SHALAT GHAIB
”Ghaib” artinya tidak ada. Shalat
Ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan seseorang ketika jasad si
mayit sudah dimakamkan, atau shalat yang dilakukan dari jarak yang jauh
dari si mayit.
Shalat Ghaib ini termasuk shalat yang unik. Pada Muktamar ke-11
NU di Banjarmasin tahun 1936, telah diambil keputusan lewat pendapat
Imam Ibnu Hajar yang menyatakan: “Tak perlu Shalat Ghaib bagi seorang
yang meniggal di dalam satu negeri.” Sementara fakta yang berlaku di
masyarakat NU, biasanya pada hari Jum’at sebelum khotbah ada pengumuman
untuk mengerjakannya secara bersama-sama; seorang imam berdiri dan
diikuti jama’ah untuk mengerjakan Shalat Ghaib.
Dua kubu yang kami sebutkan tadi
tampil dengan argumen masing-masing. Bagi kubu yang tidak perlu Shalat
Ghaib (Keputusan Muktamar ke 11) dalilnya adalah:
”Bahwa tak sah shalat jenasah atas
mayit yang ghaib yang tidak berada di tempal seorang yang hendak
menyalatinyaa, sementara ia berada di negeri (daerah) di mana mayit itu
berada walaupun negeri tersebut luas karena dimungkinkan untuk bisa
mendatanginya. Para ulama menyamakannya dengan qadha atas seorang yang
berada di suatu negeri sementara ia bisa menghadirinya. Yang menjadi
pedoman adalah ada tidaknya kesulitan untuk mendatangi tempat si mayit.
Jika sekiranya sulit untuk mendatanginya walaupun berada di negerinya,
misalnya karena sudah tua atau sebab lain maka shalat hgaibnya sah.
Sedangkan jika tidak ada kesulitan maka shalatnya tidak sah walau berada
di luar batas negeri yang bersangkutan.” (dalam kitab I’anatut Thalibin)
Dalil kedua: Keterangan yang ada di dalam kitab Tuhfah dapat
dijadikan pedoman bahwa seseorang tidak boleh melakukan shalat ghaib
atas mayit yang meninggal dalam satu negeri, sedang ia tidak hadir
karena sakit atau ditahan.
Sedangkan dari kubu yang
membolehkan dilakukan shalat ghaib dalilnya adalah, pertama, shalat
ghaib boleh diselenggarakan karena lain negara. Rasulullah pernah
menyalati seorang muslim Najasyi yang meninggal sewaktu berada di
Madinah (HR Bukhari dan Muslim).
Jika seorang menyalati jenasah di
hari meninggalnya setelah dimandikan, hukumnya adalah sah, sebagaimana
pendapat Imam Ar-Rayani. Juga menyalati jenasah yang telah dimakamkan,
hukumnya juga sah karena Rasulullah pernah menyalati jenasah yang sudah
dikubur (HR Bukhari dan Muslim dan Imam Darul-Quthni). (Lihat dalam kitab Kifayatul Ahyar I hlm 103-104)
Dalil kedua: Jelas tertera dalam
kitab Shahih Bukhari dan Muslim: Ada seorang Najasi meninggal Rasulullah
segera memberi tahu para sahabatnya, sabdanya: ”Saudara kita di negeri Habasyah telah meninggal shalatlah kalian untuknya.” Mereka pun keluar menuju lapangan, membuat barisan, dan mengerjakan shalat untuknya. (Tafsir Ibnu Katsir I hlm. 443)
Dalil ketiga: ”Boleh menyalati
beberapa jenasah dengan sekali shalat dan niat untuk semua secara
global.” Disebutkan juga boleh dengan niat ”ijmal” artinya seperti dalam
kalimat saya niat shalat untuk para jenazah muslim… atau, berniat
shalat seperti sang imam menyalati saja. (dalam kitab Fathul Mu’in, juga Ianatut Thalibin II, 132-135).
Dalil keempat: ”Batasan ”ghaib”
adalah bila seseorang berada di sebuah tempat di mana panggilan adzan
sudah tak terdengar. Di dalam kitab Tuhfah disebutkan: Jika sudah di
luar jangkauan pertolongan.” (Bughyatul Musytarsyidin, hlm 95)
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى
النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى
فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumumkan kematian
An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat
shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Al-Bukhari no. 1337)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَسْوَدَ أَوْ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَ يَقُمُّ
الْمَسْجِدَ فَمَاتَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ قَالَ أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي
بِهِ دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ أَوْ قَالَ قَبْرِهَا فَأَتَى قَبْرَهَا
فَصَلَّى عَلَيْهَا
“Ada seorang laki-laki kulit hitam atau wanita kulit hitam yang
menjadi tukang sapu di masjid telah meninggal dunia. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam lalu bertanya tentang keberadaan orang tersebut.
