Sabtu, 06 April 2013

SHOLAT GHAIB

SHALAT GHAIB
 

”Ghaib” artinya tidak ada. Shalat Ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si mayit sudah dimakamkan, atau shalat yang dilakukan dari jarak yang jauh dari si mayit.
Shalat Ghaib ini termasuk shalat yang unik. Pada Muktamar ke-11 NU di Banjarmasin tahun 1936, telah diambil keputusan lewat pendapat Imam Ibnu Hajar yang menyatakan: “Tak perlu Shalat Ghaib bagi seorang yang meniggal di dalam satu negeri.” Sementara fakta yang berlaku di masyarakat NU, biasanya pada hari Jum’at sebelum khotbah ada pengumuman untuk mengerjakannya secara bersama-sama; seorang imam berdiri dan diikuti jama’ah untuk mengerjakan Shalat Ghaib.
Dua kubu yang kami sebutkan tadi tampil dengan argumen masing-masing. Bagi kubu yang tidak perlu Shalat Ghaib (Keputusan Muktamar ke 11) dalilnya adalah:
”Bahwa tak sah shalat jenasah atas mayit yang ghaib yang tidak berada di tempal seorang yang hendak menyalatinyaa, sementara ia berada di negeri (daerah) di mana mayit itu berada walaupun negeri tersebut luas karena dimungkinkan untuk bisa mendatanginya. Para ulama menyamakannya dengan qadha atas seorang yang berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi pedoman adalah ada tidaknya kesulitan untuk mendatangi tempat si mayit. Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya, misalnya karena sudah tua atau sebab lain maka shalat hgaibnya sah. Sedangkan jika tidak ada kesulitan maka shalatnya tidak sah walau berada di luar batas negeri yang bersangkutan.” (dalam kitab I’anatut Thalibin)
Dalil kedua: Keterangan yang ada di dalam kitab Tuhfah dapat dijadikan pedoman bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat ghaib atas mayit yang meninggal dalam satu negeri, sedang ia tidak hadir karena sakit atau ditahan.
Sedangkan dari kubu yang membolehkan dilakukan shalat ghaib dalilnya adalah, pertama, shalat ghaib boleh diselenggarakan karena lain negara. Rasulullah pernah menyalati seorang muslim Najasyi yang meninggal sewaktu berada di Madinah (HR Bukhari dan Muslim).
Jika seorang menyalati jenasah di hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah, sebagaimana pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenasah yang telah dimakamkan, hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenasah yang sudah dikubur (HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni). (Lihat dalam kitab Kifayatul Ahyar I hlm 103-104)
Dalil kedua: Jelas tertera dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim: Ada seorang Najasi meninggal Rasulullah segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: ”Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal shalatlah kalian untuknya.” Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. (Tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443)
Dalil ketiga: ”Boleh menyalati beberapa jenasah dengan sekali shalat dan niat untuk semua secara global.” Disebutkan juga boleh dengan niat ”ijmal” artinya seperti dalam kalimat saya niat shalat untuk para jenazah muslim… atau, berniat shalat seperti sang imam menyalati saja. (dalam kitab Fathul Mu’in, juga Ianatut Thalibin II, 132-135).
Dalil keempat: ”Batasan ”ghaib” adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika sudah di luar jangkauan pertolongan.” (Bughyatul Musytarsyidin, hlm 95)



Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا “Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda, “Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian menshalatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 1333 dan Muslim no. 1588)
Penjelasan fiqhiah:
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap saudaranya yang wafat, sementara jenazahnya tidak ada di depan mereka atau berada di tempat yang lain. Para ulama berbeda pendapat mengenai shalat ghaib, apakah dia disyariatkan atau tidak?
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat tidak disyariatkannya shalat ghaib secara mutlak. Adapun shalatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada An-Najasyi, maka itu merupakan kekhususan beliau shallallahu alaihi wasallam yang tidak boleh diikuti oleh umat. Mereka berdalil dengan sebuah lafazh dalam riwayat lain hadits ini, “Bahwasanya bumi ini telah diratakan sehingga beliau dapat melihat tempat An-Najasyi berada.” Sehingga keadaan beliau ibarat sedang berdiri di depan jenazah. Ditambah lagi, beliau tidak pernah dinukil melakukan shalat ghaib kepada seorangpun selain kepada An-Najasyi, maka ini menunjukkan itu adalah amalan yang khusus.

