
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang telah memuliakan agama Islam dan umatnya
serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai-Nya. Dan
adalah suatu kepastian bahwa umat Islam akan berjaya di bawah naungan
al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari
kiamat. Walaupun orang-orang kafir dan musyrik membencinya.
Berbagai syubhat dan tuduhan buruk telah banyak dilontarkan oleh
orang-orang kafir dan orientalis dari kalangan Nasrani atau Kristen. Dan
ikut pula digembar-gemborkan oleh para murtaddin (orang-orang murtad)
yang begitu bangga dengan kemurtadannya seperti nampak pada
website-website mereka. Mereka melontarkan syubhat baik dengan cara
halus dengan membawa-bawa ayat al-Qur’an dan membawanya kepada
makna-makna yang mereka kehendaki ataupun cara kasar dengan cacian dan
terang-terangan menjelek-jelekan Islam dan pembawa risalahnya yaitu
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun yang membuat takjub, justru lontaran syubhat-syubhat tersebut
bagaikan menggosok emas yang menyebabkan Islam semakin tampak kemilau
dan membuka mata orang-orang yang lalai akan keagungannya. Semakin
terpatri dalam dada apa yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya
(agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang
kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah: 32)
Tentu tidak mengherankan jika mereka tidak takut akibat buruk menimpa
mereka seandainya mereka menghayati ayat ini. Bagaimana akan takut,
bahkan memang mereka tidak beriman terhadap Allah, al-Qur’an dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barangkali tidak asing bagi sebagian kita, terutama pengguna
internet, forum, milis dan email, bagaimana begitu banyak dan gigih
syubhat dan tuduhan buruk terhadap Islam dan Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam oleh orang-orang kafir untuk memalingkan kaum muslimin
dari keyakinan agama mereka. Terutama tuduhan buruk terhadap al-Qur’an
dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembawa risalah
Islam, karena dengan dirusakkannya kehormatan beliau, otomatis batal
pula ajaran yang beliau bawa. Di antara syubhat mereka adalah bahwa
al-Qur’an adalah buatan Muhammad shallallau ‘alaihi wa sallam, beliau
dituduh berakhlak bejat, al-Qur’an banyak memiliki kontradiksi,
bertentangan dengan ilmu dan fakta alam serta berbagai tuduhan lainnya.
Berikut ini adalah jawaban-jawaban terhadap berbagai syubhat yang bantahan ini disampaikan oleh
Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi dari
situs Majalah Qiblati.
Beliau menjawab berbagai pertanyaan dan tuduhan yang ditujukan kepada
Qiblati. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dan
harap bersabar membacanya karena sangat panjang dimana pada situs
aslinya terbagi dalam 7 seri. Ditata ulang seperlunya menyesuaikan
format penulisan di blog ini.**
_
Bagian 1
Syubhat: Assalamu’alaikum, syaikh mamduh yang ana
muliakan, ana dapat syubhat dari orang Nasrani, kenapa di dalam
al-Qur’an ada ayat yang menggunakan kata-kata “KAMI”; orang pertama
dalam bentuk jamak bukan tunggal, berarti benarlah Tuhannya orang
Nasrani tentang TRINITAS, Tuhan bapak, anak dan roh kudus? Mohon dijawab
agar umat Islam mengetahui jawaban syubhat ini. Jazakallahu khairan.
+628***541****
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Sesungguhnya, termasuk permasalahan terbesar pada syubhat para
pendeta Nasrani yang mereka tanamkan kepada akal para pengikutnya adalah
bahwa mereka jahil (bodoh) terhadap bahasa Arab. Lalu mereka
menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an yang mulia kepada bahasa mereka
kemudian mengeluarkan hukum jahil mereka berdasarkan bahasa mereka,
bukan berdasarkan kekhususan bahasa, dan lisan Arab. Kemudian
orang-orang awam Nasrani menukil kebodohan tersebut dari pendeta-pendeta
mereka.
Kata [نَحْنُ], nahnu (kami), dalam bahasa Arab tidak harus bermakna
lebih dari satu, karena itu adalah bentuk penghormatan menurut bangsa
Arab dalam bahasa mereka. Para Raja dan panglima, saat mereka menetapkan
keputusan, maka mereka akan menetapkan keputusan tersebut dengan
menyebut kata nahnu (kami), padahal dia hanya satu orang. Akan tetapi
kata itu digunakan untuk mengungkapkan pengagungan dan kedudukan tinggi.
Hal tersebut terus berlangsung hingga hari ini pada sebagian pemimpin
bangsa Arab. Oleh karena itu, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan al-Qur’an yang mulia, Dia menurunkannya dengan lisan Arab
hingga bangsa Arab kala itu tidak pernah memprotes satu kata atau ayat
pun, karena mereka tahu maksud dari al-Qur’an yang mulia. Mereka hanya
menuduh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan tuduhan-tuduhan,
diantaranya adalah tukang sihir atau gila. Akan tetapi tidak ada seorang
pun yang berani menuduhnya tentang ayat-ayat al-Qur’an, karena
pengetahuan mereka bahwa ayat-ayat tersebut sesuai dengan bahasa dan
lisan mereka.
Jika bangsa Arab menggunakan lafazh nahnu (kami) karena mengagungkan
urusan mereka, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih berhak
dengan pengagungan itu dan lebih layak dengannya dari setiap orang. Oleh
karena itu, kata nahnu (kami) adalah untuk pengagungan dalam ayat-ayat
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara kepada manusia, bukan untuk
penggandaan.
Di antara perkara yang menolak kerancuan pemahaman tersebut adalah
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal terhadap hak
Dzat-Nya secara nyata dan berfirman kepada manusia dengan firmanNya
Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah (2): 163)
Dan firmanNya:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.” (QS. al-Ikhlash (112): 1)
Maka yang demikian itu menunjukkan akan kebatilan keyakinan Trinitas,
berbeda dengan klaim mereka, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah
kepada mereka.
Oleh karena itu, sesungguhnya saya menasihatkan kepada setiap orang
Nasrani yang mencari kebenaran untuk mempelajari kekhususan bahasa dan
lisan Bangsa Arab yang mereka itu tidak pernah mengingkari perbedaan
bentuk pembicaraan dalam al-Qur’an yang mulia, dimana kadang datang
dengan bentuk jamak (plural), dan kadang dalam bentuk mufrad (tunggal).
Jika para pembesar yang ahli bahasa, fasih dalam berbicara dan bersya’ir
di zaman turunnya al-Qur’an tidak pernah walaupun sekali mengingkari
(memprotes) macam-macam penggunaan bentuk pembicaraan dalam al-Qur`an
yang mulia, maka bagaimana mungkin selain mereka, yang bukan bangsa
Arab, juga bukan dari kaum muslimin pada zaman ini mengingkari ragam
bentuk pembicaraan al-Qur’an yang mulia?!*
_
Syubhat: Assalamu Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Saya pembaca majalah Qiblati dan rubrik yang paling saya sukai adalah
yang berkenaan dengan masalah kristenisasi, berhubung saya juga adalah
pengajar kristologi di sebuah tadrib ad-duaat di Makassar yang
senantiasa mengirim dai-dainya ke daerah misi di wilayah Timur
Indonesia.
Saya sering menerima pertanyaan dari pendeta, khususnya mengenai
syubhat-syubhat mereka terhadap al-Qur`an. Sementara ini saya sedang
menulis buku menjawab pertanyaan para misionaris mengenai keraguan
mereka akan ajaran Islam. Ada satu hal yang belum bisa saya jelaskan
yakni mereka mengatakan bahwa dalam al-Qur`an juga terdapat pertentangan
ayat. Mereka mencontohkan dalam QS. As-Sajadah: 5
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu
tahun menurut perhitunganmu”
Menurut misionaris ini bertentangan dengan QS.Al-Maarij: 4
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”
Dalam ayat 5 QS. As-Sajadah kadar urusan naik ke langit disebutkan
sama dengan 1000 tahun sementara dalam ayat 4 QS. Al-Maarij disebutkan
50.000 tahun. Maka bagaimanakah jawabannya? Saftani Muhammad
<*******@yahoo.co.id>
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu
Pertama, saya sampaikan salam kepada Anda dan para saudara yang
bersama Anda atas peran Anda dalam memberikan hidayah kepada manusia dan
menghadapi usaha pemurtadan para misionaris. Mudah-mudahan Allah
membalas Anda dengan sebaik-baik balasan.
Sesungguhnya dua ayat tersebut menjelaskan bahwa ukuran sehari di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam.
Macam yang pertama, maka ayat pada surat al-Ma’arij (70) tersebut
berbicara tentang kejadian hari kiamat dan kedahsyatannya. Ayat-ayat
tersebut berbicara tentang hari kiamat dan kedahsyatannya, dan apa yang
terjadi padanya dari kejadian-kejadian besar, dan tanda-tanda kekuasaan
yang jelas. Termasuk bagian dari kedahsyatannya adalah panjangnya hari
tersebut yang menyamai lima puluh ribu tahun dari tahun dunia. Dan ayat
tersebut adalah ayat keempat dari surat al-Ma’arij (70), dimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ
(١) لِلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ (٢) مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ
(٣) تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ
مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ (٤) فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلا (٥)
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا (٦) وَنَرَاهُ قَرِيبًا (٧) يَوْمَ تَكُونُ
السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ (٨) وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ (٩) وَلا
يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا (١٠
“Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpa,
orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (yang datang)
dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan
Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima
puluh ribu tahun. Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan
Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). Pada hari ketika langit
menjadi seperti luluhan perak, dan gunung-gunung menjadi seperti bulu
(yang berterbangan), dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan
temannya,..” (QS. Al-Ma’arij: 1-10)
Dan yang menunjukkan atasnya adalah hadits Abu Hurairah Radiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
« مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا
فِضَّةٍ لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ
الْقِيَامَةِ صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا
فِي نَارِ جَهَنَّمَ ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ ،
كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ
خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى
سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ »
“Tidak ada pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan darinya
haknya, kecuali jika pada hari kiamat akan dilempengkan untuknya
lempengan-lempengan dari api neraka, lalu dia dipanggang di atas api
neraka Jahannam, kemudian dicoskan ke lambungnya, kening dan
punggungnya. Setiap kali menjadi dingin, maka dikembalikan lagi, pada
satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun. Hingga diputuskan
antara para hamba lalu dia melihat jalannya, apakah ke sorga ataukah ke
neraka.” (HR. Muslim (987))
Ibnu ‘Abbas Radiallahu Anhuma berkata, ‘Ini adalah hari kiamat, Allah
menjadikannya atas orang-orang kafir seukuran lima puluh ribu tahun.’
(Diriwayatkan at-Thobariy di Jami’ul Bayan (23/602))
Macam yang kedua; yaitu ayat-ayat yang tidak berbicara tentang
panjangnya hari kiamat, akan tetapi berbicara tentang panjangnya
hari-hari yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ukurannya
dibandingkan dengan hari-hari dunia yang kita menghitungnya adalah
hari-hari yang Allah mengadakan makhluk dan mengaturnya, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa satu hari disisi-Nya setara dengan
seribu tahun dari hari-hari kita ini. Hal itu juga datang dalam surat
al-Hajj (22), pada ayat ke 47, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ
وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ
سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal
Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di
sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj: 47)
Juga datang pada surat as-Sajdah (32), pada ayat kelima, dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
دَبِّرُ الأمْرَ مِنَ السَّمَاءِ
إِلَى الأرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ
أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ – ذَلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ
وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib
dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah (32): 5-6)
Dan tampak dengan jelas pada bentuk kedua ayat tersebut bahwa
pembicaraan di dalamnya adalah tentang hari-hari Allah yang di dalamnya
terdapat penciptaan dan pengaturan-Nya, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyifatinya dengan menyatakan bahwa ukurannya mencapai seribu tahun
dari hari-hari dunia.
Dengan ini, menjadi jelaslah kedua macam bentuk yang lalu dari
ayat-ayat tersebut hanyalah berbicara tentang hari-hari yang berbeda,
bukan hari-hari yang satu. Maka hari yang ada pada ayat al-Ma’arij (70)
adalah hari pada hari kiamat, dan ukurannya adalah lima puluh ribu
tahun, adapun hari pada dua ayat surat al-Hajj (22) dan as-Sajdah (32)
adalah hari di sisi Allah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurusi
berbagai perkara di dalamnya, dan ukurannya adalah seribu tahun.
Dari sini jelas, bahwa tidak ditemukan kontradiksi di antara
ayat-ayat tersebut, akan tetapi kontradiksi itu ada pada akal-akal para
pendeta Nasrani yang menyangka bahwa al-Qur’an yang mulia seperti
kitab-kitab suci mereka yang harus ada kontradiksi sebagian terhadap
sebagian yang lain.*
_
Syubhat: Assalamu’alaikum. Ustadz saya mau tanya
adakah hukum di kristen tentang larangan makan babi, saya pernah dengar
katannya ada, untuk menyanggah fitnah teman yang kebetulan kristen, dia
selalu tanya “kenapa kalian tidak boleh makan babi”. Dan “katanya nabimu
dulu senang makan babi sehinga kalian sekarang gak boleh makan,” mohon
bantu jawab fitnah ini… wassalamu ‘alaikum. wr. wb. (IVAN, Batam)
Jawab: Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuhu.
Kita tidak boleh memakan babi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengharamkannya. Allah Sang Pencipta telah memberitahukan bahwa hewan
itu najis, tidak halal bagi seorang muslim untuk memakannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ
إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi, karena sesungguhnya semua itu najis (kotor)…” (QS. Al-An’am (6): 145)
Tidak disebutkan di dalam syari’at alasan khusus pengharaman daging babi selain firman-Nya:
“Karena sesungguhnya itu adalah najis”. Dan najis itu mutlak kepada apa yang dipandang buruk oleh syari’at dan fitrah yang lurus, dan alasan ini saja sudah cukup.
Terdapat juga alasan umum yang mencakup daging babi dan selainnya
dari makanan-makanan yang diharamkan, yaitu firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“… dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al-A’raf (7): 157)
Maka, segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
buruk, dan perkara-perkara yang khabits (kotor, buruk) pada konteks ini
adalah apa-apa yang di dalamnya mengandung kerusakan bagi kehidupan
manusia dan pada kesehatannya, atau hartanya, atau dalam akhlaknya.