Orang-orang pun menjawab, “Dia telah meninggal!” Beliaupun bersabda,
“Kenapa kalian tidak memberi kabar kepadaku? Tunjukkanlah kuburannya
padaku!” Beliau kemudian mendatangi kuburan orang itu kemudian
menshalatinya.” (HR. Al-Bukhari no. 1333 dan Muslim no. 1588)
Penjelasan fiqhiah:
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang dilakukan oleh kaum muslimin
terhadap saudaranya yang wafat, sementara jenazahnya tidak ada di depan
mereka atau berada di tempat yang lain. Para ulama berbeda pendapat
mengenai shalat ghaib, apakah dia disyariatkan atau tidak?
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat tidak disyariatkannya shalat
ghaib secara mutlak. Adapun shalatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
kepada An-Najasyi, maka itu merupakan kekhususan beliau shallallahu
alaihi wasallam yang tidak boleh diikuti oleh umat. Mereka berdalil
dengan sebuah lafazh dalam riwayat lain hadits ini, “Bahwasanya bumi ini telah diratakan sehingga beliau dapat melihat tempat An-Najasyi berada.” Sehingga
keadaan beliau ibarat sedang berdiri di depan jenazah. Ditambah lagi,
beliau tidak pernah dinukil melakukan shalat ghaib kepada seorangpun
selain kepada An-Najasyi, maka ini menunjukkan itu adalah amalan yang
khusus.
Sementara ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ghaib tetap
disyariatkan, walaupun kemudian mereka berbeda pendapat mengenai apakah
dia disyariatkan secara mutlak ataukah dengan batasan tertentu?
a. Imam Asy-Syaifi’i dan Ahmad berpendapat disyariatkannya secara
mutlak. Mereka menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah di atas berlaku
mutlak dan umum.
b. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau berpendapat kalau shalat
ghaib hanya disyariatkan kepada jenazah yang mempunyai sifat seperti
An-Najasyi, yaitu sebagai seorang yang saleh, mempunyai kedudukan, dan
berjasa kepada Islam. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah
Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa beliau (13/159)
c. Shalat ghaib hanya disyariatkan kepada jenazah kaum muslimin yang
tidak akan dishalati seperti An-Najasyi. Baik karena dia meninggal di
negeri kafir sehingga tidak ada yang menyalatinya ataukah dia meninggal
di tempat terpencil yang tidak ada seorangpun yang menyalatinya. Ini
juga salah satu dari pendapat Imam Ahmad.
Pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang
terakhir, yaitu bahwa shalat ghaib hanya disyariatkan pada jenazah
muslim yang tidak dishalati. Karena hanya pendapat ini yang bisa lepas
dari berbagai kritikan, dan ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiah, Ibnu Al-Qayyim, Al-Khaththabi, Al-Albani, dan ini juga yang
diisyaratkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab As-Sunan ketika beliau
memberikan judul bab terhadap hadits Abu Hurairah di atas, “Bab: Shalat
(Ghaib) Kepada Jenazah Muslim yang Wafat di Negeri-Negeri Syirik.”
Adapun yang berpendapat bahwa shalat ghaib merupakan kekhususan Nabi
shallallahu alaihi wasallam maka bisa dijawab dengan 3 jawaban:
1. Hukum asal semua amalan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah
juga untuk umat beliau, dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini
kecuali dengan dalil yang kuat lagi meyakinkan. Sementara di sini tidak
ditemukan dalil semacam ini kecuali hanya sekedar rekaan dan alasan yang
masih muhtamal (mengandung kemungkinan).
2. Lafazh riwayat yang mereka berdalil dengannya adalah lafazh yang
tidak ada asalnya sama sekali. Ini diterangkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Majmu’ (5/253)
3. Kalaupun kita menerima bahwa kedudukan Nabi sama seperti berada di
depan An-Najasyi, maka kita akan mempertanyakan kedudukan para sahabat
yang ikut di belakang beliau. Karena tidak mungkin semua mereka
diperlihatkan kepada mereka jenazah An-Najasyi (kalaupun lafazt tentang
itu shahih). Maka shalatnya para sahabat di belakang Nabi shallallahu
alaihi wasallam menunjukkan syariat ini berlaku umum untuk semua umat
beliau.
Adapun pendapat yang mensyariatkan shalat ghaib secara mutlak, maka
ini terbantahkan dengan kenyataan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam
tidak pernah melakukan shalat ghaib untuk siapapun selain An-Najasyi,
bahkan itu kepada para sahabat beliau yang meninggal dalam peperangan
yang beliau tidak ikuti.
Adapun pendapat yang mengkhususkan syariat ini pada seorang yang
saleh, punya kedudukan, dan berjasa pada Islam. Maka kita katakan bahwa
Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menyalati para sahabat
yang wafat jauh dari beliau, padahal mereka adalah orang-orang yang
sangat saleh lagi berjasa kepada Islam. Demikian pula para khalifah yang
empat, ketika mereka meninggal, tidak ada seorangpun sahabat dan
tabi’in di berbagai negeri yang mengadakan shalat ghaib untuk mereka.
Masalah terakhir adalah mengenai ke arah mana jamaah shalat ghaib
menghadap: Apakah menghadap ke daerah dimana jenazah tersebut berada
ataukah menghadap ke arah kiblat?
Wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah mereka tetap menghadap ke arah kiblat.
Kita kembali. Jadi, jika seandainya sebuah jenazah telah dishalatkan
di tempat dimana dia meninggal dunia, maka dia tidak boleh lagi
dishalatkan dengan shalat ghaib karena kewajiban shalat jenazah telah
gugur dengan shalatnya kaum muslimin atas dirinya. Maka merupakan bentuk
kekeliruan ketika kaum muslimin -baik secara individu maupun
berkelompok- menyalati jenazah yang telah dishalati. Bahkan yang
merupakan kemungkaran yang nyata adalah menyalati dengan shalat ghaib
para pemimpin kekafiran dan kefasikan yang mati di negeri-negeri kafir,
sungguh ini termasuk dari keajaiban-kejaiaban dunia.
Masalah berikutnya adalah apa yang ditunjukkan dalam hadits Abu
Hurairah yang kedua di atas, yaitu masalah menyalati jenazah yang sudah
dikubur. Hadits di atas jelas menunjukkan bolehnya seorang atau
sekelompok orang menyalati jenazah yang telah dikubur walaupun jenazah
itu telah dishalati sebelumnya. Dan syariat ini berlaku umum, tidak
khusus berlaku untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam karena tidak
adanya satupun dalil yang menunjukkan pengkhususan untuk beliau.
Hanya saja di sini butuh diperhatikan bahwa shalat yang terdapat
dalam hadits Abu Hurairah yang kedua ini bukanlah shalat ghaib, karena
jenazah ada di depan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenanya
termasuk kesalahan dalam berdalil jika seseorang menggunakan hadits ini
untuk berdalil akan bolehnya menyalati dengan shalat ghaib jenazah yang
telah dishalati sebelumnya. Jadi dua jenis shalat pada kedua hadits Abu
Hurairah di atas adalah berbeda: Shalat pada hadits An-Najasyi di atas
adalah shalat ghaib, sementara pada hadits Abu Hurairah kedua ini adalah
shalat jenazah biasa, hanya saja dikerjakan di kuburan.
Jadi jika ada jenazah yang telah dikuburkan lalu ada seorang atau
sekelompok orang yang ingin menyalatinya, maka diperbolehkan untuk
menyalatinya di atas kuburnya walaupun jenazah itu sudah dishalati
sebelumnya. Sekarang tinggal satu permasalahan yaitu: Nabi shallallahu
alaihi wasallam tidak pernah menyalati jenazah sahabat lain yang telah
dikubur plus terdapat banyak hadits shahih yang melarang untuk shalat
menghadap ke kuburan. Bagaimana cara memadukan masalah-masalah ini?
Para ulama memadukannya dengan mengatakan bahwa pembolehan menyalati
jenazah yang sudah dikubur terbatas sampai pada waktu tertentu. Artinya
jika sudah lewat dari waktu itu maka sudah tidak boleh menyalati jenazah
yang sudah dikubur. Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam tidak menyalati jenazah para sahabat yang telah dikubur karena
mungkin beliau sendiri telah menyalatinya atau beliau mengetahui kabar
kematiannya setelah lewat dari waktu tertentu tersebut.
Masalah yang lahir berikutnya adalah, berapa lama waktu maksimal, jenazah yang sudah dikubur masih boleh dishalati?
Wallahu a’lam, kami belum sempat mendengar atau membaca masalah ini di
kitab-kitab para ulama. Hanya saja Al-Ustadz Zulqarnain -hafizhahullah-
pernah menyebutkan dalam pelajaran Shahih Al-Bukhari ketika menjelaskan
hadits di atas, bahwasanya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berpendapat
bahwa usia maksimal jenazah yang telah dikubur itu adalah satu bulan.
Artinya jika jenazah itu telah dikubur lebih dari sebulan maka sudah
tidak boleh lagi menyalatinya di atas kuburnya karena sudah termasuk ke
dalam larangan shalat menghadap kuburan.
Adapun semua hadits yang melarang untuk shalat menghadap ke kuburan,
maka kita katakan kasus yang satu ini dikecualikan dari hukum larangan
tersebut karena adanya hadits Abu Hurairah kedua di atas, itupun hanya
diberikan waktu maksimal satu bulan. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar