Minggu, 16 Juni 2013

Tafsir Surat Al-Baqarah 261 - 280 ( 14 )

Cari dalam "TAFSIR" Al Qur'an
Bahasa Indonesia    English Translation    Dutch    nuruddin

No. Pindah ke Surat Sebelumnya... Pindah ke Surat Berikut-nya... [TAFSIR] : AL-BAQARAH
Ayat [286]   First Previous Next Last Balik Ke Atas  Hal:14/15
261 Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: Seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. 2:261)

TKQ/TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN - PLAOSAN, WONOAYU

Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 261

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261

Dalam ayat ini Allah swt. menggambarkan keberuntungan orang yang suka membelanjakan atau menyumbangkan harta bendanya di jalan Allah, yaitu untuk mencapai keridaan-Nya.
Hubungan antara infak dan hari akhirat adalah erat sekali karena sebagaimana diketahui, seseorang tak akan mendapat pertolongan apa pun dan dari siapa pun pada hari akhirat itu, kecuali dari hasil amalnya sendiri selagi ia masih di dunia, antara lain amalnya yang berupa infak di jalan Allah.
Betapa mujurnya orang yang suka menafkahkan hartanya di jalan Allah oleh ayat ini dilukiskan sebagai berikut: bahwa orang tersebut adalah seperti seorang yang menyemaikan sebutir benih di tanah yang subur. Benih yang sebutir itu menumbuhkan sebatang pohon dan pohon itu bercabang tujuh, setiap cabang menghasilkan setangkai buah dan setiap tangkai berisi seratus biji sehingga benih yang sebutir itu memberikan hasil sebanyak 700 butir. Ini berarti tujuh ratus kali lipat. Bayangkanlah betapa banyak hasilnya apabila benih yang ditanamnya itu lebih dari sebutir.
Penggambaran seperti yang terdapat dalam ayat ini adalah lebih jitu daripada misalnya dikatakan secara langsung bahwa benih yang sebutir akan menghasilkan 700 buah. Sebab penggambaran yang terdapat dalam ayat tadi memberikan kesan bahwa amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh seseorang senantiasa berkembang dan ditumbuhkan oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga menjadi keuntungan yang berlipat ganda bagi orang yang melakukannnya seperti memperkembangkan tanaman yang ditanam oleh seseorang pada tanah yang subur untuk keuntungan penanamnya.
Pengungkapan tentang perkembangan yang terjadi pada tumbuh-tumbuhan seperti yang digambarkan dalam ayat ini telah membangkitkan minat para ahli tumbuh-tumbuhan untuk mengadakan penelitian dalam masalah itu. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa sebutir benih yang ditanam pada tanah yang baik dan menumbuhkan sebatang pohon, pada umumnya menghasilkan lebih dari setangkai buah bahkan ada yang berjumlah lebih dari lima puluh tangkai. Jadi tidak hanya setangkai saja. Dan setiap tangkai berisi lebih dari satu biji bahkan kadang-kadang lebih dari enam puluh biji. Dengan demikian teranglah bahwa penggambaran yang diberikan ayat tadi bahwa sebutir benih dilipatgandakan hasilnya sampai menjadi tujuh ratus butir bukanlah suatu penggambaran yang berlebih-lebihan melainkan adalah wajar dan sesuai dengan kenyataan.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa semakin banyak penyeledikan-penyelidikkan ilmiah dilakukan orang dan semakin tinggi pengetahuan dan tekhnologi umat manusia semakin tersingkaplah kebenaran apa-apa yang terkandung dalam kitab suci Alquran baik mengenai benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, ruang angkasa dan sebagainya.
Banyak riwayat yang berasal dari Rasulullah saw. yang menggambarkan keberuntungan orang-orang yang menafkahkan harta-bendanya di jalan Allah; yaitu untuk memperoleh keridaan-Nya dan untuk menjunjung tinggi agama-Nya. Di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasai dan Hakim dari Ibnu Masud bahwa ia berkata, "Seorang lelaki telah datang membawa seekor unta yang bertali di hidungnya lalu orang tersebut berkata: "Unta ini saya nafkahkan jalan Allah." Maka Rasulullah bersabda: "Dengan nafkah ini, anda akan memperoleh di akhirat kelak tujuh ratus ekor unta yang juga bertali di hidungnya."
Pada akhir ayat ini Allah swt. menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat-Nya, yaitu Maha Luas dan Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah Maha Luas rahmat-Nya kepada hamba-Nya, karunia-Nya tak terhitung jumlahnya. Dan Maha Mengetahui siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang patut diberi pahala yang berlipat-ganda, yaitu mereka yang suka menafkahkan harta bendanya untuk kepentingan umum, untuk menegakkan kebenaran, dan untuk kepentingan pendidikan bangsa dan agama, serta keutamaan-keutamaan yang akan membawa bangsa itu kepada kebahagiaan di dunia dan di akhir. Apabila nafkah-nafkah semacam itu telah menampakkan hasilnya untuk kekuatan agama dan kebahagiaan bangsa, maka orang-orang yang bernafkah itu pun akan dapat pula menikmatinya.
Ajaran-ajaran Islam mengenai infak sangat tinggi nilainya. Selain mengikis sifat-sifat yang tidak baik seperti kikir dan mementingkan diri sendiri, infak ini juga menimbulkan kesadaran sosial yang mendalam, bahwa masing-masing orang senantiasa saling membutuhkan, dan seseorang tak akan dapat hidup seorang diri. Sebab itu harus ada sifat gotong-royong, dan saling memberi, sehingga jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dapat ditiadakan, persaudaraan dipupuk dengan hubungan yang lebih akrab.
Menafkahkan harta di jalan Allah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunat seperti sedekah, yang dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat, untuk memberantas penyakit, kemiskinan dan kebodohan, untuk penyiaran agama Islam dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan adalah sangat dituntut oleh agama, dan sangat dianjurkan oleh syariat. Sebab itu, terdapat banyak sekali ayat-ayat Alquran yang membicarakan masalah ini, serta memberikan dorongan yang kuat dan memberikan perumpamaan yang menggambarkan bagaimana beruntungnya orang-orang yang suka berinfak dan betapa malangnya orang-orang yang tidak mau menafkahkan hartanya.


262 Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS. 2:262)

Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 262 

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (262

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa pahala dan keberuntungan yang akan didapat oleh orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, ada syaratnya, yaitu bahwa ia memberikan hartanya itu benar-benar dengan ikhlas, dan setelah itu ia tidak suka menyebut-nyebut infaknya itu dengan kata-kata yang dapat melukai perasaan orang yang menerimanya. Orang-orang semacam inilah yang berhak untuk memperoleh pahala di sisi Allah, dan tak ada kekhawatiran atas mereka, dan mereka tidak merasa sedih. Ini berarti, bahwa orang yang memberikan sedekah kepada seseorang, kemudian ia menyebut-nyebut sedekah dan pemberiannya itu dengan kata-kata yang menyinggung perasaan dan kehormatan orang yang menerima sedekah itu, maka orang semacam ini tidak berhak memperoleh pahala di sisi Allah swt.
Ini adalah ajaran yang sangat tinggi nilainya, sebab ada orang yang menyumbangkan hartanya bukan karena mengharapkan rida Allah, melainkan hanya menginginkan popularitas dan kemasyhuran serta puji-pujian dan masyarakat, disiarkannya infaknya itu dengan cara yang menyolok, sehingga ia dikagumi sebagai seorang dermawan. Atau ketika memberikan sedekah itu ia mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan bagi orang yang menerimanya. Pemberian semacam ini adalah bertentangan dengan tujuan agama, karena tidak akan menimbulkan hubungan kasih sayang dan persaudaraan, melainkan menimbulkan kebencian dan permusuhan. Sebab itu wajarlah jika orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Ringkasnya, menafkahkan harta di jalan Allah haruslah dengan niat yang ikhlas dan maksud yang suci. Atas niat yang ikhlas inilah Allah akan memberikan pahala, dan masyarakat akan menghargainya. Rasulullah saw. bersabda:


إنما الأعمال بالنية و إنما لكل امرئ ما نوي
Artinya:
Semua amal itu harus disertai dengan niat. Dan setiap manusia akan mendapat balasan atas amalnya berdasarkan niatnya itu.
(HR Imam Bukhari dari Umar Ibnul Khattab)
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. menjelaskan bahwa orang-orang yang berinfak dengan niat yang ikhlas itu, selain akan memperoleh pahala di sisi Allah, juga tidak dikhawatirkan nasib mereka, sebab mereka itu pasti akan mendapat pahala dan rida Allah swt. Dan mereka juga tidak akan bersedih hati, bahkan mereka akan bergembira nanti di akhirat karena mereka telah dapat berbuat kebaikan, dan kebaikan itu mendatangkan pahala bagi mereka. Sebaliknya, orang-orang yang enggan berinfak, nanti di akhirat akan bersedih hati dan menyesal, sebab tak akan ada lagi kesempatan bagi mereka untuk berbuat kebaikan. Dan mereka akan menerima azab dari Allah swt.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 262

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (262

(Orang-orang yang membelanjakan harta mereka di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang mereka belanjakan itu dengan cercaan) terhadap orang yang diberi, misalnya dengan mengatakan, "Saya telah berbuat baik kepadamu dan telah menutupi keperluanmu" (atau menyakiti perasaan) yang bersangkutan, misalnya dengan menyebutkan soal itu kepada pihak yang tidak perlu mengetahuinya dan sebagainya (mereka memperoleh pahala) sebagai ganjaran nafkah mereka (di sisi Tuhan mereka. Tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita) yakni di akhirat kelak.


263 Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.(QS. 2:263)

Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 263 

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ (263

Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan bahwa seseorang yang tidak mampu bersedekah akan tetapi ia dapat mengucapkan kata-kata yang menyenangkan atau yang menyakitkan hati para peminta, dan memaafkan peminta itu karena seolah-olah memaksa adalah lebih baik dari orang yang bersedekah tetapi sedekahnya itu diiringinya dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Jadi, apabila kita tidak dapat menghindarkan diri dari mengucapkan kata-kata yang melukai perasaan atau menyebut-nyebut pemberian itu, baik ketika memberikan atau pun sesudahnya, maka lebih baiklah kita tidak bersedekah tetapi ucapkanlah kata-kata yang baik dan menyenangkan kepada orang yang meminta sesuatu kepada kita. Itu lebih baik daripada memberikan sesuatu yang disertai dengan caci-maki, dsb.
Pada akhir ayat ini Allah swt. menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat kesempurnaan-Nya, yaitu Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Maksudnya ialah Allah Maha Kaya, sehingga Ia tidak memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menyumbangkan harta-bendanya untuk kepentingan Allah, tetapi untuk kepentingan hamba itu sendiri. Yaitu membersihkan diri, dan menumbuhkan harta mereka, agar mereka menjadi bangsa yang kuat dan kompak, serta saling tolong-menolong.
Allah swt. tidak menerima sedekah yang disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati karena Allah hanya menerima amal kebaikan yang dilakukan dengan cara-cara yang baik. Dan Allah Maha penyantun kepada hamba-Nya yang tidak menyertai sedekahnya dengan kata-kata yang menyakitkan, atau yang suka menyebut-nyebut sedekahnya itu setelah diserahkan atau ketika menyerahkannya. Oleh karena Allah Maha Kaya dan Maha Pengasih, maka Allah kuasa pula untuk memberikan ganjaran dan pertolongan kepada hamba-Nya yang suka menafkahkan hartanya dengan ikhlas.


264 Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.(QS. 2:264)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 264

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264

Dalam ayat ini Allah menujukan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman agar mereka jangan sampai melenyapkan pahala infak mereka lantaran menyertainya dengan kata-kata yang menyakitkan hati atau dengan menyebut-nyebut infak yang telah diberikan itu.
Infak bertujuan untuk menghibur dan meringankan penderitaan fakir miskin dan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Itulah sebabnya, maka sedekah itu tidak boleh disebut-sebut, atau disertai kata-kata yang menyakitkan hati si penerimanya.
Apabila infak tersebut disertai kata-kata semacam itu, maka tujuan utama dari infak tersebut, yaitu untuk menghibur dan meringankan penderitaan tidak akan tercapai. Sebab itu Allah swt. melarangnya, dan menegaskan bahwa infak semacam itu hapus pahalanya.
Orang yang berinfak karena riya sama halnya dengan orang yang melakukan ibadah lainnya dengan riya, salatnya itu batal pahalanya dan tidak mencapai tujuan yang dimaksud. Sebab tujuan salat adalah menghadapkan segenap hati dan jiwa kepada Allah swt. serta meresapkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, dan memanjatkan syukur atas segala rahmat-Nya. Sedang orang yang salat karena riya, perhatiannya bukan tertuju kepada Allah, melainkan kepada orang yang diharapkannya untuk memuji dan menyanjungnya.
Sifat riya adalah suatu tabiat yang tidak baik. Sebagian orang ingin dipuji dan disanjung atas suatu kebajikan yang dilakukannya. Orang yang bersedekah yang mengharapkan pujian dan terima kasih dari yang menerima sedekah itu, bila pada suatu ketika ia merasa kurang dipuji dan kurang ucapan terima kasih kepadanya dari si penerima atau kurang penghargaan si penerima terhadap sedekahnya itu, dia akan merasa sangat kecewa. Dalam keadaan demikian, sangat besar kemungkinan ia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan si penerima sehingga sedekahnya itu tidak akan mendatangkan pahala di sisi Allah. Dan orang yang bertabiat semacam ini, sesungguhnya tidaklah beriman kepada Allah dan hari akhirat. Sedekah semacam itu adalah seperti debu di atas batu yang licin, apabila datang hujan lebat maka debu itu hilang lenyap.
Demikian pulalah halnya sedekah yang diberikan karena riya, tidak akan mendatangkan pahala apa pun di akhirat nanti sebab amalan itu tidak dilakukan untuk mencapai rida Allah melainkan karena mengharapkan pujian manusia semata-mata. Dengan demikian ia tidak memperoleh hasil apa pun, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia la tidak mendapatkan hasil apa-apa dari sedekahnya itu karena sedekahnya yang disertai rasa riya atau perkataan yang menyakitkan hati hanyalah akan menimbulkan kebencian masyarakat kepadanya. Sedang di akhirat, ia tidak memperoleh pahala dari sisi Allah, karena riya dan kata-kata yang tidak menyenangkan itu telah menghapuskan pahala amalnya. Dan Allah swt. memberikan pahala hanya kepada orang-orang yang beramal dengan ikhlas, ingin mensucikan diri dan memperbaiki keadaan mereka, dan mengharapkan rida-Nya semata-mata.
Pada akhir ayat ini Allah swt. menegaskan bahwa Dia tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir karena petunjuk itu berdasarkan iman. Iman itulah yang membimbing seseorang kepada keikhlasan beramal dan menjaga diri dari perbuatan dan ucapan yang dapat merusak amalnya serta melenyapkan pahalanya. Maka dalam ayat ini terdapat sindirian bahwa sifat riya dan kata-kata yang tidak menyenangkan itu adalah sebagian dari sifat-sifat dan perbuatan orang-orang kafir dan harus dijauhi oleh orang-orang yang mukmin.
Banyak hadis-hadis Rasulullah saw. yang mencela sedekah yang disertai dengan ucapan yang menyakitkan hati. Imam Muslim meriwayatkan hadis berikut dari Abu Zar. Rasulullah saw. bersabda:


ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم : المنان بما أعطي و المسبل إزاره و المنفق سلعته بالحلف الكاذب
Artinya:
Ada tiga macam orang yang pada hari kiamat nanti Allah swt. tidak akan berbicara dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka dan tidak akan mensucikan mereka dari dosa dan akan mendapat azab yang pedih. Yaitu orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya apabila ia memberikan sesuatu, dan orang yang suka memakai sarungnya terlalu dalam sampai menyapu tanah karena congkaknya dan orang yang berusaha melariskan dagangannya dengan sumpah yang bohong.
(HR Muslim dari Abi Zar)
Dan Imam Nasai juga meriwayatkan suatu hadis dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:


لا يدخل الجنة مدمن خمر ولا عاق لوالديه ولا منان
Artinya:
Tidak akan masuk surga orang yang selalu minum khamar dan tidak pula orang yang durhaka terhadap ibu bapaknya dan tidak pula orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya.
(HR An Nasa'i dari Ibnu Abbas)

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 264 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (264

(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu batalkan sedekah-sedekahmu), maksudnya pahala-pahalanya (dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan) si penerima hingga menjadi hapus (seperti orang), maksudnya seperti batalnya nafkah orang yang (menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia) maksudnya ingin mendapatkan pujian manusia (dan ia tidak beriman kepada Allah dan hari yang akhir) yakni orang munafik (Maka perumpamaannya adalah seperti sebuah batu licin yang bertanah di atasnya, lalu ditimpa oleh hujan lebat) (hingga menjadi licin tandas) tanpa tanah dan apa-apa lagi di atasnya. (Mereka tidak menguasai). Kalimat ini untuk menyatakan tamsil keadaan orang munafik yang menafkahkan hartanya dengan tujuan beroleh pujian manusia. Dhamir atau kata ganti manusia di sini menunjukkan jamak, mengingat makna 'alladzii' juga mencakupnya (suatu pun dari hasil usaha mereka) yang telah mereka kerjakan, maksudnya pahalanya di akhirat, tak ubahnya bagai batu licin yang ditimpa hujan hingga tanahnya habis dihanyutkan air. (Dan Allah tidak menunjukkan orang-orang yang kafir).