Belum pernah kaum muslimin pada masa salaf (masa dulu) mengetahui
rincian menjijikannya babi, serta alasan pengharamannya. Hingga datang
penemuan-penemuan modern yang menemukan bahwa pada babi terdapat
faktor-faktor penyakit serta bakteri-bakteri yang membahayakan.
Diantaranya adalah bahwa babi, daging yang dimakan oleh manusia akan
melahirkan cacing berbahaya [footnote: Cacing pita yang hidup pada babi
(T solium), panjang 2-7 meter bisa menular dan hidup dalam pembuluh
darah manusia, dalam usus manusia. Bila menyebar ke otak, bisa
mematikan.] yang benihnya ada di dalam daging babi. Kemudian tumbuh di
dalam lambung manusia dengan bentuk yang tidak dapat diobati dengan obat
cacing lambung. Bahkan cacing babi itu akan tumbuh di dalam daging
manusia dengan bentuk yang kedokteran hingga hari ini belum mampu
membebaskan manusia darinya setelah dia tertimpa penyakit itu. Dan itu
akan membahayakan kehidupannya. Cacing itu diberi nama Treichine
[footnote: Itu hanya salah satu dari penyakit akibat babi. Diketahui
bahwa Babi adalah sarang bakteri, virus dan penyakit: 1. influenza (flu
babi) 2. Balantidium Dysentery 3. Fasciolopsis Buski 4. Taenia Solium
(cacing pita) 5. Ascaris (ular perut) 6. Trichinella Spiralis
7. Zoonoses], dari sini tampaklah hikmah pengharaman daging babi dalam
Islam.
Telah disebutkan di dalam Ensiklopedi Larous Perancis (Larousse
Encyclopedia Perancis), bahwa cacing menjijikkan tersebut (Treichine)
akan berpindah ke manusia menuju jantung, kemudian berdiam di otot,
terutama di dada, kerongkongan, mata dan diafragma. Kemudian embrionya
akan tinggal terlindungi dengan vitalitasnya di dalam tubuh selama
bertahun-tahun.
Dan tidak mungkin terpaku pada penemuan ini saja dalam alasan
pengharaman, bahkan mungkin ilmu pengetahuan yang telah menemukan
penyakit ini pada babi akan menemukan penyakit-penyakit lain di kemudian
hari yang sekarang ini kita belum mengetahuinya. Karena itu, tidak akan
diterima di dalam Islam pendapat orang yang mengatakan bahwa
pemeliharaan babi jinak di masa sekarang dengan cara metode teknis
pengawasan dalam pemeliharan, kandang, serta kediamannya mampu
memberantas bakteri tersebut. Tatkala kami jelaskan bahwa nash syari’at
itu mutlak dalam pengharaman, dan tanpa alasan, maka memungkinkan bahwa
terdapat madharat lain bagi Babi yang belum ditemukan, dan ilmu
pengetahuan terus menerus berkembang.
Hendaknya diperhatikan juga bahwa jika memungkinkan memelihara babi
dengan metode teknik yang bisa menghilangkan penyakit tersebut, pada
waktu atau tempat atau banyak tempat dari pusat-pusat peradaban dunia,
maka sesungguhnya hal itu tidak mungkin dilakukan pada seluruh penjuru
bumi. Dan hukum syar’i wajib sesuai dan cocok untuk seluruh manusia di
seluruh tempat. Oleh karena itu, pengharaman tersebut bersifat umum dan
menyeluruh; di mana dan kapan saja.
Adapun klaim bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam suka daging babi, maka itu adalah kedustaan yang nyata.
Saya ingin memberikan hadiah kepada orang-orang Nasrani secara umum,
sebuah hadiah dari kitab suci mereka tentang kenajisan, dan jijiknya
babi ini:
Markus (5:11-13) ‘Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi
sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya:
“Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami
memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah
roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang
kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau
dan mati lemas di dalamnya.’
Lihatlah juga nash-nash lain tentang kotornya babi, dan hinanya para pemeliharanya:
Matius (7:6) “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing
dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan
diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
II Petrus (2:22) “Bagi mereka cocok apa yang dikatakan peribahasa
yang benar ini: “Anjing kembali lagi ke muntahnya, dan babi yang mandi
kembali lagi ke kubangannya.”
Adapun pengharaman babi maka perhatikan Leviticus (11: 4-8)
Nevertheless these shall ye not eat of them that chew the cud, or of
them that divide the hoof: as the camel, because he cheweth the cud, but
divideth not the hoof; he is unclean unto you. And the coney, because
he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he is unclean unto you.
And the hare, because he cheweth the cud, but divideth not the hoof; he
is unclean unto you. And the swine, though he divide the hoof, and be
clovenfooted, yet he cheweth not the cud; he is unclean to you. Of their
flesh shall ye not eat, and their carcase shall ye not touch; they are
unclean to you. [footnote: Namun perhatikanlah distorsi penerjemahan
pada edisi Terjemahan Resmi:
‘Tetapi inilah yang tidak boleh kamu
makan dari yang memamah biak atau dari yang berkuku belah: unta, karena
memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram itu bagimu. Juga
pelanduk, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram
itu bagimu. Juga kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak
berkuku belah, haram itu bagimu. Demikian juga babi hutan,
karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi
tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu
janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram
semuanya itu bagimu.’ (Imamat 11: 4-8)
Terjemahan inipun dimentahkan dengan terjemahan bahasa sehari-hari:
‘Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak.’ (Imamat: 11:7)]*
_
Syubhat: Qiblati memang “HEBAT” tolong kupas tuntas
agama NASRANI biar dia gak nyari-nyari kelemahan agama kita dan kasih
kisah muallaf. Maju terus pantang mundur..!! Faturahman, Madinah
Jawab: Kami berterima kasih kepada Anda atas nasihat
ini, dan kami berada di atas jalan kami untuk merealisasikan permintaan
tersebut Insya Allah, bersamaan dengan kebutuhan kami terhadap do’a
Anda agar Allah memudahkan kepentingan kita ini, sebagaimana kita tidak
lupa untuk berdo’a kepada orang Nasrani agar mendapatkan hidayah. Kita
sangat berambisi atas hidayah mereka. Kami adalah pembawa rahmat bagi
para hamba-Nya, dan kami mendakwahi manusia dengan cara yang terbaik,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita. [*]
_
Bagian 2
Syubhat: Mengapa shalat pada agama Anda dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham kecuali bahasa Arab?
Jawab: Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda
yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui jawabannya. Anda
harus mengetahui bahwa menurut kaum muslimin, di dalam shalat terdapat
tiga perkara:
Pertama, membaca al-Qur’an, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan saya jelaskan nanti sebabnya apa.
Kedua, lafazh-lafazh dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat
tauqifiy (paten), tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.
Ketiga, do’a, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau
tidak hafal doa yang berhasa Arab) untuk berdo’a dengan bahasanya,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memahami seluruh bahasa. Dialah yang
menciptakannya dan Dialah yang mengadakannya (tetapi tetap diajurkan
untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang ada dalam al-Quran dan Sunnah).
Dari sini kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun
dalam do’a di dalam shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui
bahasa Arab. Ada pun membaca al-Qur`an, maka tidak boleh kecuali dengan
bahasa Arab, sama saja apakah di dalam shalat atau pun di luar shalat,
karena sebab berikut:
1. Karena al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan
tidak boleh bagi kami untuk mengubah atau mengganti firman itu walaupun
satu huruf.
2. Karena membaca setiap huruf al-Qur`an adalah bernilai satu
kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya
al-Qur`an diterjemahkan, maka pastilah jumlahnya akan bertambah atau
berkurang.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya (al-Qur’an) dari
penggantian dan perubahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bagi setiap orang
untuk membaca al-Qur’an dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal
itu akan menjadikan perubahan al-Qur’an seperti yang terjadi pada Taurat
dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga
al-Qur’an dari pengubahan dengan bahasa Arab.
4. Bolehnya membaca al-Qur’an dengan sejumlah bahasa itu akan membawa
kepada kerancuan besar dalam makna al-Qur’an, karena manusia akan
berbeda dalam menerjemahkan. Masing-masing orang akan mengklaim bahwa
terjemahannyalah yang benar, yang kemudian terpecahbelahlah kaum
muslimin.
Terakhir, saya ingin Anda memahami bahwa asal syubhat ini adalah
kedengkian yang disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani
terhadap keunggulan bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri
Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
kekuasaan kepada kaum muslimin di negeri Andalusia, mereka mendirikan
satu peradaban yang menyinari seluruh negeri Eropa, dan menyebarkan
agama Islam serta bahasa Arab di antara putra-putra Andalus. Bersamaan
dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar orang-orang awam di Eropa
kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di Universitas
Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum muslimin yang telah menyalakan
lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu
dan karya-karya mereka.
Adalah para pemuda dan pencari ilmu serta orang-orang terpelajar di
Eropa melahap bahasa Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa
penakluk yang dengan kekuatan pedangnya menguasai pendidikan, akan
tetapi karena bahasa itu adalah bahasa peradaban yang tegak, maka tidak
ada jalan untuk bisa mendapatkannya kecuali dengan menguasainya.
Bahkan Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam
bahasa Arab. Orang-orang Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa
membacanya. Sebagaimana Bapa Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa
itu melihat kepada para pemuda Eropa yang keluar dengan diam-diam dari
peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya meletakkan kepalanya di
antara dua tapak tangannya, seperti orang-orang lain yang fanatik
terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan perjalanan
peradaban. Dia menulis:
“Sesungguhnya orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait sya’ir Arab
dan periwayatan mereka. Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan
filosof Arab. Bukan dengan tujuan untuk mendebat mereka, akan tetapi
untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan anggun. Di manakah
orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan bahasa Latin?
Atau mempelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci? Duhai
ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca
buku-buku berbahaa Arab, dan mempelajarinya dengan penuh semangat.
Mereka mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak
menghargai pendidikan keNasranian yang keberadannya sudah tidak layak
untuk dipentingkan. Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa,
hingga kepada bahasa mereka sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan
sulit mendapatkan satu orang saja yang bisa menulis surat kepada
temannya dengan bahasa latin.” (Tarikh Andalus (123))
Ya, orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai
orang-orang Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila
dibandingkan dengan orang yang mengesakan Allah dan masuk Islam telah
memilih bahasa Arab yang tidak diwajibkan atas mereka. Inilah yang
diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di atas.
Sekarang, marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam
mempergauli selain muslim dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang
Katolik saat Granada jatuh, dimana mereka mengharamkan kaum muslimin
untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu mereka mewajibkan bahasa mereka
dengan paksa. Barangsiapa ditemukan membawa buku berbahasa Arab, maka
dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka pun membakar ribuan
buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama), termasuk ilmu
duniawi.
Ini semua menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan
perbedaan Islam dengan Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber
kebencian terhadap bahasa Arab?*
_
Syubhat: Anda mengklaim bahwa ajaran Islam yang
pokok adalah “Tauhid.” Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah dan
hanya kepada Dialah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan”
(QS.1 Al-Fatihah 5). Apakah kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai
dengan konsep Tauhid?
Jawab: Ya, sesuai dengan konsep tauhid. Karena
berkumpulnya kaum muslimin di sekitar satu rumah yaitu Baitullah, dan
menghadapnya mereka dengan satu kiblat yang sama yaitu Ka’bah, dan
bacaan mereka hanya kepada satu kitab yaitu al-Qur’an, semua itu turut
andil dalam menjaga persatuan kaum muslimin agar tidak terpecah belah
dan berselisih.
Ka’bah tidak lain hanyalah kiblat, yang kaum muslimin menghadap
kepadanya dalam shalat mereka atas perintah Allah. Itu seperti pandangan
persatuan mereka, serta kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya,
serta thawaf di sekitarnya adalah demi menjalankan perintah Allah. Kaum
Muslimin mengetahui bahwa itu hanyalah batu, yang tidak mendatangkan
madharat, tidak juga memberi manfaat, akan tetapi kaum muslimin
melaksanakan perintah Allah sekalipun belum mengetahui hikmah di
belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari
“hanya beribadah kepada Allah pencipta alam semesta”.
Tidaklah Islam itu mengajak kecuali hanya menyembah, beribadah dan
taat kepada Allah saja, serta mencabut segala peribadatan kepada
selain-Nya, manusia atau pun batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ
آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ
لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا
حَيَاةً وَلَا نُشُورًا
“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk
disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan
mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu
kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu
kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak
(pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*
_
Syubhat: Sesungguhnya saya tidak mendapatkan
seseorang dari para ulama dan da’i kaum muslimin yang kami temui di
Perancis yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak
menyulitkan mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal
aslinya adalah anggur yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka
selalu berputar sekitar perubahan kondisi anggur, karena dengan
menjadikannya khomer, maka itu memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin
filsafat tersebut, saya ingin mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam
rincian; bagaimana sesuatu yang diturunkan dari anggur atau apel bisa
menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi Anda untuk menjawab kami?
(Marcell, Perancis)
Jawab: Pertama, izinkanlah saya untuk menghaturkan
terima kasih kepada setiap ulama dan para da’i yang telah menjawab Anda.
Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala
membalas mereka dengan kebaikan. Ada pun berkaitan dengan pertanyaan
Anda, maka sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka
janganlah Anda menyangka bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu
adalah pengaburan yang dilakukan oleh syetan kepada Anda. Dari jawaban
saya, Anda akan yakin dengan kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab,
saya katakan bahwa dengan logika aneh seperti itu, yang Anda ingin
memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan mengalami kekalahan dalam
pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk berani mengakui
kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda ingin
memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri
Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu
adalah dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat saya jawab
dengan logika yang sama, maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya
pernikahan bapak-bapak dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini
menjadi semakin kuat atas kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi
Anda.* [Alhilyahblog:
Iyas bin Mu'awiyah al-Muzzani dengan kecerdasannya juga pernah menjawab pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan ini]
_
Syubhat: Mengapa saat kaum muslimin berhijrah dari
Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya orang-orang
Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir
orang-orang Yahudi, Muhammad -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan
hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari
Baitul Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?
Jawab: Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah kiblat
untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi
kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul
Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk
menolak masuk Islam, dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan
mereka bahwa pengarahan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang
yang bersamanya ke kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa
agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan kiblat mereka
adalah kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang
benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama
mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka
untuk masuk Islam.
Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin
bangsa Arab yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk
mengagungkan Baitul Haram dan menjadikannya sebagai Ka’bah dan kiblat
mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit saat mereka mendengar dari
orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan perkara ini dan
menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke
langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya,
sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang
diridhai-Nya. Kemudian turunlah al-Qur’an mengabulkan apa yang ada di
dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu dengan firman-Nya:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ
وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ
وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah: 144)
Ketika kaum muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari
mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan
wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan
menyempurnakan shalat mereka ke arah kiblat yang baru.
Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang
membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau dari kiblat
mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan
kebanggaan mereka kepadanya.
Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada
kaum muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya
kiblat dari Ka’bah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini
adalah sebuah kejadian besar di hati mereka dan memiliki pengaruh besar
dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas siapa yang
mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan siapa yang membelot.
Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka.
Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin
membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan
kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan
segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah
secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan,
maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah baitul haram yang
kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah masjidil Aqsha,
demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi tampak siapa yang
mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas dan siapa
yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan
dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.
Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, maka pasrahlah kaum muslimin dan menghadap ke arah
kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum
muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu bahwa rumah
tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima
Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.*
_
Bagian 3
Syubhat: Mengapa kaum muslimin menyembah batu hitam
(hajar aswad), dan ini jelas dari perbuatan mereka yang selalu
menciuminya dan sujud ke arahnya.
Jawab: Sesungguhnya pertanyaan Anda tersebut adalah
bukti nyata bagi penipuan dan pembodohan yang dilakukan oleh sebagian
pendeta, karena kaum muslimin tidak sujud kepada hajar aswad, dan tidak
pula menyembahnya. Jadi, darimana para pendeta yang menyimpang itu
mendapatkan pemahaman yang salah ini? Jawabannya tidak lepas dari dua
kemungkinan: bisa jadi mereka itu adalah orang-orang yang bodoh terhadap
agama Islam, kemudian mereka tularkan kebodohan mereka kepada Anda;
atau bisa jadi mereka sengaja berdusta dan menipu demi menolong
kebatilan mereka agar Anda tetap berada di atas agama mereka, meskipun
dengan cara dusta.
Sesungguhnya hajar aswad adalah dari bebatuan sorga. Saat Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintah Ibrahim ‘Alaihi Sallam untuk membangun
Ka’bah, maka dia pun bergegas untuk meninggikan pondasi bangunan Ka’bah.
Kemudian Ibrahim ‘Alaihi Sallam meminta putranya, Isma’il ‘Alaihi
Sallam mencarikan sebuah batu yang nantinya akan menjadi tanda awal
thawaf. Maka saat Isma’il mulai mencari, dia tidak menemukan. Lalu dia
kembali kepada ayahandanya tanpa membawa batu. Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala turunkan bersama Jibril ‘Alaihi Sallam sebuah batu dari sorga
yang sekarang berada pada tempatnya hingga hari ini.
Hajar aswad terdapat di rukun (pojok Ka’bah) sebelah selatan timur di
bagian luar Ka’bah. Keberadaannya sebagai tanda dimulai dan berakhirnya
sebuah putaran thawaf, dan dengannyalah putaran thawaf menjadi
sempurna.
Kaum muslimin saat mencium hajar aswad, mereka melakukannya hanya
karena mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah
memerintahkan kita untuk mencontoh manasik hajinya, bukan karena
menyembah hajar aswad, dan tidak pula sujud kepadanya, sebagaimana Anda
klaim. Kaum muslimin tidak menjadikan satu perantara pun antara mereka
dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan mereka tidak beranggapan bahwa ada
sesuatu yang memiliki kekuasaan untuk mendatangkan madharat (bahaya)
dan manfaat selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menafikan (menolak)
adanya kekuasaan makhluk apa pun, sebagaimana mereka beranggapan bahwa
hubungan ibadah antara makhluk dan sang Pencipta adalah hubungan
langsung tanpa perantara. Dan bahwa para hamba tidak membutuhkan
perantara yang bisa memberikan pertolongan hingga mereka menuju dan
mendekat kepadanya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan mereka
mengaggapnya sebagai perbuatan syirik besar (menyekutukan Allah) yang
mengeluarkannya dari agama Islam. Mereka berkeyakinan bahwa segenap
ibadah, tidak boleh diarahkan atau ditujukan kepada makhluk mana pun,
apakah makhluk itu seorang malaikat yang dekat kepada Allah, atau
seorang Nabi yang diutus oleh Allah, lebih-lebih lagi sebuah batu yang
tidak bisa mendatangkan madharat dan memberikan manfaat.
Sesungguhnya mencium hajar aswad bukanlah sebuah syarat, tidak pula
sebuah kewajiban atas kaum muslimin. Cukuplah Anda ketahui bahwa
Khalifah Umar bin al-Khaththab Radhiallahu ‘Anhu, termasuk murid utama
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat dia thawaf di sekitar Ka’bah
dan datang pada hajar aswad, dia berkata,
إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكِ حَجَرٌ لاَ
تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ
“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalau sebuah batu yang tidak
bisa mendatangkan madharat, dan tidak bisa memberikan manfaat,
seandainya saja aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menciummu, maka aku tidak akan pernah menciummu.”
Sesungguhnya perkataan khalifah ini adalah sebuah ketetapan yang
menguatkan sebuah aqidah (keyakinan) yang sangat penting, yaitu bahwa
kami tidak menyembah batu dan kami tidak menyentuhnya agar mengangkat
madharat atau memberikan manfaat, tidak juga berdo’a memohon kepadanya.
Akan tetapi kami menciumnya hanya karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menciumnya. Ini adalah sebuah penjelasan dari Khalifah Umar
Radhiallahu ‘Anhu kepada umat Islam, serta sebagai pelajaran sekaligus
nasihat yang dalam dari pelajaran aqidah yang shahih, dan sebagai bentuk
ittiba’ (mengikut) Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.*
_
Syubhat: Apakah bisa kami fahami, bahwa kaum
muslimin dengan shalat mereka menghadap ke Ka’bah, berarti mereka itu
menyembah Ka’bah selain Allah? Apakah Ka’bah itu adalah rumah Allah?
Apakah kalian berkeyakinan bahwa Allah bertempat tinggal di dalam sebuah
rumah di Makkah?
Jawab: Dulunya, kami berharap agar ada salah seorang
pendeta yang mau ikut dalam dialog damai ini di majalah Qiblati,
daripada mereka menanamkan tipu muslihat atas agama Islam ini kepada
akal Anda. Namun biar bagaimana pun, saya akan menjawab Anda. Saya
katakan: sesungguhnya Ka’bah tidaklah disembah selain Allah, akan tetapi
kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat dan thawaf
mengelilinginya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan
mereka untuk melakuklan yang demikian. Maka kaum muslimin, dengan
perbuatan tersebut adalah sekedar mentaati perintah Rabb (TUHAN) mereka,
bukan menyembah Ka’bah. Inilah ibadah yang benar, yaitu mentaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dulu,
jika ada seorang muadzdzin (tukang adzan) ingin adzan, maka dia menaiki
Ka’bah dengan kedua kakinya, kemudian mengeraskan suara adzan di atas
atap Ka’bah. Maka apakah bisa diterima oleh akal, bahwa sesuatu yang
disembah kemudian dinaiki/diinjak dengan kedua kakinya?!!
Kemudian, istilah
baitullah (rumah Allah) tidaklah mesti
bermakna bahwa Allah bertempat tinggal di dalamnya, karena
setiap masjid di manapun berada di dunia ini adalah disebut baitullah
(rumah-rumah Allah). Dinamakan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
disembah di dalamnya, bukan karena Allah tinggal di dalamnya. Bahkan
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kehormatan darah
seorang muslim lebih agung di sisi-Nya daripada kehormatan Ka’bah yang
dimuliankan oleh Allah. Suatu hari, Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah
melihat ke Ka’bah seraya berkata, ‘Betapa agungnya engkau, betapa
agungnya kehormatanmu, dan seorang mukmin lebih agung kehormatannya
daripadamu.’ (HR. at-Turmudzi (1955), Shahih at-Turmudzi (2032))
Tidaklah kehormatan darah dalam syariat Islam terbatas atas pemeluk
Islam saja, tetpi juga berlaku bagi non muslim. Allah telah menjadikan
Islam menjaga darah, sebagaimana ia juga menjaga harta dan kehormatan.
Di antara orang-orang yang aman darah mereka (tidak boleh diganggu)
adalah orang-orang yang datang ke negeri Islam, maka mereka masuk di
bawah perjanjian dengan kaum muslimin dan suaka mereka. Jadi mereka
adalah orang-orang yang terlindung darah mereka. Hal ini ditetapkan
berdasarkan teks-teks syariat dan kesepakatan umat Islam.*
_
Syubhat: Telah lewat bahwa Anda telah mengatakan pada salah satu
jawaban Anda terhadap Surat Wanita Nasrani,
bahwa anjing adalah najis, dan bahwa malaikat tidak mau turun dengan
kehadiran anjing. Ini adalah ucapan dari Anda tanpa dalil akal (logika)
yang bisa menjadikan non muslim puas dengannya. Kami tidak menginginkan
sebuah dalil pun dari al-Qur’an, atau ucapan Nabi Anda, karena kami
tidak mengakuinya. Akan tetapi kami menginginkan dalil penafian
keberkahan dari anjing, dan ini adalah mustahil, karena anjing adalah
hewan yang diciptakan oleh Allah, jadi dia itu diberkahi. Kami pun juga
bisa mengatakan bahwa domba-domba yang Anda pelihara adalah hewan-hewan
najis, dan tidak diberkahi. Akan tetapi kami berkeyakinan bahwa anjing
dan kambing memiliki manfaat besar terhadap manusia, dan Allah telah
menjadikannya diberkahi agar seluruh manusia bisa mengambil faidah
darinya. Saya mohon Anda menetapkan ucapan Anda dengan logika, jika
tidak, maka ucapan Anda tidak ada gunanya bagi kami.
Jawab: Sesungguhnya saat saya menjawab dari
al-Qur’an dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penyebabnya
adalah karena penanya yang Nasrani tersebut menuduh kaum muslimin bahwa
para malaikat lari dari anjing (takut anjing). Maka untuk membuktikan
ketidakbenaran tuduhan tersebut saya haruslah berdalil dengan al-Qur’an
dan sabda Nabi kami Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun berkaitan
dengan permintaan Anda akan sebuah dalil logika akan kenajisan anjing
dan tidak adanya keberkahan padanya, maka saya jawab sebagai berikut:
Berkenaan dengan kenajisan anjing, maka tidak membutuhkan dalil
logika. Ilmu modern telah membuktikan bahwa anjing membawa penyakit
dalam. Dimana dia membawa lima puluh virus. Dan kebanyakan ditemukan di
air liurnya. Sebagaimana telah ditetapkan oleh ilmu modern bahwa air
liur anjing berbeda dengan air liur hewan lain. Anda bisa dengan mudah
mengecek kebenaran pernyataan ini, karena hal itu telah masyhur dan
diketahui oleh para ilmuwan Nasrani dan selain mereka.
Adapun klaim Anda bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan
keberkahan pada
anjing, maka ini adalah sebuah ucapan tanpa bukti (dan berkata atas
nama Allah secara dusta). Maka di sini saya yang meminta Anda untuk
mendatangkan dalil logika untuk menetapkan kebenaran klaim Anda. Saya
yakin, Anda tidak akan bisa menetapkannya, dan saya akan menetapkan
tidak adanya keberkahan pada anjing sepanjang Anda bertanya kepada saya.
Pertama, bukanlah menjadi sebuah syarat bahwa setiap makhluk yang
dicipatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah diberkahi. Jika tidak
demikian, maka syaitan yang terkutuk pun adalah makhluk ciptaan Allah,
dan sungguh mustahil dia diberkahi.
Adapun tercapainya keberkahan bagi anjing, maka saya akan membuat
perumpamaan yang terdiri dari sejumlah pertanyaan, dan jawabannya akan
menghantarkan Anda kepada kebenaran masalah ini:
Berapa kali anjing hamil dalam setahun? Yang dikenal adalah dia hamil 3 hingga 4 kali.
Berapa kali kambing hamil dalam setahun? Yang diketahui adalah sekali atau dua kali.
Berapa anjing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah sekitar enam hingga delapan anjing.
Berapa kambing yang dikandung dalam setiap kehamilan? Yang diketahui adalah satu, dan jarang sekali dua.
Maka kita akan menemukan dengan bahasan angka bahwa anjing lebih
banyak perkembangbiakannya daripada kambing. Akan tetapi kenyataannya
bahwa jumlah kambing jauh lebih banyak daripada jumlah anjing.
Saya bertanya kepada Anda, mengapa hal itu terjadi? Sesungguhnya
jawabannya adalah karena sebab keberkahan yang dijadikan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala pada kambing-kambing. Dan tidak menjadikannya pada
anjing. Disini lah saya berjanji dan meminta kepada setiap muslim dan
muslimah yang membaca ucapan ini untuk berkata Allahu Akbar.
Saya juga ingin Anda mengetahui perkara penting lain, yaitu bahwa
kami bisa mengambil manfaat dari segala sesuatu yang berasal dari
kambing; kulit, daging, tulang, dan tanduknya, (bahkan juga kotorannya
untuk pupuk). Adapun anjing, maka jika dia mati maka tidak bisa diambil
darinya sesuatu pun. Sebagaimana Anda juga jangan lupa bahwa setiap Nabi
adalah penggembala kambing (bukan pemelihara anjing). Akan tetapi
mustahil bagi seseorang untuk berbangga, apapun agamanya, bahwa dia
adalah seorang penggembala anjing.
Saya berharap Anda tidak fanatik kepada anjing, setelah saya menjawab
Anda akan najisnya anjing dengan dalil logika yang Anda inginkan, serta
ketidak berkahannya. Dan kambinglah yang membawa keberkahan. Dan terima
kasih bagi Anda.
_
Syubhat: Anda kaum muslimin menolak ilmu modern, dan ini jelas dengan penafian kalian akan berputarnya bumi.
