Selasa, 02 April 2013

Kupas Tuntas Shalat Tarawih, Tuntunan Shalat Tarawih

Kupas Tuntas Shalat Tarawih



Bismillahirrahmanirrahim



Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada kita semua. Selawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada panutan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya sampai hari kiamat nanti, amin.
Berikut ini adalah ringkasan hukum-hukum terkait shalat tarawih. Semoga risalah ini bermanfaat.
Pengertian Shalat Tarawih
Kata “tarawih” merupakan bentuk jamak (plural) dari tarwihah, artinya istirahat untuk menghilangkan kepenatan, berasal dari kata ar-rahah (rehat) yang berarti hilangnya kesulitan dan keletihan. Kata tarwihah pada mulanya digunakan untuk majelis secara umum. Kemudian kata itu digunakan untuk menunjukkan majelis yang diadakan setelah empat rakaat pada malam-malam bulan Ramadhan. Kemudian setiap empat rakaat itu dinamakan tarawih secara majas. Shalatnya dinamakan shalat tarawih, karena kaum muslimin dahulu suka memanjangkan shalat mereka, kemudian duduk beristirahat setelah empat rakaat, setiap dua rakaat ditutup dengan satu salam.[1]
Sejarah Shalat Tarawih
Pada suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam keluar menuju masjid untuk mendirikan shalat malam. Lalu datanglah beberapa sahabat dan bermakmum di belakang beliau. Ketika Shubuh tiba, orang-orang berbincang-bincang mengenai hal tersebut.  Pada malam selanjutnya, jumlah jamaah semakin bertambah daripada sebelumnya. Demikianlah seterusnya hingga tiga malam berturut-turut.
Pada malam keempat, masjid menjadi sesak dan tak mampu menampung seluruh jamaah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tak kunjung keluar dari kamarnya. Hingga fajar menyingsing, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam baru keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Selepas itu beliau berkhutbah, “Saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak mampu melakukannya.”[2]
Akhirnya shalat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan shalat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”[3]
Imam Abu Yusuf pernah bertanya kepada Imam Abu Hanifah tentang shalat tarawih dan apa yang diperbuat oleh Khalifah Umar. Imam Abu Hanifah menjawab, “Tarawih itu sunnah muakkadah (ditekankan). Umar tidak pernah membuat-buat perkara baru dari dirinya sendiri dan beliau bukan seorang pembuat bid’ah. Beliau tak pernah memerintahkan sesuatu kecuali berdasarkan dalil dari dirinya dan sesuai dengan masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Umar telah menghidupkan sunnah ini lalu mengumpulkan orang-orang pada Ubay bin Kaab lalu menunaikan shalat itu secara berjamaah, sementara jumlah para sahabat sangat melimpah, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, dan tak satu pun yang mengingkari hal itu. Bahkan mereka semua sepakat dan memerintahkan hal yang sama.”
Mana yang Lebih Utama, Berjamaah atau Sendirian?
Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama dalam melaksanakan shalat tarawih, apakah dilaksanakan secara sendirian (munfarid) atau berjamaah?
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa disunnahkan shalat tarawih berjamaah. Ulama Malikiyah juga berpendapat serupa, hanya saja mereka menganjurkan pelaksanaan shalat  tarawih di rumah secara berjamaah selama tidak menyebabkan masjid menjadi kosong sama sekali dan dilakukan dengan semangat di dalam rumah. Adapun para ulama Syafiiyah, yang menjadi mazhab mereka adalah shalat tarawih secara berjamaah lebih utama secara mutlak. Imam Nawawi berkata, “Itulah yang diambil oleh kebanyakan ulama. Adapun Rabiah, Malik, Abu Yusuf dan lain-lain, mereka mengatakan bahwa sendirian lebih utama.”
Mayoritas ulama berdalil dengan ijma’ sahabat, yaitu bahwa mereka dahulu berkumpul berjamaah di masjid untuk shalat tarawih pada masa Umar bin Khatthab tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Hal ini menjadi alasan terkuat disunnahkannya shalat tarawih secara berjamaah.
Adapun yang berpendapat bahwa shalat sendirian lebih utama, mereka berdalil dengan hadits Aisyah tentang shalat tarawih Rasulullah SAW, juga dengan hadits yang berbunyi, “Shalatlah kalian di rumah kalian masing-masing.” Dikuatkan lagi oleh hadits shahih yang sudah sangat populer yaitu, “Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang yang dilakukan di dalam rumahnya, kecuali shalat wajib (fardhu).” (HR. Bukhari dan Muslim). Ash-Shan’ani juga memilih pendapat kedua ini. Beliau berkata, “Sebaik-baik perkara adalah apa yang dahulu dilakukan pada masa Nabi SAW.”
Namun, siapa saja yang memperhatikan dalil kedua belah pihak di atas akan mendapati bahwa shalat tarawih berjamaah di masjid telah ada pada masa Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi, hal itu kemudian dihentikan karena khawatir akan diwajibkan. Ini adalah salah satu bukti kasih sayang Nabi SAW terhadap umatnya, bukan karena berjamaah menyelisihi petunjuk beliau. Adapun setelah beliau wafat, maka kekhawatiran ini menjadi hilang sehingga hukumnya kembali kepada asalnya.