265 Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.(QS. 2:265)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 265

وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (265

Pada ayat ini, Allah swt. memberikan perumpamaan lain bagi infak yang dilakukan semata-mata karena mengharapkan keridaan Allah swt. dan menambah keteguhan iman dan kekuatan jiwa untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Infak itu dalam ayat ini diumpamakan sebagai sebidang kebun yang mendapat siraman cukup dari air hujan, sehingga kebun itu memberikan hasil dua kali lipat dari hasil yang biasa. Dan andai kata hujan itu tidak lebat, maka hujan gerimis saja pun cukup, karena kebun tersebut terletak di tanah yang tinggi, mendapatkan sinar yang cukup serta hawa yang baik, dan tanahnya pun subur.
Dapat pula dikatakan, bahwa yang diumpamakan dengan kebun itu adalah orang yang menafkahkan hartanya itu. Karena ia menginsafi, bahwa ia telah menerima rahmat yang banyak dari Allah swt., maka Ia bersedia untuk memberikan infak yang banyak dan walaupun suatu ketika ia memperoleh rahmat yang sedikit, namun ia tetap memberikan infak.
Membelanjakan harta di jalan Allah atau berinfak, benar-benar dapat memperteguh jiwa. Sebab cinta kepada harta benda telah menjadi tabiat manusia, sehingga karena sangat cintanya kepada harta benda itu terasa berat baginya untuk membelanjakannya, apalagi untuk kepentingan orang lain. Maka jika kita bersedekah misalnya, hal itu merupakan perbuatan yang dapat meneguhkan hati untuk berbuat kebaikan, serta menghilangkan pengaruh harta yang melekat pada jiwa.
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya "Wallaahu bimaa ta`maluuna bashiir" (Allah senantiasa melihat apa-apa yang kamu kerjakan). Ini berarti bahwa Allah selalu mengetahui kebaikan-kebaikan yang dilakukan hamba-Nya, antara lain berinfak dengan niat yang ikhlas, maka Dia akan memberikan pahalanya. Sebaliknya, Allah juga mengetahui semua perbuatan-perbuatan yang tidak baik, maka Dia akan membalasnya dengan azab.


266 Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.(QS. 2:266)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 266

أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَأَصَابَهُ الْكِبَرُ وَلَهُ ذُرِّيَّةٌ ضُعَفَاءُ فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (266

Dalam ayat ini Allah swt. memberikan perumpamaan pula bagi orang yang menafkahkan hartanya bukan untuk mendapatkan rida Allah melainkan karena riya, atau sedekahnya disertai dengan ucapan-ucapan yang melukai perasaan, atau ia suka menyebut-nyebut sedekah yang telah diberikannya. Orang ini diumpamakan sebagai seseorang yang mempunyai sebidang kebun yang berisi bermacam-macam tumbuh-tumbuhan, dan kebun itu mendapatkan air yang cukup dari sungai yang mengalir sehingga kebun itu menghasilkan buah-buah yang banyak. Dan orang tersebut sudah lanjut usianya, dan mempunyai anak-anak dan cucu-cucu yang masih kecil-kecil yang belum dapat mencari rezeki sendiri. Dengan demikian, orang itu dan anak-cucunya sangat memerlukan hasil kebun itu. Tapi tiba-tiba datanglah angin samum yang panas, sehingga pohon-pohon dan tanaman-tanaman menjadi rusak tidak mendatangkan hasil apa pun padahal ia sangat mengharapkannya.
Demikianlah keadaan orang yang menafkahkan hartanya bukan karena Allah. Ia mengira akan mendapatkan pahala dari sedekah dan infaknya. Akan tetapi yang sebenarnya bukanlah demikian. Pahalanya akan hilang lenyap karena niatnya yang tidak ikhlas. Dia berinfak hanya karena riya, mengikuti bisikan setan. Bukan karena mengharapkan rida Allah swt.
Dengan keterangan-keterangan dan perumpamaan yang jelas ini Allah swt. menerangkan ayat-ayatnya kepada hamba-Nya semoga mereka berpikir dan dapat mengambil iktibar dan pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan itu.


267 Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.(QS. 2:267)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 267

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa barang yang dinafkahkan seseorang haruslah miliknya yang baik, yang disenanginya, bukan barang yang buruk yang dia sendiri tidak menyukainya baik berwujud makanan, buah-buahan atau barang-barang maupun binatang ternak dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah telah berfirman:


لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Artinya:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S Ali Imran: 92)
Riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini menyebutkan bahwa ketika ada sebagian dari kaum Muslimin yang suka bersedekah dengan buah kurma yang jelek-jelek yang tak termakan oleh mereka sendiri. Maka turunlah ayat ini untuk melarang perbuatan itu.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ada seorang lelaki memetik buah kurmanya, kemudian dipisahkannya yang baik-baik dari yang buruk-buruk. Ketika datang orang yang meminta sedekah diberikannyalah yang buruk itu. Maka ayat ini turun mencela perbuatan itu.
Namun demikian orang yang bersedekah itu pun tidak boleh pula dipaksa untuk menyedekahkan yang baik-baik saja dari apa yang dimilikinya seperti yang tersebut di atas. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muaz bin Jabal ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman:
Artinya:
"Beritahukanlah kepada mereka, bahwa mereka berkewajiban untuk bersedekah, diambilkan dari orang-orang kaya mereka, dan diberikan kepada orang fakir mereka. Dan ingatlah, jangan sampai engkau memaksa mereka untuk menyedekahkan barang-barang yang baik saja dari harta mereka."
Dari keterangan-keterangan di atas dapat dipahami, bahwa Allah swt. sangat mencela bila yang disedekahkan itu terdiri dari barang-barang yang buruk-buruk. Ini bukan pula berarti bahwa barang yang disedekahkan itu harus yang terbaik, melainkan yang pertengahan, yang wajar, dan orang yang menafkahkan itu sendiri menyukainya andaikata dialah yang diberi.
Pada akhir ayat ini Allah swt. berfirman, yang artinya sebagai berikut: "Ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji." Ini merupakan suatu peringatan, terutama kepada orang yang suka menafkahkan barang yang buruk-buruk, bahwa Allah tidak memerlukan sedekah semacam itu. Dan Ia tidak akan menerimanya sebagai suatu amal kebaikan. Bila seorang benar-benar ingin berbuat kebaikan dan mencari keridaan Allah, mengapa ia memberikan barang yang buruk, yang dia sendiri tidak menyukainya? Allah Maha Kaya, Maha Terpuji dan pujian yang layak bagi Allah ialah bahwa kita rela menafkahkan sesuatu yang baik dari harta milik kita yang dikaruniakan Allah kepada kita.