Sementara ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ghaib tetap disyariatkan, walaupun kemudian mereka berbeda pendapat mengenai apakah dia disyariatkan secara mutlak ataukah dengan batasan tertentu?

a.    Imam Asy-Syaifi’i dan Ahmad berpendapat disyariatkannya secara mutlak. Mereka menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah di atas berlaku mutlak dan umum.


b.    Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau berpendapat kalau shalat ghaib hanya disyariatkan kepada jenazah yang mempunyai sifat seperti An-Najasyi, yaitu sebagai seorang yang saleh, mempunyai kedudukan, dan berjasa kepada Islam. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa beliau (13/159)


c.    Shalat ghaib hanya disyariatkan kepada jenazah kaum muslimin yang tidak akan dishalati seperti An-Najasyi. Baik karena dia meninggal di negeri kafir sehingga tidak ada yang menyalatinya ataukah dia meninggal di tempat terpencil yang tidak ada seorangpun yang menyalatinya. Ini juga salah satu dari pendapat Imam Ahmad.

Pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang terakhir, yaitu bahwa shalat ghaib hanya disyariatkan pada jenazah muslim yang tidak dishalati. Karena hanya pendapat ini yang bisa lepas dari berbagai kritikan, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu Al-Qayyim, Al-Khaththabi, Al-Albani, dan ini juga yang diisyaratkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab As-Sunan ketika beliau memberikan judul bab terhadap hadits Abu Hurairah di atas, “Bab: Shalat (Ghaib) Kepada Jenazah Muslim yang Wafat di Negeri-Negeri Syirik.”
Adapun yang berpendapat bahwa shalat ghaib merupakan kekhususan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka bisa dijawab dengan 3 jawaban:

1.    Hukum asal semua amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah juga untuk umat beliau, dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini kecuali dengan dalil yang kuat lagi meyakinkan. Sementara di sini tidak ditemukan dalil semacam ini kecuali hanya sekedar rekaan dan alasan yang masih muhtamal (mengandung kemungkinan).


2.    Lafazh riwayat yang mereka berdalil dengannya adalah lafazh yang tidak ada asalnya sama sekali. Ini diterangkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/253)


3.    Kalaupun kita menerima bahwa kedudukan Nabi sama seperti berada di depan An-Najasyi, maka kita akan mempertanyakan kedudukan para sahabat yang ikut di belakang beliau. Karena tidak mungkin semua mereka diperlihatkan kepada mereka jenazah An-Najasyi (kalaupun lafazt tentang itu shahih). Maka shalatnya para sahabat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam menunjukkan syariat ini berlaku umum untuk semua umat beliau.

Adapun pendapat yang mensyariatkan shalat ghaib secara mutlak, maka ini terbantahkan dengan kenyataan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah melakukan shalat ghaib untuk siapapun selain An-Najasyi, bahkan itu kepada para sahabat beliau yang meninggal dalam peperangan yang beliau tidak ikuti.

Adapun pendapat yang mengkhususkan syariat ini pada seorang yang saleh, punya kedudukan, dan berjasa pada Islam. Maka kita katakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menyalati para sahabat yang wafat jauh dari beliau, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat saleh lagi berjasa kepada Islam. Demikian pula para khalifah yang empat, ketika mereka meninggal, tidak ada seorangpun sahabat dan tabi’in di berbagai negeri yang mengadakan shalat ghaib untuk mereka.
Masalah terakhir adalah mengenai ke arah mana jamaah shalat ghaib menghadap: Apakah menghadap ke daerah dimana jenazah tersebut berada ataukah menghadap ke arah kiblat?
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah mereka tetap menghadap ke arah kiblat.

Kita kembali. Jadi, jika seandainya sebuah jenazah telah dishalatkan di tempat dimana dia meninggal dunia, maka dia tidak boleh lagi dishalatkan dengan shalat ghaib karena kewajiban shalat jenazah telah gugur dengan shalatnya kaum muslimin atas dirinya. Maka merupakan bentuk kekeliruan ketika kaum muslimin -baik secara individu maupun berkelompok- menyalati jenazah yang telah dishalati. Bahkan yang merupakan kemungkaran yang nyata adalah menyalati dengan shalat ghaib para pemimpin kekafiran dan kefasikan yang mati di negeri-negeri kafir, sungguh ini termasuk dari keajaiban-kejaiaban dunia.

Masalah berikutnya adalah apa yang ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah yang kedua di atas, yaitu masalah menyalati jenazah yang sudah dikubur. Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya seorang atau sekelompok orang menyalati jenazah yang telah dikubur walaupun jenazah itu telah dishalati sebelumnya. Dan syariat ini berlaku umum, tidak khusus berlaku untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam karena tidak adanya satupun dalil yang menunjukkan pengkhususan untuk beliau.
Hanya saja di sini butuh diperhatikan bahwa shalat yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah yang kedua ini bukanlah shalat ghaib, karena jenazah ada di depan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenanya termasuk kesalahan dalam berdalil jika seseorang menggunakan hadits ini untuk berdalil akan bolehnya menyalati dengan shalat ghaib jenazah yang telah dishalati sebelumnya. Jadi dua jenis shalat pada kedua hadits Abu Hurairah di atas adalah berbeda: Shalat pada hadits An-Najasyi di atas adalah shalat ghaib, sementara pada hadits Abu Hurairah kedua ini adalah shalat jenazah biasa, hanya saja dikerjakan di kuburan.

Jadi jika ada jenazah yang telah dikuburkan lalu ada seorang atau sekelompok orang yang ingin menyalatinya, maka diperbolehkan untuk menyalatinya di atas kuburnya walaupun jenazah itu sudah dishalati sebelumnya. Sekarang tinggal satu permasalahan yaitu: Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menyalati jenazah sahabat lain yang telah dikubur plus terdapat banyak hadits shahih yang melarang untuk shalat menghadap ke kuburan. Bagaimana cara memadukan masalah-masalah ini?
Para ulama memadukannya dengan mengatakan bahwa pembolehan menyalati jenazah yang sudah dikubur terbatas sampai pada waktu tertentu. Artinya jika sudah lewat dari waktu itu maka sudah tidak boleh menyalati jenazah yang sudah dikubur. Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menyalati jenazah para sahabat yang telah dikubur karena mungkin beliau sendiri telah menyalatinya atau beliau mengetahui kabar kematiannya setelah lewat dari waktu tertentu tersebut.
Masalah yang lahir berikutnya adalah, berapa lama waktu maksimal, jenazah yang sudah dikubur masih boleh dishalati?

Wallahu a’lam, kami belum sempat mendengar atau membaca masalah ini di kitab-kitab para ulama. Hanya saja Al-Ustadz Zulqarnain -hafizhahullah- pernah menyebutkan dalam pelajaran Shahih Al-Bukhari ketika menjelaskan hadits di atas, bahwasanya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berpendapat bahwa usia maksimal jenazah yang telah dikubur itu adalah satu bulan. Artinya jika jenazah itu telah dikubur lebih dari sebulan maka sudah tidak boleh lagi menyalatinya di atas kuburnya karena sudah termasuk ke dalam larangan shalat menghadap kuburan.

Adapun semua hadits yang melarang untuk shalat menghadap ke kuburan, maka kita katakan kasus yang satu ini dikecualikan dari hukum larangan tersebut karena adanya hadits Abu Hurairah kedua di atas, itupun hanya diberikan waktu maksimal satu bulan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger... Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Edy_Hari_Yanto's  album on Photobucket
TPQ NURUDDIN NEWS : Terima kasih kepada donatur yang telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk pembangunan TPQ Nuruddin| TKQ-TPQ "NURUDDIN" MENERIMA SANTRI DAN SANTRIWATI BARU | INFORMASI PENDAFTARAN DI KANTOR TPQ "NURUDDIN" KEMALANGAN-PLAOSAN-WONOAYU