Adapun perkataan Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam, “Tidak ada bid’ah yang terpuji,” ini adalah perkataan keliru yang dimaksudkan untuk menjatuhkan reputasi Khalifah Umar bin Khatthab, karena kata bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru diadakan tanpa ada contoh sebelumnya, dengan pengertian ini maka bid’ah ada yang hukumnya wajib seperti mendokumentasikan ilmu-ilmu pengetahuan dan membantah orang-orang ateis, atau bisa menjadi sunnah seperti membangun sekolah atau madrasah, dan bisa juga mubah seperti variasi rumah dan pakaian. Dalam hadits, “Setiap bid’ah adalah sesat” di sini bid’ah bermakna lawan kata dari sunnah. Inilah yang sudah pasti tercela dan sesat.
Adapun yang sedang kita bahas di sini, bukanlah termasuk dalam kategori tercela, bahkan ia terpuji karena ia bersumber dari hadits yang menyatakan tentang shalat tarawih secara berjamaah. Sedangkan larangan Nabi SAW itu adalah karena alasan kekhawatiran akan diwajibkannya shalat tarawih, sehingga setelah beliau wafat, kekhawatiran itu sudah hilang karena tidak ada wahyu lagi setelah beliau wafat.
Kemudian, hadits “Sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dilakukan di rumahnya”, hadits ini masih bersifat umum dan ia telah dikhususkan oleh hal-hal lain seperti shalat Idul Fitri dan Idul Adha, shalat istisqa, shalat gerhana dan lain-lain. Dengan demikian, shalat tarawih keliar dari keumuman hadits tersebut dan masuk ke dalam kekhususan hadits yang disebutkan sebelumnya tentang shalat tarawih berjamaah. Apalagi dikuatkan dengan ijma’ sahabat, sehingga menjadikan shalat tarawih berjamaah menjadi sunnah yang dianjurkan, sebagaimana mazhab mayoritas ulama.
Hukum dan Keutamaan Shalat Tarawih
Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa shalat tarawih hukumnya sunnah, bahkan menurut Hanafiyah, Hanabilah dan beberapa Malikiyah hukumnya sunnah muakkadah (ditekankan). Hukum itu mencakup laki-laki dan perempuan.
Shalat tarawih termasuk salah satu syiar agama Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa Ramadan dan aku menyunnahkan bangun (shalat di malam hari)nya.”[4] Abu Hurairah berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menganjurkan shalat tarawih tanpa memaksa.” Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa bangun pada bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan rasa harap, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”[5]
Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Tarawih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Sayyidah Aisyah radhiyalahu ‘anha pernah ditanya tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di bulan Ramadhan, lalu beliau menjawab, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menambah, baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat.”[6]
Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata, “Hadis-hadis yang shahih dan hasan menunjukkan perintah dan anjuran untuk shalat tarawih tanpa dibatasi berapa jumlah rakaatnya. Tidak ada yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Beliau hanya melakukan shalat pada malam-malam Ramadan tanpa disebutkan berapa jumlah rakaatnya.”[7]
Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah juga mengungkapkan pernyataan senada, “Tidak ada riwayat shahih bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam shalat tarawih sebanyak 20 rakaat. Riwayat yang menyebutkan bahwa beliau shalat tarawih sebanyak 20 rakaat sangatlah lemah.”[8]
Tarawih Para Sahabat di Masa Umar bin Al Khatthab
Riwayat-riwayat tentang jumlah rakaat pada masa Khalifah Umar bin Al Khatthab radhiyallahu ‘anhu juga berbeda-beda:
Al Imam Malik (bin Anas) meriwayatkan dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid bahwa ia berkata: “Umar bin Khatthab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dariy berdiri mengimami manusia dengan sebelas rakaat… dst.”[9]
Ali (Ibnul Ja’d) meriwayatkan dari Ibn Abi Dzi’b dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid ia berkata: “Dahulu mereka berdiri (shalat) pada masa Umar bin Khatthab RA pada bulan Ramadhan dengan duapuluh rakaat…”[10]
Muhammad bin Ja’far meriwayatkan dari Yazid bin Khushaifah dari As-Saib bin Yazid ia berkata: “Dahulu kami berdiri (shalat) pada zaman Umar bin Al-Khatthab dengan duapuluh rakaat dan witir.”[11]
Al Imam Malik juga meriwayatkan dari Yazid bin Ruman bahwa ia berkata: “Dahulu manusia berdiri (shalat) pada zaman Umar bin Khatthab pada bulan Ramadhan dengan duapuluh tiga rakaat.”[12]
Abdurrazzaq meriwayatkan dari Daud bin Qais dan lain-lain, dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid bahwa Umar telah mengumpulkan manusia pada bulan Ramadhan kepada Ubay bin Kaas dan kepada Tamim Ad-Dariy pada duapuluh satu rakaat.[13]
