Makna Kembali ke Pesantren

Tiga puluh tahun yang lalu yakni tahun 1984 
tepatnya di Situbondo, NU mencanangkan gerakan "Kembali ke Khittah 
1926". Langkah strategis itu telah membawa kemajuan yang sangat berarti 
bagi NU, sehingga menjadi organisasi yang besar, kuat dan disegani. Pada
 hakekatnya kembali ke Khittah adalah kembali pada spirit, pola pikir 
serta nilai luhur pesantren.
Karena itulah pada periode ini NU mencanangkan gagasan besar Kembali 
Ke Pesantren, sebagai realisasi mengembalikan Khittah serta jati diri NU
 yang lahir dan besar di Pesantren. Maka sudah selayaknya dalam usianya 
yang ke-90 tahun ini NU menegaskan kembali gagasan mulia tersebut.
Pesantren
 merupakan khazanah peradaban Nusantara yang telah ada sejak zaman 
Kapitayan, sebelum hadirnya agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan 
Islam. Pertemuan dengan agama besar tersebut pesantren mengalamai 
perubahan bentuk dan isi sesuai dengan karakter masing-masing agama, 
tetapi misi dan risalahnya tidak pernah berubah, yaitu memberikan muatan
 nilai spiritual dan moral pada setiap perilaku masyarakat sehari-hari, 
baik dalam kegiatan sosial, ekonomi maupun kenegaraan.
Sejak awal
 pesantren menjadi pusat pendidikan masyarakat mulai dari bidang agama, 
kanuragan (bela diri), kesenian, pereonomian dan ketatanegaraan. Karena 
itulah para calon pimpinan agama, para pujangga bahkan para pangeran 
calon raja dan sultan semuanya didik dalam dunia pesantren atau 
padepokan. Para pandita, panembahan atau Kiai yang mengasuh para murid, 
cantrika atau santri dlam belajar sehari hari.
Zaman Islam 
terutama pada masa Walisongo, pesantren yang semula bernuansa 
Hindu-Budha mulai mendapatkan nuansa Islam, sejalan dengan tersebarnya 
agama baru ini. Dari pesantren itulah agama diajarkan secara luas di 
tengah masyarakat. Dan diajarkan secara mendalam, dengan mempelajari 
berbagai kitab babon, sehingga melahirkan ulama atau kiai besar yang 
menjadi penerus perjuangan para wali. Berbagai kitab yang diajarkan di 
pesantren saat ini, baik kurikulum, kitab dan metodenya semuanya berasal
 dari generasi para wali dan kiai sesudahnya. Metode itulah yang 
terbukti berhasil melahirkan berbagai ulama dan pujangga serta sultan 
yang berpengaruh dalam sejaha Islam Nusantara. Paku Buwono VI dan 
Panageran Sambernyowo (Mangkunegoro I) juga Pangeran Diponegoro tokoh 
besar yang piawai dalam politik dan lihai dalam perang, tak pernah 
terkalahkan dalam perang, semuanya murni hasil pendidikan politik 
pesantren.
Baru ketika kolonial datang dengan kebijakan Politik 
Etisnya tahun 1900, memperkenalkan  pendidikan sekolah yang hanya 
mengajarkan ilmu-ilmu keduniaan dengan dasar rasional semata, mulailah 
terjadi dualisme pendidikan Nusantara. Pendidikan yang semua terpadu 
mulai dipisah antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Karena 
pendidikan Barat tidak mengenal ilmu agama, hanya mengenal ilmu umum 
sementara pendidikan pesantren saat itu mengintegrasikan keduanya.
Hadirnya
 pendidikan kolonial yang diperkenalkan secara persuasip maupun represi 
itu, menjadikan sekolah menjadi pendidikan tunggal yang menggeser posisi
 pesantren. Ketika politik diarahkan pada paradigma Barat, sehingga 
belajar hukum dan politik harus ke Sekolah Barat bukan lagi ke pesantren
 seperti para sultan sebelumnya. Sementara pesantren yang menjalankan 
politik anti tasyabuh atau non kooperasi total, menolak segala bentuk 
budaya Belanda. Pesantren terus berjalan dengan paradigmanya sendiri, 
namun demikian tetap melahirkan tokoh besar yang tak terkalahkan. Hampir
 seluruh perlawanan terhadap penjah dilakukan oleh pimpinan pesantren. 