Jawab: Syubhat ini menunjukkan akan kelemahan Anda
yang amat sangat. Ketika Anda tidak menemukan sesuatu pun yang bisa Anda
pegang untuk mengalahkan kaum muslimin, maka Anda pun mencari-cari pada
catatan kuno Anda, barangkali Anda mendapatkan sesuatu yang merugikan
kami. Biar bagaimanapun, permasalahan rotasi bumi bukanlah termasuk ilmu
syar’i. Akan tetapi itu adalah permasalahan ilmu dunia. Sebagian besar
agama, termasuk diantaranya adalah Nasrani, semuanya menafikan rotasi
bumi, sebagai bentuk tertinggalnya keilmuan ratusan tahun lalu yang
manusia hidup di dalamnya, bila dibandingkan dengan keadaan kita pada
hari ini. Bahkan Bibel telah pergi lebih jauh dari hal tersebut. Bibel
bahkan menganggap bahwa bumi ini persegi empat, dan ini adalah ucapan
yang lebih buruk dari penafian rotasi bumi. Disebutkan dalam (Yehezkiel
7: 2),
حزقيال 7 : 2 (قَدْ جَاءَتِ النِّهَايَةُ عَلَى زَوَايَا الأَرْضِ
الأَرْبَعِ)
“ akhirnya bisa datang ke empat penjuru (pojok) bumi.”
Agar saya bersikap obyektif dan amanah, maka dalam jawaban ini saya
juga katakan bahwa ada sebagian ulama muslim yang menafikan rotasi bumi
karena keyakinan mereka bawa bumi ini datar, bukan bulat. Kemudian
setelah mereka, datanglah sejumlah penuntut ilmu yang taklid kepada
mereka dan menukil dari mereka tanpa pemahaman. Akan tetapi wajib bagi
kita untuk perhatian terhadap satu perkara penting, yaitu bahwa terdapat
satu perbedaan besar antara pemahaman yang salah dengan penyebutan
Bibel bahwa bumi ini persegi empat. Dan sebaliknya kita temukan bahwa
al-Qur’an telah mensifati bumi dengan bentuk bola.
Setelah kemajuan ilmu yang dialami oleh manusia, maka pandangan
ilmiah pun berubah pada mayoritas muslim dan Nasrani serta selain
mereka. Kemudian mereka pun berkeyakinan akan rotasi bumi. Kemudian
tetap tersisa sejumlah kecil dari seluruh agama yang tetap bersikukuh
dengan pendapatnya yang lahir dari para pendahulunya, yaitu bahwa bumi
tidak berotasi. Ini adalah buah dari kekurangan besar dalam memahami
masalah rotasi bumi. Mereka menyangka dengan pemikiran sederhana bahwa
rotasi bumi tidak bisa dirasakan. Sebagaimana mereka menyangka bahwa
seandainya terjadi rotasi bumi, maka termasuk perkara yang mustahil kita
bisa tetap tegak di permukaannya. Ini adalah sebuah ungkapan yang
menunjukkan ketiadaan penguasaan teori ilmiah dan ilmu falak.
Yang wajib Anda fahami adalah bahwa al-Qur’an tidak menafikan rotasi
bumi. Lihatlah apa yang dikatakan oleh salah satu ulama besar kaum
muslimin zaman ini, yaitu Syaikh al-Albani rahimahullah. Dia berkata,
‘Kami, pada dasarnya tidak meragukan bahwa masalah rotasi bumi adalah
sebuah hakikat ilmiah yang tidak menerima perdebatan. Pada waktu yang
kita berkeyakinan bahwa bukan termasuk profesi syariat secara umum dan
al-Qur’an secara khusus berbicara tentang ilmu falak, dan rincian ilmu
falak… (Kaset no. I/497)
Perlu diketahui bahwa ahli falak kaum muslimin, dulu adalah orang
yang pertama kali menetapkan rotasi bumi beratus tahun yang lalu,
kemudian diikuti oleh sejumlah ulama syariat.
Sekalipun masalah rotasi bumi ini bukan masalah aqidah, tetapi
terdapat sebagian ulama Islam yang menafikan rotasi bumi dan banyak juga
ulama kaum muslimin yang mengatakan rotasi bumi. Dari sinilah kami
memahami bahwa syubhat tersebut tidak memiliki nilai sama sekali dalam
dialog antara kami dengan Anda. Terutama bahwa saya termasuk orang yang
menetapkan rotasi bumi. Boleh bagi Anda untuk melihat kembali pada
pembahasan saya dalam majalah ini dari edisi 11 tahun II hingga edisi 09
tahun III. Dan sesungguhnya orang yang menafikan rotasi bumi tidak akan
masuk neraka sebagaimana orang yang menetapkan rotasi bumi juga tidak
masuk sorga (karenanya). Maka barangsiapa mati di atas keyakinan ini
atau itu, maka dia tidak akan ditanya tentangnya pada hari kiamat. Oleh
karena itulah, kami menginginkan agar dialog diantara kita adalah dalam
permasalahan aqidah agama yang keyakinan terhadapnya bisa menghantarkan
ke sorga atau berakibat neraka.
Sebagai penutup, saya selalu menyambut Anda sebagai seorang tamu di
majalah Qiblati, termasuk seluruh pembaca Nasrani. Anda sekalian
memiliki hak untuk bertanya sesuka Anda, maka hati kami terbuka untuk
semuanya.*
_
Bagian 4
Terima kasih atas jawaban Syeikh Mamduh dalam edisi Nopember 2010
mengenai “jawaban syubhat kristiani dan syiah.” Selanjutnya saya masih
butuh penjelasan atas dua hal yang sering dituduhkan oleh umat kristiani
terhadap Al-Quran yang mulia. Saya memperoleh pertanyaan dari
misionaris mengenai Al-Quran:
Syubhat (1): Penyebutan Maryam ibu Yesus sebagai
saudara perempuan Harun dan anak kandung Imran (QS.19:28) [footnote:
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ
أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا
"
Hai saudara perempuan Harun[902], ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina” (QS. Maryam: 28)]
Mereka menganggap Allah Subhanahu wa Ta’ala mengira Maryam saudara
perempuan Musa dan Harun yang adalah anak Imran. Padahal antara keduanya
ada selisih waktu sekitar 1400 tahun. Mengapa Maryam disebut saudara
perempuan Harun? Menurut misionaris, ini adalah kesalahan penulisan
Sejarah dalam al-Qur’an.
Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim. Sesungguhnya orang-orang yang membuat keragu-raguan tentang al-Qur’an tidak mengetahui kalau penyebutan
ukhtu Harun (saudari
Harun) bukanlah penamaan pertama kali oleh al-Qur’an, melainkan
al-Qur’an hanya mengisahkan apa yang pernah terjadi, yaitu apa yang
dikatakan oleh kaum Maryam kepadanya, dan panggilan yang mereka
lontarkan kepadanya saat dia mengandung ‘Isa ‘Alaihi Sallam. Mereka
mengingkari kehamilan tersebut, lalu menuduh kehormatan, kemuliaan, dan
kesuciannya. Maka mereka berbicara dengannya dengan panggilan
ya ukhta Harun (Wahai
saudari Harun), maksudnya adalah ‘Engkau dari keluarga baik-baik, suci,
lagi dikenal keshalihan, ibadah dan kezuhudannya, maka bagaimana hal
ini bisa terjadi pada dirimu?’
Sekalipun telah pasti bahwa orang-orang Yahudi berbicara dengannya dengan panggilan
wahai saudari Harun,
tetapi para ulama ahli tafsir telah berselisih pendapat akan penentuan
pribadi tersebut. Di antara mereka ada yang menyebut bahwa dia adalah
Nabi Harun, saudara Musa ‘Alaihi Sallam. Di antara mereka ada yang
menyebut bahwa dia adalah seorang laki-laki shalih dari kaumnya pada
masa itu di mana Maryam ‘Alaiha Salam mencontohnya dan menyerupainya
dalam kezuhudan, ketaatan, dan ibadah. Maka dia pun dinisbatkan
kepadanya. Maka jadilah maksud mereka dalam pembicaraan itu adalah,
‘Wahai orang yang serupa, dan meniru laki-laki shalih itu, tidaklah
ayahmu seorang keji, tidak juga ibumu seorang pelacur, maka darimana
anak di perutmu itu?’
Perlu diketahui pula bahwa kala itu banyak tersebar nama Harun di tengah Bani Israil hingga hari ini.
Apakah yang dimaksud itu adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam atau Harun
lain yaitu seorang shalih kala itu, maka bagi kami hal ini tidak
penting, karena al-Qur’an hanyalah menceritakan dan menukil apa yang
terjadi kala itu.
Jika kita mengambil kemungkinan pertama, yaitu bahwa yang dimaksud
adalah Nabi Harun ‘Alaihi Salam, maka yang dimaksud oleh orang-orang
Yahudi adalah bahwa dia termasuk dari keturunannya. Kemudian saya akan
membuat satu contoh dari Bibel. Dan itu adalah sebuah pukulan
menyakitkan bagi para pembuat keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut,
sebuah pukulan telak yang membantah syubhat tersebut.
Bibel telah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi menyebut Yesus
dengan Putra Dawud: “Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana,
dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata:
“Kasihanilah kami, hai Anak Daud.” (Matius (9:27))
Maka apakah Yesus benar-benar Anak Dawud? Tentu saja tidak, lalu
mengapa ucapan mereka ini tidak diingkari dengan mengatakan ini adalah
kesalahan penulisan sejarah dalam Bibel?!!
Sekarang, terjerumuslah orang-orang bodoh itu ke dalam kuburan yang
mereka gali, jatuh ke dalam keburukan amal-amal mereka. Dengan logika
sama yang mereka inginkan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an yang
mulia karena mengisahkan sebutan ucapan Yahudi ‘Wahai saudari Harun’,
maka kita temukan bahwa Bibel menyebut Yesus dengan sebutan Putra
Dawud!!
Sesungguhnya kita merasa malu untuk menuduh penyimpangan Bibel dengan
sebab ini, karena Bibel telah pasti penyimpangannya dengan dalil yang
lebih besar dan terang benderang. Cukuplah dengan banyaknya ragam Bibel,
perselisihan dan pertentangannya sebagai bukti. Sementara mereka tidak
malu menuduh al-Qur’an salah menulis sejarah hanya dengan syubhat yang
tertolak ini. Ini adalah sebuah bukti akan kelemahan mereka dalam
menetapkan penyimpangan al-Qur’an.
Di sini kami bertanya kepada orang-orang yang meragukan keabsahan
al-Qur’an yang mulia, ‘Bagaimana mungkin Yesus adalah anak Dawud,
sementara jarak antara dia dan Dawud ‘Alaihi Salam lebih dari jarak
antara Maryam dan Harun’Alaihi Salam? Bahkan bagaimana mungkin Yesus
adalah anak Dawud, sementara dia datang dari jalan Roh Kudus?!!
Sesungguhnya perkara yang wajib diketahui oleh para pembuat keraguan
terhadap al-Qur’an tersebut bahwa penisbatan seorang manusia kepada
manusia lain yang memiliki kedudukan di antara kaumnya (seperti Dawud)
adalah dalam rangka pemuliaan. Oleh karena itulah kita temukan bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku adalah seorang Nabi,
tidak ada kedustaan, aku adalah Putra Abdul Muthallib.’ Padahal beliau
adalah Muhammad Putra ‘Abdullah Putra ‘Abdul Muththallib. Akan tetapi
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuliakan nasabnya kepada
kakeknya.
Sesungguhnya saya mampu untuk membuat keragu-raguan pada akal
orang-orang Nasrani yang awam, dan menyesatkan mereka dengan kedustaan,
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pendeta terhadap orang-orang
awam kaum mulimin. Kemudian saya klaim bahwa Bibel telah menguatkan
al-Qur’an yang menyebut Maryam sebagai Saudari Harun. Telah disebutkan
dalam Keluaran (15:20-21): “Lalu Miryam, nabiah itu, saudara perempuan
Harun, mengambil rebana di tangannya, dan tampillah semua perempuan
mengikutinya memukul rebana serta menari-nari. Dan menyanyilah Miryam
memimpin mereka: “Menyanyilah bagi TUHAN, sebab Ia tinggi luhur; kuda
dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.”
Akan tetapi karena saya percaya diri dan beriman bahwa jalan hidayah
dan jalan sorga tidak akan ada kecuali dengan keikhlasan dan kejujuran
bersama Allah, oleh karenanya saya tidak berdalil akan penyimpangan
Bibel dengan dalil ini sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang suka
mempermainkan ayat. Karena Maryam yang dimaksud di situ bukanlah Maryam
Ibu Isa ‘Alaihi Sallam.
Saya berangan-angan, daripada sibuk menafikan persaudaraan antara
Maryam dan Harun, hendaknya para pendeta itu menyibukkan diri mereka
dengan menjelaskan sebab yang menjadikan Bibel menulis tuduhan zina
terhadap Maryam tanpa memberikan pembelaan dan pensucian. Dan yang wajib
mereka lakukan, jika mereka jujur, adalah memuji al-Qur’an dan
meninggikan urusannya, karena al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci
yang membela Maryam ‘Alaiha Salam, serta mensucikannya dan mengumumkan
kesuciannya, serta meninggikan urusan dan kehormatannya.
Cukuplah al-Qur’an dengan menasabkan al-Masih ‘Alaihi Salam kepada
ibunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘al-Masih Putra
Maryam’, ‘Isa Putra Maryam’, sementara Bibel telah menasabkan al-Masih
kepada Yusuf an-Najjar!!
‘Dan semua orang itu membenarkan Dia dan mereka heran akan kata-kata
yang indah yang diucapkan-Nya, lalu kata mereka: “Bukankah Ia ini anak
Yusuf?” (Lukas; 4:22)
‘Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah
menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para
nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yohannes 1:45)
‘Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan
saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas?’ (Matius 13:55)
Bahkan Bibel menjadikan al-Masih memiliki saudara: ‘Bukankah Ia ini
tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan
bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu
mereka kecewa dan menolak Dia.’ (Markus 6:3)
Maka Kitab yang manakah yang telah diubah-ubah, al-Qur`an yang mulia ataukah Bibel? Kami menunggu jawabnnya.
_
Syubhat (2): Kontradiksi ayat menurut mereka dalam
Al-Quran seperti dalam hal berapa hari penciptaan Jagad Raya?Pertama:
Bumi dan langit diciptakan dalam 6 masa. Hal ini terdapat dalam surah
QS. 7:54 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ
يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ
بِأَمْرِهِ أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’raf: 54)]
“
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam ENAM MASA, lalu Dia bersemayam di atas‘Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang”. Juga
dalam QS.10:3 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ
أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأَمْرَ مَا مِن
شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللّهُ رَبُّكُمْ
فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah
Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia
bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan. tiada seorangpun
yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.(Dzat) yang
demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu
tidak mengambil pelajaran?” (QS. Yunus: 3)]
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan
bumi dalam ENAM MASA, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk
mengatur segala urusan.”
Kedua, dalam QS. 41: 9 – 12 [footnote: Yaitu Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ
بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا
ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ (9
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن
فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ
أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ(10
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء
وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا
قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ (11
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ
فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاء أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا
السَّمَاء الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ (12
“Katakanlah: “Sesungguhnya Patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya?
(yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”. Dan Dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit
dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”.
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada
tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha
mengetahui.” (QS. Fushshilat: 9-12)] ternyata disebutkan dalam 8
masa (2 + 4 + 2) bukan enam masa,“Katakanlah Sesungguhnya patutkah kamu
kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam DUA MASA ……… Dan dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam EMPAT MASA. ……Maka Dia menjadikannya tujuh langit
dalam DUA MASA”.
Bagaimana menjelaskan hal ini?
Semoga dapat segera dijawab karena pertanyaan-pertanyaan ini menyebar
di berbagai brosur dan literatur kristen berwajah Islam sebagai upaya
mengguncang keyakinan kaum muslimin terhadap al-Quran. Tidak lupa saya
ucapkan Terima kasih atas perhatian dan penjelasannya, saya sangat
berharap jawaban nantinya dibaca juga oleh umat Kristiani yang
senantiasa melontarkan syubhat-syubhat terhadap Al-Quran tanpa ilmu.
Sukses untuk MAJALAH QIBLATI.
Jawab: Tidak ada pertentangan dan kontradiksi dalam
ayat-ayat tersebut. Pertentangan dan kontradiksi itu hanyalah ada pada
akal-akal mereka saja. Dikarenakan empat pada hari-hari yang pertama
adalah hasil dari dua ditambah dua. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menciptakan bumi pertama kali pada dua hari, kemudian menjadikan di
dalamnya pasak, yaitu gunung-gunung, kemudian menjadikan keberkahan di
dalamnya dari air dan tanam-tanaman. Dan berbagai rizqi yang disimpan di
dalamnya dalam dua hari berikutnya, maka jadilah penciptaan bumi dan
segala isinya itu dalam empat hari. Maka firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ
مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي
أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاء لِّلسَّائِلِينَ
“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS. Fushshilat: 10)
Keempat hari itu adalah hasil dari dua hari pertama dan dua hari yang
lain, maka jadilah totalnya empat hari, yaitu memasukkan dua hari yang
telah disebutkan pada ayat sebelumnya:
قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang
menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?
(yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam.” (QS. Fushshilat: 9)
Maka tidaklah keempat hari itu berdiri sendiri dari dua hari yang
pertama. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dalam dua
hari, jadi totalnya adalah enam hari, dengan menambahkan empat dan dua.
Sesungguhnya saya bertanya kepada orang-orang yang membuat
keragu-raguan terhadap al-Qur’an tersebut, yang ingin menetapkan bahwa
al-Qur’an merupakan karya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bodoh tidak tahu bahwa 2+4+2 sama
dengan 8? Apakah hilang dari beliau bahwa penciptaan langit dan bumi
dalam ayat lain adalah pada enam hari?
Kemudian bagaimana mungkin perkara ini hilang dari orang-orang Kafir
Arab yang cerdas dalam berniaga, serta orang-orang yang menolak dakwah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berhujjah dengan kesalahan ini,
agar mereka bisa menegaskan dan menetapkan bahwa al-Qur`an adalah
bikinan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Terutama bahwa ayat-ayat
al-Qur’an dulunya turun secara terpisah-pisah, yaitu satu, dua atau
tiga ayat bersamaan? Artinya sangat mudah untuk menyingkap kesalahan
tersebut. Akan tetapi ini tidak pernah terjadi, sementara sekarang
datang kepada kita orang yang tidak faham bahasa Arab, lantas
berkeinginan untuk menetapkan penyimpangan al-Qur’an dengan syubhat
tersebut.
Maka apakah seorang berakal itu bisa membayangkan bahwa orang yang
bisa memalsu Kitab Mulia seperti al-Qur’an itu mungkin bisa berbuat
salah dengan kesalahan yang seorang anak SD saja tidak mungkin salah
karenanya?
Kami memuji Allah, serta bersyukur kepada-Nya akan karunia akal ini. *
_
Bagian 5
Syubhat: Al-Qur’an telah menyebutkan kebatilan agama Islam di dalam ayat:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ
“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat dan Injil.” (QS.
al-Maidah: 68), kami mendapati bahwa ayat tersebut menyebutkan Taurat
dan Injil dengan jelas, ini mengharuskan untuk berpegang teguh kepadanya
bukan berpegang teguh dengan al-Qur’an. Ini adalah sebuah dalil akan
kebatilan agama Islam.
Jawab: Saya tidak tahu apa gunanya kedustaan dan
tipu muslihat dalam menetapkan keyakinan agama yang wajib diimani oleh
seorang manusia dengan jujur dan ikhlas, sehingga dia jujur terhadap
dirinya sendiri dan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Anda telah
memangkas ayat tersebut dan tidak menyempurnakannya, padahal lanjutan
ayat di atas berbunyi:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ
“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama
sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan
al-Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu’. (QS. al-Maidah: 68)
Sesungguhnya maksud ayat
dengan apa yang diturunkan dari Tuhan kalian adalah
al-Qur’an. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan setelah
Taurat dan Injil selain al-Qur’an. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
melalui ayat tersebut justru memerintahkan ahlul kitab untuk menjadi
muslim dan beriman dengan al-Qur’an yang mulia.
Saya berharap sekali lagi, jujurlah kepada Allah dan kepada diri Anda
sendiri. Saya bisa memaklumi Anda, karena mungkin saja Anda menukil
syubhat ini tanpa meyakinkan diri terlebih dahulu. Di sini, saya kira
Anda telah membongkar sendiri tipu muslihat para pendeta terhadap Anda
dan kepada banyak orang Nasrani yang tertipu oleh mereka. Saya
memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Syubhat: Bagaimana Anda menginginkan dari kami untuk
beriman dengan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai nabi,
sementara al-Qur’an meminta kami untuk bershalawat kepadanya dan
mendoakan rahmat baginya sebagaimana datang dalam ayat
bershalawat dan salamlah kalian atasnya,
seharusnya kamilah yang lebih butuh kepada rahmat Allah, ternyata kami
mendapati nabi kalian Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa perlu untuk
didoakan.
Jawab: Wajib bagi Anda untuk mengetahui bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh kami bershalawat kepadanya,
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memulai ayat dengan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab: 56)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memulai dengan diri-Nya sendiri untuk
bershalawat kepada beliau, lalu para malaikat-Nya. Seandainya Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja yang bershalawat kepada beliau, tanpa menyebut
para malaikat, maka pastilah itu sudah cukup sebagai pemuliaan dan
pengagungan.
Pertanyaan yang benar yang seharusnya dilontarkan agar Anda bisa
memahami permasalahan ini secara benar adalah, ‘Mengapa Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bershalawat atas beliau?”
Maka jawabannya adalah:
1. Shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemanfaatannya
yang besar kembali kepada yang bershalawat kepada beliau. Disebutkan
dari Anas bin Malik rahimahullah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
«مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً
وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ
عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ»
“Barangsiapa bershalawat kepada aku satu kali shalawat, maka
Allah akan bershalawat atasnya sepuluh shalawat, dan dihapus darinya
sepuluh kesalahan, dan diangkat untuk sepuluh derajat.” (HR. Ahmad (11587), an-Nasa`i (1297))
2. Shalawat bertujuan untuk menguatkan hubungan ruhani dan kecintaan
antara kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena
orang yang mencintai sesuatu dia akan memperbanyak mengingatnya.
3. Dengan memperbanyak shalawat dan salam atas Rasulullah, hal itu
akan menarik seorang muslim untuk bersuritauladan dengan beliau.
Barangsiapa memperbanyak ingat sesuatu maka dia akan tergantung dan
bersuritauladan dengannya.
4. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah peribadatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan satu ibadah dari ibadah-ibadah yang
terbaik.
5. Bershalawat kepada Rasulullah adalah sebuah ketaatan, melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab keberkahan pada diri, usaha dan umur.
7. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak memiliki harta.
8. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab pengampunan dosa-dosa dan pemenuhan berbagai hajat.
9. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah adalah sebab
bershalawatnya Allah kepada orang yang bershalawat kepada Rasulullah,
dan juga penyebab bershalawatnya para malaikat kepadanya.
10. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah mewajibkan syafaat beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari kiamat dan penyebab dekatnya
seseorang kepada beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
11. Bershalawat dan salam kepada Rasulullah akan memberatkan timbangan seorang muslim pada hari kiamat.
Dan manfaat-manfaat lainnya. Jadi, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak butuh dengan kita, tidak butuh dengan do’a kita untuknya,
demikian pula shalawat dan salam kita atasnya, sebaliknya kitalah yang
mengambil manfaat darinya.
Saya memohonkan hidayah kepada Allah bagi kami dan Anda.*
_
Bagian 6
Syubhat: Mengapa Anda sekalian berselisih pendapat
dalam tafsir al-Qur’an? Dan bersamaan dengan itu Anda mengklaim bahwa
Injil itu berselisih, bukankah ini adalah sebuah kontradiksi?
Sebagaimana bahwa orang yang meneliti Injil dengan ikhlas, dia tidak
akan mendapati perselisihan di dalamnya?
Jawab: Pertama, Anda harus mengetahui bahwa terdapat
perbedaan antara perselisihan dalam tafsir dengan perselisihan dalam
Kitab Suci al-Qur’an. Tidak pernah ditemukan perselisihan pada diri kaum
muslimin atas al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an itu satu, tidak berselisih,
dan tidak akan berubah pada seluruh tempat di dunia ini sejak turunnya
1400 tahun yang lalu. Al-Qur’an terjaga dengan janji Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9)
Berbeda dengan Kitab “Suci” Injil yang kita temukan bahwa dia
berbeda-beda. Jadi tidak termasuk keadilan Anda membandingkan antara
perselisihan dalam tafsir al-Qur’an dengan perselisihan dalam Injil.
Bahkan yang wajib adalah Anda bandingkan antara kitab suci al-Qur’an
dengan kitab Injil. Akan tetapi karena Anda mengetahui bahwa Anda akan
masuk dalam peperangan yang merugikan, Anda mengambil cara tersebut
untuk melemparkan syubhat (keraguan) yang dengan karunia Allah hal itu
bukanlah perkara samar bagi kami.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa tidak pernah terjadi
perselisihan antara para ulama dalam tafsir keseluruhan al-Qur’an. Akan
tetapi yang ada hanyalah bahwa mereka berselisih pendapat dalam tafsir
sebagian ayat dari al-Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa mayoritas
ayat, tidak pernah terjadi perselisihan dalam tafsirnya. Bahkan para
ahli tafsir yang salaf (klasik) maupun yang khalaf (kontemporer)
bersepakat dengan para ulama atas tafsirnya. Yang demikian itu adalah
satu perkara nyata bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an, dan membaca
kitab-kitab tafsir. Tidak henti-hentinya kaum muslimin secara umum
membaca al-Qur’an, mendengar ayat-ayatnya, dan tidak merasa kesulitan
akan banyaknya ayat tersebut, bahkan mereka mengetahui maksudnya. Ini
sudah cukup dalam merealisasikan hidayah al-Qur’an.
Adapun ayat-ayat, yang jumlahnya sedikit, yang terdapat perselisihan
pendapat dalam tafsirnya, maka ayat-ayat tersebut terbagi menjadi
beberapa pembagian:
Pertama, khilaf (perselisihan) di dalamnya adalah khilaf
tanawwu’ (perselisihan yang bersifat variatif), bukan khilaf
tadhot (kontradiksi, berseberangan). Itu adalah khilaf
lafzhi (redaksi) dan tidak berpengaruh pada esensi makna.
Khilaf tanawwu’ pada
hakikatnya bukanlah sebuah perselisihan. Dimana di antara syarat
perselisihan adalah kontradiksinya dua ucapan. Ini tidak terjadi dalam
pembagian khilaf ini.
Contoh yang demikian adalah tafsir
shiratul mustaqim (jalan yang lurus). Sebagian mereka mengatakan: “yaitu al-Qur’an, yakni mengikutinya.”
Sebagian lagi mengatakan, ‘Yaitu agama Islam.’
Maka kedua pendapat ini saling bersesuaian, karena agama Islam adalah
mengikuti al-Qur’an. Akan tetapi masing-masing dari keduanya,
memberikan perhatian atas satu sifat tidak pada sifat lain.
Sebagaimana bahwa lafazh
shirat juga memberikan isyarat
kepada sifat yang ketiga. Demikian pula pendapat orang yang mengatakan
bahwa ia adalah, ‘as-Sunnah wal-Jama’ah’, dan pendapat yang mengatakan,
‘ia adalah jalan peribadatan kepada Allah.’ Juga ucapan orang yang
mengatakan, ‘Itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan contoh-contoh yang lain. Maka mereka semua
memberikan isyarat kepada satu makna dari
shirathal mustaqim, akan tetapi masing-masing memberikan sifat dari sifat-sifatnya.
Kedua, masing-masing dari mereka menyebut dari nama
yang bersifat umum sebagian macamnya demi memberikan perumpamaan, dan
memberikan peringatan kepada yang mendengar atas satu macam makna. Bukan
untuk memberikan satu batasan yang sesuai dengan apa yang dibatasi
dalam keumuman dan kekhususannya.
Contoh yang demikian adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam
Majmu’ Fatawanya (13/232-238), tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا
الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ
لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللَّهِ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan
dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Maka telah diketahui bahwa
azh-zhalim linafsihi (orang yang
menganiaya diri sendiri) mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban
dan meremehkan perkara-perkara yang diharamkan; dan
al-muqtashid (yang pertengahan) mencakup pelaku kewajiban, dan orang yang meninggalkan yang diharamkan; serta
as-sabiq (yang
terdepan dalam berbuat kebaikan) masuk di dalamnya orang yang bersegera
lebih dulu, maka dia mendekatkan diri kepada Allah dengan segala
kebaikan disertai dengan menjalankan segenap kewajiban.
Kemudian sesungguhnya masing-masing diantara mereka – yaitu dari
kalangan ahli tafsir – menyebutkan perkara ini dalam satu macam dari
berbagai macam ketaatan:
Seperti ucapan, ‘as-sabiq adalah orang yang shalat di awal waktunya,
al-muqtashid adalah orang yang shalat di tengah waktunya, dan
zhalim linafsihi adalah yang mengakhirkan waktu ashar hingga matahari telah menguning.’
Yang lain berkata, ‘
as-sabiq, al-muqtashid, dan
az-zhalim telah
disebutkan di akhir surat al-Baqarah, maka sesungguhnya penyebutan itu
adalah penyebutan orang yang berbuat baik dengan shadaqah, penyebutan
orang zhalim dengan memakan riba, dan penyebutan orang ‘adil dengan jual
beli.’
Maka tidak boleh menjadikan bagian kedua ini sebagai
khilaf tadhot (perselisihan yang bersidat kontradiksi), pencelaan dan peragu-raguan terhadap al-Quran yang mulia, karena beberapa sebab:
1. Sesungguhnya perselisihan itu tidak pada ayat-ayat yang berkaitan
dengan i’tiqad (keyakinan) Islam, atau tujuan-tujuan syari’at. Akan
tetapi perselisihan itu terjadi pada ayat-ayat ahkam (hukum-hukum),
seperti perselisihan para ulama dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)
Apakah quru’ itu suci dari haidh ataukah haidh?
Atau juga perselisihan itu terjadi pada sebagian ayat al-Qur’an yang
berkaitan dengan kisah-kisah atau nasihat dan semacamnya. Seperti
perselisihan mereka dalam tafsir firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu
bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di
bawahmu.” (QS. Maryam: 24)
Apakah yang menyeru itu Jibril ataukah Isa ‘Alaihi Salam?
Perselisihan ini, sebagaimana Anda lihat, tidak berkaitan dengan
tulang punggung (penopang) aqidah dan syari’at. Akan tetapi perselisihan
itu ada pada perkara fiqih yang Allah menginginkan hal itu terjadi
sebagai bentuk rahmat terhadap umat ini, serta ujian juga. Atau
perselisihan itu terjadi pada perkara yang pemahaman ayat tersebut tidak
bergantung pada pengetahuan tentang maknanya.
2. Perselisihan ini – sekalipun sedikit – kebanyakan terjadi pada
abad terakhir. Dan seandainya kita kembali pada tafsir salaf dari para
sahabat dan tabi’in pastilah kita tidak akan mendapatinya. Mayoritas
perselisihan itu ada pada kitab-kitab tafsir kontemporer.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki hikmat dalam
menyamarkan makna sebagian ayat-ayat, agar para mujtahid
bersungguh-sungguh dan membahas ilmu tersebut dalam kitab-kitab dan
akal-akal mereka.
Adapun klaim tidak adanya perselisihan dalam Injil atau dalam tafsir
Injil, maka ini adalah klaim aneh, yang seorang Nasrani tidak
mengklaimnya sendiri. Karena banyaknya kontradiksi di dalamnya. Dimana
naskah-naskah Injil, periwayatannya, penerjemahannya berbeda-beda dengan
perbedaan yang banyak dan kontradiksi. Sebagaimana banyak sekali
sekte-sekte Nasrani dan perselisihan agama mereka. Perselisihan mereka
dalam menafsirkan Injil terjadi pada tulang punggung aqidah (keyakinan)
mereka; dalam penafsiran trinitas, keEsaan, dan tiga oknum. Dimana itu
semua adalah perselisihan kontradiksi yang membuat terbentuknya banyak
sekte di tengah mereka yang mereka berselisih dalam pandangan agama dan
aqidah mereka.
Adapun Islam dan al-Qur’an, maka tidak ada perselisihan dalam rukum
agama dan hakikat yang terpenting di antara ulama Islam Ahlussunnah,
yang merupakan mayoritas umat ini dari kalangan para sahabat, dan
tabi’in hingga hari ini.*
_
Syubhat: Saat kami membaca sejarah perjalanan Nabi
kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya adalah
suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu
tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini
sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu
ajakan yang terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya
tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah
suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian
menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawab: Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya
terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا
نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Maka tampak, bahwa Anda tidak meneliti sejarah dan kejadian pada masa
itu, dan Anda akan mengetahuinya di sela-sela jawaban saya apa yang
saya maksudkan dengannya.
Anda harus mengetahui bahwa kalimat ‘
Aslim Taslam (Masuk
Islamlah, kamu akan selamat)’ adalah cukup untuk menegakkan hujjah atas
Heraclius dengan dalil bahwa dia mempercayainya, dan mengetahui bahwa
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Rasul, utusan Allah. Akan
tetapi dia tidak meninggalkan kerajaannya dan terhalang dari Islam. Saya
tambahkan juga, bahwa Heraclius mengetahui akan tempat datangnya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bahwa saat itu adalah waktu kemunculan
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah disebutkan dalam shahih al-Bukhari:
فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ
الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا
فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ
فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا
هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ
، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ،
وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ
مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ
رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ
شَأْنِ هِرَقْلَ .
“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu
istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan
pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai
sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan
keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan, maka
berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti keledai
liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu telah tertutup. Maka
saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa dari keimanan,
dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata,
‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian
terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka
pun sujud dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara
Heraclius.”
Di dalam hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:
فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ
“Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku
akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah
aku akan membasuh kakinya.”
Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan
jawami’ul kalim (kalimat
ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut, dengan
keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat,
lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.
An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam
Syarah Muslim:
“Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih
lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
aslim taslam (masuk Islamlah,
kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta
mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya, serta
kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia
dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan
dari adzab akhirat.”
Kemudian, sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi
antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan
mengetahui bahwa Heraclius telah tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah.
Barangkali Anda sekarang mengetahui bahwa dengan ucapan saya, bahwa
Anda tidak memperhatikan sejarah dan kejadian zaman itu. Sebagaimana
barangkali telah jelas bagi Anda akan sebab yang menjadikan kami tidak
menilik kembali pandangan kami terhadap agama kami dengan syubhat ini
dan syubhat yang lain.*
_
Syubhat: Apakah boleh Nabi kalian -Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua,
dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat
dia berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawab: Sebagaimana biasa, Anda sekalian menyampaikan
syubhat, sementara Anda tidak mengetahui rincian dan faktanya. Ditambah
lagi kedustaan dan klaim tidak benar yang ada di dalamnya.
Pertama, tidak benar ucapan Anda bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha saat dia masih muda. Seandainya
Anda mengetahui hakikatnya sekarang, Anda akan malu sendiri terhadap
diri Anda. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat menikahi Saudah,
kala itu Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia enam puluh enam tahun.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menikahinya kecuali bahwa
dia, saat pergi ke Habasyah ia bersama suaminya, dan saat kembali dari
sana suaminya meninggal dunia. Karena keluarganya masih berada di atas
kesyirikan, maka nabi terdorong untuk menikahinya demi memberikan kasih
sayang kepadanya, berbuat baik dengan kondisinya, dan menghibur
kesendiriannya.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya.
Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah
Radhiallahu ‘Anha telah berusia sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak
dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin
Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum
laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin
dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka
turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ
الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)
Ayat ini mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan
larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk
menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah,
pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal
itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk
suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada Saudah dan memperlakukannya
dengan sebaik-baiknya.
Maka di manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di
manakah bukti bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat
dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya
dalam menjawab bukanlah dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah
menanamkan syubhat ini di akal Anda, sementara saat kami mengajak mereka
untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.*
_
Syubhat: Sesungguhnya orang yang mengikuti sejarah
kaum muslimin, dia akan menemukan bahwa mereka tidak pernah memiliki
ilmu hadits. Ilmu hadits itu baru dibuat setelah dua ratus tahun.
Kemudian setelah masa yang panjang ini, orang-orang yang disebut
belakangan sebagai ahli hadits memutuskan untuk mengumpulkan hadits.
Kemudian jadilah mereka mengambil dari orang-orang yang pernah mendengar
hadits. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku mendengar
Fulan berkata, ‘Aku mendengar Fulan dari Nabi kalian -Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam-, maka atas dasar inilah menjadi sulit menghukumi
hadits ini sebagai hadits shahih, atau hadits maudhu’. Maka tidak
mungkin ada sambungan bagi kalian sebagaimana sebelumnya, karena
panjangnya masa itu.
Jawab: Sebagaimana biasa, kami memulai dengan meluruskan kesalahan, dan pemahaman kemudian kami akan menjawab.
Ilmu hadits, tidaklah seperti yang Anda kira, yaitu bahwa ilmu ini
baru ada setelah dua ratus tahun. Akan tetapi ilmu itu sudah dimulai
sejak generasi pertama di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan
telah mencakup satu bagian besar dari hadits. Apa yang ditemukan oleh
orang yang meneliti kitab-kitab yang disusun tentang para perawi hadits
dan teks-teks sejarah yang memberitakan biografi mereka, maka
kitab-kitab mereka itu akan menetapkan ilmu hadits itu dengan rupa yang
sangat luas. Dimana hal ini menunjukkan akan menyebarnya
pengkodifikasian hadits, dan banyaknya dalam masa itu.
Di saat kita meneliti secara ilmiah lagi benar, kita akan menemukan
bahwa permulaan penulisan hadits telah dilakukan di awal abad kedua,
yaitu antara tahun 120 – 130 H. dengan bukti nyata yang menjelaskan
kepada kita. Terdapat sejumlah kitab, yang penulisnya telah wafat di
tengah abad kedua. Seperti Jami’ Ma’mar bin Rasyid (W. 145 H), Jami’
Sufyan ats-Tsauri (W. 161 H), Hisyam bin Hisan (W. 148 H), Ibnu Juraij
(W. 150 H), dan banyak lagi selain mereka.
Kemudian, Anda harus mengetahui bahwa para ulama hadits, telah
meletakkan syarat-syarat demi menerima hadits, yang syarat itu mampu
menjamin penukilannya melalui berbagai generasi dengan amanah dan
kepastian. Hingga menjadikan hadits tersebut tersampaikan seperti halnya
didengar langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Terdapat syarat-syarat yang mereka tetapkan dalam perawi (orang yang
menyampaikan hadits) yang mencakup di dalamnya puncak kejujuran,
keadilan, dan amanah, disertai dengan penguasaan sempurna bagi perilaku,
dan pengembanan tanggung jawab.
Sebagaimana syarat itu mencakup kekuatan hafalan, mengikat dengan
dadanya (hafalan), atau dengan tulisannya, atau dengan keduanya secara
bersamaan. Yang memungkinkan baginya untuk menghadirkan hadits tersebut,
serta menunaikannya sebagaimana dia mendengarnya. Syarat-syarat yang
disyaratkan oleh ahli hadits untuk hadits yang shahih dan hasan itu pun
menjadi jelas. Yaitu syarat-syarat yang mencakup terpercayanya perawi
hadits, kemudian selamatnya penukilan hadits di antara mata rantai
sanad, bersihnya hadits itu dari segala cacad yang tampak maupun yang
tersembunyi, serta ketelitian para ahli hadits dalam mempraktekkan
syarat-syarat tersebut serta kaidah dalam menghukumi hadits dengan
dhai’f hanya karena tidak ada bukti akan keshahihannya, tanpa harus
menunggu datangnya dalil yang berseberangan dengannya.
Para ulama ahli hadits tidak mencukupkan diri dengan ini, bahkan
mereka meletakkan syarat-syarat dalam periwayatan yang tertulis. Tampak
bahwa Anda tidak memperhatikannya. Para ulama ahli hadits telah
memberikan syarat periwayatan yang tertulis dengan syarat-syarat hadits
shahih. Oleh karena itulah kita menemukan di atas manuskrip hadits
rangkaian sanad (transmisi periwayatan) kitab dari satu perawi ke perawi
yang lain hingga sampai kepada penulisnya. Kemudian, di atasnya kita
menemukan penetapan pendengaran, serta tulisan penulis atau Syaikh yang
didengar yang meriwayatkan satu naskah dari naskah penulis atau dari
cabangnya. Maka jadilah metode para ahli hadits lebih kuat, lebih
hikmah, dan lebih agung dari segala metode dalam menilai periwayatan,
dan sanad yang tertulis.
Maka janganlah Anda menyangka bahwa pembahasan sanad menunggu dua
ratus tahun sebagaimana ucapan Anda. Akan tetapi para sahabat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meneliti dan mencari-cari sanad
sejak zaman pertama saat terjadi fitnah pembunuhan terhadap Khalifah
ar-Rasyid Utsman Radhiallahu ‘Anhu tahun 35 H, yang kemudian kaum
muslimin membuat satu contoh istimewa di dunia tentang sanad. Dimana
mereka melakukan perjalanan ke berbagai negeri demi mencari hadits,
menguji para perawi hadits, hingga perjalanan mencari hadits menjadi
syarat pokok penentuan hadits.
Para ulama ahli hadits tidak lalai dari apa yang dibuat-buat oleh
para pemalsu hadits dari golongan ahlu bid’ah, dan mazdhab-mazdhab
politik. Bahkan mereka bersegera untuk memeranginya dengan mengikuti
sarana-sarana ilmiah demi membentengi sunnah. Maka mereka pun meletakkan
kaidah-kaidah, serta aturan-aturan bagi para perawi ahli bid’ah, serta
penjelasan sebab-sebab pemalsuan hadits dan tanda-tanda hadits-hadits
palsu.
Ilmu hadits, dengan berbagai syarat yang ada di dalamnya, tidak
pernah ditemukan pada umat mana pun selain umat Islam, satu-satunya umat
yang menjaga agamanya. Maka bandingkanlah cara penuh hikmah yang ada
pada kaum muslimin dengan kitab-kitab Nasrani yang merupakan
dongeng-dongeng yang para peneliti menemukan berbagai kesalahan,
kontradiksi dan berbagai perubahan.
Kemudian lihatlah kepada ilmu sanad pada kaum muslimin, yang
dengannya mereka menyendiri dari segenap umat manusia, karena mereka
telah menjamin keselamatan rangkaian periwayatan hadits hingga sampai
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari segala cacad dengan ilmu
isnad yang tidak ada di umat mana pun. Ilmu ini tidak ada pada
orang-orang Nasrani. Maka tidak heran jika kita menemukan dalam
kitab-kitab mereka, ‘Yesus berkata’, ‘Paulus berkata’ tanpa ada sanad
(jalur periwayatannya), dan tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana
hal itu bisa sampai.*
_
Syubhat: Yang menguatkan kebatilan agama Islam
adalah bahwa tidak ada seorang Nabi pun yang pernah berhaji selain nabi
kalian, dan ini telah pasti dalam kitab-kitab kalian.
Jawab: Ini adalah sebuah ucapan yang tidak benar.
Cukuplah bantahan akan syubhat ini adalah hadits yang datang di dalam
shahih Muslim bab Iman no. 242:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ
عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سِرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَمَرَرْنَا بِوَادٍ فَقَالَ أَيُّ وَادٍ
هَذَا فَقَالُوا وَادِي الْأَزْرَقِ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ
إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِنْ
لَوْنِهِ وَشَعَرِهِ شَيْئًا لَمْ يَحْفَظْهُ دَاوُدُ وَاضِعًا
إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ لَهُ جُؤَارٌ إِلَى اللَّهِ
بِالتَّلْبِيَةِ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي قَالَ ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى
أَتَيْنَا عَلَى ثَنِيَّةٍ فَقَالَ أَيُّ ثَنِيَّةٍ هَذِهِ قَالُوا
هَرْشَى أَوْ لِفْتٌ فَقَالَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى يُونُسَ
عَلَى نَاقَةٍ حَمْرَاءَ عَلَيْهِ جُبَّةُ صُوفٍ خِطَامُ نَاقَتِهِ
لِيفٌ خُلْبَةٌ مَارًّا بِهَذَا الْوَادِي مُلَبِّيًا.
“Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan kepadaku, menceritakan kepada
kami Ibnu Abi ‘Adin dari Dawud dari Abul ‘Aliyah dari Ibnu ‘Abbas, dia
berkata, ‘Kami berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
antara Makkah dan Madinah. Maka kami pun melewati sebuah lembah, lalu
beliau bersabda, ‘Lembah apakah ini?’ Maka mereka menjawab, ‘Lembah
Azraq.’ Maka beliau bersabda, ‘Seakan-akan aku melihat Musa ‘Alaihi
Sallam.’ Lalu beliau menyebut warna kulitnya, rambutnya, sesuatu yang
tidak dihafal oleh Dawud, seraya meletakkan kedua jarinya di kedua
telinganya, mengeraskan suara seraya
bertalbiyah (membaca
talbiyah), dengan melewati lembah ini.’ Dia berkata, ‘Kamipun berjalan
hingga kami mendatangi gunung kecil.’ Maka beliau bersabda, ‘Gunung
apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Harsya atau Lift.’ Maka beliau bersabda,
‘Seakan-akan aku melihat kepada Yunus, berada di atas seekor onta
mereka, memakai jubah dari wol, dan tali kekang ontanya adalah sabut
tengah melewati lembah ini seraya
bertalbiyah.’
Oleh karena itulah, ini adalah satu dalil pasti, dari kitab-kitab
kami yang memberikan faidah bahwa para Nabi telah berhaji ke baitullah.
Dan sebagaimana Anda meminta kami yang demikian, maka sesungguhnya kami
meminta dari Anda satu dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi tidak
berhaji ke baitullah dari kitab-kitab kalian.*
_
Bagian 7
Syubhat: Kami setuju bahwa tidak ada kesalahan dalam
sejarah dan ilmu pengetahuan, akan tetapi, marilah kita melihat
berbagai kesalahan dalam al-Qur’an baik dalam sejarah, atau ilmu
pengetahuan.
-Al-Qur`an surat al-Kahfi ayat 83-89 menyebutkan seorang tokoh
Zul-Qarnayn yang adalah muslim. Menurut tokoh Islam Ibn Hisham dan
Al-Tabari Zul-Qarnayn adalah Aleksander Agung. Ironisnya, Aleksander
Agung adalah seorang polytheis (musyrik).
Jawab: Sungguh disayangkan, Anda sekalian adalah
korban para pendeta dan misionaris yang telah menyampaikan syubhat ini
dengan memanfaatkan ketidaktahuan Anda. Pertama kali Anda wajib
mengetahui metode ulama ahli tafsir dan selain mereka dalam memberikan
keterangan. Pada saat seorang ahli tafsir meriwayatkan satu ucapan dari
berbagai ucapan, maka maksudnya tidak lain adalah menukil semua yang dia
dengar kemudian setelah itu memilah dan memilih dari ucapan-ucapan
tersebut mana yang rajih dan shahih. Kemudian membantah dan menjelaskan
kelemahan yang dhaif (lemah) dan yang tidak shahih. Kemudian menampakkan
apa yang shahih darinya agar manusia mengetahuinya.
Alasan keshahihan dari tidaknya kembali kepada kesesuaian atau
ketidaksesuaiannya dengan apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan sunnah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta apa yang disepakati oleh
jumhur ulama kaum muslimin.
Pada saat seorang ulama tafsir berkata,
“Dikatakan/katanya/diriwayatkan/ atau dikisahkan…” maka ini berarti
bahwa yang berkata adalah orang yang tidak dikenal (majhul), dan sumber
ucapan tersebut tidak dikenal. Oleh karena itulah fi’il (kata kerjanya)
dibuat majhul (pasif), yaitu
qiila (dikatakan). Oleh karena
dasar ini, maka ucapan itu tidak bernilai jika tidak dikuatkan oleh satu
berita dari al-Qur’an atau Sunnah yang shahih. Dan perkara aqidah tidak
akan dibangun di atas sesuatu yang tidak diketahui. Maka ucapan apapun
yang diikuti atau yang datang setelah kata kerja bentuk pasif
qiila (dikatakan),
maka ucapan itu digugurkan dari derajat shahih dan yakin kepada
kedudukan mengandung kebenaran atau kedustaan sesuai dengan
kesesuaiannya atau jauhnya dari apa yang disebutkan oleh al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih.
Pada kisah Dzulqarnain, gugurlah kandungan itu kepada makna dusta.
Dikarenakan secara yakin Dzulqarnain yang dimaksud bukanlah Dzulkarnain
Agung dari Macedonia – Yunani yang telah membangun kota Iskandariyah.
Dzulqarnain ini mati pada usia 33 tahun, sebagaimana disebutkan dalam
buku-buku Kristen. Dan dia hidup 323 tahun sebelum kelahiran al-Masih
‘Alaihi Sallam.
Adapun Dzulqarnain yang disebutkan dalam al-Qur’an, maka dia ada pada
masa Ibrahim ‘Alaihi Sallam. Dikatakan bahwa dia telah masuk Islam di
hadapan Ibrahim ‘Alaihi Sallam, dan berhaji ke Ka’bah dengan berjalan
kaki. Kemudian manusia telah berbeda pendapat tentangnya, apakah dia itu
seorang nabi ataukah seorang hamba shalih dan seorang raja yang adil.
Dan perselisihan itu juga bersamaan dengan kesepakatan mereka bahwa dia
adalah seorang muslim, yang mengesakan serta taat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Yang benar dalam hal ini – menurut kami – adalah
tawaqquf (diam tidak berkomentar) tentangnya, karena sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
مَا أَدْرِيْ أَتَبِعَ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لاَ ، وَمَا أَدْرِيْ ذَا الْقَرْنَيْنِ نَبِيًّا كَانَ أَمْ لَا
“Aku tidak tahu, apakah dia mengikuti seorang nabi ataukah tidak, dan aku tidak tahu Dzulqornain seorang nabi ataukah tidak.’ (HR. al-Hakim, al-Baihaqiy, dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahihul Jami’ (5524))
Sekalipun kita tidak tahu, dia itu seorang Nabi ataukah tidak, maka
yang jelas bagi kami dari sela-sela perkataan al-Qur’an tentangnya bahwa
dia adalah seorang mukmin yang berada di atas ilmu dan kebaikan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan dia kekuasaan, kemudian dia berjalan
berjihad untuk menebarkan kebenaran dan keadilan.
Kemudian perbedaan antara hamba shalih ini dengan Alexander Macedonia
yang kafir itu adalah satu perkara yang dikenal oleh para ulama kaum
muslimin. Seorang ahli tafsir, Ibnu Katsir Rahimahullah berkata dalam
al-Bidayah wan Nihayah (1/493):
“Dari Qatadah, dia berkata ‘Iskandar (Alexander) adalah Dzulqarnain,
dan bapaknya adalah Kaisar pertama, dan termasuk putra dari Sam bin Nuh
‘Alaihi Sallam. Adapun Dzulqarnain yang kedua, maka dia adalah Iskandar
(Alexander) putra Philips… Macedonia – Yunani – Mesir. Pendiri kota
Iskandariyah yang menoreh sejarah Romawi. Dia lebih terakhir dari yang
pertama dengan jarak masa yang panjang… Kami mengingatkannya, karena
banyak dari manusia berkeyakinan bahwa keduanya adalah satu, dan bahwa
yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah dia yang menterinya adalah
Aristoteles. Yang karenanya terjadilah kesalahan besar, serta kerusakan
yang panjang lagi banyak. Sesungguhnya yang pertama adalah seorang
hamba beriman, shalih, lagi seorang raja yang adil. Adapun yang kedua
adalah seorang musyrik, dan menterinya adalah orang-orang filsafat.
Kemudian jarak masa di antara keduanya lebih dari dua ribu tahun. Maka
keduanya tidak sama dan tidak serupa, kecuali atas orang bodoh yang
tidak tahu hakikat berbagai perkara.” Selesai perkataan Ibnu Katsir
Rahimahullah.
Maka mengapa Anda mengesampingkan ucapan ahli tafsir yang jelas ini
lalu berpegang dengan dalil-dalil lemah para pendeta tersebut?!
Akan tetapi yang aneh dari Anda sekalian adalah bahwa tidak ada dalam
kitab-kitab suci Anda keterangan-keterangan yang mencukupi akan
Alexander yang kedua, lebih-lebih lagi yang pertama. Puncak dari apa
yang ada pada sisi Anda sekalian adalah mimpi Daniel, serta menganggap
bahwa di dalam mimpi tersebut terdapat satu isyarat kekuasaan Alexander
yang kafir ini, serta terpecahnya kerajaannya setelah itu.
Keanehan ini dari Anda ataukah yang aneh itu adalah bahwa Anda tidak
mengetahui satu sanad pun yang bersambung bagi kitab-kitab yang Anda
imani? Tidak juga terdapat pengetahuan akan kondisi orang-orang yang
melakukan penerjemahannya, bersamaan dengan puluhan tema yang saling
kontradiksi dan berselisih yang menghilangkan klaim ‘
ishmah (terjaga
dari kesalahan), dan bahwa ditulis berdasarkan ilham dari Roh Kudus.
Dan cukuplah perselisihan kalian terhadap nasab Isa ‘Alaihi Sallam.
Sekalipun demikian, Anda memiliki kenekatan untuk mengkritik al-Qur’an
mulia yang sampai dengan sanad yang bersambung secara mutawatir?!
Maka apakah masuk akal, seorang manusia yang memiliki sedikit akal
datang lalu menjadikan apa yang ada di dalam sebuah kitab yang telah
diubah-ubah sebagai hakim atas al-Qur’an agung yang terjaga dengan
penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?!
*
_
Syubhat: Dalam surah yang sama disebutkan matahari terbenam di lumpur.
حَتَّى إِذَا بَلَغَ
مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ
عِنْدَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَنْ تُعَذِّبَ
وَإِمَّا أَنْ تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا
“Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia
melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia
mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata: “Hai Dzulkarnain, kamu
boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka.” (QS. al-Kahfi: 86)
Jawab: Sekali lagi, sebagaimana biasa, para pendeta
telah mempermainkan Anda. Sebelum saya menjawab, saya akan menjelaskan
kepada Anda akan makna [عَيْنٍ حَمِئَةٍ], maka itu adalah air yang
memiliki lumpur hitam. Dan saat al-Qur’an menyebut ‘
Hingga apabila dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam…’ maka
itu adalah penyebutan sifat fenomena yang dilihat oleh Dzulqarnain,
bukan penyebutan sifat yang dibuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka
siapakah yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwa
matahari tenggelam dalam lumpur hitam?
Saya akan membuat satu contoh agar kerancuan ini hilang. Jika Anda
duduk di tepi pantai pada saat matahari tenggelam, lalu Anda melihat
kepada bulatan matahari, maka apa yang akan Anda lihat? Dengan
sederhana, Anda akan melihat bahwa bulatan matahari akan tenggelam ke
dalam lautan. Maka apakah berarti bahwa matahari itu menghilang di dalam
lautan? Tidak diragukan lagi bahwa hilangnya matahari di dalam lautan
adalah apa yang dilihat oleh mata Anda, tetapi hakikatnya tidak benar
seperti itu. Jadi, jika Anda mensifati apa yang terjadi pada matahari
karena hilangnya di dalam lautan saat Anda berdiri di tepi pantai, maka
Anda tidak dusta dan tidak salah.
Demikian pula seandainya Anda menghadap ke arah barat, sementara di
depan Anda ada sebuah gunung. Maka Anda akan mendapati bahwa matahari
akan tenggelam di belakang gunung. Tentu saja tidak akan pernah difahami
oleh seorang pun bahwa matahari tersembunyi di balik gunung secara
hakiki.
Jika di depan Anda adalah sebuah danau, maka Anda akan mendapati
bahwa matahari akan tenggelam di dalam danau. Dan inilah yang terjadi
pada Dzulqornain yang telah sampai pada laut yang mengandung lumpur
hitam pada saat terbenamnya matahari. Maka dia mendapati matahari itu
tenggelam dalam lumpur hitam itu. Saat kita katakan dia mendapatinya
tenggelam di balik gunung atau mendapatinya tenggelam di dalam air, maka
itu adalah perkara yang sesuai dengan penisbatan untuknya. Ayat
tersebut tidak bermakna mutlak, akan tetapi terikat dengan pribadi
Dzulqarnain.
Demikian pula kita dapati dalam kisah Musa ‘Alaihi Sallam, saat Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkannya untuk melemparkan tongkat:
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا
رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ
يَا مُوسَى لا تَخَفْ إِنِّي لا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
“’Dan lemparkanlah tongkatmu’. Maka tatkala (tongkat itu menjadi
ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti Dia seekor ular yang
gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. ‘Hai Musa,
janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak
takut di hadapan-Ku.’” (QS. an-Naml: 10)
Menjadi jelaslah bagi semuanya bahwa Musa ‘Alaihi Salam saat
mendapati tongkatnya bergerak-gerak, dia merasa takut dan menyangka
bahwa tongkatnya telah berubah menjadi seekor ular besar. Di sinilah
kita bertanya, apakah tongkat itu ular?
