menyebut 
para malaikat, maka pastilah itu sudah cukup sebagai pemuliaan dan 
pengagungan.
Pertanyaan yang benar yang seharusnya dilontarkan agar Anda bisa 
memahami permasalahan ini secara benar adalah, ‘Mengapa Allah Subhanahu 
wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bershalawat atas beliau?”
Maka jawabannya adalah:
1. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemanfaatannya 
yang besar kembali kepada yang bershalawat kepada beliau. Disebutkan 
dari Anas bin Malik rahimahullah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً 
وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ 
عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ»
“Barangsiapa bershalawat kepada aku satu kali shalawat, maka 
Allah akan bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dan dihapus darinya 
sepuluh kesalahan, dan diangkat untuk sepuluh derajat.” (HR. Ahmad (11587), an-Nasa`i (1297))
2. Shalawat bertujuan untuk menguatkan hubungan ruhani dan kecintaan 
antara kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena 
orang yang mencintai sesuatu dia akan memperbanyak mengingatnya.
3. Dengan memperbanyak shalawat dan salam atas Rasulullah, hal itu 
akan menarik seorang muslim untuk bersuritauladan dengan beliau. 
Barangsiapa memperbanyak ingat sesuatu maka dia akan tergantung dan 
bersuritauladan dengannya.
4. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah peribadatan kepada 
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan satu ibadah dari ibadah-ibadah yang 
terbaik.
5. Bershalawat kepada Rasulullah adalah sebuah ketaatan, melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab keberkahan pada diri, usaha dan umur.
7. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak memiliki harta.
8. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab pengampunan dosa-dosa dan pemenuhan berbagai hajat.
9. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab 
bershalawatnya Allah kepada orang yang bershalawat kepada Rasulullah, 
dan juga penyebab bershalawatnya para malaikat kepadanya.
10. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah mewajibkan syafaat beliau
 Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari kiamat dan penyebab dekatnya 
seseorang kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
11. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah akan memberatkan timbangan seorang muslim pada hari kiamat.
Dan manfaat-manfaat lainnya. Jadi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
 tidak butuh dengan kita, tidak butuh dengan do’a kita untuknya, 
demikian pula shalawat dan salam kita atasnya, sebaliknya kitalah yang 
mengambil manfaat darinya.
Saya memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Bagian 6
Syubhat: Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat 
dalam tafsir al-Qur’an? Dan bersamaan dengan itu Anda mengklaim bahwa 
Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi? 
Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak 
akan mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawab: Pertama, Anda harus mengetahui bahwa terdapat
 perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam 
Kitab Suci al-Qur’an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum
 muslimin atas al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an itu satu, tidak berselisih, 
dan tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya 
1400 tahun yang lalu. Al-Qur’an terjaga dengan janji Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia 
berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara 
perselisihan dalam tafsir al-Qur’an dengan perselisihan dalam Injil. 
Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan antara kitab suci al-Qur’an 
dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui bahwa Anda akan 
masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut 
untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan karunia Allah hal itu 
bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi 
perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan al-Qur’an. Akan 
tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir 
sebagian ayat dari al-Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa mayoritas 
ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para 
ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer) 
bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah 
satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an, dan membaca
 kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum 
membaca al-Qur’an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan 
akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini 
sudah cukup dalam merealisasikan hidayah al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan 
pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi 
beberapa pembagian:
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah khilaf 
tanawwu’ (perselisihan yang bersifat variatif), bukan khilaf 
tadhot (kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf 
lafzhi (redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna. 
Khilaf tanawwu’ pada
 hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat 
perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam 
pembagian khilaf ini.
Contoh yang demikian adalah tafsir 
shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu al-Qur’an, yakni mengikutinya.”
Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah
 mengikuti al-Qur’an. Akan tetapi masing-masing dari keduanya, 
memberikan perhatian atas satu sifat tidak pada sifat lain.
Sebagaimana bahwa lafazh 
shirat juga memberikan isyarat 
kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan 
bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan, 
‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang 
mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua 
memberikan isyarat kepada satu makna dari 
shirathal mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka menyebut dari nama 
yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan perumpamaan, dan 
memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam makna. Bukan
 untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi 
dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam 
Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا 
الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ 
لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ 
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami 
pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang 
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan
 dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan 
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah diketahui bahwa 
azh-zhalim linafsihi (orang yang 
menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban 
dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan 
al-muqtashid (yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta 
as-sabiq (yang
 terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera
 lebih dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala 
kebaikan disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian sesungguhnya masing-masing diantara mereka – yaitu dari 
kalangan ahli tafsir – menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari 
berbagai macam ketaatan:
Seperti ucapan, ‘as-sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya, 
al-muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan 
zhalim linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain berkata, ‘ 
as-sabiq, al-muqtashid, dan 
az-zhalim telah
 disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya penyebutan itu 
adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan shadaqah, penyebutan 
orang zhalim dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual
 beli.’
Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai 
khilaf tadhot (perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang mulia, karena beberapa sebab:
1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan 
dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan 
tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum), 
seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa 
Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Apakah quru’ itu suci dari haidh ataukah haidh?
Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur’an yang 
berkaitan dengan kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti 
perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا 
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu 
bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di 
bawahmu.” (QS. Maryam: 24)
Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Salam?
Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan 
tulang punggung (penopang) aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan
 itu ada pada perkara fiqih yang Allah menginginkan hal itu terjadi 
sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau 
perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak
 bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.
2. Perselisihan ini – sekalipun sedikit – kebanyakan terjadi pada 
abad terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para 
sahabat dan tabi’in pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas 
perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam 
menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid 
bersungguh-sungguh dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan 
akal-akal mereka.
Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir 
Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak 
mengklaimnya sendiri. Karena banyaknya kontradiksi di dalamnya. Dimana 
naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda dengan
 perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali 
sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka. Perselisihan mereka 
dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah (keyakinan) 
mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana itu 
semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak 
sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan 
aqidah mereka.
Adapun Islam dan al-Qur’an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum 
agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah, 
yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan 
tabi’in hingga hari ini.*
_
Syubhat: Saat kami membaca sejarah perjalanan Nabi 
kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya adalah 
suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu 
tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini 
sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu 
ajakan yang terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya 
tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah 
suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian 
menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawab: Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya 
terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman 
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَا أَهْلَ 
الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا
 نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ 
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu 
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, 
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia 
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian 
yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Maka tampak, bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa
 itu, dan Anda akan mengetahuinya di sela-sela jawaban saya apa yang 
saya maksudkan dengannya.
Anda harus mengetahui bahwa kalimat ‘
Aslim Taslam (Masuk 
Islamlah, kamu akan selamat)’ adalah cukup untuk menegakkan hujjah atas 
Heraclius dengan dalil bahwa dia mempercayainya, dan mengetahui bahwa 
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul, utusan Allah. Akan 
tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya dan terhalang dari Islam. Saya
 tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bahwa saat itu adalah waktu kemunculan
 beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah disebutkan dalam shahih al-Bukhari:
فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ 
الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا 
فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ
 فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا 
هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ
 ، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، 
وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ
 مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ
 رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ 
شَأْنِ هِرَقْلَ .
“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu 
istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan 
pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai
 sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan 
keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan, maka 
berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti keledai 
liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu telah tertutup. Maka 
saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa dari keimanan, 
dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata, 
‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian
 terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka 
pun sujud dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara 
Heraclius.”
Di dalam hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:
فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku
 akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah
 aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan 
jawami’ul kalim (kalimat
 ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut, dengan 
keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat, 
lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam 
Syarah Muslim: 
“Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih 
lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, 
aslim taslam (masuk Islamlah, 
kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta
 mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya, serta 
kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia 
dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan 
dari adzab akhirat.”
Kemudian, sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi 
antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan 
mengetahui bahwa Heraclius telah tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
 wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah.
Barangkali Anda sekarang mengetahui bahwa dengan ucapan saya, bahwa 
Anda tidak memperhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana 
barangkali telah jelas bagi Anda akan sebab yang menjadikan kami tidak 
menilik kembali pandangan kami terhadap agama kami dengan syubhat ini 
dan syubhat yang lain.*
_
Syubhat: Apakah boleh Nabi kalian -Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua, 
dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat 
dia berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawab: Sebagaimana biasa, Anda sekalian menyampaikan
 syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan faktanya. Ditambah
 lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama, tidak benar ucapan Anda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha saat dia masih muda. Seandainya
 Anda mengetahui hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap 
diri Anda. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat menikahi Saudah, 
kala itu Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia enam puluh enam tahun. 
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menikahinya kecuali bahwa 
dia, saat pergi ke Habasyah ia bersama suaminya, dan saat kembali dari 
sana suaminya meninggal dunia. Karena keluarganya masih berada di atas 
kesyirikan, maka nabi terdorong untuk menikahinya demi memberikan kasih 
sayang kepadanya, berbuat baik dengan kondisinya, dan menghibur 
kesendiriannya.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya. 
Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah 
Radhiallahu ‘Anha telah berusia sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa 
Sallam merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak 
dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin 
Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum 
laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin 
dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka 
turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ 
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ 
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ 
الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا 
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا 
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak 
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan 
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi 
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu 
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz 
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa 
yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan 
larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk 
menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah,
 pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal 
itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk 
suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada Saudah dan memperlakukannya
 dengan sebaik-baiknya.
Maka di manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di
 manakah bukti bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat 
dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya 
dalam menjawab bukanlah dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah 
menanamkan syubhat ini di akal Anda, sementara saat kami mengajak mereka
 untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.*
_
Syubhat: Sesungguhnya orang yang mengikuti sejarah 
kaum muslimin, dia akan menemukan bahwa mereka tidak pernah memiliki 
ilmu hadits. Ilmu hadits itu baru dibuat setelah dua ratus tahun. 
Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut 
belakangan sebagai ahli hadits memutuskan untuk mengumpulkan hadits. 
Kemudian jadilah mereka mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar
 hadits. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku mendengar 
Fulan berkata, ‘Aku mendengar Fulan dari Nabi kalian -Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam-, maka atas dasar inilah menjadi sulit menghukumi 
hadits ini sebagai hadits shahih, atau hadits maudhu’. Maka tidak 
mungkin ada sambungan bagi kalian sebagaimana sebelumnya, karena 
panjangnya masa itu.
Jawab: Sebagaimana biasa, kami memulai dengan meluruskan kesalahan, dan pemahaman kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadits, tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini 
baru ada setelah dua ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai 
sejak generasi pertama di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan 
telah mencakup satu bagian besar dari hadits. Apa yang ditemukan oleh 
orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadits 
dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka 
kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadits itu dengan rupa yang 
sangat luas. Dimana hal ini menunjukkan akan menyebarnya 
pengkodifikasian hadits, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan 
bahwa permulaan penulisan hadits telah dilakukan di awal abad kedua, 
yaitu antara tahun 120 – 130 H. dengan bukti nyata yang menjelaskan 
kepada kita. Terdapat sejumlah kitab, yang penulisnya telah wafat di 
tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’ 
Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij 
(W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa para ulama hadits, telah 
meletakkan syarat-syarat demi menerima hadits, yang syarat itu mampu 
menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan 
kepastian. Hingga menjadikan hadits tersebut tersampaikan seperti halnya
 didengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. 
Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang 
menyampaikan hadits) yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran, 
keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku,
 dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hafalan, mengikat dengan 
dadanya (hafalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara 
bersamaan. Yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadits tersebut,
 serta menunaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang 
disyaratkan oleh ahli hadits untuk hadits yang shahih dan hasan itu pun 
menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi 
hadits, kemudian selamatnya penukilan hadits di antara mata rantai 
sanad, bersihnya hadits itu dari segala cacad yang tampak maupun yang 
tersembunyi, serta ketelitian para ahli hadits dalam mempraktekkan 
syarat-syarat tersebut serta kaidah dalam menghukumi hadits dengan 
dhai’f hanya karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus 
menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama ahli hadits tidak mencukupkan diri dengan ini, bahkan 
mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak 
bahwa Anda tidak memperhatikannya. Para ulama ahli hadits telah 
memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadits 
shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip hadits 
rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab dari satu perawi ke perawi
 yang lain hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita 
menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang 
didengar yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari 
cabangnya. Maka jadilah metode para ahli hadits lebih kuat, lebih 
hikmah, dan lebih agung dari segala metode dalam menilai periwayatan, 
dan sanad yang tertulis.
Maka janganlah Anda menyangka bahwa pembahasan sanad menunggu dua 
ratus tahun sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meneliti dan mencari-cari sanad 
sejak zaman pertama saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah 
ar-Rasyid Utsman Radhiallahu ‘Anhu tahun 35 H, yang kemudian kaum 
muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Dimana 
mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadits, 
menguji para perawi hadits, hingga perjalanan mencari hadits menjadi 
syarat pokok penentuan hadits.
Para ulama ahli hadits tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh 
para pemalsu hadits dari golongan ahlu bid’ah, dan mazdhab-mazdhab 
politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya dengan mengikuti 
sarana-sarana ilmiah demi membentengi sunnah. Maka mereka pun meletakkan
 kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi ahli bid’ah, serta 
penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadits dan tanda-tanda hadits-hadits 
palsu.
Ilmu hadits, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak 
pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat
 yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada 
pada kaum muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan 
dongeng-dongeng yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan, 
kontradiksi dan berbagai perubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum muslimin, yang 
dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka 
telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadits hingga sampai 
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari segala cacad dengan ilmu 
isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada 
orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam 
kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad 
(jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana 
hal itu bisa sampai.*
_
Syubhat: Yang menguatkan kebatilan agama Islam 
adalah bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain nabi 
kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawab: Ini adalah sebuah ucapan yang tidak benar. 
Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadits yang datang di dalam 
shahih Muslim bab Iman no. 242:
حَدَّثَنِي  مُحَمَّدُ بْنُ 
الْمُثَنَّى  حَدَّثَنَا  ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ  عَنْ  دَاوُدَ  
عَنْ  أَبِي الْعَالِيَةِ  عَنْ  ابْنِ عَبَّاسٍ  قَالَ  سِرْنَا
 مَعَ رَسُولِ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بَيْنَ  
مَكَّةَ  وَالْمَدِينَةِ  فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ  أَيُّ وَادٍ
 هَذَا فَقَالُوا  وَادِي الْأَزْرَقِ  فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ 
إِلَى  مُوسَى  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَذَكَرَ مِنْ 
لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا لَمْ يَحْفَظْهُ  دَاوُدُ  وَاضِعًا 
إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ  جُؤَارٌ  إِلَى اللَّهِ 
بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى 
أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا  
هَرْشَى  أَوْ  لِفْتٌ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى  يُونُسَ 
 عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ  خِطَامُ  نَاقَتِهِ
 لِيفٌ  خُلْبَةٌ  مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.
“Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada 
kami Ibnu Abi ‘Adin dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia 
berkata, ‘Kami berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
 antara Makkah dan Madinah. Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu 
beliau bersabda, ‘Lembah apakah ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah 
Azraq.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku melihat Musa ‘Alaihi 
Sallam.’ Lalu beliau menyebut warna kulitnya, rambutnya, sesuatu yang 
tidak dihafal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua jarinya di kedua 
telinganya, mengeraskan suara seraya 
bertalbiyah (membaca 
talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata, ‘Kamipun berjalan 
hingga kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda, ‘Gunung 
apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda, 
‘Seakan-akan aku melihat kepada Yunus, berada di atas seekor onta 
mereka, memakai jubah dari wol, dan tali kekang ontanya adalah sabut 
tengah melewati lembah ini seraya 
bertalbiyah.’
Oleh karena itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab 
kami yang memberikan faidah bahwa para Nabi telah berhaji ke baitullah. 
Dan sebagaimana Anda meminta kami yang demikian, maka sesungguhnya kami 
meminta dari Anda satu dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi tidak 
berhaji ke baitullah dari kitab-kitab kalian.*
_
Bagian 7
Syubhat: Kami setuju bahwa tidak ada kesalahan dalam
 sejarah dan ilmu pengetahuan, akan tetapi, marilah kita melihat 
berbagai kesalahan dalam al-Qur’an baik dalam sejarah, atau ilmu 
pengetahuan.
-Al-Qur`an surat al-Kahfi ayat 83-89 menyebutkan seorang tokoh 
Zul-Qarnayn yang adalah muslim. Menurut tokoh Islam Ibn Hisham dan 
Al-Tabari Zul-Qarnayn adalah Aleksander Agung. Ironisnya, Aleksander 
Agung adalah seorang polytheis (musyrik).
Jawab: Sungguh disayangkan, Anda sekalian adalah 
korban para pendeta dan misionaris yang telah menyampaikan syubhat ini 
dengan memanfaatkan ketidaktahuan Anda. Pertama kali Anda wajib 
mengetahui metode ulama ahli tafsir dan selain mereka dalam memberikan 
keterangan. Pada saat seorang ahli tafsir meriwayatkan satu ucapan dari 
berbagai ucapan, maka maksudnya tidak lain adalah menukil semua yang dia
 dengar kemudian setelah itu memilah dan memilih dari ucapan-ucapan 
tersebut mana yang rajih dan shahih. Kemudian membantah dan menjelaskan 
kelemahan yang dhaif (lemah) dan yang tidak shahih. Kemudian menampakkan
 apa yang shahih darinya agar manusia mengetahuinya.
Alasan keshahihan dari tidaknya kembali kepada kesesuaian atau 
ketidaksesuaiannya dengan apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah 
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta apa yang disepakati oleh 
jumhur ulama kaum muslimin.
Pada saat seorang ulama tafsir berkata, 
“Dikatakan/katanya/diriwayatkan/ atau dikisahkan…” maka ini berarti 
bahwa yang berkata adalah orang yang tidak dikenal (majhul), dan sumber 
ucapan tersebut tidak dikenal. Oleh karena itulah fi’il (kata kerjanya) 
dibuat majhul (pasif), yaitu 
qiila (dikatakan). Oleh karena 
dasar ini, maka ucapan itu tidak bernilai jika tidak dikuatkan oleh satu
 berita dari al-Qur’an atau Sunnah yang shahih. Dan perkara aqidah tidak
 akan dibangun di atas sesuatu yang tidak diketahui. Maka ucapan apapun 
yang diikuti atau yang datang setelah kata kerja bentuk pasif 
qiila (dikatakan),
 maka ucapan itu digugurkan dari derajat shahih dan yakin kepada 
kedudukan mengandung kebenaran atau kedustaan sesuai dengan 
kesesuaiannya atau jauhnya dari apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan 
Sunnah yang shahih.
Pada kisah Dzulqarnain, gugurlah kandungan itu kepada makna dusta. 
Dikarenakan secara yakin Dzulqarnain yang dimaksud bukanlah Dzulkarnain 
Agung dari Macedonia – Yunani yang telah membangun kota Iskandariyah. 
Dzulqarnain ini mati pada usia 33 tahun, sebagaimana disebutkan dalam 
buku-buku Kristen. Dan dia hidup 323 tahun sebelum kelahiran al-Masih 
‘Alaihi Sallam.
Adapun Dzulqarnain yang disebutkan dalam al-Qur’an, maka dia ada pada
 masa Ibrahim ‘Alaihi Sallam. Dikatakan bahwa dia telah masuk Islam di 
hadapan Ibrahim ‘Alaihi Sallam, dan berhaji ke Ka’bah dengan berjalan 
kaki. Kemudian manusia telah berbeda pendapat tentangnya, apakah dia itu
 seorang nabi ataukah seorang hamba shalih dan seorang raja yang adil. 
Dan perselisihan itu juga bersamaan dengan kesepakatan mereka bahwa dia 
adalah seorang muslim, yang mengesakan serta taat kepada Allah Subhanahu
 wa Ta’ala.
Yang benar dalam hal ini – menurut kami – adalah 
tawaqquf (diam tidak berkomentar) tentangnya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَا أَدْرِيْ أَتَبِعَ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لاَ ، وَمَا أَدْرِيْ ذَا الْقَرْنَيْنِ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لَا
“Aku tidak tahu, apakah dia mengikuti seorang nabi ataukah tidak, dan aku tidak tahu Dzulqornain seorang nabi ataukah tidak.’ (HR. al-Hakim, al-Baihaqiy, dishahihkan oleh al-Albani dalam 
Shahihul Jami’ (5524))
Sekalipun kita tidak tahu, dia itu seorang Nabi ataukah tidak, maka 
yang jelas bagi kami dari sela-sela perkataan al-Qur’an tentangnya bahwa
 dia adalah seorang mukmin yang berada di atas ilmu dan kebaikan. Allah 
Subhanahu wa Ta’ala berikan dia kekuasaan, kemudian dia berjalan 
berjihad untuk menebarkan kebenaran dan keadilan.
Kemudian perbedaan antara hamba shalih ini dengan Alexander Macedonia
 yang kafir itu adalah satu perkara yang dikenal oleh para ulama kaum 
muslimin. Seorang ahli tafsir, Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam 
al-Bidayah wan Nihayah (1/493):
 “Dari Qatadah, dia berkata ‘Iskandar (Alexander) adalah Dzulqarnain, 
dan bapaknya adalah Kaisar pertama, dan termasuk putra dari Sam bin Nuh 
‘Alaihi Sallam. Adapun Dzulqarnain yang kedua, maka dia adalah Iskandar 
(Alexander) putra Philips… Macedonia – Yunani – Mesir. Pendiri kota 
Iskandariyah yang menoreh sejarah Romawi. Dia lebih terakhir dari yang 
pertama dengan jarak masa yang panjang… Kami mengingatkannya, karena 
banyak dari manusia berkeyakinan bahwa keduanya adalah satu, dan bahwa 
yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah dia yang menterinya adalah 
Aristoteles.  Yang karenanya terjadilah kesalahan besar, serta kerusakan
 yang panjang lagi banyak. Sesungguhnya yang pertama adalah seorang 
hamba beriman, shalih, lagi seorang raja yang adil. Adapun yang kedua 
adalah seorang musyrik, dan menterinya adalah orang-orang filsafat. 
Kemudian jarak masa di antara keduanya lebih dari dua ribu tahun. Maka 
keduanya tidak sama dan tidak serupa, kecuali atas orang bodoh yang 
tidak tahu hakikat berbagai perkara.” Selesai perkataan Ibnu Katsir 
Rahimahullah.
Maka mengapa Anda mengesampingkan ucapan ahli tafsir yang jelas ini 
lalu berpegang dengan dalil-dalil lemah para pendeta tersebut?!
Akan tetapi yang aneh dari Anda sekalian adalah bahwa tidak ada dalam
 kitab-kitab suci Anda keterangan-keterangan yang mencukupi akan 
Alexander yang kedua, lebih-lebih lagi yang pertama. Puncak dari apa 
yang ada pada sisi Anda sekalian adalah mimpi Daniel, serta menganggap 
bahwa di dalam mimpi tersebut terdapat satu isyarat kekuasaan Alexander 
yang kafir ini, serta terpecahnya kerajaannya setelah itu.
Keanehan ini dari Anda ataukah yang aneh itu adalah bahwa Anda tidak 
mengetahui satu sanad pun yang bersambung bagi kitab-kitab yang Anda 
imani? Tidak juga terdapat pengetahuan akan kondisi orang-orang yang 
melakukan penerjemahannya, bersamaan dengan puluhan tema yang saling 
kontradiksi dan berselisih yang menghilangkan klaim ‘ 
ishmah (terjaga
 dari kesalahan), dan bahwa ditulis berdasarkan ilham dari Roh Kudus. 
Dan cukuplah perselisihan kalian terhadap nasab Isa ‘Alaihi Sallam. 
Sekalipun demikian, Anda memiliki kenekatan untuk mengkritik al-Qur’an 
mulia yang sampai dengan sanad yang bersambung secara mutawatir?!
Maka apakah masuk akal, seorang manusia yang memiliki sedikit akal 
datang lalu menjadikan apa yang ada di dalam sebuah kitab yang telah 
diubah-ubah sebagai hakim atas al-Qur’an agung yang terjaga dengan 
penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
*
_
Syubhat: Dalam surah yang sama disebutkan matahari terbenam di lumpur.
حَتَّى إِذَا بَلَغَ 
مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ 
عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ 
وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا 
“Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia 
melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia 
mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu 
boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (QS. al-Kahfi: 86)
Jawab: Sekali lagi, sebagaimana biasa, para pendeta 
telah mempermainkan Anda. Sebelum saya menjawab, saya akan menjelaskan 
kepada Anda akan makna [عَيْنٍ حَمِئَةٍ], maka itu adalah air yang 
memiliki lumpur hitam. Dan saat al-Qur’an menyebut ‘
Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…’ maka
 itu adalah penyebutan sifat fenomena yang dilihat oleh Dzulqarnain, 
bukan penyebutan sifat yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka 
siapakah yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwa
 matahari tenggelam dalam lumpur hitam?
Saya akan membuat satu contoh agar kerancuan ini hilang. Jika Anda 
duduk di tepi pantai pada saat matahari tenggelam, lalu Anda melihat 
kepada bulatan matahari, maka apa yang akan Anda lihat? Dengan 
sederhana, Anda akan melihat bahwa bulatan matahari akan tenggelam ke 
dalam lautan. Maka apakah berarti bahwa matahari itu menghilang di dalam
 lautan? Tidak diragukan lagi bahwa hilangnya matahari di dalam lautan 
adalah apa yang dilihat oleh mata Anda, tetapi hakikatnya tidak benar 
seperti itu. Jadi, jika Anda mensifati apa yang terjadi pada matahari 
karena hilangnya di dalam lautan saat Anda berdiri di tepi pantai, maka 
Anda tidak dusta dan tidak salah.
Demikian pula seandainya Anda menghadap ke arah barat, sementara di 
depan Anda ada sebuah gunung. Maka Anda akan mendapati bahwa matahari 
akan tenggelam di belakang gunung. Tentu saja tidak akan pernah difahami
 oleh seorang pun bahwa matahari tersembunyi di balik gunung secara 
hakiki.
Jika di depan Anda adalah sebuah danau, maka Anda akan mendapati 
bahwa matahari akan tenggelam di dalam danau. Dan inilah yang terjadi 
pada Dzulqornain yang telah sampai pada laut yang mengandung lumpur 
hitam pada saat terbenamnya matahari. Maka dia mendapati matahari itu 
tenggelam dalam lumpur hitam itu. Saat kita katakan dia mendapatinya 
tenggelam di balik gunung atau mendapatinya tenggelam di dalam air, maka
 itu adalah perkara yang sesuai dengan penisbatan untuknya. Ayat 
tersebut tidak bermakna mutlak, akan tetapi terikat dengan pribadi 
Dzulqarnain.
Demikian pula kita dapati dalam kisah Musa ‘Alaihi Sallam, saat Allah
 Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya untuk melemparkan tongkat:
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا
 رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ 
يَا مُوسَى لا تَخَفْ إِنِّي لا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ 
“’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi 
ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti Dia seekor ular yang 
gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ‘Hai Musa, 
janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak 
takut di hadapan-Ku.’” (QS. an-Naml: 10)
Menjadi jelaslah bagi semuanya bahwa Musa ‘Alaihi Salam saat 
mendapati tongkatnya bergerak-gerak, dia merasa takut dan menyangka 
bahwa tongkatnya telah berubah menjadi seekor ular besar. Di sinilah 
kita bertanya, apakah tongkat itu ular?
Jawabannya adalah tidak. Akan tetapi ini adalah apa yang dilihat oleh
 Musa ‘Alaihi Salam, maka sebagaimana tongkat tersebut bukanlah ular, 
maka matahari tersebut tidak tenggelam dalam lumpur hitam. Dan kedua 
ayat tersebut menceritakan apa yang dilihat oleh Dzulqarnain dan Musa 
‘Alaihi Salam.
Sesungguhnya para pendeta, misionaris dan orang-orang batil selain 
mereka, saat menyebarkan syubhat seperti ini, menjadi jelaslah bagi kami
 bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti Bibel  mereka. 
Karena Bibel telah menggunakan metode yang sama.
Disebutkan dalam Hakim-Hakim (Judge) 19: 14 versi bahasa Arab
 [سفر 
قضاة 19:14]: فَعَبَرُوا وَذَهَبُوا وَغَابَتْ لَهُمْ الشَّمْسُ عِنْدَ 
جِبْعَةَ الَّتِيْ لِبُنْيَامِيْنَ  
“Maka mereka pun lewat dan pergi, kemudian mataharipun menghilang untuk mereka pada Gibea milik Bunyamin”
 [footnote: Ayat ini terdapat di Naskah berbahasa Arab, sementara 
terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris disebutkan dengan teks 
yang berbeda, yang didalamnya jelas-jelas terdapat perubahan. Dan perlu 
diketahui bahwa naskah berbahasa Arab lebih dahulu daripada naskah 
berbahasa Indonesia dan Inggris. Maka orang-orang Nasrani tatkala 
mendapati apa yang mereka anggap sebagai satu musibah dalam Kitab 
mereka, merekapun mengubah-ubah penerjemahan dalam bahasa Indonesia dan 
Inggris, juga barangkali bahasa-bahasa lain. Kemudian mereka 
menerjemahkan ayat itu dengan: (19:14) 
Lalu berjalanlah mereka melanjutkan perjalanannya, dan matahari terbenam, ketika mereka dekat Gibea kepunyaan suku Benyamin. Ini
 adalah dalil bahwa perubahan dalam Bible masih terus berlanjut, dan 
campur tangan manusia tidak pernah berhenti hingga hari ini. sekalipun 
demikian masih saja ada keyakinan bahwa Bible adalah kitab suci!]
Dengan teks ini, jadilah matahari meninggi di langit kemudian turun 
dan menghilang di kota Gibea. Maka apakah matahari tidak di langit, 
karena dia menghilang di kota Gibea? Ataukah bahkan ungkapan itu 
bermakna bahwa matahari telah terbenam saat mereka sampai di kota Gibea?
Barangkali sekarang menjadi jelas bahwa mereka belum membaca kitab mereka dengan teliti.
Kesalahan besar yang terdapat dalam Bibel adalah disebutkannya dalam Wahyu (12:1): 
Maka
 tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan
 matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua 
belas bintang di atas kepalanya.
Maka kami bertanya kepada orang-orang Nasrani, bahwa seorang wanita 
berselubung matahari, sementara matahari lebih besar 1.030.000 kali dari
 bumi?
Maka bandingkanlah wahai orang-orang berakal, apa hujjah mereka atas kami dan hujjah kami atas mereka!*
_
Syubhat: Demikian juga telah disebutkan dalam 
al-Bukhari bahwa matahari itu bergerak, jadi kesimpulannya, bahwa 
matahari bergerak hingga terbenam di dalam lumpur.
Jawab: al-Bukhari sama sekali tidak mengatakan bahwa
 matahari tenggelam di dalam lumpur, akan tetapi dia meriwayatkan sebuah
 hadits sekitar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Yasin: 38)
Jika yang dianggap aneh itu adalah bahwa matahari bergerak dan 
berotasi maka ini adalah suatu pendapat yang dikuatkan oleh ilmu falak. 
Matahari bergerak dan berputar sebagaimana bumi bergerak dan berputar. 
Rotasi bumi tidak bertentangan dengan gerakan dan perputaran matahari. 
Lalu Imam al-Bukhari rahimahullah tidak pernah meriwayatkan dalam hadits
 bahwa matahari menghilang. Akan tetapi dia meriwayatkan bahwa matahari 
sujud di bawah ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih. Dan sujudnya matahari di 
bawah ‘Arsy ini tidak berarti lama dalam diam dan sujud hingga bisa 
diperhatikan oleh orang-orang yang melihat kepadanya. Sujudnya matahari 
di bawah ‘Arsy tidak berarti dia menghilang dari pendangan seluruh 
manusia, karena ‘Arsy ada di atas langit dan bumi, serta matahari. Tidak
 juga menunjukkan bahwa matahari meninggi hingga di atas langit lalu 
sujud di bawah ‘Arsy. Akan tetapi matahari terbenam dari mata-mata kita,
 sementara dia terus dalam garis edar yang dia berada di dalamnya. Maka 
jika dia beranjak di dalamnya hingga mencapai pertengahan, maka inilah 
tempat sujudnya.
Sesungguhnya ilmu modern telah memastikan kebenaran ayat-ayat 
al-Qur`an dalam masalah perjalanan dan gerakan matahari. Demikian juga 
tentang masalah rotasi bumi. Sementara kita mendapati bahwa Bibel 
bersikukuh atas pendapat bahwa mataharilah yang bergerak mengelilingi 
bumi, bukan sebaliknya. Bahkan sesungguhnya Bibel sama sekali tidak 
pernah menyebutkan di dalamnya bahwa malam dan siang adalah buah dari 
rotasi bumi.
Telah disebutkan dalam Pengkhotbah (1:5): 
Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Teks ini menetapkan satu masalah berbahaya, dimana dia berkata bahwa 
matahari pada saat terbenam, dia bergerak cepat menuju tempat terbitnya 
untuk terbit lagi (?!) Ini, dengan sederhana bermakna bahwa matahari 
berputar mengelilingi bumi!
Cukuplah bahwa orang-orang Nasrani telah menyiksa, membakar dan 
membunuh mati para ilmuwan astronomi yang meyakini rotasi bumi yang 
kemudian menjadi jelas kebenarannya setelah itu. Dan perkara ini 
ternyata telah bersesuaian dengan kemajuan ilmu yang telah dicapai pada 
hari ini, yang itu telah bersesuaian dengan al-Qur`an yang mulia.
Seluruh kesalahan ini ditanggung oleh Bibel, kemudian mereka tidak 
mengambil pusing tentangnya atau merasa bodoh terhadapnya. Lalu mereka 
mendatangi al-Qur’an seraya berusaha dengan segala cara untuk mencari 
kesalahan di dalamnya. Dan mereka tidak bisa menetapkan satu kesalahan 
pun padanya hingga hari ini, dan bahkan hingga hari kiamat nanti.
Jika terdapat satu kesalahan di dalam al-Qur’an yang mulia, maka kami
 katakan kepada para pendeta dan misionaris, ‘Medan sudah ada diantara 
kami dan Anda, silakan berdialog, maka pastilah umat ini akan melihat 
perbandingan yang hakiki antara al-Qur`an Mulia, yang merupakan firman 
Allah, dan antara Kitab yang kalian anggap sebagai Kitab suci, padahal 
tidaklah demikian, karena kitab itu adalah bikinan manusia.’
_
Syubhat: Tersebar di Youtube bahwa Da’i Ahmad Dedat 
rahimahullah wafat dalam kondisi buruk, maka ini adalah bukti bahwa dia 
berada di atas kebatilan, dan Nasrani berada di atas kebenaran. 
(Mahasiswa nasrani S2 di India)
Jawab: Pertama, kita berdo’a memohonkan rahmat dan 
ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Syaikh Ahmad Deedat atas 
apa yang telah dia persembahkan demi menolong agama Islam dan kaum 
muslimin. Sungguh, karena sebabnya telah banyak dari orang-orang Nasrani
 yang beriman, dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran 
dan kesyirikan kepada cahaya Islam. Dan sesungguhnya saya, dengan segala
 ilmu saya tentang Nasrani (kristologi) hanyalah seorang murid kecil di 
hadapan sebuah gunung besar yang saya banyak mengambil faidah darinya, 
maka kami pun meneruskan jalan perjuangannya. Demikian pula kami akan 
meninggalkannya untuk orang-orang setelah kami dengan izin Allah, agar 
cahaya Allah terus bersinar hingga hari kiamat.
Berkenaan dengan kondisi wafat ulama besar ini rahimahullah, maka 
saya menjawab orang-orang Nasarni, dengan mengatakan: sesungguhnya 
hujjah kalian – saya dapati – selalu lebih rapuh daripada sarang 
laba-laba. Saya berharap pada kesempatan yang akan datang, Anda 
memberikan kepada kami minimal satu syubhat yang setara dengan kekuatan 
sarang laba-laba (bukan kurang dari itu), dan itu mustahil Anda lakukan.
 Oleh karena itulah, saya akan menjawab Anda sekalian atas syubhat ini 
dari berbagai sisi:
Pertama, kondisi yang diderita oleh Syaikh Ahmad Deedat sebelum 
wafatnya adalah sebuah kondisi biasa yang dilalui oleh banyak manusia 
pada hari ini. Sebelum wafatnya, dia mengalami kelumpuhan otak yang 
setelah itu dia wafat pada tahun 2005 M. Akan tetapi apakah Anda 
sekalian mengetahui, wahai orang-orang Nasrani tentang usia pada saat 
beliau wafat? Dia wafat pada usia 87 tahun. Artinya, Allah Subhanahu wa 
Ta’ala telah memanjangkan usianya, dan ini adalah sebuah nikmat, lalu 
mengapa Anda sekalian melupakannya.
Jika kalian menganggap penderitaannya dengan sakit sebelum wafatnya, 
yang menyababkannya terduduk di ranjang sebagai bukti akan kebatilannya.
 Maka bagaimanapula anggapan Anda dengan orang yang kondisinya lebih 
hina, disiksa dan disalib sebelum kematiannya?! Bukankah dengan logika 
Anda yang sama menjadi dalil akan kebatilan agama yang dibawanya? Jika 
kondisi Syaikh Deedat sebelum kematiannya adalah sebuah isyarat akan 
kesesatannya, maka apakah hal itu tidak menjadikan kita berkeyakinan 
juga akan kebatilan agama Nasrani dari orang-orang yang tertimpa 
penyakit yang sama, dan jumlah mereka jutaan, sama saja apakah mereka 
yang sudah mati atau yang berada di atas ranjang hari ini?! Terutama, 
seharusnya mereka tidak sampai pada kondisi yang dialami Syaikh Deedat 
karena keberadaan al-Masih ‘Alaihi Sallam yang telah menjadi juru 
selamat mereka dari kesalahan sesuai dengan keyakinan Anda? Sementara 
Syaikh Deedat, tidak ada seorang pun yang menjadi juru selamat baginya 
dari segala kesalahan?! Maka seharusnya yang tertimpa penyakit itu hanya
 dia saja – dan yang setara dengannya – bukan malah banyak orang-orang 
Nasrani.
Kedua, sakit itu dari Allah, yang kemudian datang sebagai buah dari 
bentukan Allah terhadap tubuh manusia. Sang Pencipta Subhanahu wa Ta’ala
 menciptakan manusia berbeda-beda dalam tabiat tubuh-tubuh mereka. Dia 
jadikan sebagian mereka, system kekebalan tubuhnya lebih kuat dari yang 
lain, sementara yang lain Dia jadikan tugas-tugas anggota tubuhnya 
menjadi kendur sebelum yang lain… demikian seterusnya.
Masing-masing mereka berbeda-beda akhir kematian mereka; sama saja 
mereka yang mati dengan kesehatan buruk atau dengan kesehatan baik. Maka
 tidaklah kondisi kematian seseorang itu merupakan bukti akan kebenaran 
atau kesalahan keyakinan manusia. Jika tidak, maka pastilah al-Masih 
‘Alaihi Sallam (menurut Nasrani), dengan logika ini, menjadi manusia 
yang paling sesat 
wal’iyadzu billah, dimana dilakukan 
penyiksaan yang menakutkan terhadapnya, lalu dia mati dengan kematian 
yang sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Bibel kalian, yaitu dengan 
kematian buruk yang telah disodorkan padanya bentuk penyiksaan 
menakutkan yang terburuk yang Syaikh Deedat tidak megalami hal itu. 
Bahkan Syaikh Deedat, saat wafat tidak mengalami peludahan sebagaimana 
yang dialami oleh al-Masih ‘Alaihi Salam dengan pengakuan injil Matius 
(26:67) 
Lalu mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya; orang-orang lain memukul Dia.
Lalu penyiksaan terhadapnya terus berlangsung hingga setelah 
kematiannya. Maka jadilah kematian al-Masih ‘Alaihi Sallam, sebagaimana 
 yang diceritakan oleh Bibel kalian, lebih buruk dari kematian Syaikh 
Deedat yang wafat dalam keadaan mulia tanpa ada satu penghinaan pun 
terhadap kemuliaanya, atau yang menyentuh sisi kemanusiaannya.
Ketiga, bagaimana Anda sekalian mengharuskan kami, dengan logika 
kalian terhadap kematian seorang muslim yang memiliki agama selain agama
 Anda sekalian? Karena kematian dalam agama Islam adalah satu tanda dari
 tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah Dia tetapkan terhadap 
hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati….” (QS. al-Anbiya’: 35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup terhadap hamba-hamba-Nya akan
 pengetahuan waktu kematian, demikian juga tempat yang di dalamnya dia 
mati, demikian juga jalan yang menghantarkan kepadanya. Allah Subhanahu 
wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
“…dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Kematian adalah sebuah rahmat bagi seorang mukmin, dan azab bagi 
orang-orang kafir, karena kematian adalah sebuah tabir yang dengan 
hilangnya tabir itu sampailah seorang mukmin kepada sorga dan 
keridhaan-Nya, dan yang kafir sampai kepada azab Allah dan neraka Jahim 
selamanya. Dan bukanlah cara kematian, apapun bentuknya adalah sebuah 
dalil akan buruknya kematian, kecuali orang yang mati di atas maksiat 
dan tercabut rohnya di atasnya. Sementara Syaikh Ahmad Deedat wafat di 
atas kebaikan agung yang telah kami kenal, dan dikenal oleh orang-orang 
yang dekat dengannya. Mudah-mudahan Allah merahmati ulama besar ini 
dengan rahmat yang luas.
***
______________________________