Kalaupun dilakukan oleh Kraton, tentu melibatkan para kiai dan santri 
dari pesantren.
Para tokoh besar Islam seperti KH Ahmad Rifai, KH
 Hasyim Asy'ari, adalah tokoh pergerakan nasional yang mampu 
menggoncangkan kekuasaan Belanda, walau tak sekejappun merasakan 
pendidikan sekolah Belanda. Demikian juga KH Wahab Hasbullah, KH Wahid 
Hasyim, yang piawai dalam politik, sehingga sejak tahun 1943-an telah 
menjadi Pimpinan Shumubu (Menteri Agama) dan ketua Masyumi, mewakili KH 
Hasyim Asy'ari. Dan pada Sidang BPUPKI Menjadi anggota perumus Pancasila
 dasar negara dan perumus Mukadimah UUD 1945, sehingga konsep filosofis 
itu menjadi sangat religius ketika mendapatkan muatan nilai pesantren. 
Kiai Wahab sendiri yang merupakan politik ulung mitra Bung Karno, 
terutama dalam menghadapi persoalan kenegaraan, padahal hanyalah murni 
dididik di Pesantren. Justeru dengan keilmuan pesantren itulah bisa 
melengkapi politik Barat yang dianut oleh Bung Karno.
Ketika 
Konstituante mengalami jalan buntu, para kiai dari Pesantren justeru 
memberikan jalan keluar yang kreatif, sehingga Bung Karno dengan mudah 
mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, Kembali ke UUD 1945, setelah 
berkonsultasi dengan NU, terutama dalam menempatkan Piagam Jakarta 
secara proporsional. Tidak ditetapkan secara formal, tetapi juga tidak 
diabaikan perannya, tetapi ditempatkan sebagai jiwa bagi UUD 1945. 
Walaupun politik sering dituduh anti moral, tetapi seburuk-buruk politik
 apapun maih membutuhkan moral, agar relasi antar pelaku bisa berjalan. 
NU menawarkan gagasan moral atau akhalakul karimah dalam politik, karena
 itu NU bisa ambil peran.
Deideologisai serta depolitisasi 
pesantren yang dilakukan rezim orde baru telah mengarah pada deNUnisai, 
kebijakan itu berakibat menjauhkan peran NU dan pesantren dalam  
politik. Apalagi sejak zaman reformasi ketika gelombang globalisasi dan 
liberalisasi melanda seluruh dunia termasuk negari ini, maka nilai moral
 dalam kehidupan sosial, gotong royong semakin memudar, dalam bidang 
seni budaya etika telah ditinggalkan digantikan dengan estetika yang 
hanya mengumbar nafsu dan kemewahan dunia. Dalam bidang ekonomi terjadi 
persaingan bebas saling memangsa. Sementara dalam bidang politik etika 
atau fatsoen politik diangap sebagai doktrin lama yang harus 
ditinggalkan.
Makna Kembali ke PesantrenMengingat
 suasana kehidupan pasca Reformasi yang diwarnai dengan globalisasi dan 
liberalisasi yang melanda seluruh sektor kehidupan itu tidak ada cara 
lain bagi NU kecuali kembali ke pesantren, untuk menyelamatkan kehidupan
 masyarakat sejalan dengan tradisi dan etika. Kembali kepesantren 
memiliki dua pengertian baik secara fisik maupun secara nilai dan 
tradisi, yang merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dari satu sistem 
pesantren yang sudah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad.
Pertama,
 kembali ke pesantren dalam arti fisik berarti mengembalikan keseluruhan
 kegiatan NU mulai dari rapat pleno, konferensi, rapat kerja, Munas 
hingga Muktamar, kembali dipusatkan di pesantren yang menjadikan 
pesantren. Dengan segala keterbatasannya terbukti pesantren mampu 
menyedaikan suasana yang jauh kondusif ketimbang tempat lain sehingga  
keakraban dan keseriusan serta kesederhanaan bisa tercipta. Ketika 
langkah kembali ke pesantren dilakukan terbukti berhasil kembali 
mendekatkan NU dengan tradisi pesantren norma serta moralnya, dan 
sekaligus memperkuat kembali institusi pesantren  sebagai pusat 
perubahan  pengembangan masyarakat. Peran pesantren kembali dilihat dan 
diperhitungkan orang.
Kedua, kembali ke pesantren dalam arti tata
 nilai, dalam arti pesantren selalu menekankan pada nilai kejujuran, 
kesederhanaan, kebersamaan dan pengabdian yang mendalam dan tanpa batas.
 Dari nilai-nilai tersebut tumbuh etos, rasa saling percaya, budaya 
gotong royong, kecintaan pada ilmu dan profesi tanpa batas, sebagi 
bentuk pengabdian pada Allah, yang ditasarufkan sebesar-besarnya pada 
kemaslahatan umat manusia. Langkah ini sebenarnya biasa saja. Tetapi 
karena dijalankan di tengah maraknya individualisme bahkan egoisme 
persaingan bebas tanpa belas kasihan, maka langkah Kembali Ke Pesantren 
ini terasa radikal dan kontroversial. Hal itu bisa dipahami karena ini 
berarti menentang arus yang sedang berjalan, yaitu individualisme, 
pragmatisme yang melanda dunai saat ini, yang seolah menjadi nilai 
kehidupan tertinggi.
Pendidikan pesantren diberikan oleh seorang 
ulama atau kiai yang representatif, yang dalam pengembangkan ilmunya 
telah mendapatkan ijazah (pengesahan) dari guru masing-masing. Dengan 
demikian otentisitas sanad (mata rantai) keilmuannya menjadi jelas, 
sehingga pemahamnnaya bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu segala ilmu
 dan amalan diajarkan secara bertahap dan thuluz zaman (dalam waktu yang
 lama). Ilmu dan amal yang dikerjakan menjadi sangat hakiki dan 
mendalam. Sang kiai atau sang panembahan merupakan guru pembimbing yang 
menjadi contoh teladan bagi santri dalam kehidupan.
Pendidikan 
pesantren diselenggarakan secara tertib, memakan waktu yang lama, agar 
memperoleh pemahaman hakekat segala sesuatu secara mendalam, sehinga 
memudahkan membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Dimensi 
kedalaman ini sangat ditekankan di pesantren mengingat firman Allah, 
يَا
 أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ 
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ 
Artinya: "
Wahai manusia sesungguhnya janji Allah itu benar, 
maka janganlah kehidupan dunia menipumu, dan jangan kamu terkecoh oleh 
tipuan yang mengatas namakan Allah." (QS: Al Fathir: 5)  
Hal
 itu terbukti, sekarang ini banyak kesalehan yang ditampakkan secara 
lahiriah, bahkan sikap ketaatan dan kedisplinan beribdah begitu tinggi 
dan kesemarakan yang kompak. Tetapi pada saat yang bersamaan pelanggaran
 terhadap norma-norma agama terjadi pada orang yang bersangkutan. 
Bahklan tingkat kejahatannya melebihi orang tidak mengenal agama. 
Padahal semua perilaku mereka dan kelompoknya atas nama agama. Ini tidak
 lain karena pendidikan atau tarbiyah yang dijalankan serba instan. 
Hanya mengutamakan kedisiplinan fisik. Tidak diisi dengan kerohanian 
yang mendalam. Agama yang diajarkan secara instan dan dangkal serta 
sepintas, hanya menjadi kedok, mudah menjadi alat manipulasi.
Padahal perbuatan yang memamerkan amal tetapi tanpa isi seperti itu menurut Allah merupakan kedurhakaan, sebagai difirmankan,
قُلْ
 هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ 
سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ 
يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Artinya: "
Kami akan memberi tahu kamu tentang  orang yang 
amalnya paling merugi; yaitu orang yang sia-sia amalnya di dunia ini, 
padahala mereka menyangka dirinya telah beramal baik." (QS: Al-Kahfi 103-104) 
Dalam
 amaliah sehari-hari termasuk dalam ibadah, terdapat perbedaan yang 
tipis antara yang benar dan yang salah, karena itu para ulama pesantren 
menjaga agar para santri berhati-hati dengan jebakan tersebut. Bimbingan
 seorang guru, mursyid atau kiai pada umat menjadi sangat penting untuk 
menghindari pengerjaan amalan yang sia-sia seperti itu. Aktivitas 
berkedok agama tetapi untuk tujuan duniawi semata.
Di sinilah 
pentingnya kembali ke pesantren untuk kembali menegakkan moralitas dan 
nilai-nilai yang diajarkan oleh para wali dan ulama sepanjang sejarah 
Nusantara. Ajaran dan hikmah yang diamalkan para ulam terdahulu itu 
sangat penting justeru dalam situasi globalisasi yang serba tidak 
menentu saat ini.
Kembali ke Pesantren, Kembali ke Budaya NusantaraSebagaimana
 dijelaskan di depan bahwa pesantren merupakan budaya asli Nusantara, 
yang mengembangkan nilai kenusantaraan lestari hingga sekarang. Antara 
sultan dengan wali (ulama) merupakan satu kesatuan, hal itu secara 
kelembagaan berarti menyatunya antara kesultanan atau keraton dengan 
dunia pesantren yang terjalin mulai Samudera Pasai di Aceh, Di Jawa 
hingga Ternate Todeore di Maluku dan Papua.
Secara berangsur 
hubungan itu renggang bahkan terpisah, berdiri sendiri tanpa saling 
mengisi, bermula sejak zaman Belanda dan berlangsung hingga zaman orde 
baru. Padahal mulanya mereka sekeluarga. Dalam keterpisahan itu keduanya
 mengalami kemerosotan. Tetapi pihak kesultananlah yang paling merasakan
 akibatnya. Bisa dibuktikan, sekarang ini hanya tingga dua atau tiga 
kesultanan yang masih hidup dan berkuasa, yang lain tinggal nama, 
ataupun dihidupkan kembali tetapi tidak punya rakyat, tidak punya 
tentara. Bayangkan dengan dunia pesantren, ketika ditindas Belanda dan 
direpresi orde baru, tetapi masih terus hidup. Saat ini umumnya 
pesantren yang jumlahnya  ribuan itu ada yang memiliki santri dua ribu 
hingga lima ribu orang. Bahkan organisasi kepesantrenan masih memiliki 
kekuatan para-militer terlatih yang jumlahnya bisa ribuan orang. Hal 
yang sama tidak dimiliki oleh Kraton atau kesultanan manapun di 
Nusantara.
Belakangan ini keraton baru menyadari kelemahan 
tersebut, bersamaan dengan kunjungan Para Sultan Nusantara mereka 
mengatakan, selama ini mereka mengalami kelumpuhan ketika para Sultan 
berjalan tanpa Wali, sehingga posisi mereka semakin terpuruk tidak ada 
yang bisa menolong. Menurut mereka walinya Republik Indonesia saat ini 
adalah pesantren yang dipimpin oleh NU. Karena itu mereka mulai merasa 
pentingnya kerjasama dengan organisasi kepesantrenan seperti NU, sebagai
 upaya mengembalikan wibawa kesultanan sebagaimana dahulu kala.
Sejak
 ditaklukkan Belanda kesultanan sebenarnya telah ditundukkan secara 
moral dan intelekual. Akhirnya mereka sepenuhnya berkiblat ke barat 
ketika berpolitik. Apalagi sejak awal mereka mendapatkan hak istimewa 
untuk bisa sekolah Belanda, yang menjadikan mereka semakin menjadi 
westernis, yang semakin menjadikan mereka terpuruk. Nilai kenusantaraan 
terutama nilai keagamaan semakin mereka tinggalkan, apalagi pesantren 
yang dulu mendampingi, membimbing dan mengarahkan mereka telah diganti 
dengan penasehat dari Belanda dan Eropa lainnya maka Kesultanan semakin 
jauh dari rakyatnya. Karena itulah masa kemerdekaan mereka dihancurkan 
bersama hancurnya kolonialisme. Sementara kaum santri bergabung dengan 
kaum Republiken yang dengan aktif mendirikan Republik ini.
Munculnya
 resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeliarkan KH Hasyim Asyari 
merupakan keterlibatan pesantren dalam mendirikan Repuiblik ini. 
Kalangan ulama pesantren lebih sigap dalam membaca perubahan saat itu, 
sementara kesultanan masih terikat oleh berbagai perjanjian dengan 
Belanda sehingga mereka ketingalan langkah dalam mengambil 
kepemimpininan di negeri ini, saat menjelang berdirinya Republik ini.
Dengan
 ketemunya kembali dua elemen penting Nusantara yaitu antara kesultanan 
dan pesantren diharapkan Indonesaia bisa menemukan jatidirinya kembali. 
Karena keduanya sebenarnya pemangku utama budaya Nusantara yang 
berpegang teguh pada nilai tradisi dan norma agama, yang ini telah 
tertanam dan terjalin sejak berabad yang lalu yang telah dirintis oleh 
para wali sejak datangnya Islam di Nusantara. Bagi Negara Kesatuan 
Republik Indonesia sendiri, kembali pada nilai-nilai Nusantara menjadi 
sangat mendesak saat ini, sebab apa yang dirumuskan dalam sistem politik
 dan ketatanegaraan kita seperti Pancasila adalah merupakan produk dari 
falsafah dan budaya Nusantara. Karena itu nilai kenusantaraan dan 
kepesantrenan perlu terus digali bersamaan dengan proses menemukan jati 
diri bangsa ini.
Bersamaan dengan derasnya gelombang globalisasi 
yang membawa arus leiberalisasi, telah melonggarkana seluruh ikatan 
keluarga, ikatan sosial bahkan ikatan agama. Padahal tanpa ikatan agama,
 tanpa ikatan keluarga dan tanpa ikatan sosial, maka norma dan moralitas
 sulit dijalankan. Karena pada dasarnya agama, lingkungan keluarga dan 
lingkungan masyarakat merupakan persemaian berbagai norma dan etika. 
Kembali ke pesantren diartikan sebagai kembali pada norma kelluarga, 
norma sosial, karena dalam lingkungan itulah norma agama ditumbuhkan dan
 diinternalisasi menjadi perilaku dalam kehidupan. 
Melahirkan Sosok IdealSetiap
 gagasan besar atau perkumpulan besar selalu membutuhkan tipe ideal atau
 sosok ideal bagimana kira-kira gagasan atau cita-cita perkumpulan 
tersebut dicitrakan dan diwujudkan di alam nyata dan dilaksanakan dalam 
kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah kita munculnya tokoh yang 
diidealkan itu sangat lazim. Sosok ideal gagasan tentang Indonesia 
antara lain adalah Soekarno, Hatta dan sebagainya. Sosok Ideal NU 
misalnya KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, di Muhammadiyah 
terdapat sosok yang diidolakan seperti KH. Ahmad Dahlan. Dalam Sarekat 
Islam terdapat HOS Tjokroaminoto. Sosok semacam itu tidak hanya memiliki
 daya pikat, tetapi sekaligus memiliki daya ikat, sehingga mampu menjaga
 kohesivitas ide yang masih abstrak atau cita-cita perkumpulan atau 
organisasi yang masih utopis. Di dunia sana juga sama dalam Swadesi ada 
Gandhi, dalam Pan Islam ada Al Afghani. Para Nabi sendiri merupakan 
sosok ideal dari setiap agama yang mereka bawa.
Sosok semacam itu
 dianggap contoh paripurna dalam sebuah idea atau perkumpulan. 
Seringkali mereka ditempatkan sebagai makhluk supra manusiawi, sosok 
yang tidak pernah salah, paling banter hanya khilaf dan itupun sangat 
dimaklumi dan segera dimaafkan oleh pendukungnya. Dengan demikian  
mereka menjadi panutan, pemberi inspirasi, memberikan rasa bangga dan 
rasa percaya diri, memberi harapan dan bahkan memberikan rasa aman bagi 
para pendukungnya. Kelebihan mereka adalah tidak hanya bisa memberikan 
mauidloh hasanah (nasihat yang baik) tetapi mampu memberikan 
uswatun hasanah (teladan yang baik). Keteladanan itulah kunci utama bagi sosok idel tersebut. 
Dalam
 masyarakat dan bangsa ini muncul keprihatinan yang mendalam tentang 
tidak hadirnya sosok ideal yang diharapkan itu. Apalagi dalam masyarakat
 yang percaya akan datangnya Ratu Adil, Imam Mahdi atau Mesias itu 
sering merasa kecewa. Setiap muncul sosok yang dianggap akan menjadi 
sosok ideal apakah itu dari kalangan ilmuwan, politisi, seniman dan 
bahkan agamawan yang menjadi panutan dan dielu-elukan, tetapi tiba-tiba 
sang idola terjebak berbagai kasus pelanggaran moral. Pengalaman seperti
 ini yang selalu membuat masyarakat frustrasi. Munculnya para aktivis 
terutama kalangan muda di panggung politik, yang diharapkan mampu 
membawa perbaikan, ternyata tidak memberikan harapan, malah terjerumus 
dalam praktek politik yang mengabaikan norma dan etika.
Untuk 
mengatasi rasa frustrasi dan memberikan kepercayaan serta harapan bagi 
masyarakat saat tidak hadirnya sosok ideal yang berupa manusia yang 
ditokohkan, maka orang harus mulai realistis dan memahami gerak zaman 
terjadi. Dengan tidak adanya sosok ideal masyarakat tidak perlu 
kehilangan arah, kehilangan tuntunan dan juga lepas kendali, karena 
masih ada yang bisa dijadikan pegangan bukan orang per orang melainkan 
berpegang pada ide, wahyu dan termasuk organisasi atau jamaah, yang 
kemurniannya terus dijaga oleh pendukungya. 
Dalam kondisi 
seperti ini dimana pribadi yang seperti Nabi atau Rasul tidak ada, maka 
uswah atau teladan kita bukan orang, tetapi cita ideal jamaah atau 
organiasai yang berpegang teguh pada cita-cita dan tata nilai. Karena 
jamaah merupakan cerminan dari ajaran Allah dan Rasulnya sebagaimana 
difirmankan.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
"
Apabila terjadi perselisihan, maka kembalilah kepada Allah dan rasulnya". (QS. An-Nisa':59) 
Kita
 kembali ke sana karena keduanya merupakan simbol kebenaran mutlak, 
untuk itulah para ulama yang merupakan amna'ul ummat (kepercayaan umat) 
menjadi panutan karena mampu memahamkan umat dan mendekatkan pada 
kebenaran. Sebagai langkah untuk mewujudkan Islam ideal sebagai rahmatan
 lil alamin, sebagaimana tercermin dalam Al-Quran dan Hadis yang masih 
ijmal (umum) itu bisa terapkan maka diperlukan upaya pemahaman kreatif 
secara kolektif (ijma') atau secara individual (qiyas).
Upaya 
pemahaman manusia terhadap realitas selain menggunakan bayan ilahi 
(pemahaman Ilahi) yaitu al-Quran dan Sunnah juga dilakukan dengan 
menggunakan 
bayanul aqli (pemahaman akal) yaitu ijma' dan 
qiyas, maka lahirkan ilmu fikih, sehingga masyarakat mampu menjalankan 
agama dengan terinci dan operasional. Tentang cara menjalankan 
sembahyang, kapan waktunya dan bagaimana syarat rukunnya. Tata cara 
zakat, puasa haji dan lain sebagainya. Agar gugusan moral yang ada dalam
 Al-Quran dan Sunnah itu dijadikan sebagai pedoman hidup sehari-hari, 
dengan dirumuskannya etika dan sopan santun adab dan tatakrama. Dengan 
adanya ilmu fikih dan ushul fikih itu pemahaman agama menjadi dinamis. 
Sejalan dengan prinsip 
taghaiyirul ahkam bi taghyiril azman (hukum fikih selau berubah sejalan dengan perbahan zaman). Setiap zaman memerlukan rumusan hukum tersendiri.
Kontekstualisai
 ajaran Islam agar membawa berkah bagi seluruh umat, maka kalangan ulama
 NU terus melakukan reaktualisasi pemikiran Islam. Langkah ini ditempuh 
dengan kerendahan, dalam menjalankan qiyas, misalnya disebut dengan 
ilhaq (penyamaan) atau istiqrai (survai). Sementara untuk menghindarkan 
istilah ijtihad yang terlalu besar digunakan istilah ijma (yang berarti 
ijtihad secara kolektif). Dengan menggunakan Ilmu ushul fikih (metode 
pengambilan hukum) itulah Al-Quran dan Sunnah bisa dipahami. Karena itu 
kebenaran fikih itu bersifat relatif, berbeda dengan Al-Quran dan Sunnah
 kebenarannya adalah mutlak, karena itu fikih bisa dikritik dan direvisi
 demi kemaslahatan umat. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang 
majemuk, prinsip fikih tersebut tidak bisa diterapkan secara eksklusif, 
karena itu perlu ditransformasikan menjadi etika sosial agar menjadi 
inklusif, menjadi kesepakatan bersama, sehingga bisa diterima oleh semua
 pihak.
Agar kemaslahatan umat terus terjaga maka perlu dilakukan
 berbagai langkah konkret, sebagai masyarakat beragama yang telah 
memiliki berbagai instrumen agama untuk menghadapi dan menyelesaikan 
masalah, maka instrumen keagamaan itu yang digunakan terutama yang sudah
 dirumuskan dalam kaidah fiqhiyah. Berbeda dengan logika Aristotelian 
yang bersifat abstrak dan spekulatif, logika yang dibagun ilmu fikih 
dalam kaidah fiqhiyah merupakan instrumen praktis sebagai sarana 
penyelesaian masalah. Misalnya prinsip 
dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih
 (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mencari kebaikan). Ini 
untuk mencegah terjadinya perubahan yang asal berubah, karena tidak akan
 membawa maslahah. Perubahan perlu direncanakan secara rapi dan terinci 
serta hati-hati.
Begitu pula dalam menghadapi budaya dari luar terdapat prinsip 
al-muhafadzatu 'alal qadimish shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah
 (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang 
lebih baik). Mengingat tujuan pengambilan dan pengembangan budaya adalah
 untuk perbaikan maka pengambilan tradisi lain dibolehkan asal lebih 
baik, sehingga diharapkan akan menjadi modal bagi pengembangan budaya 
yang ada. Begitu pula dalam mencapai kemaslahatan tidak boleh dengan 
menggunakan kemaksiatan. Sebagaimana hukum logika, penyimpangan yang 
dijalankan terus menerus akan melahirkan penyimpangan dalam bentuk lain 
yang lebih jauh, yang tidak mungkin melahirkan kebajikan.
Dalam 
khidmahnya selama 90 ini NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang 
dipimpin oleh para ulama berusaha keras untuk mewujudkan terwujudnya 
masyarakat ideal. Satu dasawarsa mendatang kiprah NU telah genap 100 
tahun. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila ini 
menurut NU adalah bentuk ideal dari sebuah negara. Hanya saja negeri ini
 masih dilanda berbagai krisis, baik krisis budaya termasuk krisis 
moral. Prinsip akhlakul karimah dalam semua aspek kehidupan perlu 
ditegakkan kembali agar bentuk dan dasar negara yang ideal ini menjadi 
semakin ideal. Diharapkan dalam usianya yang seabad itu NU memapu 
mewujudkan cita-cita sosial dan cita-cita kebangsaan ini secara penuh. 
Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi dengan sendirinya 
peran NU ini juga memberikan manfaat sebesar-besarnya pada semua elemen 
bangsa yang majemuk ini, baik majemuk dari segi agama, etnis, bahasa dan
 budaya.
Dalam kondisi kelangkaan kepemimpinan ideal seperti yang
 diprihatinkan selama ini maka  menciptakan lingkungan yang ideal 
menjadi sangat penting. Usaha ini  ibarat mengolah lahan agar muncul 
pemimpin ideal sebagaiman yang dicita-citakan. Seorang pemimpin adalah 
produk masyarakat dan produk zamannya. Lingkungan masyarakat yang 
berbudaya rendah akan melahirkan pemimpin yang berkepribadian rendah. 
Sebaliknya lingkungan masyarakat yang berkebudayan tinggi akan 
melahirkan pemimpin yang berbudaya dan berintegritas tinggi. Memang 
seorang pemimpin tidak jatuh dari langit, melainkan diproses ditempa di 
tengah masyarakat. Pemimpin yang baik akan muncul di antara sekian 
banyak tokoh yang paling unggul di antara tokoh yang ada. Dengan langkah
 seperti itulah NU berusaha mengembalikan lagi spirit pesantren dalam 
kehidupan sehari-hari, baik dalam pergaulan sosial, ekonomi serta 
kenegaraan. 
Jakarta 16 Rajab 1434/27 Mei 2013DR. KH Said Aqil Siroj, MA. Ketua Umum PBNU