Jawabannya adalah tidak. Akan tetapi ini adalah apa yang dilihat oleh
Musa ‘Alaihi Salam, maka sebagaimana tongkat tersebut bukanlah ular,
maka matahari tersebut tidak tenggelam dalam lumpur hitam. Dan kedua
ayat tersebut menceritakan apa yang dilihat oleh Dzulqarnain dan Musa
‘Alaihi Salam.
Sesungguhnya para pendeta, misionaris dan orang-orang batil selain
mereka, saat menyebarkan syubhat seperti ini, menjadi jelaslah bagi kami
bahwa mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti Bibel mereka.
Karena Bibel telah menggunakan metode yang sama.
Disebutkan dalam Hakim-Hakim (Judge) 19: 14 versi bahasa Arab
[سفر
قضاة 19:14]: فَعَبَرُوا وَذَهَبُوا وَغَابَتْ لَهُمْ الشَّمْسُ عِنْدَ
جِبْعَةَ الَّتِيْ لِبُنْيَامِيْنَ
“Maka mereka pun lewat dan pergi, kemudian mataharipun menghilang untuk mereka pada Gibea milik Bunyamin”
[footnote: Ayat ini terdapat di Naskah berbahasa Arab, sementara
terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris disebutkan dengan teks
yang berbeda, yang didalamnya jelas-jelas terdapat perubahan. Dan perlu
diketahui bahwa naskah berbahasa Arab lebih dahulu daripada naskah
berbahasa Indonesia dan Inggris. Maka orang-orang Nasrani tatkala
mendapati apa yang mereka anggap sebagai satu musibah dalam Kitab
mereka, merekapun mengubah-ubah penerjemahan dalam bahasa Indonesia dan
Inggris, juga barangkali bahasa-bahasa lain. Kemudian mereka
menerjemahkan ayat itu dengan: (19:14)
Lalu berjalanlah mereka melanjutkan perjalanannya, dan matahari terbenam, ketika mereka dekat Gibea kepunyaan suku Benyamin. Ini
adalah dalil bahwa perubahan dalam Bible masih terus berlanjut, dan
campur tangan manusia tidak pernah berhenti hingga hari ini. sekalipun
demikian masih saja ada keyakinan bahwa Bible adalah kitab suci!]
Dengan teks ini, jadilah matahari meninggi di langit kemudian turun
dan menghilang di kota Gibea. Maka apakah matahari tidak di langit,
karena dia menghilang di kota Gibea? Ataukah bahkan ungkapan itu
bermakna bahwa matahari telah terbenam saat mereka sampai di kota Gibea?
Barangkali sekarang menjadi jelas bahwa mereka belum membaca kitab mereka dengan teliti.
Kesalahan besar yang terdapat dalam Bibel adalah disebutkannya dalam Wahyu (12:1):
Maka
tampaklah suatu tanda besar di langit: Seorang perempuan berselubungkan
matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua
belas bintang di atas kepalanya.
Maka kami bertanya kepada orang-orang Nasrani, bahwa seorang wanita
berselubung matahari, sementara matahari lebih besar 1.030.000 kali dari
bumi?
Maka bandingkanlah wahai orang-orang berakal, apa hujjah mereka atas kami dan hujjah kami atas mereka!*
_
Syubhat: Demikian juga telah disebutkan dalam
al-Bukhari bahwa matahari itu bergerak, jadi kesimpulannya, bahwa
matahari bergerak hingga terbenam di dalam lumpur.
Jawab: al-Bukhari sama sekali tidak mengatakan bahwa
matahari tenggelam di dalam lumpur, akan tetapi dia meriwayatkan sebuah
hadits sekitar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.” (QS. Yasin: 38)
Jika yang dianggap aneh itu adalah bahwa matahari bergerak dan
berotasi maka ini adalah suatu pendapat yang dikuatkan oleh ilmu falak.
Matahari bergerak dan berputar sebagaimana bumi bergerak dan berputar.
Rotasi bumi tidak bertentangan dengan gerakan dan perputaran matahari.
Lalu Imam al-Bukhari rahimahullah tidak pernah meriwayatkan dalam hadits
bahwa matahari menghilang. Akan tetapi dia meriwayatkan bahwa matahari
sujud di bawah ‘Arsy Allah Yang Maha Pengasih. Dan sujudnya matahari di
bawah ‘Arsy ini tidak berarti lama dalam diam dan sujud hingga bisa
diperhatikan oleh orang-orang yang melihat kepadanya. Sujudnya matahari
di bawah ‘Arsy tidak berarti dia menghilang dari pendangan seluruh
manusia, karena ‘Arsy ada di atas langit dan bumi, serta matahari. Tidak
juga menunjukkan bahwa matahari meninggi hingga di atas langit lalu
sujud di bawah ‘Arsy. Akan tetapi matahari terbenam dari mata-mata kita,
sementara dia terus dalam garis edar yang dia berada di dalamnya. Maka
jika dia beranjak di dalamnya hingga mencapai pertengahan, maka inilah
tempat sujudnya.
Sesungguhnya ilmu modern telah memastikan kebenaran ayat-ayat
al-Qur`an dalam masalah perjalanan dan gerakan matahari. Demikian juga
tentang masalah rotasi bumi. Sementara kita mendapati bahwa Bibel
bersikukuh atas pendapat bahwa mataharilah yang bergerak mengelilingi
bumi, bukan sebaliknya. Bahkan sesungguhnya Bibel sama sekali tidak
pernah menyebutkan di dalamnya bahwa malam dan siang adalah buah dari
rotasi bumi.
Telah disebutkan dalam Pengkhotbah (1:5):
Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali.
Teks ini menetapkan satu masalah berbahaya, dimana dia berkata bahwa
matahari pada saat terbenam, dia bergerak cepat menuju tempat terbitnya
untuk terbit lagi (?!) Ini, dengan sederhana bermakna bahwa matahari
berputar mengelilingi bumi!
Cukuplah bahwa orang-orang Nasrani telah menyiksa, membakar dan
membunuh mati para ilmuwan astronomi yang meyakini rotasi bumi yang
kemudian menjadi jelas kebenarannya setelah itu. Dan perkara ini
ternyata telah bersesuaian dengan kemajuan ilmu yang telah dicapai pada
hari ini, yang itu telah bersesuaian dengan al-Qur`an yang mulia.
Seluruh kesalahan ini ditanggung oleh Bibel, kemudian mereka tidak
mengambil pusing tentangnya atau merasa bodoh terhadapnya. Lalu mereka
mendatangi al-Qur’an seraya berusaha dengan segala cara untuk mencari
kesalahan di dalamnya. Dan mereka tidak bisa menetapkan satu kesalahan
pun padanya hingga hari ini, dan bahkan hingga hari kiamat nanti.
Jika terdapat satu kesalahan di dalam al-Qur’an yang mulia, maka kami
katakan kepada para pendeta dan misionaris, ‘Medan sudah ada diantara
kami dan Anda, silakan berdialog, maka pastilah umat ini akan melihat
perbandingan yang hakiki antara al-Qur`an Mulia, yang merupakan firman
Allah, dan antara Kitab yang kalian anggap sebagai Kitab suci, padahal
tidaklah demikian, karena kitab itu adalah bikinan manusia.’
_
Syubhat: Tersebar di Youtube bahwa Da’i Ahmad Dedat
rahimahullah wafat dalam kondisi buruk, maka ini adalah bukti bahwa dia
berada di atas kebatilan, dan Nasrani berada di atas kebenaran.
(Mahasiswa nasrani S2 di India)
Jawab: Pertama, kita berdo’a memohonkan rahmat dan
ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Syaikh Ahmad Deedat atas
apa yang telah dia persembahkan demi menolong agama Islam dan kaum
muslimin. Sungguh, karena sebabnya telah banyak dari orang-orang Nasrani
yang beriman, dia telah mengeluarkan mereka dari kegelapan kekufuran
dan kesyirikan kepada cahaya Islam. Dan sesungguhnya saya, dengan segala
ilmu saya tentang Nasrani (kristologi) hanyalah seorang murid kecil di
hadapan sebuah gunung besar yang saya banyak mengambil faidah darinya,
maka kami pun meneruskan jalan perjuangannya. Demikian pula kami akan
meninggalkannya untuk orang-orang setelah kami dengan izin Allah, agar
cahaya Allah terus bersinar hingga hari kiamat.
Berkenaan dengan kondisi wafat ulama besar ini rahimahullah, maka
saya menjawab orang-orang Nasarni, dengan mengatakan: sesungguhnya
hujjah kalian – saya dapati – selalu lebih rapuh daripada sarang
laba-laba. Saya berharap pada kesempatan yang akan datang, Anda
memberikan kepada kami minimal satu syubhat yang setara dengan kekuatan
sarang laba-laba (bukan kurang dari itu), dan itu mustahil Anda lakukan.
Oleh karena itulah, saya akan menjawab Anda sekalian atas syubhat ini
dari berbagai sisi:
Pertama, kondisi yang diderita oleh Syaikh Ahmad Deedat sebelum
wafatnya adalah sebuah kondisi biasa yang dilalui oleh banyak manusia
pada hari ini. Sebelum wafatnya, dia mengalami kelumpuhan otak yang
setelah itu dia wafat pada tahun 2005 M. Akan tetapi apakah Anda
sekalian mengetahui, wahai orang-orang Nasrani tentang usia pada saat
beliau wafat? Dia wafat pada usia 87 tahun. Artinya, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memanjangkan usianya, dan ini adalah sebuah nikmat, lalu
mengapa Anda sekalian melupakannya.
Jika kalian menganggap penderitaannya dengan sakit sebelum wafatnya,
yang menyababkannya terduduk di ranjang sebagai bukti akan kebatilannya.
Maka bagaimanapula anggapan Anda dengan orang yang kondisinya lebih
hina, disiksa dan disalib sebelum kematiannya?! Bukankah dengan logika
Anda yang sama menjadi dalil akan kebatilan agama yang dibawanya? Jika
kondisi Syaikh Deedat sebelum kematiannya adalah sebuah isyarat akan
kesesatannya, maka apakah hal itu tidak menjadikan kita berkeyakinan
juga akan kebatilan agama Nasrani dari orang-orang yang tertimpa
penyakit yang sama, dan jumlah mereka jutaan, sama saja apakah mereka
yang sudah mati atau yang berada di atas ranjang hari ini?! Terutama,
seharusnya mereka tidak sampai pada kondisi yang dialami Syaikh Deedat
karena keberadaan al-Masih ‘Alaihi Sallam yang telah menjadi juru
selamat mereka dari kesalahan sesuai dengan keyakinan Anda? Sementara
Syaikh Deedat, tidak ada seorang pun yang menjadi juru selamat baginya
dari segala kesalahan?! Maka seharusnya yang tertimpa penyakit itu hanya
dia saja – dan yang setara dengannya – bukan malah banyak orang-orang
Nasrani.
Kedua, sakit itu dari Allah, yang kemudian datang sebagai buah dari
bentukan Allah terhadap tubuh manusia. Sang Pencipta Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan manusia berbeda-beda dalam tabiat tubuh-tubuh mereka. Dia
jadikan sebagian mereka, system kekebalan tubuhnya lebih kuat dari yang
lain, sementara yang lain Dia jadikan tugas-tugas anggota tubuhnya
menjadi kendur sebelum yang lain… demikian seterusnya.
Masing-masing mereka berbeda-beda akhir kematian mereka; sama saja
mereka yang mati dengan kesehatan buruk atau dengan kesehatan baik. Maka
tidaklah kondisi kematian seseorang itu merupakan bukti akan kebenaran
atau kesalahan keyakinan manusia. Jika tidak, maka pastilah al-Masih
‘Alaihi Sallam (menurut Nasrani), dengan logika ini, menjadi manusia
yang paling sesat
wal’iyadzu billah, dimana dilakukan
penyiksaan yang menakutkan terhadapnya, lalu dia mati dengan kematian
yang sesuai dengan apa yang diceritakan oleh Bibel kalian, yaitu dengan
kematian buruk yang telah disodorkan padanya bentuk penyiksaan
menakutkan yang terburuk yang Syaikh Deedat tidak megalami hal itu.
Bahkan Syaikh Deedat, saat wafat tidak mengalami peludahan sebagaimana
yang dialami oleh al-Masih ‘Alaihi Salam dengan pengakuan injil Matius
(26:67)
Lalu mereka meludahi muka-Nya dan meninju-Nya; orang-orang lain memukul Dia.
Lalu penyiksaan terhadapnya terus berlangsung hingga setelah
kematiannya. Maka jadilah kematian al-Masih ‘Alaihi Sallam, sebagaimana
yang diceritakan oleh Bibel kalian, lebih buruk dari kematian Syaikh
Deedat yang wafat dalam keadaan mulia tanpa ada satu penghinaan pun
terhadap kemuliaanya, atau yang menyentuh sisi kemanusiaannya.
Ketiga, bagaimana Anda sekalian mengharuskan kami, dengan logika
kalian terhadap kematian seorang muslim yang memiliki agama selain agama
Anda sekalian? Karena kematian dalam agama Islam adalah satu tanda dari
tanda-tanda kekuasaan Allah yang telah Dia tetapkan terhadap
hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati….” (QS. al-Anbiya’: 35)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup terhadap hamba-hamba-Nya akan
pengetahuan waktu kematian, demikian juga tempat yang di dalamnya dia
mati, demikian juga jalan yang menghantarkan kepadanya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ
“…dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqman: 34)
Kematian adalah sebuah rahmat bagi seorang mukmin, dan azab bagi
orang-orang kafir, karena kematian adalah sebuah tabir yang dengan
hilangnya tabir itu sampailah seorang mukmin kepada sorga dan
keridhaan-Nya, dan yang kafir sampai kepada azab Allah dan neraka Jahim
selamanya. Dan bukanlah cara kematian, apapun bentuknya adalah sebuah
dalil akan buruknya kematian, kecuali orang yang mati di atas maksiat
dan tercabut rohnya di atasnya. Sementara Syaikh Ahmad Deedat wafat di
atas kebaikan agung yang telah kami kenal, dan dikenal oleh orang-orang
yang dekat dengannya. Mudah-mudahan Allah merahmati ulama besar ini
dengan rahmat yang luas.
***
______________________________