268 Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS. 2:268)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 268 

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (268

Setan selalu menakut-nakuti orang-orang yang berinfak dan membujuk mereka agar bersifat bakhil dan kikir. Setan membayangkan kepada mereka bahwa berinfak atau bersedekah itu akan menghabiskan harta benda, dan akan menyebabkan mereka menjadi miskin dan sengsara. Oleh sebab itu harta benda mereka harus disimpan untuk persiapan di hari depan.
Menafkahkan barang-barang yang jelek, dan keengganan untuk menafkahkan barang-barang yang baik oleh Tuhan disebut sebagai suatu kejahatan atau bukan kebajikan karena orang yang bersifat demikian berarti mempercayai setan dan tidak mensyukuri nikmat Allah, serta tidak percaya akan kekayaan Allah dan kekuasaan-Nya untuk memberi tambahan rahmat kepadanya.
Allah swt. menjanjikan kepada hamba-Nya melalui rasul-Nya, untuk memberikan ampunan atas kesalahan-kesalahan yang banyak, terutama dalam masalah harta bendanya. Karena sudah menjadi tabiat manusia mencintai harta benda sehingga berat baginya untuk menafkahkannya.
Selain menjanjikan ampunan, maka Allah juga menjanjikan kepada orang-orang yang berinfak itu akan memperoleh ganti dari harta yang dinafkahkannya, baik di dunia ini berupa kemuliaan dan nama baik di kalangan masyarakatnya lantaran keikhlasannya dalam berinfak atau dengan bertambahnya hartanya yang masih tinggal, maupun di akhirat kelak ia akan menerima pahala yang berlipat ganda.
Dalam hubungan ini Allah telah berfirman:


وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (39
Artinya:
Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (Q.S Saba': 39)
Berinfak adalah salah satu cara untuk bersyukur. Maka orang yang berinfak dengan ikhlas adalah orang yang bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan harta benda itu kepadanya dan Dia akan menambah rahmat-Nya kepada orang tersebut. Firman-Nya:


لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ 

Artinya:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur (atas nikmat-Ku), maka Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. (Q.S Ibrahim: 7)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan suatu hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:


ما من يوم يصبح فيه العباد إلا ملكان ينزلان يقول أحدهما : اللهم اعط منفقا خلفا ويقول الآخر : اللهم اعط ممسكا تلفا

Artinya:
Setiap pagi ada dua malaikat turun kepada hamba-hamba Allah. Salah satu dari malaikat itu berdoa: "Ya Allah, berikanlah kepada orang yang menafkahkan (harta bendanya di jalan Allah) ganti (dari harta yang dinafkahkannya)." Dan malaikat yang satu lagi berdoa: "Berikanlah kepada orang yang enggan (menafkahkan harta di jalan Allah) kemusnahan."
Yang dimaksud dengan "ganti" dari harta yang dinafkahkan itu ialah Allah akan memudahkan jalan baginya untuk memperoleh rezekinya, dan ia mendapatkan kehormatan dalam masyarakat. Sedang yang dimaksud dengan "kemusnahan" ialah bahwa harta bendanya itu habis tanpa memberikan faedah kepadanya.
Pada akhir ayat ini Allah swt. mengingatkan bahwa Dia Maha Luas rahmat dan karunia-Nya memberikan ampunan dan ganti dari harta yang dinafkahkan itu. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang dinafkahkan hamba-Nya, sehingga Dia tidak akan menyia-nyiakannya, bahkan akan diberi-Nya pahala yang baik.


269 Allah memberikan hikmah kepada siap yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang berakal.(QS. 2:269)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 269 

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (269

Dalam ayat ini Allah swt. menerangkan bahwa Ia akan memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maksudnya ialah bahwa Allah mengaruniakan hikmah kebijaksanaan serta ilmu pengetahuan kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-Nya, sehingga dengan ilmu dan dengan hikmah itu ia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, antara was-was setan dan ilham dari Allah swt.
Alat untuk memperoleh hikmah itu ialah akal yang sehat dan cerdas, yang dapat mengenal sesuatu berdasarkan dalil-dalil dan bukti-bukti, dan dapat mengetahui sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya. Dan barang siapa yang telah mencapai hikmah dan pengetahuan yang demikian itu berarti dia telah dapat membedakan antara janji Allah dan bisikan setan. Lalu dipercayainya janji Allah dan dibuangnya bisikan setan itu.
Oleh sebab itu Allah menegaskan bahwa siapa yang telah memperoleh hikmah dan pengetahuan semacam itu, berarti ia telah memperoleh kebaikan yang banyak, yaitu kebaikan di dunia ini dan kebaikan di akhirat kelak. Ia tidak mau menerima bisikan-bisikan jahat dari setan bahkan ia menggunakan segenap pancaindra, akal dan pengetahuannya untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang batil, mana yang petunjuk Allah dan mana yang bujukan setan. Kemudian ia berserah diri sepenuhnya kepada Allah swt.
Pada akhir ayat ini Allah swt. memuji orang-orang yang berakal dan mau berpikir. Mereka inilah yang selalu ingat dan waspada serta dapat mengetahui apa-apa yang bermanfaat serta dapat membawanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.


270 Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolongpun baginya.(QS. 2:270)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 270

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (270

Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan infak pada umumnya, baik infak yang diridai-Nya, maupun yang tidak. Demikian pula mengenai nazar. Lalu ditegaskan bahwa Dia mengetahui semua infak dan nazar yang dilakukan manusia, sehingga Dia akan memberikan pahala jika infak dan nazar itu baik, sebaliknya Dia akan memberikan siksa, apabila infak dan nazar itu tidak baik.
Nazar adalah kewajiban kepada diri sendiri untuk berbuat sesuatu kebaikan, apabila sesuatu maksud yang baik sudah tercapai, atau selesai terlepas dari suatu hal yang tidak disenangi. Misalnya seseorang berkata:
-"Jika aku lulus ujian, aku akan bersedekah sekian rupiah", atau, "akan berpuasa sekian hari."
-"Bila aku sembuh dari penyakitku ini, maka aku akan menyumbangkan hartaku untuk perbaikan mesjid."
Nazar semacam ini tentu saja baik dan diperbolehkan dalam agama, karena lulus dari ujian, atau sembuh dari penyakit adalah merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Dan berpuasa, atau bersedekah, dan menyumbangkan harta untuk kepentingan agama dan kesejahteraan umum, adalah perbuatan-perbuatan yang baik pula, dan bermanfaat.
Akan tetapi ada pula nazar yang tidak baik, bahkan mendatangkan kerusakan. Maka nazar semacam itu tentu saja tidak diridai Allah swt. Misalnya seseorang berkata:
"Jika nanti aku berbicara dengan saudaraku itu, maka aku harus berpuasa sekian hari (maksudnya: dia tidak akan berbaikan dengan saudaranya itu)."
Nazar seperti ini tidak dibenarkan dalam agama, karena walaupun berpuasa itu baik, tetapi bermusuhan dengan saudara sendiri adalah perbuatan yang tercela.
Infak dan nazar yang bagaimanapun kita lakukan Allah senantiasa mengetahuinya, maka Ia akan memberikan balasan pahala atau azab. Jika barang yang dinafkahkan atau yang dinazarkan itu adalah yang baik dan ditunaikan dengan cara-cara yang baik pula, yaitu dengan ikhlas dan mengharapkan rida Allah semata-mata, maka Allah swt. akan membalasinya dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya, apabila barang yang dinafkahkan atau yang dinazarkan itu adalah yang buruk, atau ditunaikan dengan cara-cara yang tidak baik misalnya dengan menyebut-nyebutnya, atau disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati, atau dilakukan dengan riya, maka Allah swt. tidak akan menerimanya sebagai amal saleh, dan tidak akan membalasinya dengan pahala apa pun.
Demikian pula orang-orang yang enggan menafkahkan hartanya di jalan Allah, atau ia menafkahkannya untuk berbuat maksiat atau ia tidak mau melaksanakan nazar yang telah diucapkannya, maka Allah swt. akan membalasnya dengan azab.
Pada akhir ayat ini, Allah swt. menegaskan bahwa orang-orang yang berbuat zalim tidak ada seorang penolong pun baginya ini merupakan suatu peringatan, bahwa keengganan menafkahkan harta di jalan Allah, keengganan menunaikan nazat yang telah diucapkan atau melaksanakan infak dan nazar itu dengan cara-cara yang tidak baik, seperti tersebut di atas, semuanya itu adalah perbuatan zalim, dan Allah swt. akan membalasinya dengan azab, dan tak seorang pun dapat melepaskannya dari azab tersebut, meskipun ia menebusnya dengan pahala amalnya sendiri. Dalam hubungan ini Allah swt. juga berfirman pada ayat lain:


مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ
Artinya:
Orang-orang yang zalim itu tidak mempunyai teman setia seorang pun, dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima (syafaatnya). (Q.S Al Mu'min: 18)
Menafkahkan harta di jalan Allah, baik merupakan sedekah untuk meringankan penderitaan fakir miskin, maupun infak untuk kepentingan umum, negara dan agama, adalah merupakan kewajiban orang-orang yang mempunyai harta benda, sebagai anggota masyarakat. Apabila ia enggan menunaikannya, atau ditunaikannya dengan cara-cara yang tidak wajar, maka ia sendirilah yang akan menerima akibatnya. Sebab itu adalah wajar sekali apabila Allah swt. mengancam mereka dengan azab seperti tersebut dalam ayat-ayat di atas.