Demikianlah, dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW. Menyikapi hal ini, para ulama menempuh metode integrasi (al-jam’u) yaitu menggabungkan seluruh dalil yang ada tanpa menggugurkan salah satunya. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa pada mulanya Umar mengumpulkan manusia pada 11 rakaat, lalu merubahnya menjadi 20 rakaat, ini adalah perkataan Imam Baihaqi. Ada pula yang mengatakan bahwa perbedaan jumlah rakaat ini terkait dengan perbedaan panjang atau pendeknya bacaan, semakin panjang bacaan maka semakin sedikit jumlah rakaat dan semakin pendek bacaan, jumlah rakaatnya semakin banyak, ini adalah perkataan Ibnu Hajar.
Pendapat Para Fuqoha
Imam Tirmidzi berkata, “Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai Qiyam Ramadan, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat tarawih dilaksanakan 41 rakaat bersama witir, ini adalah perkataan penduduk Madinah, dan yang diamalkan adalah ini menurut mereka di Madinah. Sedangkan kebanyakan ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan sahabat Nabi SAW lainnya yaitu 20 rakaat, ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak dan Asy-Syafii. Asy-Syafii berkata: ‘inilah yang saya dapati di negeri kami, Makkah, mereka melaksanakannya 20 rakaat’. Ahmad berkata: ‘telah diriwayatkan dalam masalah ini bermacam-macam riwayat’, dan beliau tidak memutuskan salah satunya. Ishaq berkata: ‘bahkan kami memilih 41 berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Kaab’.”
Berikut ini kutipan pernyataan-pernyataan para ulama mengenai jumlah rakaat shalat tarawih:
Imam Syafii rahimahullahu ta’ala (w.204H) berkata: “Adapun shalat pada bulan Ramadhan, maka sholat munfarid (sendirian) lebih aku sukai, dan aku melihat mereka di Madinah berdiri (shalat) dengan tigapuluh sembilan rakaat. Yang lebih aku sukai adalah dua puluh (rakaat).”[14]
Beliau juga berkata: “Tidak ada batasan dalam masalah ini, dan tidak ada pula ketentuan yang harus dipatuhi, karena sesungguhnya ia (tarawih) itu adalah nafilah (shalat sunnah tambahan). Jika mereka memperpanjang berdiri dan mempersedikit sujud, maka itu baik dan lebih aku sukai. Namun jika mereka memperbanyak rukuk dan sujud, maka itu juga baik.”[15]
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Paling sedikit shalat tarawih dilaksanakan duabelas rakaat, dua-dua, kemudian witir. Itulah shalat yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan dan selainnya. Jamaah dari para ulama dan salafus sholih di Madinah menyukai duapuluh rakaat dan witir. Sebagian lain menyukai tiga puluh enam rakaat dan witir, dan inilah yang dipilih oleh Malik dalam riwayat Ibnul Qasim darinya.”[16]
Al-Kamal bin Al-Humam rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Shalat tarawih duapuluh rakaat adalah termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin. Sabda Rasulullah SAW: ‘Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin’ adalah anjuran dari beliau untuk mengikuti sunnah mereka.”[17]
Al-Kasani rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Umar (bin Khattab) mengumpulkan para sahabat Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan dengan diimami oleh Ubay bin Kaab RA. Mereka shalat sebanyak duapuluh rakaat, dan tak satu pun yang mengingkari hal itu, sehingga menjadi ijma’ dari mereka atas hal itu.”[18]
Ad-Dasuqi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Dahulu itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan tabiin.”[19]
Ibn Abidin rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Itulah yang diamalkan oleh manusia di Timur dan di Barat.”[20]
Ali As-Sanhuri rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Itulah yang diamalkan manusia dan berlanjut sampai di zaman kita di seluruh negeri.”[21]
Ulama Hanabilah mengatakan: “Ini merupakan hal yang masyhur di kalangan para sahabat sehingga menjadi ijma’.”[22]
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Pasal: pendapat yang dipilih oleh Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) rahimahullah dalam masalah ini adalah duapuluh rakaat.”[23]
Dalam Asy-Syarh Al-Kabir[24] juga disebutkan: “Pasal: jumlah rakaat shalata tarawih adalah duapuluh rakaat. Itu adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Asy-Syafii. Adapun Malik ia berkata: tigapuluh enam.”
Al-‘Adawi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Sebelas rakaat itu dahulu adalah permulaan perkara, kemudian berpindah menjadi duapuluh. Oleh karena itu, Ibnu Habib berkata: ‘Umar kembali kepada duapuluh tiga rakaat’.”[25]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata:
“Yang paling baik adalah disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin. Kalau mereka mampu berdiri lama, maka sepuluh rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana Nabi SAW melakukan shalat untuk dirinya sendiri, baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya, itulah yang paling baik. Kalau mereka tak mampu, maka duapuluh rakaat itulah yang paling baik. Itulah yang diamalkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Jumlah itu  merupakan pertengahan antara sepuluh dengan empat puluh. Kalau dilakukan sebanyak empat puluh atau selainnya juga boleh tanpa ada larangan. Hal itu telah dinyatakan oleh lebih dari satu imam, di antaranya adalah Imam Ahmad dan lain-lain. Beliau berkata: Barangsiapa mengira bahwa shalat tarawih dibatasi jumlah tertentu dari Nabi SAW yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka ia telah keliru.”[26]
Pendapat Lain
Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat tarawih harus dilakukan sebanyak 11 rakaat sebagaimana shalat Rasulullah SAW. Mereka melarang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat.
Berikut ini dalil-dalil mereka beserta jawabannya:
Pertama:
Hadis Yazid bin Khushaifah yang menyatakan 20 rakaat bertentangan dengan hadis Muhammad bin Yusuf yang menyatakan 11 rakaat sehingga harus diunggulkan salah satunya, dan ternyata Muhammad bin Yusuf lebih unggul karena ia “tsiqah tsabt” sedangkan Yazid bin Khushaifah hanya “tsiqah” saja.
Jawaban:
Tidak benar bahwa kedua hadis itu saling bertentangan (ta’arudh) karena masih bisa digabungkan. Dalam kaidah ushul fikih, dua buah dalil atau lebih, dikatakan saling bertentangan jika masing-masing tidak bisa digabungkan satu sama lain. Dalam kasus ini, semua hadis itu bisa digabungkan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Hajar. Jadi, alasan ta’arudh tidak dapat diterima sehingga pengunggulan (tarjih) itu tidak perlu dilakukan.
Bahkan seandainya tetap ingin diunggulkan salah satunya, maka riwayat Yazid bin Khushaifah yang menyatakan 20 rakaat tidak dapat digugurkan begitu saja. Bagaimana tidak, sedangkan Ibnu Main telah mengatakan bahwa Yazid bin Khushaifah adalah seorang “tsiqah hujjah” sebagaimana dalam At-Tahdzib. Dengan demikian, ia menyamai peringkat Muhammad bin Yusuf, bahkan mengunggulinya.
Kedua:
Imam Ahmad telah mengatakan bahwa Yazid bin Khushaifah ini adalah “mungkarul hadits”. Oleh karena itu, Imam Dzahabi memasukkannya ke dalam kitabnya Al-Mizan.
Jawaban:
Istilah “mungkar” menurut Imam Ahmad tidaklah sama dengan apa yang dipahami oleh sebagian ulama mutaakhirin, yaitu seorang dhaif menyelisihi tsiqah. Imam Ahmad adalah termasuk salah satu ulama mutaqaddimin yang mereka memiliki istilah-istilah khusus beserta maknanya tersendiri tentang ilmu hadis. Di antaranya adalah “mungkar” di sini yang bermakna tafarrud (kesendirian) seorang tsiqah tanpa ada yang menyokongnya. Ibnu Hajar berkata, “Sesungguhnya Ahmad dan lain-lain melabeli mungkar kepada afrad (kesendirian) secara mutlak.” Padahal, telah maklum dalam dasar-dasar ilmu hadis bahwa kesendirian seorang tsiqah tidaklah berarti kekeliruan. Bahkan siapatah orang-orang tsiqat yang luput dari kesendirian?
Adapun penyebutan Imam Dzahabi dalam kitabnya Al-Mizan, telah maklum bahwa beliau menyebutkan dalam kitabnya tersebut siapa saja perawi yang dikritik meskipun seorang tsiqah, tsabt, imam, hafizh dan sebagainya. Beliau menyebutkannya sebagai bukti bahwa perkataan itu tidaklah berpengaruh sedikit pun terhadap reputasi mereka. Silahkan baca dalam mukaddimah kitab beliau tersebut, begitu juga dalam penutupan dan beberapa tempat lainnya di kitab yang sama.
Ketiga:
Riwayat Yazid bin Khushaifah rancu (mudhtharib) antara satu dengan lainnya antara yang menyebutkan 20 dengan yang menyebutkan 21.
Jawaban:
Sama dengan jawaban pertama, bahwa perbedaan semacam ini tidak dapat disebut sebagai idhthirab (kerancuan) sebab masih dapat digabungkan, yaitu perbedaan jumlah shalat witir setelah tarawih. Padahal, dalil yang digunakan oleh pihak lain juga sama-sama mengalami perbedaan antara 11 rakaat, 13 rakaat dan lain-lain. Mengapa mereka tidak menyebut hal itu sebagai kerancuan, sedangkan di sini mereka menyebutnya kerancuan?
Keempat:
Imam Tirmidzi menggunakan kata “ruwiya” (telah diriwayatkan) untuk hadis 20 rakaat, begitu juga Imam Syafii. Hal ini menunjukkan bahwa hadis itu tidak shahih.
Jawaban:
Hampir sama dengan jawaban kedua, yaitu bahwa Imam Tirmidzi dan Imam Syafii adalah termasuk para ulama mutaqaddimin yang memiliki manhaj dalam mustolah hadis yang harus dipahami sesuai maksud mereka. Istilah “ruwiya” menurut para ulama mutaqaddimin digunakan untuk menunjukkan riwayat yang shahih dan dhaif sekaligus, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib dan Ibnus Sholah dalam Mukaddimahnya. Bahkan Ibnus Sholah berkata, “Ungkapan semacam ini (yaitu: ruwiya) digunakan untuk hadis dhaif juga.” Berarti, pada asalnya digunakan untuk hadis shahih, namun kadangkala juga digunakan untuk hadis dhaif. Jadi, tidak ada dalil bahwa kata “ruwiya” dalam perkataan kedua imam di atas menunjukkan makna dhaif.
Di samping itu, jika kita mau menelusuri dan melacak secara komprehensif tentang seluruh kata “ruwiya” dalam kitab Al-Umm milik Imam Syafii, kita akan menemukan fakta sebaliknya, yaitu bahwa beliau sering menggunakan kata “ruwiya” untuk hadis-hadis shahih.
Wallahu a’lamu bish showab.
Demikianlah ringkasan risalah ini. Semoga bermanfaat.


___
[1] Al Mishbah Al Munir materi ra-wa-ha, Fathul Qadir ‘Alal Hidayah 1/333 cet. Al Amiriyah Walaq, Hasyiyah Al ‘Adawi ‘Ala Kifayati Al Thalib Al Rabbani 2/404 cet. Al Fikr.
[2] Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih dari Aisyah RA.
[3] HR. Al-Bukhari.
[4] HR. An-Nasai.
[5] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[6] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
[7] Al-Mashabih fi Shalat At Tarawih karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi hal. 14-15, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 27/141.
[8] Al-Fatawi Al-Kubra Al-Fiqhiyyah karangan Ibn Hajar Al-Haitami 1/194 cetakan Al-Masyhad Al-Husaini, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 27/141.
[9] Al-Muntaqa Syarh Al-Muwattha’ 1/208.
[10] Musnad Ali Ibnul Ja’d, Qiyam Ramadhan karangan Muhammad bin Nashr Al Marwadzi, As-Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi. Ibn Nashr juga membawakan riwayat dari As-Saib bin Yazid ia berkata: “Dahulu mereka berdiri (shalat) pada masa Umar bin Khatthab RA pada bulan Ramadhan dengan duapuluh rakaat.”
[11] As-Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi.
[12] Al Muwattha’ karangan Imam Malik 1/115.
[13] Al-Mushannaf karangan Abdurrazzaq.
[14] Al-Umm karangan Imam Syafii 1/167, Al Mukhtashor karangan Al-Muzani 1/21.
[15] Ma’rifatu As-Sunan wal Aatsaar karangan Al-Baihaqi.
[16] Al-Kaaffah fi Fiqhi Ahlil Madinah.
[17] Fathul Qadir 1/333.
[18] Bada’i Ash-Shana’i 1/288.
[19] Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/315.
[20] Raddul Muhtar 1/474.
[21] Syarh Az-Zarqani 1/284.
[22] Kassyaful Qinna’ 1/425.
[23] Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah 1/833.
[24] 1/748.
[25] Hasyiyah Al-‘Adawi 1/463.
[26] Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 22/272.

Read more at http://forum-diskusi-hadits.blogspot.com/2012/06/kupas-tuntas-shalat-tarawih.html


Tuntunan Shalat Tarawih, adakah bacaan tertentu diantara shalat tarawih dan witir?


Shalat tarawih adalah shalat yang hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih merupakan shalat malam atau di luar Ramadhan disebut dengan shalat tahajud. Shalat malam merupakan ibadah yang utama di bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoif Al Ma’arif berkata, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki dua jihadun nafs (jihad pada jiwa) yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini, maka ia akan mendapati pahala yang tak hingga.”


Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama: Shalat tarawih mengampuni dosa yang telah lewat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39). Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat dilakukan karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul Bari, 4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha bahwa pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar menjauhi dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).
Lebih Semangat di Akhir Ramadhan
Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3). Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim. Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan disunnahkan pula untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)

Semangat Tarawih Berjama’ah
 
Sudah sepantasnya setiap muslim mendirikan shalat tarawih tersebut secara berjama’ah dan terus melaksanakannya hingga imam salam. Karena siapa saja yang shalat tarawih hingga imam selesai, ia akan mendapat pahala shalat semalam penuh. Padahal ia hanya sebentar saja mendirikan shalat di waktu malam. Sungguh inilah karunia besar dari Allah Ta’ala. Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dicatat seperti melakukan shalat semalam penuh.” (HR. Tirmidzi no. 806, shahih menurut Syaikh Al Albani)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berselisih pendapat apakah shalat tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian atau berjama’ah di masjid. Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang afdhol adalah shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus ikut melaksanakannya seperti itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39).
11 ataukah 23 Raka’at?
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at yang banyak.” (At Tamhid, 21/70). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Al Baaji rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi ‘Umar memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam sebanyak 11 raka’at. Namun beliau memerintahkan seperti ini di mana bacaan tiap raka’at begitu panjang, yaitu imam sampai membaca 200 ayat dalam satu raka’at. Karena bacaan yang panjang dalam shalat adalah shalat yang lebih afdhol. Ketika manusia semakin lemah, ‘Umar kemudian memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat sebanyak 23 raka’at, yaitu dengan raka’at yang ringan-ringan. Dari sini mereka bisa mendapat sebagian keutamaan dengan menambah jumlah raka’at.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27/142)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Semua jumlah raka’at di atas (dengan 11, 23 raka’at atau lebih dari itu, -pen) boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikit pun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Tuntunan Lain Shalat Tarawih
Shalat tarawih lebih afdhol dilakukan dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:30)
Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika istirahat. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:420)

Menutup Shalat Malam dengan Witir

Shalat witir adalah shalat yang dilakukan dengan jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan dengan tiga raka’at, maka dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at, sekali salam [HR. Al Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].
Dituntunkan pula ketika witir untuk membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ” Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?” Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir (Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, -pen) [HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani]. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2:1062)
Setelah witir dituntunkan membaca, “Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406, shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa membaca bacaan “Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri] (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)

Kekeliruan Seputar Shalat Tarawih

Berikut beberapa kekeliruan saat pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah dan tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Dzikir berjama’ah di antara sela-sela shalat tarawih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11:190)
2. Melafazhkan niat selepas shalat tarawih. Imam Nawawi berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, 1:268).
3. Memanggil jama’ah dengan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:140).
4. Mengkhususkan dzikir atau do’a tertentu antara sela-sela duduk shalat tarawih, apalagi dibaca secara berjama’ah. Karena ini jelas tidak ada tuntunannya (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:144).
Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan keistiqomahan untuk menghidupkan malam-malam kita dengan shalat tarawih. Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 28 Sya’ban 1432 H (30/07/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU