 Di
 antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah 
tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan 
dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya 
sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan
 tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.
Di
 antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah 
tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan 
dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya 
sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan
 tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
 “… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi. Lihat  Irwa’ hadits no 302)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa shalat
 itu tidak hanya gerakan saja namun meliputi perkataan, karena yang 
dimaksud dengan membaca itu adalah menggerakan lidah seperti yang telah 
maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
Oleh karena itu para ulama yang melarang 
orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan
 ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di 
dalam hati tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata, 
“Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat 
al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia 
diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar 
hal 10)
Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun 
seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal 
itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca 
adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah 
perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah 
berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits ini berkualitas shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062)
Mengenai keras bacaan seseorang dalam 
shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah 
suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. 
Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.”
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa
 orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa
 perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir,
 ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan 
berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut. 
Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi 
selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa 
al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143))
Mayoritas ulama lebih memilih untuk 
mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. 
Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja 
ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa 
didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan
 pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))
***
____________________________ 
Rujukan:
-Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, Koreksi Total Ritual Shalat, Pustaka Azzam 1993.
-Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000.
-www.alsofwah.or.id, Tuntunan Shalat Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah.
 








 
 
 



Tidak ada komentar:
Posting Komentar