271 Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. 2:271)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 271

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (271

Dalam ayat ini, Allah swt. menyebutkan orang-orang yang memberikan sedekah. Diterangkannya, bahwa apabila sedekah itu diberikan pada fakir miskin dengan terang-terangan, terlihat dan diketahui atau didengar orang lain, maka cara yang demikian adalah baik, asal tidak disertai perasaan riya. Sebab, menampakkan sedekah itu akan menghilangkan tuduhan bakhil terhadap dirinya, dan orang-orang yang mendengarnya akan turut bersyukur dan mendoakannya, dan mereka akan menghormati serta melakukannya, dan meniru perbuatannya itu.
Selanjutnya Allah swt. menerangkan bahwa apabila sedekah itu diberikan dengan secara tertutup atau tersembunyi tidak dilihat dan diketahui atau didengar orang-orang lain, maka cara yang demikian adalah lebih baik lagi, apabila hal tersebut dilakukannya untuk menghindari perasaan riya dalam hatinya, dan agar fakir miskin yang menerimanya tidak akan merasa rendah diri terhadap orang lain, dan tidak akan dipandang hina dalam masyarakatnya sebab dengan cara kedua ini lebih baik dari cara yang pertama tadi, karena dengan memberikan sedekah dengan sembunyi, si pemberi sedekah akan menumbuhkan keikhlasan dalam beramal. Keikhlasan ini adalah jiwa bagi setiap ibadah dan amal saleh.
Banyak hadis-hadis Rasulullah saw. yang memuji pemberian sedekah dengan cara sembunyi ini, suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله : الإمام العادل و شاب نشأفي عبادة ربه و رجل قلبه معلق بالمساجد و رجلان تحابا في الله اجتمعا عليه و تفرقا عليه و رجل طلبته امرأة ذات منصب و جمال فقال : إني أخاف الله رب العالمين ورجل تصدق و أخفي حتي لا تعلم شماله ما تنفق يمينه و رجل ذكر الله ففاضت عيناه 

Artinya:
Ada tujuh macam orang yang nanti akan diberi naungan oleh Allah swt. pada hari kiamat, di mana tidak ada naungan selain naungan-Nva. Mereka adalah imam (pemimpin) yang adil, dan pemuda yang sejak kecilnya telah terdidik dan suka beribadah kepada Allah, dan orang yang hatinya selalu terpaut kepada masjid, dan dua orang yang saling mengasihi dalam menjalankan agama Allah, mereka berkumpul dan berpisah untuk tujuan itu, dan seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan yang memiliki kedudukan yang baik dan kecantikan untuk berbuat serong tetapi ia menolak dengan mengatakan: "Aku takut kepada Allah Tuhan seru sekalian alam. Dan seorang yang bersedekah serta merahasiakannya, sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya. Dan orang yang mengingat Allah ketika ia sendirian, lalu ia menangis."
Imam Ahmad dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula sebuah hadis dari Abu Zar yang mengatakan:


يا رسول الله أي الصدقة أفضل؟ قال : صدقة سر إلي فقير إو جهد من مقل 

Artinya:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., "Ya Rasulullah, sedekah yang manakah yang paling utama?" Maka Rasulullah saw. menjawab, "Sedekah secara rahsia yang diberikan kepada fakir miskin, atau usaha keras dari orang yang sedang kekurangan."
(HR Ahmad dan Ibnu Abi Hatim)
Dalam firman selanjutnya pada ayat di atas, Allah swt. mengatakan bahwa Dia akan menutupi dan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya dengan cara yang baik itu, sesuai dengan sedekah yang diberikannya, di samping pahala yang akan diterimanya kelak.
Kemudian Allah memperingatkan, bahwa Dia senantiasa mengetahui apa saja yang diperbuat hamba-Nya, serta niat yang mendorong berbuat itu. Dan semuanya itu akan dibalas-Nya sesuai dengan amal dan niatnya itu.


272 Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allahlah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.(QS. 2:272)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 272

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ (272

Dalam ayat ini Allah swt. memberikan bimbingan kepada kita supaya tidak keberatan untuk memberikan pula sedekah itu kepada fakir miskin yang bukan muslim. Janganlah enggan bersedekah kepada mereka hanya dengan alasan bahwa mereka belum beriman kepada Agama Allah. Sebab, petunjuk untuk beriman itu datangnya dari Allah, sedang rasa-rasa belas kasih menghendaki agar orang-orang yang memerlukan pertolongan harus diberi tanpa memandang apakah ia beragama Islam atau bukan.
Ada beberapa riwayat menerangkan sebab turunnya ayat ini, antara lain riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Abbas sbb:


أن النبي صلي الله عليه وسلم كان لا يأمرنا ألا نتصدق إلا علي أهل الإسلام حتي نزلت هذه الآية 

Artinya:
Bahwasanya Rasulullah saw. dulu menyuruh kita untuk tidak bersedekah kecuali kepada orang-orang Islam saja, sehingga turunlah ayat ini (yang membolehkan kita untuk bersedekah kepada orang kafir yang bukan Islam).
(HR Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas)
Apabila Allah swt. mengatakan kepada Nabi dan Rasul-Nya bahwa petunjuk (taufik) itu adalah semata-mata urusan Allah dan bukan urusan beliau, maka apalagi kita umat Muhammad, tentu saja hal itu bukan urusan kita. Kita tidak boleh menahan sedekah kepada orang-orang yang bukan Islam hanya dengan alasan perbedaan agama semata-mata. Di samping itu bersedekah kepada sesama muslim tentu lebih utama, selagi di kalangan muslimin masih terdapat orang-orang fakir-miskin yang memerlukan pertolongan.
Selanjutnya, Allah menjelaskan, bahwa sedekah itu mendapat faedah timbal-balik. Orang yang menerima sedekah itu dapat tertolong dari kesukaran, sedang orang yang memberikannya akan mendapat pahala di sisi Allah, dan dihargai pula oleh orang-orang sekitarnya, asal saja ia memberikan sedekah itu dengan cara yang baik-baik dan ikhlas karena Allah semata-mata.
Allah swt. menerangkan selanjutnya bahwa apa saja harta benda yang baik yang dinafkahkan seseorang dengan ikhlas, niscaya Allah akan membalasnya dengan pahala yang cukup dan ia tidak akan dirugikan sedikit pun karena orang-orang yang suka berinfak dengan ikhlas tentu disayangi dan dihormati oleh masyarakat terutama oleh fakir miskin dan pahalanya tidak akan dikurangi di sisi Allah.

Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 272

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ (272

Tatkala Nabi saw. melarang memberikan sedekah kepada orang-orang musyrik agar mereka masuk Islam, turunlah ayat, (Bukan kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk), maksudnya menjadikan manusia masuk Islam, karena kewajibanmu hanyalah menyampaikan belaka, (tetapi Allahlah yang menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya) untuk memperoleh petunjuk agar masuk Islam. (Dan apa saja yang baik yang kamu nafkahkan), maksudnya berupa harta (maka buat dirimu sendiri) karena pahalanya untuk kamu (Dan tidaklah kamu menafkahkan sesuatu melainkan karena mengharapkan keridaan Allah), maksudnya pahala-Nya dan bukan karena yang lain seperti harta benda dunia. Kalimat ini kalimat berita, tetapi maksudnya adalah larangan, jadi berarti, "Dan janganlah kamu nafkahkan sesuatu..." dan seterusnya. ("Dan apa saja harta yang kamu nafkahkan, niscaya akan diberikan kepadamu dengan secukupnya), artinya pahalanya (dan kamu tidaklah akan dirugikan"), artinya jumlahnya tidak akan dikurangi sedikit pun. Kedua kalimat belakangan memperkuat yang pertama.


273 (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.(QS. 2:273)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 273

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (273

Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan ciri-ciri dan hal-ihwal orang-orang yang lebih berhak untuk menerima sedekah, yaitu:
1.Mereka yang dengan ikhlas telah mengikatkan diri pada tugas dalam rangka jihad fisabilillah sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mencari rezekinya. Misalnya yang menjadi kaum Muhajirin, yang pada permulaan Islam adalah termasuk fakir miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di Mekah untuk dapat berhijrah ke Madinah demi mempertahankan dan mengembangkan agama Islam. Dan mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman orang-orang kafir.
2.Fakir miskin yang tidak mampu berusaha, baik dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya karena mereka sudah lemah, atau sudah lanjut usia atau karena sebab-sebab lainnya.
3.Fakir miskin yang dikira oleh orang-orang lain sebagai orang-orang berkecukupan lantaran mereka itu sabar dan menahan diri dari meminta-minta.
Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa. Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda:


ليس المسكين الذي ترده اللقمة و اللقمتان إنما المسكين الذي يتعفف اقرءوا إن شئتم : لا يسألون الناس إلحافا 

Artinya:
Yang dinamakan "orang miskin" itu bukanlah orang yang mau diberi sesuap atau dua suap makanan, orang miskin yang sebenarnya ialah orang yang di rumahnya senantiasa menjaga martabat dirinya. Jika kamu mau bacalah firman Allah yang mengatakan: "Mereka itu tidak mau meminta-minta kepada orang lain dengan cara mendesak."
(HR Bukhari dari Abi Hurairah)
Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta itu tidak dibolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah saw. telah bersabda:


المسألة لا تحل إلا لثلاثة : لذي فقر مدفع و لذي غرم مفظع أو لذي دم موجع
Artinya:
Meminta hanya diperbolehkan pada tiga keadaan; pada saat-saat orang mengalami kemiskinan yang sangat, atau mempunyai utang yang berat, atau bagi orang yang memegang diyat yang menyedihkan.
(HR Ahmad, Ibnu Majah, dan At Tirmizi.)
Dalam hubungan infak, yaitu zakat dan sedekah, perlu ditegaskan di sini hal-hal sebagai berikut:
1.Agama Islam telah menganjurkan kepada orang-orang yang berharta agar mereka bersedekah kepada fakir miskin. Dan apabila bersedekah hendaklah diberikan barang yang baik, berupa makanan, pakaian dan sebagainya. Dan tidak boleh disertai dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Ringkasnya, fakir miskin itu haruslah diperlakukan sebaik mungkin.
2.Akan tetapi dengan ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah berarti bahwa agama Islam memperbanyak fakir miskin dan memberikan dorongan kepada mereka untuk mengemis dan selalu mengharapkan sedekah orang lain sebagai sumber rezeki mereka. Sebab, walaupun di satu pihak agama Islam mewajibkan zakat dan menganjurkan sedekah kepada orang-orang kaya untuk fakir miskin, namun di lain pihak, Islam menganjurkan kepada fakir miskin ini untuk berusaha melepaskan diri dari kemiskinan itu, sehingga hidup mereka tidak lagi tergantung kepada sedekah dan pemberian orang lain. Dalam hubungan ini kita dapati banyak ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah yang memberikan anjuran-anjuran untuk giat bekerja, menghilangkan sifat malas dan lalai, serta memuji orang-orang yang dapat mencari rezekinya dengan usaha dan jerih payahnya sendiri. Allah swt. berfirman:


إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S Ar Ra'du: 11)
Yang dimaksudkan dengan "apa yang terdapat pada diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang merupakan sebab bagi kemiskinan mereka itu. Misalnya sifat malas, lalai, tidak jujur, tidak mau belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan dan memiliki kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka merubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja, maka Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk perbaikan kehidupannya.
Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:


فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya:
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (Al Jum'ah: 10)
Rasulullah saw. memuji orang-orang yang memperoleh rezekinya dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda: "Makanan yang terbaik untuk dimakan seseorang ialah dari hasil kerjanya sendiri."
Dan untuk mempertinggi harga diri serta menjauhkannya dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah saw. bersabda:


اليد العليا خير من اليد السفلي
Artinya:
Tangan yang di atas (yaitu tangan yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yaitu tangan yang menerima sedekah atau pemberian orang lain).
(HR Bukhari dan Muslim)
Demikianlah, agama Islam menghendaki orang-orang yang mempunyai harta suka membantu fakir-miskin, sebaliknya, Islam menuntun fakir miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu.


274 Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS. 2:274)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 274

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (274

Ayat ini merupakan yang terakhir dalam rangkaian ayat-ayat yang membicarakan masalah infak dalam surah Al-Baqarah ini. Allah swt. menegaskan lagi dalam ayat ini keuntungan yang akan didapat orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik di siang hari maupun pada waktu malam baik diberikan secara sembunyi maupun terang-terangan, bahwa mereka itu pasti akan memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak karena di dunia ini mereka dikasihi oleh masyarakat, terutama oleh fakir miskin dan siapa saja yang pernah menerima sedekah darinya, sedang di akhirat kelak mereka akan menerima pahala yang berlipat ganda dari sisi Allah swt.
Dan mereka pun tidak merasa sedih atas harta yang dinafkahkan itu, karena mereka yakin akan memperoleh ganti yang lebih besar dari Allah swt., baik berupa tambahan rezeki dan kelapangan hidup di dunia ini, maupun berupa rida Allah dan karunia-Nya.


275 Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. 2:275)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 275

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275

Ada dua macam riba yang terkenal, yaitu:
1. Riba Nasiah
2. Riba Fadal.
Riba Nasiah ialah tambahan pembayaran hutang yang diberikan oleh pihak yang berutang karena adanya permintaan penangguhan pembayaran pihak yang berutang. Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang berutang meminta penangguhan pembayaran utangnya.
Contoh:
Si A berutang kepada si B sebanyak Rp. 1000 dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan. Setelah habis masa sebulan A belum sanggup membayar utangnya karena itu ia minta kepada si B agar bersedia menerima penangguhan pembayaran. B bersedia memberi tangguh asal A menambah pembayaran sehingga menjadi Rp. 1300. Tambahan pembayaran dengan penangguhan waktu serupa ini disebut riba nasiah.
Tambahan pembayaran ini mungkin berkali-kali dilakukan karena pihak yang berutang selalu meminta penangguhan pembayaran sehingga akhirnya A tidak sanggup lagi membayarnya bahkan kadang-kadang dirinya sendiri terpaksa dijual untuk membayar utangnya itu. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah swt.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Ali Imran: 130)
Riba nasiah sebagai yang disebutkan di atas terkenal dan banyak berlaku di kalangan orang Arab jahiliah. Inilah riba yang dimaksud Alquran.
Bila dipelajari dan diikuti sistem riba dalam ayat ini dan yang berlaku di kalangan orang jahiliah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.Bunga itu merupakan keuntungan yang besar bagi yang meminjamkan dan sangat merugikan si peminjam. Bahkan ada kalanya si peminjam terpaksa menjual dirinya untuk dijadikan budak agar ia dapat melunasi pinjamannya.
2.Perbuatan itu pada zaman jahiliah termasuk usaha untuk mencari kekayaan dan untuk menumpuk harta bagi yang meminjamkan.
Menurut Umar Ibnu Khattab: Ayat Alquran tentang riba, termasuk ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Sampai Rasulullah wafat tanpa menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Maka tetaplah riba dalam pengertian yang umum, seperti bunga yang dikerjakan orang Arab di zaman jahiliah itu.
Keterangan Umar ini berarti bahwa Rasulullah sengaja tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan riba karena orang-orang Arab telah mengetahui benar apa yang dimaksud dengan riba itu. Bila disebut riba kepada mereka, maka di dalam pikiran mereka telah ada pengertian yang jelas dan pengertian itu telah mereka sepakati maksudnya. Pengertian mereka tentang riba ialah riba Nasiah. Dengan perkataan lain bahwa sebenarnya Alquran telah menjelaskan dan menerangkan apa yang dimaksud dengan riba. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. tentang yang ditinggalkan beliau untuk umatnya.


تركت فيكم أمرين ما تمسكتم بهما لن تضلوا بعدي : كتاب الله و سنة رسوله
Artinya:
Aku telah meninggalkan padamu dua hal, yang kalau kamu berpegang teguh dengannya, kamu tidak akan sesat sepeninggalanku ialah Kitabullah dan Sunah Rasul.
(HR Ibnu Majah)
Dalam pada itu agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah agama yang telah sempurna dan lengkap diterima beliau dari Allah, tidak ada yang belum diturunkan kepada beliau.
Allah swt. berfirman:


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Riba Fadal, yaitu menjual sejenis barang dengan jenis barang yang sama dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi yang baik mutunya. Seperti menjual emas 20 karat dengan emas 24 karat dengan tambahan 1 gram lagi sebagai imbalan bagi emas 24 karat.
Riba Fadal ini diharamkan juga tetapi dosanya tidak sama dengan riba nasiah. Dasar hukum haramnya riba fadal ialah sabda Rasulullah saw.:


لا تبيعوا الذهب بالذهب و الفضة بالفضة والبر بالبر والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح إلا مثلا بمثل فمن زاد أو استزاد فقد أربي
Artinya:
Janganlah kamu jual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair (padi belanda) dengan syair, tamar dengan tamar, garam dengan garam, kecuali sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai. Barang siapa yang menambah atau meminta tambah, maka sesungguhnya ia telah melakukan riba.
(HR Bukhari dan Ahmad)
Sama-sama jenis dan kadarnya dan sama-sama tunai maksudnya ialah jangan merugikan salah satu pihak dari orang-orang itu.
Ayat di atas menerangkan akibat yang akan dialami oleh orang-orang yang memakan riba, yaitu jiwa dan hati mereka tidak tenteram, pikiran mereka tidak menentu. Keadaan mereka seperti orang yang kemasukan setan atau seperti orang gila.
Orang Arab jahiliah mempercayai bahwa setan dapat masuk atau mempengaruhi jiwa manusia, demikian pula jin. Bila setan atau jin telah masuk atau mempengaruhi jiwa seseorang, maka rusaklah akalnya, seperti orang kesurupan.
Alquran menyerupakan pengaruh riba pada seseorang yang melakukannya dengan pengaruh setan yang telah masuk ke dalam jiwa seseorang menurut kepercayaan orang Arab jahiliah, agar maksud ayat yang disampaikan mudah dipahami, bukanlah maksud untuk menerangkan bahwa Alquran menganut kepercayaan seperti kepercayaannya orang Arab jahiliah itu.
Menurut jumhur mufassirin, ayat ini menerangkan keadaan pemakan riba pada hari kiamat, yaitu seperti orang yang kemasukan setan. Pendapat ini mengikuti pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Masud.
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah saw:


إياك و الذنوب التي لا تغفر : الغلول فمن غل شئا أتي به يوم القيامة وآكل الربا فمن أكل الربا بعث يوم القيامة مجنونا يتخبط
Artinya:
Jauhilah olehmu dosa yang tidak diampuni, yaitu gulul (ialah menyembunyikan harta rampasan dalam peperangan dan lainnya), maka barang siapa melakukan gulul nanti barang yang disembunyikan itu akan dibawanya pada hari kiamat. Dan pemakan riba, barang siapa yang makan riba ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan gila lagi kemasukan (setan).
(HR At Tabrani dai 'Auf bin Malik)
Tetapi kenyataan yang terdapat di dalam kehidupan manusia di dunia ini, orang pemakan riba itu kehidupannya benar-benar tidak tenang, selalu gelisah tak ubahnya sebagai orang yang kemasukan setan. Sebab itu ada para mufassir yang berpendapat, bahwa ayat ini menggambarkan pemakan riba di dunia. Pendapat ini dapat dikompromikan dengan pendapat pertama, yaitu keadaan mereka nanti di akhirat sama dengan keadaan mereka di dunia, dalam hal tidak adanya ketenteraman bagi mereka.
Dari kelanjutan ayat dapat dipahami, bahwa keadaan pemakan riba itu sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang halal dan yang haram, antara yang bermanfaat dengan mudarat, antara yang dibolehkan Allah dan yang dilarang-Nya, sehingga mereka mengatakan jual beli itu sama dengan riba.
Selanjutnya Allah menegaskan bahwa Dia menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu.
Dari penegasan itu dipahami pula bahwa seakan-akan Allah swt. memberikan suatu perbandingan antara jual-beli dengan riba. Hendaklah manusia mengetahui dan memikirkan dan memahami perbandingan itu.
Pada jual-beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, serta ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada pertukaran dan penggantian yang seimbang itu. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung yang dilakukan oleh pihak yang empunya terhadap pihak yang sedang memerlukan yang waktu meminjam itu dalam keadaan terpaksa.
Setelah Allah swt. menerangkan akibat yang dialami oleh pemakan riba, perkataan yang diucapkan oleh pemakan riba yang pikirannya sedang dipengaruhi keenakan memakan riba dan penegasan Allah tentang hukum jual-beli dan riba, maka Allah mengajak para pemakan riba dengan ajakan yang lemah-lembut, yang langsung menuju ke hati nurani mereka, sebagaimana lanjutan ayat di atas.
Allah swt. menyebut larangan-Nya tentang riba itu "Mau`izah" (arti asal dari pengajaran"), maksudnya ialah larangan memakan riba itu adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia sendiri, agar berbahagia hidup di dunia dan akhirat, hidup dalam keadaan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketenteraman dan kedamaian.
Barang siapa memahami larangan Allah swt. dan melaksanakannya hendaklah ia menghentikan perbuatan riba itu dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah swt. terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan.
Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan, hendaklah segera berhenti, mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya.
Dalam ayat ini terkandung suatu asas pokok yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan undang-undang, peraturan atau hukum, yaitu suatu undang-undang, peraturan atau hukum yang akan ditetapkan tidak boleh berlaku surut jika berakibat merugikan pihak-pihak yang dikenai atau yang dibebani undang-undang, peraturan atau hukum itu. Sebaliknya boleh berlaku surut bila menguntungkan pihak-pihak yang dikenai atau dibebani olehnya.
Akhir ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang telah melakukan riba, dan orang-orang yang telah berhenti melakukan riba kemudian mengerjakannya kembali setelah larangan ini, mereka termasuk penghuni neraka, mereka akan kekal di dalamnya.
"Kekal di dalam neraka", maksudnya ialah lama tinggal di dalam neraka. Dari perkataan "kekal" ini dimaksudkan bahwa perbuatan riba ini termasuk dosa besar. Karena pelakunya diazab dalam waktu yang lama.
Menurut sebagian ahli tafsir, dosa besar yang ditimpakan kepada pemakan riba ini disebabkan karena di dalam hati pemakannya itu telah tertanam rasa cinta harta, lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, mengerjakan sesuatu karena kepentingan diri sendiri bukan karena Allah. Orang yang demikian adalah orang yang tak mungkin tumbuh dalam jiwanya iman yang sebenarnya. Yaitu iman yang didasarkan kepada perasaan, pengakuan dan ketundukan kepada Allah swt. Seandainya pemakan riba yang demikian masih mengakui beriman kepada Allah swt., maka imannya itu adalah iman di bibir saja, iman yang sangat tipis dan yang tidak sampai ke dalam lubuk hati sanubarinya.
Hasan Al-Basri berkata, "Iman itu bukanlah perhiasan mulut dan angan-angan kosong, akan tetapi iman itu adalah ikrar yang kuat di dalam hati dan dibuktikan oleh amal perbuatan. Barang siapa yang mengatakan kebaikan dengan idahnya sedang perbuatannya tidak pantas, Allah menolak pengakuannya itu. Barang siapa yang mengatakan kebaikan sedangkan perbuatannya baik pula, amalnya itu akan mengangkat derajatnya."
Dan Rasulullah saw. bersabda:


إن الله لا ينظر إلي صوركم و أموالكم ولكن ينظر إلي قلوبكم وأعمالكم
Artinya:
Allah tidak memandang kepada bentuk jasmani dan harta bendamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati dan amalmu.
(HR Muslim dan Ahmad)


276 Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(QS. 2:276)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 276 

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276

Ayat ini menegaskan bahwa riba itu tidak ada manfaatnya sedikit pun baik di dunia maupun di akhirat nanti. Yang ada manfaatnya adalah sedekah.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Artinya memusnahkan harta riba dan harta yang bercampur dengan riba atau meniadakan berkahnya. Dan "menyuburkan sedekah" ialah mengembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama atau melipat gandakan berkah harta itu.
Berfirman Allah swt.:


وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39

Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka orang-orang (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Q.S Ar Rum: 39)
Para ulama berpendapat yang dimaksud dengan perkataan "Allah memusnahkan riba" ialah Allah memusnahkan keberkatan harta riba itu karena akibat melakukan riba timbul permusuhan antara orang-orang pemakan riba, dan kebencian masyarakat terhadap mereka terutama orang yang pernah membayar utang kepadanya dengan riba yang berlipat ganda, dan mereka juga menyebabkan bertambah jauhnya jarak hubungan antara yang punya dan yang tidak punya. Kebencian dan permusuhan ini bila mencapai puncaknya akan menimbulkan peperangan dan kekacauan dalam masyarakat.
Pada akhir ayat ini Allah swt. menegaskan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang mengingkari nikmat-Nya berupa harta yang telah dianugerahkan kepada mereka. Mereka tidak menggunakan harta itu menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah serta tidak memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Demikian pula Allah swt. tidak menyukai orang-orang yang menggunakan dan membelanjakan hartanya semata-mata untuk kepentingan diri mereka sendiri serta mencari harta dengan menindas atau memperkosa hak orang lain.


277 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(QS. 2:277)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 277 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277

Ayat ini menegaskan tentang perbuatan yang baik yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah swt.
Allah swt. menyebutkan bahwasanya orang yang mempunyai empat macam sifat, yang tersebut dalam ayat ini, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati terhadap segala cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Empat macam sifat tersebut ialah:
1. Beriman kepada Allah
2. Mengerjakan amal saleh
3. Menunaikan salat
4. Menunaikan zakat
Bahwa keempat macam sifat itu dapat menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit akibat memakan riba.
Bila seseorang telah beriman kepada Allah swt., dengan iman yang sebenarnya, sekalipun ia sebelumnya adalah pemakan riba, maka iman itu akan mendorongnya ke arah perbuatan yang baik. Imannya itu akan mendorongnya mengerjakan salat dan menunaikan zakat yang merupakan hak orang lain yang ada pada hartanya itu.
Ayat ini memberi pelajaran kepada pemakan riba yang tidak dapat menguasai dirinya menghentikan perbuatan itu. Seakan-akan Allah swt. berkata: "Hai, pemakan riba, berhentilah dari memakan riba. Jika kamu telah berniat menghentikannya, sedang kamu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk menghentikannya, lakukanlah yang empat macam ini. Jika kamu melakukannya dengan benar-benar pasti dapat menghentikan riba itu."
Pada akhir ayat ini Allah swt. menerangkan bahwa orang-orang yang mempunyai keempat sifat itu tenteram jiwanya, rela terhadap cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Hal yang demikian tidak akan diperoleh pemakan riba. Yang mereka peroleh hanyalah kegelisahan hati, kewas-wasan, purbasangka, kebimbangan, seperti orang kemasukan setan.


278 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(QS. 2:278)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 278 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278

Ayat 275 menerangkan keadaan orang yang memakan riba di dunia dan di akhirat dan ayat 276 menerangkan tentang didikan yang baik yang harus dikerjkaan oleh seseorang pemakan riba untuk menghilangkan akibat dan pengaruh riba pada dirinya. Semuanya itu disampaikan dengan ungkapan yang halus, sehingga jelaslah sikap agama Islam yang sebenarnya terhadap riba. Allah swt. memerintahkan agar orang-orang yang beriman dan bertakwa menghentikan riba itu.
Dalam ayat ini Allah swt. menghubungkan perintah meninggalkan riba dengan perintah bertakwa. Dengan hubungan itu seakan-akan Allah swt. mengatakan, "Jika kamu benar-benar beriman tinggalkanlah riba itu. Jika kamu tidak menghentikannya berarti kamu telah berdusta kepada Allah swt. dalam pengakuan imanmu. Mustahillah seseorang yang mengakui beriman dan bertakwa melakukan riba. Karena perbuatan-perbuatan itu mungkin ada pada diri seseorang pada saat atau waktu yang sama."
Yang mungkin terjadi ialah seseorang menjadi pemakan riba atau seseorang beriman dan bertakwa tanpa memakan riba.
Ayat ini senada dengan sabda Rasulullah saw.:


لا يزني الزاني حين يزني و هو مؤمن
Artinya:
Tidak berzina seorang pezina dalam keadaan dia beriman.
(HR Bukhari)
Maksudnya seseorang yang betul-betul beriman tidak akan melakukan zina, begitu pula seseorang yang betul-betul beriman tidak akan melakukan riba.
Dari ayat ini dipahami bahwa iman yang tidak membuahkan amal yang saleh adalah iman yang lemah. Iman yang demikian tidak meresap dalam hati sanubari seseorang. Oleh sebab itu ia tidak menghasilkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.


279 Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(QS. 2:279)



Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 279





فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وإن تبتم فلكم رؤوس أموالكم لا تظلمون ولا تظلمون


            Maka jika kamu tidak mengerjakan (neninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tadak menganiaya dan tidak (pula) di aniaya. (QS. Al-Baqarah: 279)

Pada ayat sebelumnya Allah SWT. Telah memperinangatkan jika kamu tidak mau berhenti dari mengerjakan riba itu, maka tanggungkan tantangan perang dari Allah dan Rasul-Nya. Karena itu pekarjaan melakukan riba itu adalah satu pekerjaan dosa besar yang wajib dijauhi dan ditinggalkan. Orang yang pernah melakukannya hendaklah berhenti dengan segera dan bertobat. Kalau dia tobat, dia boleh mengambil modalnya kembali dengan tidak mengambil keuntungan yang didapatnya dari riba itu.
Sebagaiman telah diterangkan pada ayat yang lalu, riba itu ada dua macam, yaitu jahiliah atau riba nasi’ah dan riba fadhal. Yang di katakan riba adalah penggandaan pembayaran karena berlalunya tempo pembayaran utang yang mesti dibayar, seperti yang diterangkan oleh Abu Bakar Al-Hanafi dalam Tafsir Al-Ahkam-nya. Jika seseorang berutang 1000 dirham dengan di beri tempo, kemudian utangya di potong beberapa persen oleh karena dibayarnya tunai, yang seperti itu juga tidak boleh karena riba. Karena orang yang menerima untung karena tempo yang disebutkan riba. Sufyan telah meriwatkan dari Humaid dari maisarah dia berkata, Aku bertanya kepada Ibnu Umar, bahwa aku berhutang dengan bertempo. Kemudian orang tempat aku berutang itu berkata, “lunaskan utangmu sekarang ini juga dan kupotong uangmu itu.” Ibnu Umar berkata, itu riba.[1]


[1]  Tafsir Al-Ahkam, hal; 164-165





280 Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.(QS. 2:280)


Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah 280

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280

Ayat ini merupakan lanjutan ayat yang sebelumnya. Ayat yang lalu memerintahkan agar orang yang beriman menghentikan perbuatan riba setelah turun ayat di atas. Para pemberi utang menerima kembali pokok yang dipinjamkannya. Maka ayat ini menerangkan: Jika pihak yang berutang itu dalam kesukaran berilah dia tempo, hingga dia sanggup membayar utangnya. Sebaliknya bila yang berutang dalam keadaan lapang, ia wajib segera membayar utangnya.
Rasulullah saw. bersabda:


مطل الغني ظلم
Artinya:
Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim.
(HR Bukhari dan Muslim)
Dalam pada itu Allah swt. menyatakan bahwa memberi sedekah kepada orang yang berutang yang tidak sanggup membayar utangnya adalah lebih baik. Jika orang-orang yang beriman telah mengetahui perintah itu, hendaklah mereka melaksanakannya.
Dari ayat ini dipahami juga bahwa:
1.Allah swt. memerintahkan agar memberi sedekah kepada orang yang berutang, yang tidak sanggup membayar utangnya.
2.Orang yang berpiutang wajib memberi tangguh kepada orang yang berutang bila mereka dalam kesulitan.
3.Bila seseorang mempunyai piutang pada seseorang yang tidak sanggup membayar utangnya diusahakan agar orang itu bebas dari utangnya dengan jalan membebaskan dari pembayaran utangnya baik sebahagian maupun seluruhnya atau dengan jalan yang lain yang baik.


Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 280

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280

(Dan jika dia), yakni orang yang berutang itu (dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh) maksudnya hendaklah kamu undurkan pembayarannya (sampai dia berkelapangan) dibaca 'maisarah' atau 'maisurah'. (Dan jika kamu menyedekahkannya), dibaca dengan tasydid, yakni setelah mengidgamkan ta pada asalnya pada shad menjadi 'tashshaddaqu', juga tanpa tasydid hingga dibaca 'tashaddaqu', yakni telah dibuang ta, sedangkan artinya ialah mengeluarkan sedekah kepada orang yang sedang dalam kesusahan itu dengan jalan membebaskannya dari utang, baik sebagian maupun keseluruhan (itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui) bahwa demikian itu baik, maka kerjakanlah! Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang memberi tangguh orang yang dalam kesusahan atau membebaskannya dari utang, maka Allah akan melindunginya dalam naungan-Nya, di hari saat tak ada naungan selain naungan-Nya." (H.R. Muslim)

Halaman  First Previous Next Last Balik Ke Atas   Total [15]
Ayat 261 s/d 280 dari [286]



Sumber Tafsir dari :

1.Tafsir DEPAG RI, 2. Tafsir Jalalain Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU