PROLOG
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.Di bulan Ramadhan tahun ini (1432 H, ed.), kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak. Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini. Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!
JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua. Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu Apa Saja yang Dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai variannya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”).
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para orangtua,
مُرُوا أَوِلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun.” (H.R. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempraktikkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasihati seorang anak kecil,
يَاغُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah)
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu
seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita
menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana
membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka
untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri
anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan
anak lainnya.
anak lainnya.
Ayo Belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa
menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga
diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri,
meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca
buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua
yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANG TUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’
Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimas salam. Ya, di antara penggalan
kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi.
Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan
untuk sekadar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung
tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan
tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah
dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya.
Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan
di bawahnya terpendam harta peninggalan orang tua mereka yang salih.
Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut
dewasa dan
mengambil manfaat dari harta itu.
mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di
antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan
menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah
meninggal dunia sekalipun.[1]
Subhânallâh, begitulah dampak positif
kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap
dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup??
Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.
Urgensi Kesalihan Orang Tua dalam Mendidik Anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita
yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan
salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai
cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita
selaku orang tua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi
salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan
dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua
mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab
ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia
lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias
akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam
dengan kuat di benaknya. Dan insya Allah itupun juga yang akan ia
praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan, “buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak
disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang
dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil,
yang suka meniru!
Beberapa Contoh Aplikasi Nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin
untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah
ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi
ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca
al-Quran, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang
keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah
Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan
langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah
berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua
kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu
contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak
kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa
yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur?
Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya
sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…” Tapi
ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah
berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya. Terus apa yang
sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan
dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi
ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang,
insya Allah kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi
terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih
untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis.
Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya
harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan
pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan
memahami mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi
bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah Renungan Penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada
beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan
telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman
ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orang tua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin
mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan
acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para
nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka
lebih nyaman untuk menghabiskan waktu ber-facebook-an dan akrab dengan
artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak
dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka
sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan
apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika
kondisi kita terus seperti ini?? Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi
buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang.
Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita
sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan
orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan.
Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak
bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah
mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita
lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna
mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga
mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.
Apa Sih Kekuatan Keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringanProses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana. Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insya Allah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
2. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot
Sering kita mencermati dan merasakan bahwa
di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak
yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit
ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata
berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya
begitu mentari pagi bersinar. Apa yang membedakan? Salah satunya adalah
kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata
itu untuk sekadar meluapkan amarah, maka anak-anak itu
akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika
Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah
untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah
akan menjadi perkataan yang berbobot. Sebab bobot kata-kata kita kerap
bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya
penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur
Jangan pernah meremehkan perhatian dan
pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa
akan begitu mudah merasakan suasana hati kita. Dia bisa membedakan
antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan
ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orang tuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?
ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orang tuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?
Manakala si anak merasakan ketulusan hati
orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan
nasihat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap
bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan
dirinya.
4. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala
Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak
positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di
alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua
dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan
keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman,
beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan
pertemukan mereka dengan anak cucu mereka.” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Dipertemukan di mana?
Di surga Allah Jalla wa ’Ala![2]
Mulailah dari Sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk
membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil
mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan
setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya,
suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar
setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan
tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa
mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Sehingga dengan itu,
semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan
membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat
untuk senantiasa menuntut ilmu,
beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak
bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan
yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan
nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi
dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang
membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab
rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang
tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh Aplikasi Kesabaran
1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak
Anak bagaikan kertas yang masih putih,
tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوِ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمجِّسَانِهِ
“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan
berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam
keseharian, insya Allah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya.
Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir
di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran
tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang
baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu
yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang
timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada
habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab
pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya
kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan
pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita
untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya
dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan
jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa. Jika kita ogah-ogahan untuk
menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru
menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya
dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang
dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang
bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang
baik-baik!
Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
3. Sabar menjadi pendengar yang baik
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk
bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak,
orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau
bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.
Salah satu contoh, anak kita baru saja
pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita
tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan
tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga
khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung
menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap
kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan,
“Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/ mama tahu kamu
pasti main ke tempat itu lagi kan?!” Akibatnya, ia malah tidak mau
bicara dan marah pada kita.
Pada saat seperti itu, yang sangat
dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu
dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan
adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan
untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik
untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita
memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu
yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk
tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai
menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan
apa yang ingin Anda sampaikan.
4. Sabar manakala emosi memuncak
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau
hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi
kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung
untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni berwudhu.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni berwudhu.
Jika kita bertekad untuk tetap memberikan
sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan
susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan
yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan
untuk menyakiti.
Berakit-rakit ke Hulu
Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.
Sabar dalam mendidik anak memang terasa
berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di
dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada
orangtuanya insya Allah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat
mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir
deras. Semoga…
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jumat
di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di
sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa
sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan
tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala
dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses, dan seterusnya. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang
mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun, bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka.”
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses, dan seterusnya. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang
mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun, bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka.”
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih
redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada
redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam
al-Quran dan Hadits “Rabbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan
pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). (Q.S. Al-Furqan: 74)
pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). (Q.S. Al-Furqan: 74)
Seberapa Besar Sih Kekuatan Doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat,
mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala
tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak
akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar
kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi
kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada
Allah Jalla wa ‘Ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba,
merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala
sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya
begitu spesial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal
itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi.” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)
Sejak Kapan Kita Mendoakan Anak Kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami
istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى
أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ
الشَّيْطَانُ
“Jika salah seorang dari kalian sebelum
bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy
syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah.
Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang
Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak,
niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya.” Hadits riwayat Bukhari
(hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun
jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri
kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi
generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mencontohkan,
زَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih.” (Q.S. ash-Shâffât: 100).
Nabi Zakariya ‘alaihis salam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Q.S. Ali Imran: 38).
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun,
kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang
mustajab. Antara azan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam
terakhir misalnya. Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda
perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan
doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa
besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.
Awas, Hati-hati!
Doa orang tua itu mustajab, baik doa
tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para
orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata
yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan
tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada
Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau
bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”
“Ya” sahutnya.
“Engkau sendiri yang merusak anakmu,” pungkas sang Imam.
***
_______________________________________
Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
[1] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr
(V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435)
(V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435)
[2] Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-
I’tiqâd (hal. 183)
I’tiqâd (hal. 183)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar